SISTISERKOSIS DI INDONESIA

Paper Zoonosis

SISTISERKOSIS DI INDONESIA

Oleh:

ENDANG SRI PERTIWI (B251100214)
SITI KHADIJAH (B251100174)
AMANATIN (B251100134)

SEKOLAH PASCA SARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PENDAHULUAN

Sistiserkosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh sistiserkus yang terdapat pada otot maupun organ lainnya. Sedangkan keberadaan sistiserkus khusus pada otak, disebut sebagai neurosistiserkosis. Sistiserkosis selalu berkaitan dengan taeniasis karena sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh stadium larva atau fase metacestoda dari cacing pita, sedangkan taeniasis disebabkan oleh cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus manusia. Cacing dewasa yang terdapat dalam usus manusia yaitu Taenia soleum dan Taenia saginata. Stadium larva dari T. soleum yang terdapat banyak pada daging babi disebut Cysticercus sellulose sedang T. saginata yang terdapat dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau Cysticercus innermis. Nama lain dari larva T. solium adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau cysticercus cellucosae. Kepentingan kesehatan masyarakat veteriner dari T. solium adalah bahwa orang dapat terinfkesi oleh telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan tubuhnya, dan inilah beda antara T. saginata (Subahar dkk 2005).
Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang cara penularannya termasuk dalam kelompok siklozoonosis. Cara penularan atau transmisi penyakit dalam kelompok siklozoonosis membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Sistiserkosis pertama kali ditemukan pada babi oleh Aristophanes dan Aristoteles pada abad ke-3 sebelum masehi. Kemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008).
Kasus pertama sistiserkosis pada manusia di Indonesia dilaporkan oleh Bonne, tahun 1940, kasus yang dialami oleh perempuan keturunan Cina dari Kalimantan Timur. Kasus lain dilaporkan oleh Hausman tahun 1950. Di Jakarta, kasus sistiserkosis serebral digambarkan oleh Lie pada tahun 1955 (Margono et al. 2001). Saat ini diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Irian Jaya, dan Sumatera Utara. penyakit ini disebut juga dengan penyakit pork measles, beberasan di Bali, manis-manisan di Tapanuli, dan banasom di Toraja (Margono et al. 2001).
Sistiserkosis menjadi masalah kesehatan masyarakat utama terutama dinegara-negara berkembang. Namun, sistiserkosis juga ditemukan di negara maju seperti di Amerika Serikat. Di negara tersebut jumlah kasus neurosistiserkosis meningkat dan diperkirakan lebih dari 1000 kasus terdiagnosis setiap tahun. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut. Dilaporkan bahwa selama tahun 1986-1994 ditemukan 47 kasus neurosistiserkosis pada anak di rumah sakit Chicago (Subahar dkk 2005).
Manifestasi utama dari infestasi parasit ini adalah neurosistiserkosis (NCC) yang menyerang susunan syaraf pusat dan menjadi penyebab tunggal yang paling umum dari kejadian epilepsi dinegara berkembang. Tiga perempat dari 50 juta orang dengan epilepsi ini hidup dinegara-negara miskin dan 94% tidak tersentuh oleh pengobatan (Prasad et al. 2008).
Beberapa laporan pasien dengan sistiserkosis dari berbagai negara di Asia seperti India, Cina, Indonesia, Thailand, Korea, Taiwan dan. Namun, jarang terdapat data epidemiologis dari penelitian berbasis masyarakat dan hanya tersedia hanya untuk beberapa negara di Asia (Rajshekhar et al. 2003).
Menurut Subahar, dkk (2005), bahwa taeniasis/ sistiserkosis adalah penyakit yang disebut sebagai penyakit rumah tangga yaitu suatu penyakit dengan karakteristik sebagai berikut: sering dijumpai lebih dari satu anggota keluarga di suatu rumah tangga yang terinfeksi penyakit tersebut. Penderita dewasa T. solium merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Dilaporkan di Mexico bahwa satu anggota keluarga menderita penyakit ini, seringkali anggota keluarga lainnya didapatkan hasil seropositif terhadap antigen T. solium. Di Indonesia juga dilaporkan bahwa dari 3 orang anggota keluarga pemilik babi yang tinggal di Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, anti-sistiserkosis antibodi ditemukan pada 2 orang anggota keluarga tersebut. Anti-sistiserkosis antibodi merupakan indikator bahwa seseorang menderita penyakit sistiserkosis.

