TUGAS AKHIR BIOLOGI LAUT
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
BIOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
Oleh :
Wahyu A’idin Hidayat
(C551090071)
1. Pendahuluan
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di daerah mangrove memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Di Indonesia banyak sekali jenis kepiting yang tersebar, mulai dari lingkungan air tawar, laut hingga daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan, namun demikian ada tempat-tempat yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap kepiting mempunyai tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya, Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan bakau. Berbagai jenis kepiting dapat dijumpai di perairan Indonesia. Diperkirakan terdapat 2500 jenis spesies di Indonesia dari total 4500 spesies yang terdapat di seluruh dunia. Namun tak semuanya bisa dikonsumsi. Ada empat jenis kepiting yang umumnya dikonsumsi. Mereka adalah Scylla serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama runcing), Scylla tranquebarica (duri di sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), Scylla paramamosain (duri di dahi runcing tapi di siku lunak), Scylla olilvacea (duri di dahi dan sikutnya sama-sama lunak). Menurut Nontji (1993), Scylla serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal.
Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropis atau pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebarannya meliputi Indo-Pasifik, mulai ari pantai selatan dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Negara-negara ASEAN, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di pulau-pulau Lautan Passifik mulai dari kepulauan hawai di utara sampai ke selandia Baru dan Australia Selatan.
http://3.bp.blogspot.com/_dDLO8OrAD9s/SMl9WOV7X_I/AAAAAAAAADY/61pk_hlMTVg/s320/MudCrabScylla_serrata+(kepiting+bakau).jpg
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla sp.)
2. Klasifikasi Kepiting Bakau
Adapun klasifikasi kepiting bakau adalah sebagai berikut :
Phylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata, Scylla tranquebari, Scylla oceania
Menurut Moosa at al. (1985), genus scylla termasuk dalam sub family Portunidae dengan ciri-ciri sebagai berikut : “panjang kaki jalan lebih pendek daripada capit, pasangan kaki terakhir berbentuk dayung. Karapas berbentuk lebar, dilengkapi denga 3-9 buah gigi anteroteral. Ruas dasar sungut (antenna) biasanya lebar, sudut anteroextermal kerapkali berlobi, flagel kadang-kadang berada pada orbit mata”.
Kalau dilihat secara sepintas, ketiga spesies tersebut tidak Nampak perbedaannya. Tetapi, jika diamati lebih teliti, perbedaan ketiga spesies kepiting akan tampak dengan jelas.
a. Scylla serrata
Spesies Scylla serrata memiliki warna relativ sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan satu buah duri pada propodus bagian bawah. Selain itu, habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di hutan-hutan mangrove di perairan Indonesia.
b. Scylla tranquebaric
Spesies Scylla Tranquebaric memiliki warna hijau tua dengan kombinasi kuning sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak terlalu runcing dan satu buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah.
c. Scylla oceania
Spesies Scylla oceania lebih didominasi dengan warna cokelat tua dan ukuran badannya jauh lebih besar daripada spesies yang lain. Dengan capit yang lebih panjang, maka spesies kepiting ini lebih cepat memburu makanan.
Dari ketiga spesies tersebut diatas, yang lebih banya dibudidayakan adalah Scylla serrata karena laju pertumbuhannya lebih cepat, tingkat ketahanan hidupnya lebih tinggi dan harganya pyn lebih tinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Ketiga spesies tersebut lebih jelasnya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Jenis-Jenis Kepiting Bakau
3. Morfologi
Kepiting bakau memiliki ukuran lebar karapas lebih besar dari pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaanya agak licin, pada dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan di samping kanan dan kirinya masing-masing terdapat enambuah duri,kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari panjang karapasnya,sedangkan kepiting bakau betina relative lebih pendek. Selain itu, kepiting bakau juga mempunyai tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang, dan juga bagian kepala dan dada menjadi satu serta abdomen (perut). Bagian anterior (ujung depan) tubuh lebih besar dan lebih lebar, dapat hidup dan bertahan lama di darat. Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu:
• 2 pasang antenna
• 1 pasang mandibula, untuk menggigit mangsanya
• 1 pasang maksilla
• 1 pasang maksilliped
Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan menghantarkan makanan ke mulut.
