TUGAS PENYAKIT TROPIK KELOMPOK 9

TUGAS PENYAKIT TROPIK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 9
DWI RAHAYUNINGSIH 25010113120018
ENDANG SRI UTAMI 25010113120028
DEVITA MELINDA NUGRAHENI 25010113120120
PUSPITA KRISTINA 25010113120144
KHAIRUNNISA 25010115183004
SORAYA HIDAYATI 25010113130267

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
1. Patofisiologis dan Patogenesis penyakit
Patofisiologi atau physiopathology adalah berasal dari dua kata yaitu patologi dengan fisiologi. Patologi adalah disiplin medis yang menggambarkan kondisi yang biasanya diamati selama keadaan penyakit, sedangkan fisiologi adalah disiplin biologi yang menjelaskan proses atau mekanisme yang beroperasi dalam suatu organisme. Patologi menggambarkan kondisi abnormal atau tidak diinginkan, dimana patofisiologi menjelaskan proses atau mekanisme fisiologis dimana kondisi tersebut berkembang dan berlanjut. Patofisiologi juga bisa berarti perubahan fungsional yang berhubungan dengan atau akibat penyakit atau cedera. Definisi lain adalah perubahan fungsional yang menyertai penyakit tertentu.
Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perubahan fisiologik akibat penyakit/ ilmu yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang sakit meliputi asal penyakit, permulaan perjalanan dan akibat. Patofisiologi merupakan integratif ilmu: anatomi, fisiologi, biologi sel dan molekuler, genetika, farmakologi dan patologi. Patofisiologi fokus pada mekanisme penyakit, atau proses dinamik yang menampakan tanda (sign) dan gejala (symptom). Penyakit adalah suatu kondisi abnormal yang menyebabkan hilangnya kondisi normal yang sehat. Ditandai oleh tanda dan gejala, perubahan secara spesifik oleh gambaran yang jelas morfologi dan fungsi dan sebagainya.
Patogenesis adalah rangkaian kejadian (proses) perkembangan penyakit dari permulaan yang paling awal serta faktor yang mempengaruhi. Patogenesis adalah proses berjangkitnya penyakit dan dimulai dari permulaan terjadinya infeksi sampai dengan timbulnya reaksi akhir. Patogenesis penyakit menyatakan perkembangan atau evolusi penyakit.
Patogenesis merupakan keseluruhan proses perkembangan penyakit atau patogen, termasuk setiap tahap perkembangan, rantai kejadian yang menuju kepada terjadinya patogen tersebut dan serangkaian perubahan struktur dan fungsi setiap komponen yang terlibat di dalamnya, seperti sel, jaringan tubuh, organ, oleh stimulasi faktor-faktor eksternal seperti faktor mikrobial, kimiawi dan fisis.
Tahap riwayat alamiah penyakit
1. Tahap Prepatogenesis
Kondisi Host masih normal/sehat. Sudah ada interaksi antara Host dan Agent, tetapi Agent masih diluar Host. Jika interaksi Host, Agent dan Environment berubah → Host jadi lebih rentan atau Agent jadi lebih virulen → masuk tahap patogenesis
2. Tahap Patogenesis
Tahap Inkubasi → tahap masuknya Agent kedalam Host, sampai timbul gejala sakit. Tahap penyakit dini → tahap mulainya timbul gejala penyakit dalam keadaan awal (ringan). Tahap penyakit lanjut → tahap penyakit telah berkembang pesat dan menimbulkan kelainan patologis (timbul tanda dan gejala)
3. Tahap Pasca Patogenesis
Tahap penyakit akhir → tahap berakhirnya perjalanan penyakit, dapat dalam bentuk;
a. Sembuh sempurna → Agent hilang, Host pulih dan sehat kembali
b. Kronik/ Karier Agent masih ada, Host pulih →gangguan Agent masih ada (minimal)
c. Cacat→ Agent hilang, penyakit tidak ada → Host tidak pulih sempurna (ada cacat)
d. Mati

