PERANAN PENYIDIK DALAM MEMBANTU PENYELESAIAN TINDAK PIDANA NARKOBA
(Studi di Polres D.I Yogyakarta)
A. Latar Belakang Permasalahan
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju
Dan masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah ” Penyidik “, dalam hal ini penyidik POLRI, dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas , maka penulis ingin mengupas beberapa Permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Sampai sejauh mana peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba?
2. Bagaimana langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkoba?
3. Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana narkoba ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan atau penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui serta mempelajari secara lebih mendalam bagaimana peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana Narkoba.
2. Penulis ingin mengetahui bagaimana penjatuhan sanksi terhadap para pelaku dan pengedar narkoba.
3. Penulis ingin mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya tersebut.
4. Penulis ingin mengetahui sejauh mana peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana narkoba yang terjadi didalam masyarakat.
D. Metode Penelitian
Sebagaimana lazimnya dalam penulisan skripsi ini diperlukan data-data dimana data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Sumber Data
a. Studi Kepustakaan
Yaitu dilakukan dengan cara mempelajari, mengumpulkan pendapat para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur, yurisprudensi, majalah-majalah dan koran-koran yang kebetulan memuat tentang masalah yang diteliti.
b. Studi Lapangan
Yaitu dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung pada obyek penelitian.
2. Pengumpulan data, yaitu pengumpulan data dari lapangan dengan menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah :
a. Teknik observasi,
Teknik pengumpulan data dengan cara melihat atau mengamati langsung pada obyek penelitian di lapangan.
b. Teknik wawancara,
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
c. Teknik Dokumentasi
Adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen yang berupa arsip atau naskah lainnya yang diperoleh dari instansi yang berhubungan dengan penelitian
3. Analisa Data
Data-data yang terkumpul akan disusun secara deskriptif kualilatif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu kebenaran yaitu dengan menguraikan data yang sudah terkumpul sehingga dengan demikian dapat dilakukan pemecahan masalah.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan mengikuti uraian skripsi ini, maka disusun menurut urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Disini penulis terlebih dahulu mengemukakan tentang latar belakang Permasalahan, selanjutnya diuraikan tentang perumusan masalah yaitu peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian tindak pidana narkoba, dimana hal itu sangat penting untuk menentukan batas-batas yang akan dibahas dan untuk memberikan pengertian dan keterangan yang dimaksud oleh judul penelitian ini. Dan selanjutnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan, dimana didalamnya memuat pembahasan seluruh isi penulisan
Bab II yaitu mengenai tinjauan umum tentang penyidikan dan pengertian tentang narkoba, yang membahas pengertian penyidik dan syarat-syarat penyidik, serta proses penyidikan perkara itu dilakukan dan upaya penyidik dalam memperoleh kebenaran secara materiil terhadap barang bukti yang didalamnya membahas pula mengenai macam-macam alat bukti serta upaya penyidik dalam memperoleh kebenaran barang bukti, baik melalui pemeriksaan tempat kejadian perkara, penggeledahan dan sebagainya oleh penyidik guna mencari barang bukti yang tertinggal dalam suatu peristiwa pidana. Selanjutnya pengertian tentang narkotika dan obat-obatan serta pembahasannya.
Bab III, yaitu mengenai peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana narkoba dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya, serta dalam bab ini membahas pula tentang penjatuhan sanksi terhadap para pelaku tindak pidana narkoba.
Bab IV, atau bab penutup dari sistematika penulisan skripsi ini, yakni menyangkut kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIK, SYARAT PENYIDIK, PROSES PENYIDIKAN PERKARA DAN PENGERTIAN NARKOBA.
A. Pengertian
Penyidik
Menurut pasal 1 butir (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Dan karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4. melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana;
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
10. mengadakan penghentian penyidikan;
sedangkan pada pasal 6 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf (b) mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam Pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf (a) KUHAP.”
Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Menurut Gerson Bawengan bahwa, tujuan penyidikan adalah untuk :
“Menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan bukti-bukti mengenai kesalahan yang telah dilakukan. Untuk mencapai maksud tersebut, maka penyidik akan menghimpun keterangan-keterangan dengan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu”. Selanjutnya yang dimaksud dengan menghimpun keterangan menurut Gerson Bawengan adalah :
1 fakta tentang terjadinya suatu kejahatan;
2 identitas daripada sikorban;
3 tempat yang pasti dimana kejahatan dilakukan;
4 waktu terjadinya kejahatan;
5 motif, tujuan serta niat;
6 identitas Pelaku Kejahatan .
a) Narkotika
Pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
b) Psikotropika
Pengertian dari Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
B. Syarat-Syarat Penyidik
Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 1 butir (1) dan pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa yang dapat dikatakan sebagai penyidik yaitu pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang mendukung tugas tersebut, seperti misalnya : mempunyai pengetahuan, keah1ian disamping syarat kepangkatan. Namun demikian KUHAP tidak mengatur masalah tersebut secara khusus. Menurut pasal 6 ayat (2) KUHP, syarat kepangkatan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam penjelasan disebutkan kepangkatan yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah itu diselaraskan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ( PP No. 27 / 1983 ) tentang Pelaksanaan KUHAP ditetapkan kepangkatan penyidik Polri serendah rendahnya Pembantu Letnan Dua sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil serendah rendahnya Golongan II B. Selaku penyidik Polri yang diangkat Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia yang dapat melimpahkan wewenangnya pada pejabat polisi yang lain.
Tugas Polri sebagai penyidik dapat dikatakan menjangkau seluruh dunia . Kekuasaan dan wewenangnya luar biasa penting dan sangat sulit Di Indonesia, polisi memegang peranan utama penyidikan hukum pidana umum, yaitu pelanggaran pasal-pasal KUHP. Sedangkan penyidikan terhadap tindak pidana khusus,misalnya : korupsi,penyelundupan dan sebagainya menurut ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP junto pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dilakukan oleh penyidik ( Polisi dan Pegawai Negeri Sipil, Jaksa dan pejabat Penyidik lain yang berwenang ). Penyidik Pegawai Negeri Sipil menurut penjelasan pasal 7 ayat (2), antara lain : Pejabat Bea Cukai, Pejabat Imigrasi,Pejabat Kehutanan dan lain-lain.Suatu perkecualian di KUHAP dan PP No.27 / 1983 adalah ketentuan dalam Undang-Undang Zona Ekonomi Eksklusif Nomor 5 Tahun 1983 ( UU ZEE No. 5 /1983 ) yang menentukan bahwa penyidik pelanggaran UU tersebut adalah Angkatan Laut Republik Indonesia. Jadi bukan Pegawai Negeri Si pil.
Dalam penjelasan pasal 17 PP No. 27 /1983 ditentukan bahwa penyidikan dalam perairan Indonesia, Zona Tambahan , Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh perwira Angkatan Laut dan penyidik lainnya yang ditentukan UU. Tetapi khusus untuk pelanggaran ZEE sesuai dengan UU No. 5 / 1983 penyidikan hanya dilakukan oleh Angkatan Laut Republik . Penyidikan terhadap ZEE tersebut diberikan khusus secara mandiri kepada Angkatan Laut Republik Indonesia disebabkan batas wilayah Republik Indonesia hanya 12 Mil saja sedangkan ZEE meliputi 200 Mil. Wajarlah dengan peralatan yang memadai, penyidikan hanya diberikan kepada Angkatan Laut Republik Indonesia.