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau
4. Siklus hidup
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai,atau parairan yang berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Selain itu kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak, di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organism makanannya melimpah. Sedangkan kepiting betina yang telah malakukan perkawinan secara berlahan dan pelan-pelan akan beruaya ke perairan bakau, dan kembali ke laut untuk melakukan pemijahan, dan kepiting yang telah kembali kelaut akan mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut.
Peristiwa pemijahan terjadi pada periode bulan-bulan tertentu, terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah biasanya tidak lebih dari satu kilometer kearah laut menjauhi pantai menuju tempat. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Sementara itu, pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan jutaan telur 2.000.000 – 8.000.000 telur tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang memijah.
Gambar 5. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sampai sebanyak 5 kali sampai terbawa arus ke perairan pantai (samapi zoea V), kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini kepiting mulai beruaya pada perairan dasar lumpur menuju perairan pantai. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan daur hidup ini, maka kepiting dalam menjalankan kehidupannya diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25-27 0C dan salinitas 29-33%o, dan secara gradual salinitas suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas yang rendah (10-24%o) dan suhu diatas 10 0C. kebiasaan toleransinya terhadap suhu dan salinitas merupakan pedoman dalam memodifikasi air pemeliharaan apabila kepiting dibudidayakan dan dalam pembenihan. Namun, kisaran suhu dan salinitas yang dapat ditoleransi kepiting akan pula bervariasi tergantung dari keadaan suhu dan salinitas perairan kapan biasanya kepiting beruaya.
5. Musim Bertelur dan Pemijahan
Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, tetapi puncak kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak sama. Di Australia pemijahan berlangsung dari awal musim semi sampai awal musim gugur dengan puncaknya pada bulan Novem¬ber – Desember (akhir musim semi sampai awal musim panas), sedangkan di Afrika Tenggara memijah mulai musim semi sampai awal musim gugur. Di Thailand puncak kegiatan pemijahan berlangsung dari bulan Juli sampai bulan Desember (pertengahan awal musim panas sampai musim hujan), sedangkan di India dari bulan Desember sampai Februari. Di Filipina pemijahan berlangsung dari bulan Mei sampai September (awal musim semi sampai musim gugur) dan di Hawaii dari bulan Mei sampai Oktober (awal musim semi sampai pertengahan musim gugur).
Pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya pada bulan-bulan yang baru dengan jarak ruaya yang tak lebih dari satu kilometer dari pantai. Tetapi, pada saat-saat tertentu mereka juga pernah ditemukan memijah di tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Filipina, Hawaii, Malaysia dan Indonesia (penelitian penulis sendiri) kepiting bakau dapat dipijahkan di laboratorium dengan periode inkubasi sekitar 12 hari. Namun, sampai saat ini kelulushidupan (survival) larva hasil pemijahan di laboratorium ini masih cukup rendah.
6. Perkawinan
Perkawinan kepiting bakau berlangsung dengan cara yang sangat menarik. Sebagaimana layaknya makhluk dewasa lainnya, perkawinan kepiting bakau juga didahului dengan permainan dan percumbuan. Kepiting betina yang telah siap untuk kawin lebih dulu mencari tempat-tempat yang terlindung dan aman dari berbagai gangguan. Kepiting jantan yang tertarik untuk rnengawininya akan berusaha menghampiri kepiting betina tersebut. Bila telah dicapai “kesesuaian dan kesepakatan” untuk melangsungkan perkawinan maka kepiting jantan akan meningkatkan percumbuan sambil “menggendong” kepiting betina di bawah perutnya dengan posisi bagian perut sama-sama menghadap ke dasar perairan. Mereka secara bersama-sama dalam keadaan bergandengan tersebut akan berenang ke tempat-tempat yang sunyi. Pada saat demikian boleh dikatakan pergerakan renangnya dilakukan oleh kepiting jantan, dan dapat berlangsung sampai lima hari atau lebih. Kepiting jantan selalu siap siaga untuk menghadang berbagai gangguan dari pejantan lainnya.