2. Mengapa perlu mengerti tentang patogenesis dan patofisiologis dalam pengendalian
Patogenesis penyakit menyatakan perkembangan, kelangsungan atau evolusi dari penyakit. Patogenesis mencakup bagaimana mekanisme timbulnya kelainan akibat penyakit tersebut. Contoh: Proses radang, adalah suatu respon terhadap berbagai mikroorganisme dan berbagai jenis bahan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Karsinogenesis, adalah mekanisme dimana bahan karsinogen menyebabkan terjadinya kanker.Dengan mengetahui gejala yang timbul pada suatu penyakit, dan perubahan yang terjadi seiring dengan terdeteksinya suatu penyakit, maka dapat dilakukan upaya pengendalian agar penyakit tersebut tidak bertambah parah atau menyebar luas.
Patofisiologis membahas aspek perubahan yang terjadi pada berbagai fungsi tubuh akibat adanya penyakit.Dengan mengetahui patofisiologis suatu penyakit kita dapat mengetahui faktor risiko yang dapat menimbulkan suatu penyakit. Sehingga kita dapat melakukan upaya pencegahan dan pengendaian dengan cara mengurangi faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit tersebut.
a. Penyakit menular adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh agen biologi seperti virus, bakteri, maupun parasit bukan disebabkan oleh faktor fisik sperti luka bakar atau kimia seperti keracunan.
Apabila kita tidak mengetahui patofisiologis penyakit menular, maka penyakit tidak dapat diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, bahkan kematian. Contoh : wanita lebih berisiko untuk terkena PMS daripada laki – laki dan seringkali berakibat lebih parah karena gejala awal tidak diketahui dan menjadikan penyakit lanjut ke tahap yang lebih parah. Selain itu infeksi yang terjadi dapat menular kepada orang lain yang rentan.
Tahap dalam patogenesis contohnya adalah HIV, penyakit menular melalui cairan tubuh. Kemudian virus yang masuk akan merusak sistem kekebalan tubuh. Apabila kekebalan telah melemah maka penyakit lain yang masuk akan menjadi lebih parah. Untuk itu dilakukan pengendalian dengan meminimalisir adanya kontak dengan penderita yang melalui cairan tubuh agar tidak tertular.
b. Penyakit tidak menular adalah penyakit yang disebabkan karena adanya masalah fisiologi atau metabolisme pada jaringan tubuh manusia. Biasanya penyakit ini terjadi karena pola hidup yang kurang sehat seperti merokok, faktor genetik, cacat fisik, penuaan/usia, dan gangguan kejiwaan.Pengetahuan tentang patofisiologis dan patogenesis penyakit tidak menular sangat perlu untuk dipahami, hal ini berguna untuk meminimalisir terkena penyakit tidak menular tersebut. (DINKES Tabalong)
Beberapa penyakit tidak menular seperti hipertensi, obesitas, penyakit jantung apabila tidak segera ditangani akan bertambah parah dan mengalami komplikasi sehingga dapat menyebabkan penyakit lain muncul. Contoh : Jika seseorang mengalami obesitas maka kondisi ini akan menyebabkan komplikasi seperti stroke, diabetes tipe 2, kolesterol tinggi dll.Oleh karena itu perlu dioptimalkan deteksi dini terhadap suatu penyakit agar dapat mengidentifikasi penyakit/kelainan yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan tes (Guntur)
Selain itu dengan mengetahui patofisiologis dan patogenesis penyakit kita dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit tertentu seperti kebiasaan pola hidup tidak sehat. Dalam hal ini satu-satunya cara mencegah penyakit tidak menular adalah berperilaku pola hidup sehat seperti makan makanan dan minuman yang sehat (sayur, buah), tidak merokok, serta berolahraga secara teratur.

3. Patofisiologis dan Patogenesis Penyakit Menular dan Tidak Menular
a. Tuberkulosis
Patofisiologis TB
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. M.tuberculosis adalah kuman bentuk batang, bersifat aerob yang memperoleh energi dari oksidasi beberapa senyawa karbon sederhana, dan tidak membentuk spora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Dengan pewarnaan tehnik Ziehl Neelsen, maka kuman ini tergolong Bakteri Tahan Asam (BTA). (Karnadihardja, 2004)
Masuknya kuman TB akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembangbiak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GO.
Partikel infeksi TB dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Seorang pasien yang menderita tuberculosis memiliki gejala dan tanda awal tidak spesifik. Secara umum, tanda dan gejala tuberkulosis adalah batuk produktif yang berkepanjangan (>3 minggu), dispneu, nyeri dada, anemia, hemoptisis, rasa lelah,berkeringat di malam hari.
Selain itu dikenal pula gejala sistemik, yaitu demam, menggigil, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan. Gejala ini umumnya sudah dialami dalam jangka waktu yang lama, dan apabila dirasakan telah mengganggu barulah pasien memeriksakan diri ke tenaga kesehatan, sehingga tuberkulosis yang didiagnosis cenderung bersifat kronis. Sedangkan apabila onset yang dirasakan pasien bersifat akut, biasanya peryebabnya adalah penyakit non-tuberkulosis. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronis, dengan gejala dan tanda yang kurang spesifik sehingga dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis karena pasien menunda pemeriksaan, ditambah dengan hasil pemeriksaan yang belum pasti.

