Sekilas Tentang Ikan Bandeng ( Chanos chanos )

Ikan bandeng ( Chanos chanos ) merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat penting. Ikan bandeng memiliki nilai protein hewani yang lebih tingi dibandingkan dengan protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sebab, protein hewani mengandung asam-asam amino yang lengkap dan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino yang ada dalam tubuh manusia

Budidaya bandeng di Indonesia telah dikenal sejak 500 tahun yang lalu. Usaha ini berkembang pesat hampir di seluruh Indonesia dengan memanfaatkan perairan payau untuk budidaya. Teknologi yang diterapkan juga berkembang dari tradisional yang mengandalkan masukan benur dan pengolahan makanan alami hingga pemberian pakan buatan secara terencana (Ahmad et al., 1997).

Dengan rasa daging yang enak dan harga yang terjangkau, bandeng sangat digemari oleh masyarakat terutama di Jawa dan Sulawesi Selatan. Sejalan dengan meningkatnya perminataan pasar, efesiensi budidaya menjadi tuntunan utama dalam upaya peningkatan produktivitas serta pendapatan petambak/nelayan. Selama ini, pengembangan budidaya bandeng di masyarakat tidak banyak menemui kesulitan karena ikan ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan ikan lainnya yaitu :

  • 1) Teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasokan nener tidak tergantung dari alam.
  • 2) Teknik budidayanya relatif rendah.
  • 3) Bersifat euryhaline, tleran terhadap perubahan salinitas 0 – 38 ppt.
  • 4) Bersifat herbivorous dan tanggap terhadap pakan buatan.
  • 5) Formulasi pakan buatan untuk ikan bandeng relatof mudah.
  • 6) Tidak bersifat kanibal dan mampu hidup dalam kondisi berjejal.
  • 7)Dapat dibudidayakan secara monokultur dengan spesies lainnya seperti baronang, udang, bandeng, dan nila.
  • 8)Meskipun dagingnya bertulang, tetapi rasanya lezat dan dibeberapa daerah memiliki tingkat preferensi konsumsi yang tinggi.
  • 9) Dapat digunakan sebagai umpan bagi industri penangkapan tuna (Rachmansyah et al., 1997).

Penyebaran bandeng ini sangat luas, bahkan hampir setiap pulau pantai di Indonesia terdapat nener bandeng, walaupun sampai sat ini baru pada beberapa tempat yang dapat diusahakan dikelola secara baik. Kekurangan kita dari negara lain adalah dalam hal intensifikasi yang semata-mata hanya kita imbangi dengan pembukaan areal baru (ekstensifikasi). Rasanya wajar bila Indonesia senantiasa menjadi negara “super power” dalam volume hasil tambak bila kita telah benar dapat menguasai tekniknya.

Pengusahaan bandeng di tambak tidak lepas dari prinsip-prinsip teknik dan ekonomi, baik untuk kelangsungan usaha maupun kenaikan tara hidup. Tambak yang baik adalah hasil dari perencanaan yang tepat. Pasang surut, struktur tanah, kondisi kimia-fisika air dan penggunaan tenaga terampil adalah faktor penunjang berdirinya unit tambak yang berpotensi tinggi.

Jenis ikan bersirip ini yang secara tradisional telah dikenal sejak lama adalah bandeng, pada awalnya bandeng hanya mengandalkan nener dari alam, tetapi sejak akhir tahun 1990-an, nener bandeng sudah bisa dipasok dari hasil usaha pembenihan (Hatchery). Ikan selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, juga dibutuhkan untuk dimanfaatkan sebagai umpan dala penangkapan tuna di laut. Dalam beberapa tahun terakhir ini bandeng sudah menjadi komoditas ekspor, terutama dalam bentuk bandeng tanpa tulang (duri). Oleh karena itu ke depan bandeng mempunyai prospek yang lebih baik. Sentral pengembangan bandeng meliputi : Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.

Referensi 

 

Ahmad, T., M.J.R. Yakob, D. Rohaniawan, M. Suparya, dan Budiman. 1997. Sistem Usaha Perikanan Berbasis Bandeng Umpan. Laporan Hasil Penelitian ARMP 1996/97. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 57 hlm.

Rachmansyah, S. Tonnek, dan Usman. 1997. Produksi Ikan Bandeng Super dalam Karamba Jaring Apung di Laut. Dipresentasikan pada Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem-Sistem Usaha Tani Di Kawasan Timur Indonesia, Naibonat-Kupang, 28−30 Juli 1997. 22 hlm.