Bila saat perkawinan akan berlangsung, kepiting betina mulai membuka bajunya (karapasnya) dengan cara melepaskan karapas. Pada saat demikian, kepiting bedna yang dagingnya masih sangat lunak akan mengeluarkan bau-bauan (hormon) yang tentu saja bertujuan untuk lebih menarik kepiting jantannya. Sayangnya yang tertarik bukan saja jantan kekasihnya, tetapi pejantan lain atau betina lain juga akan tertarik. Tertariknya kepiting lain ini tentu saja akan mendapat perlawanan dari sang kekasih, dan besar kemungkinan akan berlangsung pertarungan hebat. Kepiting betina yang masih dalam keadaan lunak tersebut tidak tertutup kemungkinan akan hancur berkeping-keping oleh kaki-kaki dan sapit-sapit kepiting kedua pejantan tersebut yang begitu kuat dan tajam tanpa sengaja. Atau kepiting betina yang cemburu dan tertarik akan bau yang cukup dikenalnya akan mengoyak-ngoyak kepiting betina yang masih lunak tersebut.
Bila kepiting betina yang baru saja lepas baju (moulting) tadi selamat dari gangguan pejantan atau betina lain yang pencemburu, maka kepiting jantan pacarnya atau kepiting lain yang menang dalam pertarungan akan mendekati dan membelai kepiting-kepiting betina yang kulitnya sudah agak mengeras dengan pelan-pelan sambil berusaha membalikkannya. Dalam keadaan saling beradu tubuh perut (abdomen) ini mereka berenang pelan-pelan dan setelah beberapa jam kemudian perkawinan berlangsung.
Perkawinan (kopulasi) biasanya berlangsung selama 7-12 jam dan sesudah itu mereka akan berpisah, pada saat baju (karapas) kepiting betina telah kembali mengeras seperti semula. Di alam kepiting muda dengan panjang karapas 55 mm sudah melakukan perkawinan pertama dan perkawinan berlangsung selama 26 jam sedangkan kopulasi berlangsung selama tujuh hari yang diantarai dengan waktu istirahat.
Di laboratorium, proses perkawinan kepiting bakau dapat diamati dengan baik apabila akuarium yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan tiruan beberapa kondisi perairan alamiahnya. Induk yang sedang mengerami telurnya akan terlihat berenang dengan kaki dayungnya dan sering berdiri pada kaki jalannya dan masa telurnya akan ditempelkan sebagian di dasar akuarium. Bila masa telur sudah sebagian lepas dari abdomennya, maka dalam waktu yang singkat telur-telur tersebut akan menetas. Abdomen akan terus-menerus berkontraksi sampai semua telur lepas dari abdomennya. Saat demikianlah yang disebut dengan fase “Proto (pre) zoea, yang dalam waktu setengah jam akan men-jadi zoea pertama (Z I) setelah melalui pemecahan cangkangnya”.
Sebagian besar telur yang ditetaskan dalam rangkaian di pleo-pod (tempat menempelkan telur di perutnya) langsung menjadi zoea pertama. Larva (Zoea I) ini akan terus-menerus dilepaskan selama 3 – 5 jam, tetapi apabila induk kepiting berada dalam keada¬an sangat terangsang, maka seluruh telur akan menetas dalam waktu sekitar setengah jam. Pada saat ini kontraksi pleopod dan abdomen meningkat cepat juga kaki-kaki perenangnya akan terus-menerus mengipasi massa telur dan pada saat yang bersamaan pasangan periopod (kaki jalan) ke-2 dan ke-4 menggaruk massa telur berulang-ulang. Sebagian telur yang tidak dan belum menetas akan tenggelam ke dasar akuarium.
