TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK
PENYUSUN:
KELOMPOK 6
Tuti Yuinatun 25010113120033
Nurlaila 25010113120062
Zuyyinatul Mualifah 25010113120164
Deni Lestari 25010113120191
Zahrotul Mahmudati 25010113130347
Miranti Puspasari 25010113140331
Yunita Amilia 25010113140354
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menyebabkan gangguan kesehatan jutaan orang setiap tahunnya dan sebagai penyebab utama kedua kematian akibat penyakit infeksi di dunia, setelah human immunodeficiency virus (HIV).1 Diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun diperkirakan terdapat 9 juta penderita Tuberkulosis dengan kematian sebesar 3 juta orang.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang menyerang berbagai organ serta jaringan tubuh disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.2 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa situasi Tuberkulosis (TB) mengalami kegawatan terutama karena epidemi HIV/AIDS dan kasus resistensi obat TB paru.3
Di negara berkembang, kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah ditemukannya kuman penyebab TB. TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan Indonesia adalah salah satu negara termasuk dalam kelompok dengan masalah TB terbesar (high burden countries). Berdasarkan laporan WHO Global Tuberculosis Control 2012, Indonesia berada di urutan kelima dari 22 high burden countries terhadap TB paru setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria.4
Prevalensi kasus TB paru di Indonesia sebesar 244 per 100.000 dan insidensi untuk semua tipe TB paru adalah 228 per 100.000. Insidensi kasus TB paru-BTA positif sebesar 102 per 100.000 dan angka kematian mencapai 39 kasus per 100.000 atau sekitar 250 orang per hari. Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyebab kematian ke-2 di Indonesia setelah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Setiap tahun terdapat 583.000 kasus baru TB paru di Indonesia. Prevalensi tuberkulosis paru BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam tiga wilayah yaitu Sumatera, Jawa, dan Bali. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Sumatera sebesar 160 per 100.000 penduduk. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Jawa dan Bali sebesar 110 per 100.000 penduduk. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Indonesia bagian timur sebesar 210 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia jumlah kasus yang melakukan pengobatan ulang sebanyak 5.687 kasus dan 65,2% diantaranya adalah kasus kambuh. Hasil Survei Prevalensi TB bahwa wilayah Jawa memiliki angka insidensi TB BTA positif adalah 107 per 100.000 penduduk.3 Banyaknya kasus TB yang belum terobati tentunya akan terus menjadi sumber penularan sehingga penting untuk dilakukan upaya pencegahan serta penanggulangan yang berkesinambungan.
B. AGEN UTAMA
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau berbicara.
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh Mycrobacterium bovis dan Mycrobacterium africanum). Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm, dan hidup berkoloni. Selain itu, juga memili ciri khusus yakni adanya lapisan lilin di dinding selnya. Sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak / lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Sebagai bakteri aerob yang membutuhkan oksigen, M. tuberculosis bermanifes di paru-paru karena kandungan oksigennya sangat tinggi.
Di luar tubuh manusia, Mycobacterium tuberculosis ini hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Bakteri ini dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya.Tetapi kuman tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api.
Mycobacterium tuberculosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
C. EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih dari 9 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian hampir 3 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020 kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian.5
Di Indonesia, tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.6
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun 40%. Di Asia Tenggara selama 10 tahun, diperkirakan jumlah kasus baru 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus), 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah anak berusia 5 mm, maka anak tersebut telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lansung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulitdidapat pada anak. Pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.
Respons terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TB.
H. PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui kuman TB (Mycrobacterium tuberculosis) yang tersebar di udara melalui percik renik dari dahak pasien TB paru atau laring saat batuk, berbicara, maupun bersin. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik tersebut melalui mulut atau hidung, saluran pernapasan atas, bronkus hingga mencapai alveoli. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) Tuberkulosis bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini. Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) Tuberkulosis merupakan kegiatan berupa upaya pengendalian infeksi dengan empat pilar utama yaitu12:
1. Pengendalian Manajerial
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif dari pihak manajerial seperti pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota atau atasan dari institusi terkait mengenai upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat SOP mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans.
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif.
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaan sesuai PPI.
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan.
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melaksanakan promosi pelibatan masyarjt dan organisasi masyarakat terkait PPI TB.