ETIOLOGI

Spesies dari Taenia yang penting dalam penyebaran sistiserkosis adalah T. solium dan T. saginata. Taxonomi dari Taenia spp tersebut adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Orde : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia sp

Taenia solium
Cacing ini disebut juga sebagai cacing pita daging babi karena babi bertindak sebagai inang perantara yang mengandung larva. T. solium dan banyak ditemukan di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika. Secara umum cacing ini banyak ditemukan di daerah pedesaan, dimana babi dibiarkan berkeliaran dengan bebas (CFSH 2005).
Sistiserkosis babi (porcine cysticercocis) disebabkan oleh stadium larva dari cacing pita T. solium (Flisser et al. 2004).

Gambar 1. Scolex (A) dan Cacing pita dewasa (B) (Garcia et al. 2003)

Gambar 2. Telur Cacing T. solium berisi larva

Taenia saginata
T. saginata telah menginfeksi manusia sejak sebelum masehi dimana manusia bertindak sebagai induk semang definitif sedangkan sapi bertindak sebagai induk semang antara. Cacing dewasa tinggal di usus manusia dan menyebabkan taeniasis sedangkan metacestoda (sistiserkus) tinggal di jaringan sapi menyebabkan sistiserkosis Selain mengganggu kesehatan cacing ini juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, terutama pada industri daging dan breeding. Infeksi terjadi secara kosmopolitan, dimana insidensi kejadian tinggi ditemukan di negara yang mengkonsumsi daging sapi (Dharmawan dkk 2009).

SIKLUS HIDUP

Siklus hidup cacing T. solium terdiri dari stadium dewasa, telur dan larva. Cacing dewasa hidup di usus manusia, dengan ukuran panjang beberapa meter dan berupa proglotid. Proglotid terakhir yang mengandung sekitar 50.000 telur pada masing-masing segmennya. Ketika babi memakan kotoran manusia yang mengandung telur dan proglotid, telur dilepaskan menuju saluran pencernaan, onkosfer (hexacant embrio) menetas dan aktif, melewati dinding usus dan berdiam diri di otot, mata dan sistem syaraf pusat, yang merupakan tempat bertransformasi menjadi sistiserkus (merupakan stadium larva atau metacestoda). Sistiserkus merupakan gelembung yang diameternya berukuran satu sentimeter, keputihan, semitransparan dan mempunyai spherical scolex yang menonjol ke dalam gelembung. Dinding gelembung sistiserkus yang muda masih sangat tipis. Semakin tua dinding itu semakin tebal sehingga membentuk kista. Gelembung tersebut berisi cairan yang terdiri dari air, protein, lemak dan garam-garam yang larut dalam cairan tersebut. Pada manusia hanya disebabkan oleh larva dari T.solium. Jika seseorang memakan daging babi mentah atau tidak matang sempurna yang berisi sistiserkus, scolex akan menonjol keluar, menempel pada dinding intestinal dan 3-4 bulan kemudian, akan menghasilkan cacing dewasa (Flisser and Lightowlers 2001).

Gambar 3. Siklus hidup Taenia spp (cacing pita sapi dan cacing pita babi)
(CDC 2010)

PATOGENESA

Hewan
Cacing pita dewasa (T. solium dan T. saginata) merupakan parasit di dalam usus manusia sehingga telur yang mengandung proglotid keluar dari tubuh bersama feses. Kemudian apabila telur cacing tersebut ikut tertelan oleh hewan yang serasi di dalam lambung akan menetas dan embrio menembus dinding dan mengikuti aliran darah ke tempat-tempat predileksi. Oleh karena itu pembuangan feses yang tidak memenuhi persyaratan higienis dapat mencemari lingkungan (Carabin et al. 2006).