Diperkirakan kepiting betina mengandung dua sampai delapan juta telur tergantung dari ukuran dan umurnya, sedangkan yang berhasil menempel di pleopodnya diperkirakan sepertiganya. Betina bertelur dan ditangkap dalam kondisi baik (sehat) di alam dapat dipijahkan di laboratorium sampai tiga kali dalam waktu lima bulan tanpa pergantian kulit. Namun jumlah telur pada penetasan kedua dan ketiga emakin berkurang dan jauh lebih sedikit dari penetasan pertamanya.
7. Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat Zoea I, II, III, IV, V dan megalopa, sedang¬kan pada fase kepiting dikenal dengan tingkat kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur (gonada) merujuk pada dngkat kematangan indung telur yaitu (Gambar 6).
Menjelang matang, indung telur berukuran kecil dan pucat, telur-telur belum dapat dilihat dengan mata telanjang, berbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna kuning keputihan.
Apabila sedang matang, indung telur ukurannya bertambah besar mengisi hampir seluruh permukaan ruangan bagian punggung di daerah dada, berwarna merah atau kuning keemasan. Karena sudah ada sejumlah kecil kuning telur, telur-telur sudah dapat dilihat dan mulai dapat dibedakan karena sudah berkembang dengan baik.
Matang telur, indung telur terbungkus penuh berisi telur yang sudah matang, berwarna merah muda, dan bila karapasnya dibuka akan kelihatan seluruh ruangan dada berisi indung telur (ovari).
Gambar 6. Perkembangan Telur dan Larva Kepiting (Scylla serrata)
Keterangan :
a. Telur dalam fase blastula
b. Zoea dalam telur yang masih belum dierami.
c. Zoea dalam telur, keluar dari sel telur yang pecah
d. Kapsul telur masih menempel pada rambut zoea
e. Larva zoea pertama yang berenang bebas
f. Larva zoea kedua dipandang dari samping
Bila beberapa telur diambil dan diperiksa di bawah mikroskop, akan terlihat jelas mata calon zoea berwarna hitam dan gerakan-gerakan tubuhnya.
Salin mijah, indung telur menciut menjadi sepasang filamen berwarna merah muda-pucat dan di beberapa tempat dalam filamen ini terdapat telur-telur matangyang tidak dikeluarkan pada waktu pemijahan.
Awal kepiting bakau mencapai kematangan kelamin adalah sekitar setelah lima bulan menetas, tetapi ada kemungkinan bervariasi menurut lokasi dan kondisi perairannya.
Pada fase larva tingkat perkembangan yang setiap tingkatnya dibatasi dengan penggantian kulit (moulting) sebelum mencapai tingkat megalopa. Pada saat matang telur menjelang ditetaskan, calon larva yang akan ditetaskan tersebut disebut pre- (proto) zoea, dan setelah ditetaskan disebut zoea pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Pada sedap penggantian kulit zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat, dan pada tingkat megalopa bentuk tubuhnya sudah mirip kepiting dewasa kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang.
Bila megalopa berganti kulit untuk menjadi kepiting muda per¬tama, abdomen berbentuk ekor ini berubah menjadi abdomen seperti yang dimiliki kepiting dewasa. Abdomen kepiting betina berbentuk lonceng (Stupa) dan abdomen kepiting jantan berben¬tuk tugu. Fase megalopa ini merupakan fase transisi antara fase larva dan fase kepiting (Gambar 7).
Berdasarkan percobaan di laboratorium, dengan kondisi pemeliharaan (suhu, salinitas, makanan dan sistem) yang berbeda, lama antara penggantian kulit (intermoult) dan waktu untuk metamorfosis-1 juga berbeda. Waktu yang diperlukan untuk setiap tingkat dari zoea I sampai zoea V umumnya 3-5 hari, sedangkan lamanya metamorfosis-2 dicapai 17-26 hari. Hal yang sama juga ditemukan pada megalopa dan, lama instar sebagai megalopa adalah 7-12 hari.