2. Pengendalian administratif
Pengendalian administratif merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah atau mengurangi paparan kuman Mycrobacterium tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mendesiminasikan dan memantau pelaksaaan standar prosedur atau alur pelayanan.
Upaya ini mencakup :
a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat).
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang benar.
d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.
e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
Pengendalian administrasi lebih mengutamakan strategi TEMPO. Langkah-langkah strategi TEMPO sebagai berikut13:
a. Temukan pasien secepatnya
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 TB 05 dan dirujuk ke laboratorium. TB 06 adalah dokumen register suspek TB sedangkan TB 05 adalah formulir untuk mengirimkan sediaan untuk keperluan uji silang.
b. Pisahkan secara aman
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain, serta diberikan masker.
c. Obati secara tepat
Tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain adalah pengobatan. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak ifeksius.
3. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan suatu upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar droplet di udara. Upaya yang dilakukan dengan menyalurkan droplet ke arah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.
Secara garis besar ada tiga jenis sistem ventilasi yaitu14:
a. Ventilasi alamiah
Adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam gedung dan sebaliknya.
b. Ventilasi mekanik
Adalah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasikan udara di dalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan/menyedot udara ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan udara positif dan negatif. Termasuk exhaust fan, kipas angin berdiri (standing fan) atau duduk.
c. Ventilasi campuran (hybrid)
Adalah sistem ventilasi alamiah ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah efektifitas penyaluran udara.
Pemilihan jenis sistem ventilasi disesuaikan dengan jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan sistem ventilasi suatu fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar droplet tidak dapat dihilangkan dengan upaya administrasi dan lingkungan.
Untuk petugas kesehatan perlu menggunakan respirator sedangkan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.
I. TINDAKAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan.15
1. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan
a. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
b. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG.
c. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
d. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC.
e. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
f. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
g. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
h. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
i. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
2. Tindakan Pencegahan
a. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
b. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
c. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
d. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
e. Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi.
f. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
g. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
h. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
i. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test.
Pencegahan penyakit TB agar tidak menularkan ke orang lain, diantaranya16:
a. Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh. Pasien TB harus menutup mulutnya dengan saputangan atau tisu atau tangan pada waktu bersin dan batuk, dan mencuci tangan.
b. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya: dengan menggunakan wadah/kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun. Membuang dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian.
c. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS):
• Menjemur alat tidur
• Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB.
• Makan makanan bergizi
• Tidak merokok dan minum minuman keras
• Olahraga secara teratur
• Mencuci tangan hingg bersih di air yang mengalir setelah selesi buang air besar, sebelum dan sesudah makan
• Beristirahat cukup
• Jangan tukar menukar peralatan mandi
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). 2013. Global Tuberculosis Report 2013 diakses melalui www.who.int/tb/data pada tanggal 1 April 2016.
2. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta : Sagung Seto.
3. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Paru. Jakarta : Depkes RI.
4. Yaumil, dkk. 2012. Analisis Kualitatif Kejadian Relaps Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sidomulyo Pekanbaru Tahun 2011-2012.
5. World Health Organization (WHO). 2006. Guidance for national tuberculosis programme on the management of tuberculosis in children. WHO/HTM/2006.371.
6. Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana strategi nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2002-2006. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
7. World Health Organization (WHO). 2004. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva : World Health Organization.
8. Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta : Penerbit B First.
9. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2005. Pharmaceutical Care untuk PenyakitTuberkulosis. Diunduh melalui : https://www.google.co.id/binfar.kemkes.go.id. Diakses pada 03 April 2016.
10. Medison, Irvan. 2012. Tuberkulosis Paru. Padang : Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unand/ SMF Paru RS. DR.M. Djamil Padang.
11. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses pada 03 April 2016.
12. Kemenkes RI Direktorat Jendral Pengendalian penyakit dan penyehatan Lingkungan. 2014. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
13. Indonesian Public Health. http://www.indonesian-publichealth.com/sop-pelayanan-pemeriksaan-mikroskopik-tb/. Diakses pada 03 April 2016.
14. Kemenkes RI Direktorat Bina Upaya Kesehatan. 2012. Pedoman Pencegahan dan pengendalian Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
15. Hiswani. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf. diakses pada 03 April 2016.
16. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.