Wewenang polisi untuk menyidik meliputi pula menentukan kebijaksanaan. Hal ini sangat sulit dilaksanakan karena harus membuat suatu pertimbangan , tindakan apa yang akan diambil pada saat yang singkat sewaktu menangani pertama kali suatu tindak pidana disamping harus mengetahui hukum pidananya. Sebelum penyidikan dimulai , penyidik harus dapat memperkirakan tindak pidana apa yang telah terjadi .Perundang-undangan pidana mana yang mengaturnya agar penyidikan dapat terarah pada kejadian yang sesuai dengan perumusan tindak pidana itu. Penyidikan tentunya diarahkan ada pembuktian yang dapat mengakibatkan tersangka dapat dituntut dan dihukum . Akan tetapi tidak jarang terjadi dalam proses peradilan pidana, penyidikan telah dilakukan berakhir dengan pembebasan terdakwa. Hal ini tentu saja akan merusak nama baik polisi dalam masyarakat seperti dikatakan oleh Skolnick yang dikutip oleh Andi Hamzah, bahwa :
“Seringkali tujuan polisi ialah supaya hampir semua tersangka yang dilahan dituntut.diadili dan dipidana dan menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutan dan pemidanaan merusak kewibawaannya dalam masyarakat. Penuntut Umum pun tak mampu menuntut, manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses, karena perkosaan yang demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu dipengadilan”.
Apabila diperhatikan secara seksama.kegagalan suatu penyidikan disebabkan karena faktor kualitas pribadi penyidiknya karena berhasilnya suatu penyidikan , selain memperhatikan kepangkatan perlu juga dilatar belakangi pendidikan yang memadai mengingat kemajuan tekhnologi dan metode kejahatan yang terus berkembang mengikuti arus modernisasi sehingga jangan sampai tingkat pengetahuan penyidik jauh ketinggalan dari pelaku kejahatan . Penyidik dituntut pula agar menguasai segi tekhnik hukum dan ilmu bantu lainnya dalam Hukum Acara Pidana untuk memperbaiki tekhnik pemeriksaan dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan disiplin hukum demi penerapan Hak Asasi Manusia . Menurut Andi Hamzah, bahwa :
“Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena Pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana. Ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam menemukan kebenaran material,antara lain : logika psikologi, kriminalistik, psikiatri,dan khminologi.”
Lebih lanjut dijelaskan oleh Andi Hamzah, bahwa :
1. Dengan pengetahuan logika dimaksudkan agar diperoleh pembuktian yang logis berdasarkan penemuan fakta yang sudah ada sehingga dapat membentuk kontruksi yang logis. Penguasaan pengetahuan psikologi sangat penting dalam melakukan penyidikan terutama dalam interogasi terhadap tersangka. Dimana penyidik harus menempatkan diri bukan sebagai pemeriksa yang akan menggiring tersangka menuju penjara, tetapi sebagai kawan yang berbicara dari hati ke hati;
2. Dengan berbekal pengetahuan kriminalistik, yaitu pengumpulan dan pengolahan data secara sistematis yang dapat berguna bagi penyidik untuk mengenal,mengidentifikasi,mengindividualisasi,dan mengevaluasi bukti fisik.
Dalam hal pembuktian, bagian-bagian kriminalislik yang sangat berperan seperti . Ilmu Tulisan, Ilmu Kimia, Fisiologi , Anatomi Patologik, Toksikologi, Pengetahuan tentang luka, Daktiloskopi ( Sidik Jari ), Jejak kaki, Antropometri dan Antropologi.
Penelitian dan pengusutan dalam usaha menemukan kebenaran materiel bukan hanya ditujukan pada manusia atau situasi yang normal, tetapi kadang-kadang bisa juga dijumpai hal-hal yang abnormal. Untuk itulah diperlukan ilmu bantu psikiatri yang disebut psikiatri forensik. Selain tersebut diatas masih ada lagi ilmu yang dapat membantu penyidik untuk mengetahui sebab-sebab atau latar belakang timbulnya suatu kejahatan serta akibat-akibatnya terhadap masyarakal, yailu kriminologi.
Dari uraian diatas, tampak begitu luas dan sulitnya dan kewajiban penyidik dalam proses perkara pidana karena penyidiklah yang akan berperan di garis depan dalam Pelaksanaan penegakan hukum. Namun demikian, tugas berat yang dipikul tersebut bila dijalankan dengan cermat dan hati-hati akan membuahkan hasil.
C. Tugas Dan Fungsi Penyidik Polri
Penyidik menurut KUHAP adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (pasal 7 KUHAP).
Dalam hal penyidikan melakukan tindakan pemeriksaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi , pemeriksaan ditempat kejadian, Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan atau tindakan lain menurut ketentuan KUHAP. la membuat berita acara yang dikuatkan dengan sumpah jabatan dan ditandatangani oleh penyidik dan semua orang yang terlibat. (pasal 8 jo 75 KUHAP).
Setiap pejabat Polisi adalah penyidik yang karena kewajibannya berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum, ia dan barang bukti menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum, ia dapat pula bertindak atas perintah penyidik melakukan penangkapan, melarang meninggalkan tempat penggeledahan dan menyita. Atas Pelaksanaan tindakan tersebut penyelidik membuat dan menyampaikan laporan kepada penyidik (pasal 4-5 KUHAP). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pejabat penyelidik adalah merupakan wewenang dan tugas utama polri dari pangkat prada sampai jendral dalam rangka mencari kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut pasal 2 PP Nomor 27 tahun 1983 syarat kepangkatan pejabat polisi republik Indonesia yang diberi wewenang untuk menjadi penyidik adalah sekurang-kurangnya yang berpangkat pengatur muda tingkat I atau golongan II B atau yang disamakan dengan itu. Sedangkan menurut pasal 2 butir 2 PP No 27 tahun 1983 menentukan adanya pengecualian bahwa jika suatu tempat tidak ada penyidik yang berpangkat pembantu letnan dua polisi keatas maka komandan sektor kepolisian republik Indonesia yang berpangkat bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat dilimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.
Sedangkan penyidik pegawai negeri sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atau usul Departemen yang membawahkan pegawai tersebut. Penyidik pegawai negeri sipil golongan dua yang dimaksudkan misalnya instansi-instansi :
– Bea cukai
– Badan geofisika dan Meterologi
– Pegawai Imigrasi
– Angkatan Laut dan lain-lainya
Selanjutnya pasal 3 PP No. 27 tahun 1983 penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Republik Indonesia yang berpangkat sersan dua polisi dan pejabat pegawai sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara.
Menurut Undang-Undang Kepolisian Indonesia Nomor 28 tahun 1997, yang dimaksud dengan kepolisian adalah segala hal ikwal yang berkaitan dengan fungsi dan tugas lembaga kepolisian seseuai dengan peraturan Perundang-undangan pasal I UU No 28 tahun 1997. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif (butir 2 dari pasal 1 UU No.28 tahun 1997)
Kepolisian Negara republik Indonesia bertujuan untuk menjamin ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan Negara dan tercapainya tujuan Nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (pasal 2 UU No.2 tahun 1997).
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang Penegakan hukum, serta perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat, guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat (pasal 3 UU No. 28 tahun 1997).