Gambar 7. Perkembangan larva kepiting (Scylla serrata) dan tingkat megalopa
Keterangan :
a. Zoea satu d. Zoea empat
b. Zoea dua e. Zoea lima
c. Zoea tiga f. Tingkat megalopa
Umumnya pada salinitas pemeliharaan 29 – 33% perkembangan dari zoea sampai megalopa memerlukan paling kurang 18 hari, dan setiap tingkat zoea berlangsung paling kurang 3-4 hari sebelum berganti kulit menjadi tingkat selanjutnya. Tingkat mega¬lopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29 – 33%o sebe¬lum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Bila salinitas air pemeliharaan lebih rendah (21 – 27%o), periode megalopa ber¬langsung menjadi 7-8 hari. Dalam perkembangannya megalopa di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brack¬ish water). Walaupun megalopa sudah menggunakan kelima kaki pleiopodnya, tetapi lebih sering megalopa ini beristirahat di dasar akuarium.
Fase kepiting muda berawal setelah megalopa berganti kulit menjadi fase kepiting muda, kedua dan seterusnya sampai ke ting-kat 16 atau 17, yaitu fase terakhir kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan pertama kali pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah berganti kulit 16 kali dalam fase kepidng muda) dengan panjag karapas sekitar 100 mm. Tetapi, tergantung pada laju pertumbuhannya, ada kepiting muda yang baru memulai perkawinan pertamanya pada tingkat kepiting ke-18 atau ke-19.
Interval waktu minimum dari mulai ditetaskan sampai tingkat perkawinan (kopulasi) pertama adalah 369 hari, dan lebar karapas-nya minimum untuk betina sekitar 99 mm. Masa pemijahan setelah perkawinan tingkat ketiidng ke-16 berlangsung sekitar 60 hari, atau 1 tahun 1 bulan dan 6 hari semenjak ditetaskan, sedangkan untuk tingkat kepiting ke-17 berlangsung sekitar 83 hari setelah kopulasi atau 1 tahun 9 bulan 15 hari sejak ditetaskan.
8. Makanan dan Kebiasaan Makan (Feeding Behavior)
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-scavenger). Mereka memakan tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan, bahkan bangunan-bangunan kayu dan bambu di tambak. Tangan dan sapitnya yang besar dan kuat memungkinkan menyerang musuh dengan ganas atau merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya mirip dengan bila kita makan dengan menggunakan garpu. Waktu makannya juga tidak beraturan, namun malam hari lebih aktif makan dari siang hari.
Berbeda dengan kepiting dewasa, larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat-tingkat awal. Makanan terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetraselmis, Chlorella, rotifer (Brachionus sp), larva ekinodermata, larva berbagai moluska, cacing dan Iain-lain. Dengan kata lain, makin tinggi tingkat larvanya makanan pun lebih bersifat carnivour-omnivour.
Di laboratorium makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup dan bergerak lebih disenangi larva dari pada makanan berupa tumbuhan (fitoplanktonik) atau yang mati dan diam. Makanan hidup ini diperlukan karena larva diperkirakan memperoleh makanan bukan dengan mengejar makanan, tetapi dalam gerak renangnya yang masih terbatas bertabrakan dengan organisme makanan secara kebetulan. Jadi, makanan planktonik hidup ini sangat penting artinya bagi kelulushidupan (survival) larva kepiting.
Dalam pemeliharaan di laboratorium, makanan hidup yang diberikan kepada larva diusahakan berukuran tubuh yang lebih kecil dari pada ukuran larva sesuai dengan tingkatan larvanya. Zoea tingkat-tingkat awal (Zoea I, II, dan III) tidak aktif mencari maka¬nan. Larva kelomang, Pagurus longiceps maupun nauplii Artemia salina atau larva rajungan, Callinectes sapidus, misalnya bagi larva tingkat-tingkat awal ini dianggap cukup besar ukurannya, sehingga yang dapat dilepaskannya hanyalah umbai-umbai larva atau Artemia yang diberikan. Itulah sebabnya untuk larva tingkat-tingkat awal ini sebaiknya diberikan rotifer, Brachionuspiicatilisdan fitoplankton.
