Perlindungan Hukum Bagi Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan kepada Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan saat debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur ketika debitur wanprestasi terdapat dalam bentuk perjanjian kredit, dimana berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dijelaskan bahwa Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan maupun akta autentik tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut. Akta di bawah tangan yang merupakan salah satu bentuk perjanjian kredit dalam prakteknya memiliki beberapa kelemahan, antara lain debitur menyangkal untuk mengakui tanda tangan yang ia bubuhkan pada saat penandatanganan perjanjian kredit yang akan melemahkan posisi bank sebagai kreditur apabila diperkarakan di pengadilan, hilangya arsip atau file serta kekurangan data-data dalam pelaksanaan perjanjian kredit, sehingga menurut penulis yang lebih memberikan perlindungan hukum adalah akta autentik yang berbentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan yang berisikan janji-janji guna melindungi hak kreditur. Akta ini akan lebih tegas dan jelas di dalam menjamin hak kreditur apabila telah dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, diterbitkanlah Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, dimana Sertifikat ini memiliki irah-irah yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sertifikat ini berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan eksekusi apabila di kemudian hari debitur melakukan wanprestasi atau mengingkari janjinya untuk melunasi hutangya.
Penafsiran Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Memberikan Perlindungan Hukum kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi. Dalam suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak kreditur dan debitur, tidak menutup risiko adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur, sehingga diperlukan jaminan kebendaan guna menjamin pelunasan piutang debitur. Jaminan yang paling banyak digunakan umumnya adalah hak atas tanah yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimana Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pemegang Hak Tanggungan apabila di kemudian hari debitur cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya, dan perlindungan hukum yang diberikan menurut ketentuan Undang- Undang ini adalah :
- Pasal 1 angka 1 : Memberikan Kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan atau kreditur (droit de preference). Hak-hak kreditur yang didahulukan ini merupakan salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan bagi pihak kreditur apabila terjadi wanprestasi dari debitur, khususnya dalam pengambilan pelunasan piutangnya. Pengaturan hak-hak privilege kreditur ini terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang Piutangpiutang yang diistimewakan, yakni mulai Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bab tersebut terdiri dari 3 (tiga) bagian yang mengatur tentang hal-hal berikut (Rachmadi Usman, 2008:519) :
- Piutang-piutang yang diistimewakan pada umumnya;
- Hak-hak istimewa mengenai benda-benda tertentu;
- Hak-hak istimewa atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya.
- Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang Eksekusi Hak Tanggungan.
Salah satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu mudah dan pasti dalam pelaksanaannya. Sehingga, hak eksekusi objek Hak Tanggungan berada di tangan kreditur. Eksekusi atas objek Hak Tanggungan ini juga merupakan perlindungan hukum bagi kreditur khususnya apabila terjadi wanprestasi debitur, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimana berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan eksekusi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
- Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Parate Executie atau Lelang atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Pengadilan.
- Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Eksekusi atau Lelang dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat, berdasarkan irah-irah yang tercantum dalam sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
- Pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima Hak Tanggungan.
- Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-Janji yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Tidak semua janji yang memberikan perlindungan kepada kreditur, tetapi hanya sebagian besar saja. Dalam hal ini terdapat dua macam janji dalam ketentuan Pasal 11 ini, yaitu :
- Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan (debitur);
- Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan (kreditur).
- Pasal 7 : Asas droit de suite (Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada). Asas ini merupakan jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, yaitu walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi apabila debitur cidera janji.