Manusia
Infeksi cacing pita pada manusia terjadi ketika kista (sistiserkus) tertelan akibat konsumsi daging babi yang tidak masak. Larva tersebut melekat pada usus manusia dan berkembang menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa akan melepaskan proglotid (mengandung untaian telur) bersama feses yang selanjutnya mengkontaminasi sumber-sumber pakan babi. Telur yang tertelan oleh babi kemudian berkembang menjadi stadium larva, melintas pada dinding intestinal kemudian. masuk ke dalam aliran darah, berlokasi pada beberapa jaringan dan berkembang menjadi kista. Ketika manusia menelan telur-telur tanpa sengaja akibat kontaminasi fecal-oral atau autoinfeksi, maka akan menjadi titik akhir stadium larva dari parasit dan berkembang menjadi sistiserkosis seperti halnya pada babi. Telur cacing masuk ke dalam tubuh per oral melalui tangan yang tercemar. Selain itu kontaminasi fecal-oral biasanya terjadi melalui penanganan makanan yang tidak higenis atau melalui buah dan sayuran yang terkontaminasi feses manusia.
Autoinfeksi terjadi sebagai akibat gerakan retrogesi proglotid dari intestinum menuju perut sehingga telur cacing atau proglotida ikut masuk ke lambung dan usus, dan di dalam lambung embrio akan keluar dari telur. Selanjutnya embrio ini akan menuju ke tempat predileksi melalui aliran darah dan menjadi kista, kista ini sebagian besar berada di dalam jaringan sub kutan, kemudian juga di dalam otak, otot-otot paha, jantung, paru-paru, hati dan mata. Pada tahun 1950 seorang ahli bedah di Mexico menunjukkan bahwa dari sejumlah orang yang diduga menderita kanker otak, ternyata 25% karena sistiserkosis. Sementara itu 3-6% pasien rumah sakit umum dinyatakan mengandung parasit diberbagai organ. Daging babi berkista yang tertelan oleh manusia tidak secara langsung mengakibatkan sistiserkosis, namun akan mengakibatkan infeksi intestinal oleh cacing pita dewasa dan menjadi carrier telur-telur T. solium yang apabila tertelan oleh manusia lainnya maka akan menimbulkan gejala sistiserkosis (Kraft 2007; Carabin et al. 2006 ).

GEJALA KLINIS

Hewan
Hewan yang terinfeksi pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang nyata. Apabila manifestasinya cukup berat dapat mengakibatkan gangguan terutama pada organ yang ditempati parasit ini. Gejala lain yang pernah dilaporkan adalah adanya hipersensitifitas dari moncong dan kelumpuhan lidah atau kekejangan (Kraft 2007).

Manusia
Gejala klinis pada manusia tergantung dari letak dan jumlah sistiserkus serta reaksi dari induk semang. Gejala klinis yang utama adalah rasa nyeri pada otot yang ditempati sistiserkus. Selain itu nyeri otot gejala lainnya adalah seizure epilepsi (66-90%), sakit kepala, gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis kronis, dan encephalitis serta nodul pada otot. Epilepsi akan muncul apabila sistiserkus terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dapat mencapai sistem saraf pusat dan setelah mengalami pengapuran, sehingga kadang-kadang gejala baru muncul 20 tahun setelah infeksi. Apabila larva ini di jumpai di otak, larva akan menimbulkan gangguan fungsional yang hebat, sedangkan di miokardium akan menyebabkan kegagalan jantung miokardial. Dampak pada masyarakat dari penyakit ini berupa kecacatan, inkapasitasi dan penurunan produktivitas (Kraft 2007; Carabin et al. 2006).

Gambar 4. Sistiserkus pada otot babi (Willingham AL 2006)

Gambar 5. Sistiserkus pada lidah babi pada pemeriksaan fisik (Willingham AL 2006)

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi

Sistiserkosis merupakan zoonosis yang penting dan banyak ditemukan di negara berkembang daerah tropis, termasuk Indonesia. Transmisi penularan melalui telur cacing yang ditemukan di tanah karena kebiasaan buang air besar yang tidak pada tempatnya akibat kurangnya fasilitas sanitasi. Kebiasaan makan dan perilaku tidak higienis merupakan faktor yang dapat meningkatkan tingkat endemisitas di suatu daerah. Di Indonesia, sistiserkosis merupakan penyakit pada penduduk yang tinggal dibagian timur, meskipun diketahui penyakit ini juga ada di beberapa propinsi lain dengan laporan yang terbatas, terutama pada aspek epidemiologinya (Margono et al. 2001).
Menurut Rajshekhar et al. (2003) prevalensi sistiserkosis yang tinggi ada di Vietnam, Cina, Korea dan Indonesia (Bali), dengan rentang nilai 0,02-12,6%. Sedangkan prevalensi taeniasis berdasarkan pemeriksaan feses untuk telur cacing dilaporkan berkisar antara 0,1 dan 6 % di India, Vietnam, Cina dan Indonesia (Bali). Prevalensi sebesar 50% dilaporkan terjadi di Nepal, yang dihuni oleh petani yang beternak babi dengan sanitasi yang buruk dan standar higiene yang rendah, serta kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah merupakan faktor tambahan yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dibeberapa wilayah Asia.