Nauplii Artemia salina yang dianggap sebagai makanan baku dalam kultur krustasea dan ikan ternyata kurang cocok diberikan kepada larva awal kepiting. Selain rotifer, dapat pula diberikan antara lain kopepoda berukuran kecil, gastrula bulu babi dan post-trochopore, Arenicola marina dengan tambahan kuning telur, ragi rod, cincangan halus daging ikan atau daging udang dan kerang-kerangan, yang diberikan dalam bahan asalnya atau dalam bentuk mikro kapsul. Tambahan pupuk dan vitamin diperlukan untuk perkembangan fitoplankton. Jenis makanan lain dapat pula dicobakan.
9. Salinitas dan Suhu
Salinitas dan suhu di samping makanan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme laut dan estuaria (muara sungai). Perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme, sedangkan perubahan suhu sangat berperan dalam kecepatan metabolisme dan kegiatan organisme lainnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Sedangkan penyesuaian terhadap suhu dilakukan dengan cara membenamkan diri dalam lubang berlumpur atau melalui transpirasi dan pengubahan warna.
Pada salinitas perairan yang rendah, larva tingkat-tingkat akhir lebih toleran dari pada larva tingkat-tingkat awal. Keadaan ini diper¬lukan karena larva tingkat-tingkat akhir harus mencari perairan muara sungai atau berhutan bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindung dan mencari makanan. Biasanya kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dari pada perairan tawar.
Pada suhu perairan yang tinggi, laju metabolisme dan aktivitas gerak meningkat, demikian pula sebaliknya. Suhu juga berpengaruh terhadap berbagai fungsi organisme seperti laju perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhan dan reproduksi. Seperti juga terhadap salinitas, toleransi kepiting terhadap suhu ditentukan oleh tingkat umur, tingkat daur-hidup dan jenis kelamin.
Pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap kehidupan kepiting belum begitu banyak diketahui. Pengetahuan tentang toleransi organisme terhadap suhu dan salinitas ini akan dapat memberikan petunjuk yang berarti, bukan saja untuk kebutuhan organisme itu sendiri, tetapi juga untuk berbagai kondisi yang diperlukan agar setiap tingkat kehidupannya berada dalam keadaan normal. Hal ini sangat diperlukan dalam pembudidayaannya, baik di laboratorium maupun di alam (tambak). Meskipun belum ada petunjuk yang pasti tentang standar kualitas kehidupan kepiting bakau, beberapa peneliti telah membuat paramaeter kualitas air bagi kehidupan kepiting bakau, diantaranya oleh Syaripuddin (2006) yang ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Air Yang Ideal Bagi Kepiting Bakau
Dalam daur hidupnya kepiting bakau menghabiskan sebagian besar waktunya di estuaria dan rawa-rawa bakau. Setelah perkawinan berlangsung, biasanya berada di rawa-rawa bakau, kepiting betina secara berangsur-angsur akan beruaya ke arah laut untuk mencari tempat memijah. Di Hawaii, kepiting memijah pada saat suhu air rata-rata 25,8°C dan di Thailand 29,0°C. Tetapi di Afrika Tenggara pernah ditemukan kepiting memijah pada suhu 20° sampai 26°C dan pada salinitas 20 sampai 24%, dan di Jepang pada awal musim semi saat suhu 20 – 22°C.
Toleransi zoea kepiting bakau terhadap suhu dan salinitas juga tidak sama untuk setiap perairan. Di Afrika Tenggara, zoea I tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17%o) dan suhu tinggi (di atas 25°C), sedangkan di Jepang Z I – IV seringkali dipelihara pada suhu 20 – 25°C. Inilah yang menjadi petunjuk mengapa kepiting tidak memijah di estuaria karena zoea awal tidak tahan terhadap kombinasi salinitas yang rendah dan suhu yang tinggi. Kondisi salinitas dan suhu yang tinggi di estuaria pun sering berubah-ubah, khususnya bila turun hujan lebat atau pada musim-musim kemarau yang panas.