Menurut pasal 15 UU Nomor 28 tahun 1997 tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. Menerima laporan dan pengaduan.
b. Melakukan Tindakan pertama ditempat kejadian
c. Menganbil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
d. Mencari keterangan dan barang bukti
e. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional
f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum.
g. Mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat
h. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan Pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat
D. Proses penyidikan Perkara
Menurut Gerson Bawengan, bahwa :
Untuk dapat mencapai tujuan penyidikan, penyidik dapat menggunakan metode yang lazim digunakan dalam melakukan penyidikan yaitu :
1. Identifikasi;
2. Sidik jari;
3. Modus operandi;
4. Files;
5. Informan;
6. Interogasi;
7. Bantuan ilmiah
Ad.1. Identifikasi
Dalam identifikasi, perhatian utama diarahkan kepada pelaku-pelaku kejahatan yang sudah tergolong profesional maupuh yang tergolong residivis. Nama-nama pelaku tersebut sudah harus ada dalam catatan penegak hukum. Disamping nama-nama, juga harus diperhatikan identitas yang lain. Misalnya tatto, bentuk tubuh, maupun ciri-ciri yang lain. Menurut Andi Hamzah, bahwa dengan melakukan identifikasi tersebut maka :
“ Mempermudah penyidik atau setidak-tidaknya dapat membantu pihak penyidik dalam melakukan penyidikan karena bila terdapat pelaku kejahatan yang termasuk jenis kambuhan, maka penyidik tinggal mencocokkan ciri-ciri dengan identitas yang telah direkam dalam data-data kepolisian “.
ad.2. Sidik Jari
Sidik jari merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yaitu Daktiloskopi. Terdiri dari kata ” Daktulos ” yang berarti jari sedangkan “Skopioo ” berati mengamati. Dari terjemahan tersebut, daktuloskopi berarti mengamati jari, kemudian disama-artikan dengan sidik jari. Dengan sidik jari ditemukan identitas tersangka secara pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang berbeda. Cara ini baru dapat dimanfaatkan, jika si tersangka sebelumnya telah diambil sidik jarinya. Andi Hamzah menguraikan pula beberapa golongan sidik jari, yaitu :
1. Golongan loops yang berarti sangkutan ;
2. Golongan Whoris yang berarti putaran ;
3. Golongan Arches yang berarti lingkungan.
Ad. 3. Modus Operandi
Modus Operandi merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti “cara kerja”. Penelitian berdasarkan modus operandi, penelitian-penelitian yang diarahkan pada cara kerjanya seseorang melakukan kejahatan. Menurut Gerson Bawengan, bahwa:
“ Seseorang terutama residivis yang telah berhasil melakukan suatu kejahatan dengan menggunakan cara tertentu, maka ada tendensi bahwa cara demikian itu akan diulanginya bila ia hendak melakukan suatu kejahatan lagi pada peristiwa lain”.
Dalam kasus pembunuhan dimana korban terikat dengan tali, maka cara-cara yang digunakan untuk membuka simpul tali pengikat dapat dibedakan antara yang ahli dengan yang tidak ahli. Dapat juga dibedakan antara cara yang digunakan oleh pelaut dengan cara yang digunakan oleh pramuka. Walau modus operandi ini tidak selalu menolong untuk menyingkap pelaku kejahatan, namun banyak penegak hukum tetap menyelenggarakan file modus operandi. Penyelenggaraan file modus operandi tersebut dipandang perlu untuk mengetahui pola tingkah laku penjahat tertentu, menghimpun keterangan -keterangan mereka didalam satu kesatuan dan bahkan merupakan bahan analisa mengenai kemungkinan akan terjadi satu kejahatan.
Ad.4. Files
Menurut Gerson Bawengan, bahwa yang dimaksud files adalah :
“Himpunan secara sistematis dari identifikasi, sidik jari dan modus operandi. Dari kesemuanya itu hanya merupakan peralatan yang berguna bagi penyidik. Apabila disusun secara sistematis dalam bentuk files yang menyajikan keterangan-keterangan serta petunjuk-petunjuk bahkan barang bukti untuk digunakan dalampenyidikan sampai pada peradilan”.
ad.5. Informan
Infoman ialah seseorang yang pekerjaannya memberikan keterangan kepada penegak hukum yang mana keterangan itu bermanfaat untuk membongkar terjadinya atau kemungkinan terjadinya tindak pidana
Ad.6. Interogasi
Menurut Gerson Bawengan yang dimaksud dengan Interogasi adalah : “Suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna memperoleh keterangan-keterangan yang bermanfaat bagi penyidik”.
ad.7. Bantuan Ilmiah
Bantuan ilmiah ialah sarana lain selain sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk membantu proses penyidikan dan bersifat ilmiah.
Metode-metode itu merupakan rangkaian usaha penyidik agar dapat mencari dan mengumpulkan barang bukti sehingga dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi. Tentunya demi diketemukannya pelaku kejahatan. Terlepas dari pemanfaatan metode-metode tersebut, penyidik oleh Undang-Undang diberi kewenangan karena kewajibannya untuk:
a. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian ;
b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
c. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ;
d. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
e. Mengambil sidik jari;
f. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka,saksi
g. Mendatangkaan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ( periksa pasal 7 ayat (1) KUHAP ).
Penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan jika penyidik mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana. Hal ini jelas diatur dalam pasal 106 KUHAP. Bila penyidik memulai penyidikannya, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum dan jika ternyata penyidikannya itu dihentikan oleh penyidik karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum , tersangka atau keluarganya ( pasal 109 ayat (1) dan (2) KUHAP ). Berkas perkara wajib segera diserahkan kepada penuntut umum setelah penyidikan selesai dilakukan . Namun jika hasil penyidikan tersebut oleh penuntut umum dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk melengkapinya. Kemudian penyidik melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum.
Penyidikan dianggap selesai jika dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik. ( pasal 110 ayat ( I -4 ) KUHAP ).
Untuk dapat menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, maka Hakim menurut pasal 183 KUHAP tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam proses peradilan pidana khususnya tahap pembuktian tidak terlepas dari peran serta alat-alat bukti yang menunjang Pelaksanaan proses pembuktian tersebut.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dapat dijumpai dalam pasal 184 KUHAP dalam ayat (I), yaitu :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Ad.1. Keterangan Saksi
Menurut pasal 185 ayat (I) KUHAP bahwa, keterangan saksi adalah apa yang dinyatakan oleh saksi disidang pengadilan. Hal ini telah jelas diatur dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP sedangkan pada ayat (2) pasal ini menetapkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa seorang tersangka bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya Keterangan saksi akan merupakan bukti yang sah, jika keterangan itu benar-benar didasarkan pada apa yang dia dengar sendiri atau dia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya ( pasal 1 butir 27 ). Tidak merupakan keterangan saksi jika keterangan yang diberikan oleh saksi hanya merupakan hasil pemikiran atau rekaan saksi belaka saja (pasal 185 ayat (5) KUHAP ).Ketrangan saksi merupakan alat pembuktian yang utama, karena seseorang yang melakukan suatu tindak pidana selalu memungkiri adanya suatu bukti, sehingga bukti harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami kejadian-kejadian yang merupakan bagian dari tindak pidana tersebut.