Tabel 1. Data Prevalensi taeniosis dan sistiserkosis di beberapa negara di Asia
(Rajshekhar et al. 2003)
Negara Sisitiserkosis Manusia (%) Taeniasis
(%) Porcine Sistiserkosis (%)
Cina 3,4 0,112 (0,06-19) 5,4 (0,8-4,0)
Indonesia 1,7-13 0,8-23 0,02-2,63
Vietnam 5-7 0,5-6 0,04-0,9
India Tidak ada data 2 9,3
Nepal Tidak ada data 10-50 32,5
Korea 3 Tidak ada data Tidak ada data

Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di Indonesia pada tahun 1997 berada pada rentang 1,0%-42,7%, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Irian Jaya (tahun 1997) yaitu 42,7%. Propinsi Irian Jaya adalah salah satu propinsi di Indonesia yang terletak paling timur. Sistiserkosis di propinsi Irian Jaya ditemukan pertama kali di Kabupaten Paniai dan kemudian menyebar ke wilayah timur pegunungan Jayawijaya sampai ke Lembah Baliem dan kabupaten lain, termasuk Kabupaten Jayawijaya (Purba dkk 2003). Propinsi Irian Jaya merupakan daerah hiperendemis sistiserkosis. Prevalensi sistiserkosis pada manusia pada tahun 2001 yang tinggal didaerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3%-66,7%. Prevalensi sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara 62,5-77,8% (Subahar dkk 2005).
Distribusi geografis

Irian Jaya
Kasus pertama dilaporkan sebanyak 13 kasus pasien menderita serangan epilepsi. Hasil pemeriksaan feses sebanyak 170 pasien yang dirawat di rumah sakit, sebanyak 9% dinyatakan positif adanya telur Taenia spp. Sebelum tahun 1973, terdapat beberapa kasus luka bakar yang dirawat di Rumah Sakit Enarotali, sedangkan selama tahun 1973 – 1976 jumlah kasus luka bakar meningkat menjadi 257 kasus. Luka bakar diduga terjadi karena terjatuh di api pada saat serangan epilepsi. Nodul subkutan ditemukan sekitar 33,1% dan 16,6% dari jumlah sampel feses positif. Pemeriksaan dengan ELISA ditemukan adanya titer antibodi terhadap sistiserkus T. solium (Margono et al. 2001).
Pada tahun 1994 dan 1995, total 638 dan 945 kasus baru dilaporkan dari 20 unit kesehatan lokal. Jumlah kematian sebanyak 6 dan 8 pada dua tahun tersebut. Tingkat kejadian kejang selama tahun 1992-1995 adalah masing-masing 0,28, 0,43, 0,21, dan 0,83%. Kista didapatkan pada 14 orang laki-laki dan 1 babi didiagnosis sebagai penyebar sistiserkus T. solium. Sebuah kuisioner diberikan kepada 30 responden di Kecamatan Assologaima, menerangkan bahwa 83,9% adalah analphabetics (tidak bisa membaca dan menulis), 93,6% petani dan mereka semua kadang-kadang makan daging babi, karena tidak ada daging lainnya. Mereka memanggang daging di batu panas. Penduduk yang menggunakan air sungai tanpa direbus sebagai sumber air minum sebesar 93,3%, 64,5% tidak mencuci tangan sebelum makan dan 58,1% setelah buang air besar. Sebanyak 64,5% responden buang air besar disekitar semak-semak atau dihutan. Dilaporkan bahwa tidak ada satupun dari penduduk yang memiliki fasilitas toilet kerenanya responden tersebut melakukan defekasi disembarang tempat. Dilaporkan juga bahwa babi-babi berkeliaran disekitar rumah, memasuki rumah, meskipun kadang-kadang babi tersebut ditempatkan dibalik pagar (Margono et al. 2001)
Salim et al. (2009), pada tahun 2007 (Agustus-Desember) melakukan penelitian kembali dengan mengukur anti-sistiserkosis antibodi dan anti-taeniasis antibodi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Prevalensi Sistiserkosis dan Taeniasis di 4 Kabupaten di Irian Jaya (Salim et
al. 2009)
Penyakit Jayawijaya Paniai Pegunungan Bintang Puncak Jaya
Sistiserkosis (%) 20,8 29,2 2,6 2,0
Taeniasis (%) 7,0 9,6 10,7 1,7

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa prevalensi tertinggi terjadi di Kabupaten Jayawijaya dan Paniai, sedangkan prevalensi rendah didapatkan pada Kabupaten Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya.