10. Fisiologi Kepiting Bakau
a. Alat reprodusi
Kepiting bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat kelamin yang terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat organ kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian depan. Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian depan agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak membulat dan lebih lebar. Dan perkawinan terjadi di saat suhu air mulai naik, biasanya betina akan mengeluarkan cairan kimiawi perangsang, yaitu pheromone kedalam air untuk menarik perhatian kepiting jantan, setelah jantan berhasil terpikat maka kepiting jantan akan naik ke atas karapas kepiting betina untuk berganti kulit (molting), selama kepiting betina molting maka kepiting jantan akan melindungi kepiting betina selama 2-4 hari sampai cangkang terlepas, kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan kopulasi/ perkawinan. Biasanya, kopulasi berlangsung 7-12 jam dan hanya akan terjadi jika karapas kepiting betina dalam ke adan lunak. Spermatofor kepiting jantan akan di simpan di dalam supermateka kepiting betina sampai telur siap di buahi. Telur di dalam tubuh kepiting betina yang suda matang akan turun ke oviduk dan akan di buahi oleh sperma.
Proses pemijahan kepiting bakau tidak halnya seperti udang yang hanya terjadi pada malam hari ( kondisi gelap ). Kepiting bakau juga dapat melakukan perkawinan/ pemijahan pada siang hari.
b. Sistem Pencernaan
Pencernaan adalah proses penyederhanaan makanan melaului cara fisik dan kimia, sehingga menjadi sari-sari makanan yang mudah diserap di dalam usus, kemudian diedarkan ke seluruh organ tubuh melalui sistem peredaran darah. Jenis pakan yang di konsumsi kepiting bakau dapat berupah artemia, ikan rucah, daging kerang-kerangan, hancuran daging siput, dan lumut. Pemberian pakan tergantung pada ukuran kepiting bakau, bila masih larva biasanya Brachionus plicatilis, Tetracelmis chuii dan Naupli artemia. Kepiting bakau juga bersifat kanibalisme biasanya dia akan menyarang kepiting lain yang sedang dalam kondisi lemah atau ganti kulit (molting).
Alat pencernaan terbagi menjadi tiga : tembolok, lambung otot, lambung kelenjar. Didalam perut kepiting terdapat gigi kalsium yang teratur berderet secara longitudinal, selain gigi kalsium juga terdapat gastrolik yang berfungsi mengeraskan rangka luar (eksoskeleton) setelah terjadi eksdisis (pengelupasan kulit). Urutan pencernaan makanannya dimulai dari mulut, kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus dan anus. Hati (hepar) terletak di dekat lambung. Sisa-sisa metabolisme tubuh diekskresikan lewat kelenjar hijau.
c. Sistem Peredaran Darah
Sistem sirkulasi adalah sistem yang berfungsi untuk mengangkut dan mengedarkan O2 dari perairan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan, juga mengangkut enzim, zat-zat nutrisi, garam-garam, hormon, dan anti bodi serta mengangkut CO2 dari dalam usus, kelenjar-kelenjar, insang, dan sebagainya, keluar tubuh. Sistem peredaran darah pada kepiting bakau disebut peredaran darah terbuka karena beredar tanpa melelui pembuluh darah. Darah tidak mengandung hemoglobin (Hb) melainkan hemosianin yang daya ikatnya terhadap oksigen rendah
d. Sistem Respirasi/ Pernapasan
Pernafasan : pertukaran CO2 (sisa-sisa proses metabolisme tubuh yg harus dibuang) dengan O2 (berasal dari perairan, dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme dsb). Kepiting bakau bernapas umumnya dengan insang, kecuali yang bertubuh sangat kecil dengan seluruh permukaan tubuhnya dan memiliki sebuah jantung untuk memompa darah.