Ad.2. Keterangan Ahli
Yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal-hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam KUHAP pasal 1 butir 28 dinyatakan bahwa : keterangan ahli merupakan keterangan seorang ahli yang dinyatakan dalam sidang pengadilan (lihat pasal 186 KUHAP ).
Ad.3. Surat
Mengenai surat telah ditetapkan secara terperinci dalam pasal 187 ayat (1) huruf ( c ) KUHAP dan dalam surat itu dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Adapun maksud surat yang tercantum dalam pasal 187 ayal (1) huruf (c) adalah sebagai berikut:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan-keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri serta dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu ;
b. Surat-surat yang dimuat menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam data Pelaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan ;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Ad.4. Petunjuk
Mengenai petunjuk ini dapat dijumpai dalam pasal 188 ayat (I) KUHAP yaitu “perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa : petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (1) adalah:
a. keterangan saksi
b. surat
c. keterangan terdakwa
ad.5. Keterangan Terdakwa
Yang dimaksud dengan kerengan terdakwa adalah yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau dia ketahui sendiri atau dia alami sendiri (lihat pasal 189 ayat (I) KUHAP) Sedangkan pada pasal 189 ayat (2) menerangkan bahwa: keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Dengan adanya macam-macam alat bukti yang telah disebutkan, maka akan membantu penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap seorang tersangka yang melakukan tindak pidana.
Abdul Mun’im dan Agung Legowo Tjiptomartono mengatakan: “fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas. Yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah terjadi”. Untuk membuat jelas dan terang suatu perkara, penyidik biasanya atau pada umumnya memanfaatkan sumber-sumber informasi. Menurut Abdul Mun’im dan Agung Legowo Tjiptomartono, yang dimaksud dengan sumber-sumber informasi ialah:
a. barang bukti atau Physical evidence, seperti : anak peluru, brcak darah, jejak, narkotika dan tumbuh-tumbuhan ;
b. dokumen serta catatan, seperti : cek palsu, surat penculikan, tanda-tanda pengenal diri lainnya dan catatan mengenai ancaman;
c. orang-orang seperti : korban, saksi , korban, si tersangka pelaku kejahatan dan hal-hal yang berhubungan dengan korban, tersangka dan keadaan ditempat kejadian peristiwa.
Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut diperlukan pemahaman dan bantuan dari ilmu-ilmu Kehakiman, seperti kriminalistik, kimia, fisika dan lain-lain. Penyidikan adalah :
“pusat dan pimpinan dalam penyidikan semua aktifitas atau kegiatan serta tindakan yang diambil dalam mencari kejelasan seperti yang dimaksud dalam fungsi penyidikan adalah sepenuhnya tergantung dari kebutuhan. Bagi penyidik, penyidikan juga menentukan perlu tidaknya suatu pemeriksaan”.
Adapun upaya penyidik dalam memperoleh kebenaran barang bukti menurut Ratna Nurul Afiah dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu :
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara;
2. Penggeledahan;
3. Diserahkan langsung oleh saksi pelapor atau tersangka;
4. Diambil dari pihak ketiga;
5. Barang temuan;
Ad.l. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap tempat dimana diduga telah terjadi pidana harus dianggap sebagai tempat kejadian perkara ( TKP ), karena ditempat ini merupakan sumber keterangan yang penting dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan atau membuktikan adanya hubungan antara korban, pelaku, barang bukti serta TKP. Tujuan penanganan TKP menurut Departemen Hankam Mabes Polri adalah:
a. Menjaga agar TKP berada dalam keadaan sebagaimana pada saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama di TKP, serta memberikan pertolongan atau perlindungan kepada korban atau anggota masyarakat bilamana diperlukan sambil menunggu pengolahan TKP ;
b. Melindungi agar barang bukti yang diperlukan tidak hilang, rusak, tidak ada penambahan atau pengurangan dan tidak berbeda letaknya yang berakibat menyulitkan atau mengaburkan pengolahan TKP dan pemeriksaan secara tekhnis ilmiah ;
c. Untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan lebih lanjut dalam menjajaki dan menentukan pelaku, korban , saksi-saksi ,barang bukti., modus operandi dan alat yang dipergunakan dalam rangka mengungkapkan tindak pidana.
Langkah-langkah penanganan TKP dari suatu tindak pidana terdiri atas tindakan pertama di TKP yang meliputi pertolongan atau perlindungan korban atau anggota masyarakat, penutupan dan pengamanan TKP, memberitahukan dan melaporkan segala sesuatu yang telah dikerjakannya kepada penyidik. Pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di TKP, penyidik sedapat mungkin tidak mengubah dan merusak keadaan di TKP. Maksudnya mencari, mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi petunjuk, keterangan, bukti serta identitas pelaku. Semuanya dilakukan untuk mempermudah dan memberi arah kepada penyidikan selanjutnya.
Kemudian menurut Departemen Hankam Mabes Polri, apabila penyidik menerima pemberitahuan atau mengetahui telah terjadi tindak pidana disuatu tempat, penyidik menyiapkan segala sesuatunya dan segera datang ke tempat kejadian perkara guna melakukan pengolahan dengan tindakan sebagai berikut:
a. Pengamatan umum terhadap obyek. Untuk memperkirakan modus operandi, motif, waktu kejadian dan menentukan langkah yang harus didahulukan ;
b. Pemotretan dan pembuatan sketsa untuk mengabadikan dan memberi gambaran nyata tentang situasi TKP untuk membantu melengkapi kekurangan dalam pengolahan TKP. Hal ini sangat berguna disamping sebagai lampiran Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di TKP, juga merupakan bahan untuk mengadakan rekonstruksi apabila diperlukan;
c. Penanganan korban, saksi, dan pelaku. Untuk penanganan korban sangat diperlukan bantuan tekhnis seperti laboratorium forensik, identifikasi dari dokter apabila ada alat-alat yang mungkin digunakan maupun tanda-tanda bekas perlawanan atau kekerasan , perlu dimintakan Visum et Repertum. Hal ini sesuai ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf (h), bahwa : penyidik sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat ( 1) huruf (a) ( pejabat Polri) berwenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Dalam penanganan saksi dapat dilakukan melalui pembicaraan dengan jalan mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka yang diperkirakan melihat, mendengar dan mengetahui sehubungan dengan kejadian tersebut. Selanjutnya menentukan saksi yang diduga keras terlibat, kemudian mengadakan pemeriksaan singkat terhadapnya guna mendapatkan keterangan dan petunjuk lebih lanjut;
d. Penanganan barang bukti; Untuk menghindari tindakan tersangka yang mungkin saja berusaha menghilangkan jejak sehingga mempersulit penyidik, maka mencari dan mengumpulkan barang bukti dan saksi-saksi merupakan tujuan pemeriksaan TKP. Dalam usaha pencarian barang-barang bukti lainnya di TKP dan sekitamya, sangat berkaitan dengan wewenang penyidik yang apabila perlu dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat melakukan penggeledahan badan.
E. PENGUMPULAN ALAT BUKTI.
Dalam pemeriksaan di TKP untuk mengumpulkan barang bukti diperlukan perencanaan pencarian yang meliputi seluruh tempat kejadian. Sebagai pedoman bagi penyidik dalam usaha mengumpulkan barang bukti, untuk menentukan fakta-takta bahwa telah terjadi suatu kejahatan, maka cara-cara pencariannya menggunakan beberapa metode, sebagai berikut:
a. metode membanjar;
b. metode spiral;
c. metode bidang ;
d. metode roda.
ad.a. Metode Membanjar.