Gambar 6. Area Survei Sistiserkosis-Taeniasis di Papua (Salim et al. 2009)

Bali
Pada tahun 1991-1993, dilaporkan 6 kasus sistiserkosis. 5 kasus pada laki-laki, sedangkan 1 kasus pada perempuan, berusia antara 12-39 tahun. Salah satu pasien laki-laki menderita kista multipel dengan kejang dan laki-laki yang lain menderita kista tetapi tidak mengalami kejang. Dari 5 kasus tersebut hanya satu pasien yang tidak mengalami kejang. setelah CT-scan diperkenalkan tahun 1991 disebuah rumah sakit di Denpasar, Bali; neurosistiserkosis dapat lebih dideteksi. Selama tahun 1995-1997, 25 pasien, 15 pria dan 10 wanita, berusai antara 23-65 tahun, dirawat karena neurosistiserkosis. Diantara pasien tersebut, 68% mengalami serangan epilepsi, 24% menderita cephalgia dan 8% mengalami penurunan kesadaran, disorientasi dan penurunan memori yang progresif. Biopsi pada nodul subkutan menunjukkan adanya sistiserkus pada pemeriksaan histopatologi. CT-scan menunjukkan satu atau beberapa nodular kistik, kepadatan lesi rendah dengan peningkatan cincin dan kalsifikasi. Variasi gejala klinis tergantung pada ukuran, jumlah, tipe lokasi, dan tahan perkembangan kista. Diagnosis disini berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan CT-scan (Margono et al. 2001).
Tahun 1982, Le Coultre melaporkan bahwa 1,8-32% sisitiserkus babi dari Bali. Laporan dari Unit Kehewanan, Denpasar pada tahun 1984-1988 disebutkan terdapat positif sistiserkosis dengan rentang 0,01-1,06%. Dilaporkan juga bahwa ditemukan 4.884 babi dari rumah potong hewan di Denpasar, Bali; 7 positif (0,12%). 4 kasus diantaranya berasal dari daerah Karangasem, 2 dari Gianyar dan 1 dari Badung. Dari penelitian diamati bahwa dari 111 rumah tangga, 33 (29,7%) tidak mempunyai fasilitas sanitasi dan 9 (8,1%) tidak memiliki keahlian beternak (Margono et al. 2001).

Sumatera Utara
Survei epidemiologi pada tahun 2003-2006 pada 371 orang (yang terdiri dari 285 keluarga) di Pulau Samosir, Sumatera Utara, menunjukkan 6 dari 240 (2,5%) terinfeksi, 58 (3,4%) pada tahun 2004 dan 4 dari 182 (2,2%) di tahun 2005 (Wandra et al. 2007).
Jawa Timur
Penelitian dari 80.000 spesimen jaringan histopatologi mengungkapkan 9 kasus sistiserkosis (tingkat kejadian 0,011%). Semua kasus berasal dari 2 kelompok etnis yaitu Cina dan Bali. Kelompok ini terdiri dari lima laki-laki dan empat perempuan, yang berusia antara 21-30 tahun. Nodul multipel ditemukan pada kasus tersebut. Pada 5 kasus, ditemukan kista yang tertanan dalam jaringan subkutan, sedangkan 4 kasus lainnya pada otot rangka; sedangkan pemeriksaan radiologi tidak menunjukkan kista di otak (Margono et al. 2001).

Jakarta dan propinsi lainnya
Kasus di Jakarta kadang-kadang dilaporkan, salah satunya adalah kasus sistiserkosis serebral pada seorang perempuan Cina. Operasi menunjukkan banyak kista di otak dan diagnosa diteguhkan dengan pemeriksaan histopatologi. Selama tahun 1962-1970, 7 orang pasien ditemukan di Jakarta, 1 dari Bali, 1 dari Jawa Timur, 2 dari Sumatera Utara, dan 3 dari Jakarta. Beberapa nodul subkutan didiagnosis sebagai sistiserkus, ditemukan pada penderita lain, seorang perempuan keturunan Cina, berusia 23 tahun. Pasien ini menderita sakit kepala, mual, parasthesia dari wajah kiri. Setelah periode ini, kasus sistiserkosis jarang didokumentasikan di wilayah Jakarta (Margono et al. 2001).

