Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat
Dari sistem kekeluargaan tersebut diatas, terdapat tiga sistem pewarisan di dalam Hukum Waris Adat, Yaitu :
- Sistem Pewarisan Individual
Ciri sistem pewarisan individual adalah bahwa harta warisan akan terbagi-bagi hak kepemilikannya kepada para ahli waris, hal ini sebagaimana yang berlaku menurut hukum KUH Perdata dan Hukum Islam, begitu pula halnya berlaku bagi masyarakat di lingkungan masyarakat hukum adat seperti pada keluarga-keluarga Batak Patrilineal dan keluarga-keluarga Jawa yang parental.
Kelebihan dari sistem pewarisan individual adalah dengan adanya pembagian harta warisan maka masing-masing individu ahli waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian masing-masing yang telah diterimanya. Kelemahan sistem pewarisan individual adalah selain harta warisan tersebut menjadi terpecah-pecah, dapat mengakibatkan putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga ahli waris yang satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti asas hidup kebersamaan dan tolong menolong menjadi lemah diantara keluarga ahli waris tersebut. Hal ini kebanyakan terjadi di masyarakat adat yang berada di perantauan dan telah jauh berada dari kampung halamannya.
- Sistem Pewarisan Kolektif
Ciri dari sistem pewarisan kolektif ini adalah bahwa harta warisan itu diwarisi atau lebih tepatnya dikuasai oleh sekelompok ahli waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan keluarga/kerabat (badan hukum adat). Harta peninggalan seperti ini disebut “harta pusaka” di Minangkabau dan “harta menyanak” di Lampung.
Dalam sistem ini, harta warisan orang tuanya (harta pusaka rendah) harta peninggalan seketurunan atau suku dari moyang asal (marga genealogis) tidak dimiliki secara pribadi oleh ahli waris yang bersangkutan. Akan tetapi para anggota keluarga hanya boleh memanfaatkan tanah pusaka untuk digarap bagi keperluan hidup keluarganya, atau rumah pusaka itu boleh ditunggu dan didiami oleh salah seorang dari mereka yang sekaligus mengurusnya.
- Sistem Pewarisan Mayorat
Yang merupakan ciri sistem pewarisan mayorat adalah harta peninggalan orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur kerabat (pusaka tinggi) tetap utuh dan tidak dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris, melainkan dikuasai oleh anak sulung laki-laki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal di Lampung dan Bali atau tetap dikuasai oleh anak sulung perempuan (mayorat wanita di lingkungan masyarakat matrilinial semendo di Sumatera Selatan dan Lampung.
Sistem ini hampir sama dengan pewarisan kolektif dimana harta warisan tidak dibagi-bagi kepada para ahli waris, melainkan sebagai hak milik bersama. Bedanya pada sistem pewarisan mayorat ini, anak sulung berkedudukan sebagai penguasa tunggal atas harta warisan dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik-adiknya atas, dasar musyawarah dan mufakat dari anggota keluarga ahli waris lainnya. Kelemahan dari sistem mayorat ini adalah sama dengan kelemahan pada sistem pewarisan kolektif, yaitu dimana keutuhan dan terpeliharanya harta bersama tergantung kepada siapa yang mengurusnya atau kekompakan kelompok anggota keluarga yang mempertahankannya.