Pada metode pencarian secara membanjar, daerah tempat pencarian dibentuk empat persegi panjang dengan tiga orang petugas membanjar sejajar didekat sudut salah satu sisinya dan berjalan lurus kesisi yang berhadapan kemudian membelok, tetap sejajar seperti semula. Demikian seterusnya hingga seluruh tempat dijelajahi dan diperiksa. Jika salah seorang mendapatkan bukti,pencarian dihentikan sampai bukti tersebut diamankan dan kalau perlu dibuat foto, kemudian bukti tersebut dikumpulkan
ad.b. Metode Spiral
Pada metode spiral , tiga orang petugas berbaris berurutan memulai pencarian pada bagian luas spiral kemudian melingkar menuju ketengah spiral.
Ad.c. Metode bidang.
Pada metode bidang tempatnya dibagi atas bidang-bidang segi empat dan para petugas bertugas disuatu bidang yang telah ditentukan. Mula-mula tempat dibagi empat, kemudian seperempat bagian itu dibagi empat lebih kecil lagi. Hal ini untuk mempermudah pencarian ditempat-tempat yang lebih sempit.
Ad.d. MetodeRoda.
Sedangkan pada metode roda ruangannya dibentuk lingkaran. Para petugas berkumpul dibagian tengahnya, masing-masing berjalan membentuk jari-jari pada roda. Demikian seterusnya bergantung pada luasnya tempat dan jumlah petugas.
Dalam mencari bukti tersebut diperlukan ketelitian disamping imajinasi para petugas. Misalnya yang diperiksa diruangan tertutup, harus diperhatikan segala sesuatu yang ada disitu , seperti kunci pintu,tirai dan gorden, anak tangga, keranjang sampah, toilet dan sebagainya untuk diteliti secara cermat tanpa merusak situasi setempat
Ad.2. Penggeledahan
Menurut Ratna Nurul Allah yang dimaksud dengan penggeledahan adalah :
“suatu kewenangan penyidik untuk memasuki tempat-tempat tertentu guna mencari tersangka dan atau barang yang tersangkut dalam suatu tindak pidana untuk dijadikan barang bukti.”
Kemudian menurut Ratna Nurul Afiah, bahwa dalam KUHP dikenal Ada tiga macam penggeledahan, antara lain :
1. Penggeledahan Rumah, yaitu tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan atau penyitaan atau penangkapan (pasal 1 butir (18) KUHAP);
2. Penggeledahan Badan , yaitu tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita ( pasal 1 butir (18)KUHAP);
3. Penggeledahan Pakaian, yaitu tindakan penyidik atau penyidik pembantu untuk memeriksa pakaian yang dikenakan oleh tersangka pada saat itu termasuk barang yang dibawanya serta untuk mencari barang yang dapat disita (Petunjuk Tekhnis No.POL Juknis/05/11/1982 Tentang Penggeledahan).
Ad.3. Diserahkah langsung oleh Saksi Pelapor atau Tersangka
Menurut Ratna Nurul Afiah, bahwa ada empat kemungkinan bagi penyidik atau penyidik pembantu untuk memulai tindakan penyidikan, yaitu : a. Tertangkap tangan (pasal 1 butir (19)KUHAP);
b. Laporan (pasal 1 butir (24)KUHAP);
c. Pengaduan (pasal 1 butir (25)KUHAP)
d. Mengetahui sendiri atau dengan cara lain.
Ad.4. Diambil atau diserahkan oleh pihak ketiga.
Menurut Ratna Nurul Afiah, bahwa :
“Dapat pula terjadi bahwa barang yang tersangkut dalam tindak pidana itu oleh tersangka tersangka telah dialihkan kepada orang atau pihak lain, baik dengan cara menjual , menyewakan , menukar , menghadiahkan, menggadaikan atau meminjamkan benda tersebut kepada orang lain atau pihak ketiga”.
Dengan demikian dalam hal untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menyita benda tersebut dari pihak ketiga dimaksud untuk dijadikan barang bukti.
Ad.5. Barang Temuan.
Menurut Ratna Nurul Afiah, yang dimaksud dengan barang temuan ialah :
“Barang yang ditemui, diserahkan atau dilaporkan oleh masyrakat kepada penyidik dimana benda tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya atau identitasnya”.
Selanjutnya penyidik melakukan penyidikan atas dasar penemuan barang tersebut. Dari hasil penyidikan yang dilakukan, dapat disimpulkan apakah benda tersebut tersangkut dalam suatu tindak pidana atau tidak.
F. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG NARKOBA
Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana UU No 22 Thn 1997 tentang Narkotika terdapat didalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 104 yang mengatur tentang pelarangan, peredaran dan penggunaannya yang diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan. Seperti yang terdapat didalam pasal 82 yang berbunyi:
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. mengimpor , mengekspor , menawarkan untuk dijual , menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I , dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup , atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000. ( satu milyar rupiah );
b. mengimpor , mengekspor , menawarkan untuk dijual , menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan , menerima , menjadi perantara dalam jual beli; atau menukar narkotika Golongan 11, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000. ( lima ratusjuta rupiah );
c. mengimpor , mengekspor , menawarkan untuk dijual, menyalurkan , menjual , membeli, menyerahkan , menerima , menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.3.00.000.000. (tiga ratusjuta rupiah )
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a , dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000. ( dua milyar rupiah );
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000. ( satu milyar rupiah );
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000. (tujuh ratus lima puluh juta rupiah );
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000. ( lima ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp.3.000.000.000.( tiga milyar rupiah ).
b. Ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling banyak Rp. 4.000.000.000. ( empat milyar rupiah );
c. Ayat (1) huruf c dilakukan secara terorgnisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling banyak Rp. 2.000.000.000. ( dua milyar rupiah ).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000. (tujuh milyar rupiah );
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi , dipidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000. ( empat milyar rupiah );
c. ayat (1) huruf c dilakukan korporasi , dipidana denda paling banyak Rp.3.000.000.000. (tiga milyar rupiah ).
Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika terdapat didalam bab XIV, Undang-Undang nomor 5 tahun 1997 didalam pasal 59 sampai pasal 72 yang didalamnya diatur secara jelas dan lengkap mengenai sanksi-sanksi pelaku tindak pidana psikotropika, yang didalam salah satu pasal 59 berbunyi:
(1) Barangsiapa:
a. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluhjutarupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta).
(3) jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping pidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Sedangkan yang mengatur tentang narkotika diatur didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997. Yang ketentuan pidananya diatur didalam pasal 78 sampai dengan pasal 100 bab, XII Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Namun di dalam penulisan tentang Undang-Undang serta ketentuan Pidananya lebih dijelaskan lagi di dalam lampiran skripsi ini disebabkan ketentuan pidana yang diatur didalam tiap Undang-Undang mengatur bermacam-macam sanksi. Sanksi yang dijelaskan di dalam skripsi ini sebatas beberapa pasal yang menyangkut peredaran,maupun pemakaian narkoba belum keseluruhan, mengingat pasal-pasalnya tidak saja mengatur tentang ketentuan pidana saja terbukti banyaknya pasal yang diatur didalam bab-bab Undang-Undang Psikotropika dan Narkotika.