Gambar 7. Penderita Sistiserkosis dengan nodul-nodul ditubuhnya
(Ridhawati 2000)

Gambar 8. Peta Geografi Indonesia menunjukkan Area Endemik Sistiserkosis dan Taeniasis (Wandra et al. 2007)

DIAGNOSA

Untuk mendiagnosa sistiserkosis dilakukan pengujian terhadap adanya telur dan cacing dewasa dalam feses penderita , akan tetapi biasanya sulit dideteksi. Diagnosa yang paling baik adalah menemukan parasitnya. Parasit yang berbentuk gelembung dengan satu scolex ini ditemukan dalam berbagai otot/organ terutama yang memperoleh vaskularisasi. Pemeriksaan secara rontgenologik dapat dilakukan dengan penambahan bubur barium sulfat. Pengujian laboratorium yang dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis adalah menggunakan metode ELISA, Immunoelektroforesis, haemaglutinasi tidak langsung (indirect), dan Complement Fixation test/CFT. Tes haemaglutinasi tidak langsung pernah dilakukan dan dievaluasi untuk melihat titer antibodi pada serum babi yang secara alami terinfeksi oleh sistiserkus dari T. solium dengan sensitivitas 85.71% (Selvam et al. 2004)
Dari semua pemeriksaan yang dilakukan tidak mudah untuk membedakan antara T. solium dan T. saginata. Identifikasi dari segmen gravid sangat susah karena perbedaannya sangat kecil. Perbedaan yang bisa diandalkan adalah adanya sfinter vagina pada T. saginata (Soejodono 2004). Diagnosa fisik yang paling sederhana terhadap babi dapat dilakukan dengan palpasi lidah untuk mengetahui keberadan sistiserkus. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan teknik Western Blot (Flores et al. 2001). Deteksi cacing T. solium dapat dilakukan secara mikroskopis, namun deteksi coproantigen mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi. Teknik immunoblot memberikan hasil yang lebih bagus daripada kedua teknik tersebut (DeGiorgio et al. 2005).
Kasus infeksi kandung kemih oleh sistiserkus, teknik Enzyme Immuno Transfer Blot (EITB) dan Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dapat diaplikasikan dengan sasaran (analyte) yang dideteksi adalah Whole Cyst Antigen (WCA), Scolex Antigen (SA) dan Excretory-secretory Antigen (ESA) (Dhanalakshmi et al. 2005). Penentuan neurosistiserkosis pada manusia dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-scan dan Magnetic Resonance Image (MRI) (Carabin et al. 2006). Pemeriksaan dengan menggunakan teknik ELISA pada kasus ini tidak dianjurkan karena kedua teknik ini tidak mempunyai korelasi positif ketika hasilnya dibandingkan (Dorny et al. 2003).

Gambar 9. Scan neurosistiserkosis (Kraft 2007)

Gambar 10. Hasil MRI dari kasus neurosistiserkosis (Kraft 2007)

Teknik ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 85%. Gold standar untuk pemeriksaan sistiserkosis adalah dengan melakukan konfirmasi patologik melalui biopsi kista atau otopsi, sedangkan teknik neuroimaging otak tidak bisa digunakan sebagai gold standar karena kista bisa jadi tidak berada pada sistem saraf pusat (Dorny et al. 2003). Otopsi pada babi dapat dilakukan dengan mudah dimana penghitungan kista yang ditemukan dapat digunakan untuk memvalidasi tes immunodiagnostik. Keuntungan teknik immunodiagnostik pada babi adalah :
a. Sebagai tes diagnosa pada hewan hidup
b. Lebih sensitif dibandingkan metode palpasi lidah
c. Tidak terlalu mahal dan mudah digunakan untuk sampel dalam jumlah yang
banyak
Kerugian teknik ini antara lain adalah :
a. Sensitifitas yang tinggi tidak konsisten
b. Pada saat pengukuran antibodi, ekspos terhadap antigen lebih tergambarkan
daripada infeksi yang sesungguhnya.
c. Interpretasi seropositif pada anak babi dapat membingungkan karena antibodi maternal masih dapat bertahan selama 7 bulan.
d. Respon antibody yang bersifat sementara
e. Cross-reaction
Hydatidosis dan Cysticercus coenurus, dapat dilihat dari bentuk dan strukturnya. Coenurus biasanya besar dengan banyak scolex pada dinding. Sedangkan pada Echinococcus, scolex yang banyak itu tidak langsung terbentuk pada dinding gelembung, melainkan membentuk anak/cucu gelembung dulu, kemudian dari anak/cucu gelembung itu akan terbentuk scolex-scolex. Jadi dari satu gelembung sistiserkus hanya akan menjadi satu cacing dewasa dalam usus hospes definitif. Sedang dari satu Coenurus akan menjadi banyak cacing, dan dari satu hydatida menjadi lebih banyak lagi cacing dewasa, tergantung pada jumlah scolex dalam masing-masing gelembung.
Menurut Dorny et al. (2003), penyakit sistiserkosis perlu dibedakan dengan beberapa penyakit lain seperti echinococcosis, tumor otak dan tuberculosis. Sistiserkosis dapat dibedakan dengan ketiga penyakit tersebut dengan menggunakan tes serologik (ELISA). Selain itu, menurut Garcia el al. (2003) beberapa penyakit yang dapat menjadi differensial diagnosa bagi sistiserkosis babi adalah hydatidosis, kista arachnoid, porencephaly, kista astrocytoma, kista koloid, multiple metastasis, tuberculosis, mikosis, toxoplasmosis, abses, glioma awal, metastasis, arteriovenus malformasi, tuberous sclerosis dan infeksi Cytomegalovirus.
Jenis specimen untuk pemeriksaan serologik (ELISA) dapat berupa serum atau cairan serebrospinal. Sampel dapat dikirimkan dalam keadaan segar dingin.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