Patogenesis Tuberkulosis Paru
Paru merupakan port de entry lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dan dapat mencapai alveolus. Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ yang menyebarkan kuman ke udara pada waktu batuk/bersin, kuman TB di udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman TB yang masuk dalam tubuh mengakibatkan timbulnya infeksi, diantaranya infeksi primer berlanjut pada infeksi post primer.
Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer dapat timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitislokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Infeksi primer mengakibatkan kompleks primer yang akan mengalami :
• Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution adintegrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
• Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar ke sekitarnya. Misalnya epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Selain itu ada juga penyebaran secara bronkogen, kuman TB dapat menyerang baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran secarah ematogen dan limfogen, penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu
Skema Patogenesis Infeksi Primer Tb Paru
Infeksi Post Primer
Tuberkulosis post primer muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pada stadium infeksi post primer ini yang banyak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
• Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
• Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti dapat:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebu ttuberkuloma
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Skema patogenesis infeksi Tb paru post primer
b. Kanker Serviks
Patogenesis Kanker Serviks
Kausa utama karsinoma serviks adalah infeksi virus Human Papilloma yang onkogenik. Risiko terinfeksi HPV sendiri meningkat setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kebanyakan wanita, infeksi ini akan hilang dengan spontan. Tetapi jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (WHO, 2008 dalam Nur Fatimah, 2009). Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah , sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal
Patofisiologi Kanker Serviks
Siklus pembelahan sel terdiri dari 4 fase yaitu G1, S, G2 dan M. Selama fase S, terjadi replikasi DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis, sedangkan fase G (gap) berada sebelum fase S (sintesis) dan fase M (mitosis). Dalam siklus sel, p53 dan pRb berperan penting, dimana p53 berpengaruh pada transisi G2-M dan juga transisi G1-S sedangkan pRb berpengaruh pada transisi G1-S. Mutasi yang menyebabkan inaktifasi fungsi p53 dan pRb menyebabkan proliferasi yang tidak dapat dikontrol.

Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan sel masuk kedalam sel basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus sel dan mengikuti diferensiasi sel.
HPV merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb, mempunyai 8 open reading frames (ORFs) dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E mengsintesis 6 protein E yaitu E1, E2, E4, E5, E6 dan E7, yang banyak terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen, sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait dengan pembentukan kapsid.
Protein E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat protein proapoptotik, p53 dan pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif berproliferasi yang mengakibatkan terjadinya lesi pre kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker.

Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb.
E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan dengan p53. p53 yaitu protein yang termasuk supresor tumor yang meregulasi siklus sel baik pada G1/S maupun G2/M. Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 teraktifasi dan meningkatkan ekspresi p21, menghasilkan cell arrest atau apoptosis. Proses apoptosis ini juga merupakan cara pertahanan sel untuk mencegah penularan virus pada sel-sel didekatnya. Kebanyakan virus tumor menghalangi induksi apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks dengan regulator p53 seluler ubiquitin ligase/E6AP yang meningkatkan degradasi p53. Inaktifasi p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis. Penurunan p53 menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi peningkatan proliferasi.

Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh P53 bertujuan memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53 menghentikan siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan.
E6 mempunyai fungsi lain yang penting yaitu mengaktifasi telomerase pada sel yang terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan memperpendek telomere, namun bila ada E6, telomer akan tetap diperpanjang melalui aktifitas katalitik sub unit telomerase, human reverse transcriptase (hTERT). E6 membuat komplek dengan Myc/Mac protein dan Sp-1 yang akan mengikat ensim hTERT di regio promoter dan menyebabkan peningkatan aktifitas telomerase sel. Sel akan terus berproliferasi atau imortalisasi.

Protein E7 merupakan HPV onkoprotein kedua yang berperan penting dalam patogenesis selain E6. Protein E7 mampu berikatan dengan famili Rb. Protein Rb famili berfungsi untuk mencegah perkembangan siklus sel yang berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan baik. pRb yang tidak berfungsi menyebabkan proliferasi sel.2 Pada proses regulasi siklus sel di fase Go dan G1 tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F. Ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, dan N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel.
Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi.1 Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, karsinoma in situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in situ dikenal juga sebagai tingkat prakanker.

Daftar Pustaka
Andrijono. Vaksinasi HPV Merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007.
DEPKES. “Penanggulangan Penyakit Menular” diakses http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regulasi/PMK_No._82_ttg_Penanggulangan_Penyakit_Menular_.pdf pada tanggal 13 maret 2016 pukul 18.25
DINKES KAB. Tabalong. “Pencegahan Penyakit Tidak Menular. Diakses http://dinkes.tabalongkab.go.id/2014/12/pencegahan-penyakit-tidak-menular/tanggal 13 Maret pukul 17.49
Fatimah Nur.2009.Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126271-S 5788-Studi kualitatif-Literatur.pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016.
Guntur, A. Hermawan. Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggulangannya.. diakseshttp://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/194905061973101001ag_03.pdf tanggal 13 maret 2016 pukul 18.08
Karnadihardja. 2004. Penyakit TB Paru Dalam Sjamsu hidajat, R., Jong, W., Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Lukman Hakim. Biologi dan patogenesis human papilomavirus. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010.
Martina, Adinda Devi dan Kholis, Fathur Nur. 2012. Hubungan Usia, Jenis Kelamin Dan Status Nutrisi Dengan Kejadian Anemia Pada Pasien Tuberkulosis Di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Semarang : FK UNDIP
Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC, edisi 6
Wahyuningsih, Esther.2014. Pola Klinik Tuberkulosis Paru Di RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Juli 2012- Agustus 2013. Semarang: Faculty Of Medicine Diponegoro University diakses online http://eprints.undip.ac.id/44615/3/2.pdf
Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis dan Klafisikasi Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi Dan Keluarga Fakultas Kedokteran UI.