BAB III
PERANAN PENYIDIK DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
NARKOBA
A. Peranan penyidik dalam Penyelesaian tindak pidana narkoba yang
dilakukan oleh seseorang.
Kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin bertambah pesat. Hal ini akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan tingkat kriminalitas, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Perkembangan kriminalitas dari bentuk perorangan menuju ke arah kriminalitas menuju kearah kejahatan terorganisir yang memiliki teknik dan taktik yang canggih.
Sebagai salah satu kejahatan yang teroragnisir maka tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang farmasi. Dari tanaman-tanaman pokoknya ganja, kokain dan candu maka oleh kemajuan farmasi dapat dihasilkan atau diturunkan zat-zat yang mempunyai efek yang berlipat ganda.
Penyalahgunaan narkotika merupakan bahaya yang amat merugikan bagi suatu negara. Hal ini disebabkan tindak pidana narkotika oleh generasi muda akan memberikan dampak buruk baik jasmani maupun rohani dari generasi muda, sehingga memberikan kerugian yang amat besar bagi negara dan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu setiap usaha yang mengarah pada dilakukannya tindak pidana narkotika haruslah dapat ditiadakan . Hal ini berarti harus semakin ditingkatkan usaha-usaha penanggulangan terhadap setiap jenis tindak pidana narkotika sebagai pelaksana penegakan hukum di Indonesia.
Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana pada umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika digambarkan oleh Suwanto Sebagai berikut:
1. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin.
2. Berlingkup internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh, tetapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri.
3. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus ) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui pengedar, demikian pula sebaliknya.
4. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporan sangat minim.
Ciri-ciri khusus dari tindak pidana narkotika menjadikan setiap kasus narkotika haruslah mendapat upaya penanggulangan secara terpadu. Setiap kasus narkotika yang terdpat di daerah Kepolisian Resort atau Kepolisian Wilayah haruslah segera dilaporkan ke Kepolisian Daerah Untuk segera dilanjutkan ke Markas Besar kepolisian Republik Indonesia, sehingga setiap kasus narkoba yang terdapat di suatu daerah dapat diketahui secara dini oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, dan hal ini akan memudahkan koordinasi antara seluruh kantor kepolisian yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
Usaha penanggulangannya tindak pidana narkoba dapat dilakukan secara preventif juga secara represif. Usaha penanggulangan secara preventif dari tindak pidana narkotika dilakukan oleh Polres D.I.Y bekerjasama dengan Bappenkar melalui penyebaran brosur , papan himbauan, seminar-seminar tentang bahayanya penyalahgunaan narkotika. Sedangkan penanggulangan tindak pidana narkotika secara represif dilakukan dalam rangka usaha POLRI untuk mengungkapkan tindak pidana yang terjadi melalui penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Pada penyidikan tindak pidana narkotika maka yang berperan menangani masalah adalah bagian reserse narkotika dalam hal ini unit narkotika. Pembagian tugas semacam in: terdapat di setiap Kepolisian Daerah di Indonesia . Untuk lebih memperjelas pembagian tugas maka dapat kita lihat struktur organisasi yang ada di Polres Yogyakarta dikhususkan pada bagian reserse
Sumber : Kabag Serse Narkotika Pokes D.I Yogyakarta.
Untuk lebih memperjelas struktur organisasi di atas, maka penulis jelaskan singkatan-singkatan dari struktur organisasi tersebut sebagai berikut : Kapolres D.I Yogyakarta ( Kepala Kepolsian resort Daerah Istimewa Yogyakarta), Kadit Serse (Kepala Direktorat Reserse Narkotika), Sesdit Serse ( Sekretaris Direktorat Reserse), Kabag ( Kepala Bagian), Kanit ( Kepala unit). Dari struktur organisasi yang ada di Polda Yogyakarta maka penyidikan tindak pidana yang ada di daerah tersebut menjadi wewenang dari Kadit Serse. Dalam melakukan penyidikan diadakan pembagian kerja sesuai dengan jenis tindak pidana. Kabag Serse Narkotika berwenang mengkoordinir penyidikan pada tindak yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, obat-obatan dan barang berbahaya. Di sini yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat yang jika dimakan, diminum atau dimasukkan (disuntikkan) ke dalam tubuh manusia, dapat menimbulkan ketergantungan. Obat-obatan adalah suatu zat psykotropik yang mengandung unsur MDMA (N, Alphadimentyl 3,4 Metty Lenedioxy – Phenethylamine) atau MDA (Alphamethyl 3,4 – Methylenedioxy -Phetylamine) yang dapat menimbulkan pengaruh neurotoksik, khususnya terhadap sel-sel neuron dari otak. Barang berbahaya adalah barang yang dapat menimbulkan terganggunya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Dari struktur organisasi Polres Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa terdapat penanganan kasus-kasus tindak pidana narkotika yang akan diberikan tugas secara khusus kepada KEPALA Unit Reserse Narkotika Psykotropika. Unit Reserse Narkotika Psikotropika secara struktural organisatoris berada dibawah Bagian Reserse Narkotika , sedangkan ditinjau dari kepangkatannya maka unit Reserse Narkotika dijabat oleh seorang Perwira Polisi yang berpangkat Letnan Kolonel dan Kepala Bagian Reserse ini bertanggung jawab terhadap Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh seorang Perwira Menengah Polisi dengan Pangkat Kolonel.
Di dalam menjalankan tugas penyidikan suatu kasus tindak pidana narkotika yang terjadi, maka Kepala Unit Reserse Narkotika Psikotropika dibantu oleh 5 orang anggotanya yang tergabung dalam unit tersebut Kepala unit narkotika memiliki tugas yang telah ditetapkan oleh Kapolres D.I Yogyakarta sebagai bcrikut.
1. Memberikan bimbingan atau Pelaksanaan fungsi reserse narkotika.
2. Menyelenggarakan resersetik yang bersifat regional/terpusat pada tingkat daerah yang meliputi :
a. Giat refresif Kepolisian melalui upaya lidik dan sidik kasus-kasus kejahatan yang canggih dan mempunyai intensitas gangguan dengan dampak regional/nasional melalui kejahatan ditujukan terhadap penyalahgunaan narkotika, psikotropika, obat-obat keras dan zat berbahaya lainnya termasuk segala aspek yang terkait.
b. Kriminalitas terhadap analisa korban, modus operandi dan pelaku guna menemukan perkembangan kriminalitas selanjutnya.
3. Melaksanakan operasi khusus yang diperintahkan.
4. Memberi bantuan operasional atau Pelaksanaan fungsi reserse narkotika oleh wilayah di lingkungan Pokes D.I Yogyakarta.
5. Membantu Pelaksanaan latihan fungsi teknik reserse psikotropika.
6. Melaksanakan giat administrasi operasional termasuk pullah jianta yang artinya suatu Sistem pengumpulan dan penyajian data yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan Pelaksanaan fungsi teknik reserse narkotika.