Menurut Flores et al. (2001), prinsip utama untuk mencegah terjadinya kasus sistiserkosis adalah dengan memutus rantai hidup cacing dengan tidak memberikan kemungkinan sama sekali bagi babi untuk terpapar dengan feses manusia. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan :
1. Babi harus dikandangkan, sehingga tidak berkeliaran
2. Setiap rumah tangga harus memiliki kakus. Masyarakat harus membuang
fesesnya di kakus.
3. Higiene personal dijaga, bahan pangan dimasak dan disajikan dengan benar.
4. Menghindari konsumsi babi yang terinfeksi sistiserkus.
5. Tukang daging/ jagal harus mengafkir babi yang akan dipotong bila kondisinya sangat kurus dan kelihatan tidak sehat.
6. Menyadarkan masyarakat supaya tidak defekasi di luar (selain kakus) ataupun pekarangan.
Vaksinasi pada babi dapat dilakukan dengan menggunakan antigen oncospheral dari T. solium (Garcia et al. 2003).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), cara pencegahan dari sistiserkosis adalah
1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taeniasis
2. Pemakaian jamban keluarga sehingga feses manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput
3. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran
4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong hewan (RPH), sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat(kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan)
5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan.Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara – upacara adat seperti di Sumatra Utara,Bali, dan Irian Jaya
6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
7. Memasak daging sampai matang (diatas 500 C) atau membekukan dibawah 100 C selama lima hari. Pendekatan ini ada yang dapat diterima,tetapi dapat pula tidak berjalan,karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan.untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Pengobatan hanya dapat dilakukan terhadap cacing pita dewasa dan belum ada obat yang efektif untuk sistiserkosis. Pengobatan pada babi dapat dilakukan dengan menggunakan benzimidazole atau oxfendazole dengan derajat efektivitas mencapai 95% dalam membunuh kista sistiserkus pada penggunaan dosis tunggal (30mg/kg) (Garcia et al. 2003).
Neurosistiserkosis pada manusia dapat diobati dengan menggunakan albendazol yang dikombinasikan dengan preparat steroid untuk mengurangi edema. Medikasi antiepileptik seperti phenytoin (Dilantin) dan carbamazepine (Tegretol) selama 1 tahun dan diulang lagi apabila muncul gejala, dapat mengatasi gejala epilepsi yang timbul kembali (Kraft 2007). Pengobatan dengan menggunakan preparat tunggal niclosamid kurang efektif. Kombinasi treatment mengunakan larutan electrolyte-polyethylene glycol secara oral 2 jam sebelum dan setelah pemberian 2000 mg akan memberikan efek pengobatan yang lebih kuat (DeGiorgio et al. 2005). Pengobatan tidak bisa hanya didasarkan pada hasil tes serologik saja, tapi harus dikonfirmasi dengan CT-scan atau pemeriksaan MRI (Dorny et al. 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Carabin H et al. 2006. Estimation of The Cost of Taenia solium Cysticercosis in Eastern Cape Province, South Africa. Tropical Medicine and International Health. Vol.11: 906-916. http://www.blackwell-synergy.com/doi/ pdf/10. 1111 /j.1365-3156.2006.01627.x [Juni 2006].

[CDC] Center for Disease Control and Prevention. Departemen of Health and Human Service. 2010. Cysticercosis [terhubung berkala]. http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/. [6 September 2011].