Mekanisme pernafasan : Pertukaran gas CO2 dan O2 terjadi secara difusi ketika air dari kepiting yang masuk melalui mulut, terdorong ke arah daerah insang. O2 yang banyak dikandung di dalam air akan diikat oleh hemosianin, sedangkan CO2 yang dikandung di dalam darah akan dikeluarkan ke perairan. Darah yang sudah banyak mengandung O2 kemudian diedarkan kembali ke seluruh organ tubuh dan seterusnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan O2 pada kepiting bakau :
1. Ukuran dan umur (standia hidup)
2. Aktivitas kepiting bakau
3. Jenis kelamin
4. Stadia reproduksi
6. System saraf dan hormon
Kedua sistem ini dapat dikatakan sebagai sistem koordinasi untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan dan perubahan status kehidupan (reproduksi). Perubahan lingkungan akan diinformasikan ke sistem saraf (saraf pusat), saraf akan merangsang kelenjar endokrin agar hormon dikirim ketempat yang dituju untuk mengeluarkan hormon-hormon yang dibutuhkan agar merangsang organ yang teleh di tentukan dan aktivitas metabolisme jaringan-jaringan. Sistem saraf terdiri dari system saraf tangga tali pada system sarafnya terjadi pengumpulan dan penyatuan gangliondan dari pasangan-pasangan gangfliondan dari pasangan ganglion keluar saraf yang menuju ketepi. Alat indra berupa sepasang mata majemuk (faset) bertangkai yang berkembang dengan baik.
Sistem Hormon : Hormon dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar hormon, yaitu hormon pertumbuhan, hormon reproduksi, hormon ekskresi & osmoregulasi.
Menurut hasil kelenjar hormon :
– Endo hormon : yang bekerja di dalam tubuh, seperti hormon-hormon di atas
– Ekto hormon : yang bekerja di luar tubuh, seperti fenomen yang merangsang
jenis kelamin lain mendekat untuk berpijah.
e. Sistem Ekskresi Dan Osmoregulasi
Ekskresi adalah sistem pembuangan proses metabolisme tubuh (berupa gas, cairan, dan padatan) melalui ginjal, dan saluran pencernaan. Sistem Osmoregulasi : sistem pengaturan keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh (air dan darah) dengan tekanan osmotik habitat (perairan). Organ-organ dalam sistem ekskresi : saluran pencernaan, dan ginjal. sedangkan organ-organ sistem osmoregulasi : ginjal, insang, lapisan tipis mulut. Fungsi ginjal disini adalh untuk menyaring sisa-sisa proses metabolisme untuk dibuang, zat-zat yang diperlukan tubuh diedarkan lagi melalui darah dan mengatur kekentalan urin yang dibuang untuk menjaga keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh
Daftar Pustaka
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. & Sitepu, J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Kanna, I. Budi Daya Kepiting Bakau. Penerbit Kanisius (http://books.google.co.id/books?id=FGVJTJPhbCYC&pg=PA14&lpg=PA14&dq=%22klasifikasi+kepiting+bakau%22&source=bl&ots=NLGKOW3CJM&sig=5KncXXJzcRIvnC1PWvrbtj8uxzM&hl=id&ei=pltYS7GWEJWXkQWwy7XkBA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&ved=0CAsQ6AEwAg#v=onepage&q=%22klasifikasi%20kepiting%20bakau%22&f=false)
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Jakarta. Penerbit Bharata.
Kordi, M. 1997. Budidaya Kepiting & Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang. Dahara Prize.
Nondji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi: PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
Syaripuddin. 2006. Teknik Pemeliharaan Penggemukan Kepiting Bakau. Materi Pelatihan Budidaya Kepiting Bakau kerjasama antara Asean Development Bank dengan Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee (ADB – BBAP), tangggal 11 – 12 November 2006.