Dilihat dari tugas pokok Kepala Unit Narkotika, dari 5 tugas pokok yang harus diemban pada prinsipnya terdapat 2 hal yaitu :
1. Merupakan upaya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkoba.
2. Mengembangkan metode yang tepat dan cepat sebagai upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika.
Untuk lebih memperjelas peta kejahatan tindak pidana narkotika dan psikotropika dapat kita lihat data-data tindak pidana narkotika yang ditangani Kepolisian Wilayah dari jajaran Polres D.I Yogyakarta pada tahun 2000
Tabel 1
DATA KASUS TINDAK PIDANA NARKOBA PADA TAHUN 2000
BULAN TAHUN 2000 KETERANGAN
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli 1 Kasus
10 Kasus
6 Kasus
6 Kasus
9 Kasus
3 Kasus
4 Kasus Selesai
Selesai 9 Kasus
Selesai 3 Kasus
Selesai 4 Kasus
Selesai 8 Kasus
Selesai 6 Kasus
Selesai 7 Kasus
Sumber : Kabag Serse Narkoba Polres DIY
Dari data tersebut dapat diketahui Kepolisian wilayah kola besar D.I.Y menangani kasus narkoba secara bertahap hal ini disebabkan daerah tersebut memiliki kecenderungan yang besar. POLRI dalam menangani kasus-kasus tindak pidana narkoba bertindaksecara represif justical yaitu melakukan tindakan penyidikan guna kepentingan peradilan . Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh POLRI merupakan proses awal dari proses perkara pidana . Penyidikan pada prinsipnya bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu berusaha untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
B. LANGKAH-LANGKAH PENYIDIK DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA NARKOBA.
Untuk memulai penyidikan pada tindak pidana biasanya dimulai dengan pelaporan atau pengaduan. Pelaporan atau pengaduan ini dapat dilakukan oleh korban atau pihak lain. Sedangkan pada tindak pidana narkoba maka korban narkoba tidak akan melakukan pelaporan,dikarenakan korban narkoba adalah juga pelaku tindak pidana narkoba.
Untuk lebih memperjelas bahwa pelaporan yang dimaksud bukan berasal dari korban,korban tindak pidana narkoba merupakan pelaku tindak pidana narkoba itu sendiri. Hal ini berbeda dengan tindak pidana diluar tindak pidana narkoba. Masyarakat juga melaporkan adanya tindak pidana tetapi jumlahnya terbatas. Dengan demikian maka penyidik Polri tidak hanya mengandalkan pelaporan dari masyarakat,tetapi juga harus menempuh upaya-upaya lain untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana narkoba.
Pelaporan yang diterima penyidik merupakan informasi yang penting untuk dapat mengetahui adanya tindak pidana narkoba. Sumber-sumber informasi dari kasus narkoba meliputi berbagai macam sumber bisa saja informasi juga diterima dari teman sejawat,biasanya informasi itu juga didapat dari orang yang mempunyai hubungan erat dengan petugas operasi. Bisa juga pemberi informasi warga negara yang baik yang bila diajukan sebagai saksi akan sangat membantu. Alangkah baiknya bila penyidik tidak melupakan orang yang pemah menjadi tahanan atau seorang penyidik perlu juga menghubungi penyidik lainnya yang pemah pada masa lampau menangani kasus yang sama kama dengan jalan demikian mereka dapat membenkan informasi tentang tempat-tempat penyalahgunaan obat-obat terlarang.
Selain sumber-sumber diatas maka Polres D.I.Y dalam mengungkapkan suatu tindak pidana narkoba juga menggunakan bekas pecandu narkoba. Digunakannya bekas pecandu narkoba oleh penyidik merupakan tindakan yang tepat.hal ini disebabkan para bekas pecandu narkoba merupakan fakta yang hidup yang dapat membenkan gambaran tentang tingkah laku dari pelaku tindak pidana narkoba. Ada beberapa motifasi sehingga orang yang pernah ketagihan ini memberikan informasi atau keterangan kepada penyidik yaitu :
1. Karena faktor uang, yaitu orang yang memberikan keterangan kepada polisi terdorong karena susah atau karena akan mendapat hadiah langsung.
2. Karena didorong oleh rasa aman.
3. Karena kesadaran dari bekas pecandu narkoba.
Dalam menggunakan infbrman maka ada beberapa taktik yang digunakan oleh penyidik sebagaimana yang diungkapkan oleh R.Soesilo sebagai berikut:
1. Dalam memilih dan memelihara informan seluruhnya dipercayakan kebijaksanaan masing-masing pegawai penyidik sendiri, artinya komandan satuan tidak campur tangan sehingga hal itu merupakan rahasia dari penyidik masing-masing.
2. Tentang pengeluaran uang untuk pembayaran-pembayaran dan hadiah-hadiah bagi para informan tidak perlu dipertanggung jawabkan dengan bukti-bukti pembayaran.
3. Nama informan jangan disebut-sebut atau diberitahukan dalam pemeriksaan dan penuntutan perkara. Bila terjadi demikian tidak akan ada orang yang mau bekerja sebagai informan. Dalam dunia penyelesaian hukum terhadap perkara pidana memang hidup pendapat seperti ini, walaupun demikian kadang-kadang perlu pula dalam hal seorang informan memberikan keterangan dengan perjanjian tidak mau disebut namanya, dibicarakan dengan jaksa yang bersangkutan. Bagaimanapun juga, kerjasama taktis antara instansi-instansi pemberantas kejahatan harus ada.
4. Hubungan dan pertemuan antara penyidik dan informan harus dirahasiakan, misalnya janganlah seorang informan disuruh menghadap di kantor polisi. Bila mau bertemu pilihlah tempat-tempat tertentu yang netral,aman dan tidak menyolok.
5. Dalam hal-hal yang tentu perlu juga pekerjaan seseorang informan dikontrol dengan informan lain yang satu sama lain tidak mengenai agar penyidik jangan sampai dikelabui dengan keterangan yang palsu dan tidak benar.
Dari apa yang diutarakan oleh R.Soesilo maka dengan penggunaan informan oleh penyidik haruslah dilakukan dalam waktu dan kondisi yang tepat, karena apabila penggunaan informan tidak dilakukan dalam waktu dan kondisi yang tepat maka akan merusak dan mengganggu upaya penyidik itu sendiri. Di samping digunakan taktik yang benar dalam penggunaan informan, dalam kaitannya POLRI sebagai penyidik untuk melindungi informannya, maka peranan Perundang-undangan yang menetapkan hak-hak istimewa bagi pemberi informan sangatlah penting. Di Indonesia perlindungan bagi pelapor dari tindak pidana narkoba diberikan dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 pasal 28 yang menyebutkan :
Di depan pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pemberian hak istimewa bagi pelapor akan dapat memberikan manfaat untuk menjalin kesinambungan arus informasi mengenai kegiatan-kegiatan melanggar hukum kepada para petugas penegak hukum dan melindungi sumber informasi dari ancaman atau balas dendam. Setelah diketahuinya informasi, POLRI selaku penyidik merencanakan upaya-upaya selanjutnya . Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suwanto upaya- upaya yang digunakan untuk mengetahui adanya tindak pidana nakoba adalah sebagai berikut:
“ Dalam kasus narkoba korban adalah pelaku sehingga pelapor tidak ada, oleh
karena itu dengan upaya yang ada dengan teknik yang ada kita berusaha untuk
mencari mendeteksi, begitu mendapatkan informasi baru kita merencanakan
bagaimana kita menangkap pelakunya yang kita sasarkan kepada pengedar
atau pengepul. Hal ini memang sulit tetapi ada beberapa teknik penyelidikan
mulai dari observasi ( peninjauan ), surveillance (pembuntutan), undercover
agen ( penyusupan agen ), undercover buy ( pembelian terselubung ),
controlled planning ( penyerahan yang dikendalikan ), dan raid planning
execution ( rencana Pelaksanaan penggerebekan )”
Dari apa yang dikemukakan Suwanto dapat diketahui 2 kegiatan yang berkaitan dengan teknik pengungkapan tindak pidana narkoba yaitu :
1. Teknik yang bertujuan untuk mendapatkan atau menguatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana narkoba yang meliputi : observasi, surveillance dan undercover agen.