[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. Departemen of Veterinary Medicine Iowa State. 2010. Taenia Infections [terhubung berkala]. http://www.cfsph.iastate.edu. [6 September 2011].

DeGiorgio C et al. 2005. Sero-prevalence of Taenia solium Cysticercosis and Taenia solium Taeniasis in California, USA. Acta Neurol Scand. Vol 111: 84-88. http://www.ph.ucla.edu/epi/faculty/publications/Sorvillo_ANS_2005.pdf. [04 April 2005].

[DepKes RI] Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2007. Petunjuk Pemebrantasan Taeniasis/ Sisitiserkosis di Indonesia [terhubung berkala]. www.depkes.go.id. [6 September 2011].

Dorny P, Brandt J, Zoli A, Geerts S. 2003. Immunodiagnostic Tools for Human and Porcine Cysticercosis. Acta Tropica. Vol 87: 79-86. http://cnia. inta. gov. ar/helminto/A%20Cisticercosis/Immunodiagnostic%20tools%20for%20human%20and%20porcine%20cysticercosis.pdf

Dhanalakshmi H, Jagannath MS, D’Souza PE. 2005. Protein Profile and Serodiagnosis of Taenia solium Bladder Worm Infectious in Pigs. Vet. Arhiv 75: 505-512. http://www.vef.hr/vetarhiv/papers/2005-75-6-7.pdf.

Dharmawan dkk. 2009. Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner. Vol 10 (4): 178-183.

Flisser A et al. 2004. Induction of Preotection against Porcine Cysticercosis by Vaccination with Recombinant Oncosphere Antigens. American Society for Microbiology 72: 5292-5297. http://www.pubmedcentral. nih.gov/ article render.fcgi?artid=517464 [3 Juni 2007].

Flisser A, Lighttowlers MW. 2001. Vaccination Against Taenia Solium Cysticercosis. Mem. Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. Vol 96 (3): 353-356

Flores V, Rodea GB, Flisser A, Schantz PM. 2001. Hygiene and Reastraint of Pigs is Associated with Absence of Taenia solium Cysticercosis in Rural Community of Mexico. Salud Publica Mex. Vol 43: 574-576. http://www.scielosp.org/pdf/spm/v43n6/7534.pdf. [6 Juni 2001].

Garcia HH, Gonzalez AE, Evans CAW, Gilman RH. 2003. Taenia solium Cysticercosis. The Lancet 362: 547-56. http://ftp.cdc. gov/pub/ NCIDPD / Garcia%20cysticercosis%20review.pdf. [16 Agustus 2003].

Kraft R. 2007. Cysticercosis : An Emerging Parasitic Disease. Am Fam Physician 75: 91-6. http://www.aafp.org/afp/20070701/91.pdf. [1 juli 2007].

Margono et al. 2001. Cysticercosis In Indonesia: Epidemiological Aspects. Southeast Asian J Trop Med Public Health. Vol 32 (Suppl 2).

Prasad KN et al. 2008. Human Cysticercosis and Indian Scenario: a review. J. Biosci 33: 571-582.

Purba WH dkk. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Sistiserkosis Pada Penduduk Kecamatan Waimena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua Tahun 2002. Makara Kesehatan. Vol 7 (2).

Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: Epidemiology, Impact and Issue. Acta Tropica 87: 53-60 [terhubung berkala]. www.sciencedirect.com. [6 september 2011].

Ridhawati. 2000. Parasitology Laboratory Examination Parasite Causing Skin Disorder. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemic Survey of Cysticercosis-Taeniasis in Four Central Highland Districts of Papua, Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. Vol 80 (3): 384-388.

Subahar R dkk. 2005. Taeniasis/Sistiserkosis Diantara Anggota Keluarga Dibeberapa Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan. Vol 9 (1): 9-14

Selvam P, D’Souza PE, Jaganath MS. 2004. Serodiagnosis of Taenia solium Cysticercosis in Pigs by Indirect Haemaglutination Test. Vet. Arhiv 74: 453-458. http://www.vef.hr/vetarhiv/papers/2004-74-6-7.pdf. [8 November 2004].

Soejodono. 2004. Zoonosis. Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Wandra T et al. 2007. Current Situation of Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia. Trop. Medicine and Health. Vol 35 (4): 323-328.

Willingham AL. 2006. Update on Efforts to Combat Cysticercosis : Improving Human Health and Livestock Production in Developing Countries. http://www.galvmed.org/assets/news_0605/Cysticercosis.15MAY2006.pdf