2 Teknik yang bertujuan untuk menangkap pelaku tindak pidana narkoba yang meliputi: undecover buy, controled delivery.
3 Dari teknik yang ada dapat dikatakan bahwa teknik yang pertama adalah mendahului tindakan kedua. Karena pada teknik pertama penyidik harus berusaha untuk mendapatkan informasi serta menguatkan informan yang telah didapat mengenai pelaku tindak pidana narkoba dan modus operandinya. Setelah mendapatkan informasi-informasi tersebut maka diadakanlah teknik yang kedua yaitu merupakan usaha POLRI untuk merencanakan adanya tindak pidana yang dikontrol dengan cara pembuatan TKP. Kegiatan yang paling menentukan keberhasilan tindakan pendahuluan diatas adalah Raid Planning Execution.
Untuk lebih memperjelas mengenai teknik-teknik dari penyidikan tindak pidana narkoba tersebut dijelaskan berikut ini :
1. Observasi.
Pengertian observasi yaitu “meninjau atau mengamat-amati suatu tempat, keadaan atau orang untuk mengetahui baik hal-hal yang biasa maupun yang tidak biasa dan kemudian hasilnya dituangkan dalam suatu laporan”.
Dari observasi yang dilakukan dapat diketahui kondisi suatu tempat dan orang-orang yang ada ditempat tersebut. Setiap apa yang dilihat dan diamati oleh observer akan dicatat sehingga dapat menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam melaksanakan observasi haruslah diperhatikan hal-hal yang lain atau terdapat perbedaan dari hal-hal biasa yang tidak diketahui masyarakat umum. Cara melakukan observasi adalah bermacam-macam ragamnya antara lain apa yang tersebut di bawah ini.
a. Observasi sepintas lalu, ialah observasi yang dilakukan secara sambilan, dilakukan disamping tugas penyididk sehari-hari atau disamping tugas lainnya.
b. Observasi secara teratur , yaitu yang dijalankan oleh perorangan atau kelompok dan merupakan tugas berdiri sendiri.
c. Observasi selayak pandang, ialah observasi dilakukan sccara umum dengan
perhatian yang berpindah-pindah tidak mendalam hanya menghasilkan
gambaran dalam garis besar, bersifat umum akan tetapi I was.
d. Observasi khusus, yaitu yang ditujukan khusus kepada suatu hal yang
tertentu, kepada suatu hal yang melulu.
2. Surveillance (pembuntutan)
Dalam mengungkapkan adanya suatu tindakan pidana narkoba maka penyelidik tidak hanya melakukan pemeriksaan atau pengawasan hanya pada suatu tern pat tertentu. Pengawasan ini harus dilakukan secara berpindah, untuk itu diperlukan teknik surveillance. Pengertian surveillance adalah:
Pengawasan terhadap orang , kenderaan dan tempat atau obyek yang dilakukan secara rahasia , terus-menerus dan kadang -kadang bcrselang untuk memperoleh infbrmasi kegiatan dan identifikasi oknum. Infbrmasi yang diperoleh dalam melakukan pembututan digunakan untuk mengidentiflkasi sumber , kurir dan penerima narkoba. Operasi surveillance dilakukan secara terus-menerus dan kadang berganti-ganti agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi pelaku tindak pidana narkoba. Adapun tujuan pembututan adalah :
a. Untuk melindungi petugas reserse (undercover agent) atau untuk
menguatkan kesaksian.
b. Untuk memperoleh bukti kejahatan.
c. Untuk melokalisir orang dengan mengawasi tempat yang sering ia kunjungi dan orang-orang yang berhubungan dengannya.
d. Untuk mengecek kejujuran informan.
e. Untuk melokalisir harta benda atau barang-barang terlarang yang disembunyikan.
f. Untuk mendapatkan kemungkinan dasar yang bisa digunakan untuk
melakukan penggeledahan
g. Untuk mendapatkan kemungkinan dasar yang bisa digunakan untuk melakukan penggeledahan.
h. Untuk memperoleh informasi untuk digunakan nanti dalam interogasi.
i. Untuk mengembangkan petunjuk dan informasi yang diterima dari sumber-sumber lain.
j. Untuk mengetahui secara terus-menerus dimana seseorang itu berada.
k. Untuk memperoleh barang bukti sah untuk digunakan dipengadilan.
Sedangkan tinjauan dari fungsi operasi pembuntutan dapat digolongkan menjadi:
a. Pembuntutan untuk mengumpulkan data intelijen ( inteligence seeking surveillance ) dimana penyidik perlu mempelajari segala sesuatu yang bisa ia lakukan mengenai suatu kejahatan atau kegiatan. Ia berusaha mempelajari sumber pemasok barang bagi tersangka, siapakah kurirnya dan siapa saja yang mungkin menjadi kaki tangannya.
b. Pembuntutan sebelum dilakukan pembelian ( prepurchase surveillance ) dilakukan untuk menghimpun data intelijen yang akan membantu petugas reserse dalam usahanya melakukan pembelian dari tersangka. Penyidik berusaha mengenali orang-orang yang berhubungan dengan tersangka. Ia juga berusaha mengetahui sumber pemasok dan kurir-kurimya.
c. Pembuntutan selubung ( cover surveillance ) dilakukan terutama untuk melindungi petugas reserse , pembuntutan jenis ini juga dimaksudkan untuk menguatkan kesaksian sipetugas reserse.
d. Pembuntutan pasca pembelian ( post purchase surveillance ) dilakukan untuk alasan-alasan sebagai berikut:
– Untuk memastikan larinya uang setelah penjualan.
– Untuk mengambil orang-orang lain yang menjadi pelanggan sipenjual tersebut.
– Agar tetap bisa mengawasi sipenjual dalam petugas mendapatkan barang tidak sesuai dengan kenyataan.
Operasi pembuntutan yang dilakukan penyidik harus juga didukung oleh perlengkapan komunikasi dan transportasi yang memadai. Sebelum dilakukan operasi pembuntutan maka petugas harus memperoleh data orang yang akan dibuntuti. Dalam mempelajari informasi yang berkaitan dengan tersangka, penyidik hendaknya memusatkan perhatiannya pada nama-nama dan alias-alias yang digunakan oleh tersangka, gambaran fisik yang terinci, termasuk foto jika ada, dan ciri-ciri serta tabiat lain yang bisa dikenali. Kebiasaan dan kegiatan sehari-harinya yang telah biasa dilakukan dan kemampuan menghindari, pembuntutan. Dan juga harus diketahui identitas dan gambaran kotak-kotak dan kawan-kawan tersangka yang sudah diketahui atau dicurigai hendaknya diketahui.
3. Undercover Agent ( Penyusupan Agen )
Operasi penyusupan dalam tindak pidana narkoba sangat diperlukan hal ini disebabkan tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana yang terorganisasi. Pengertian undercover atau penyusupan adalah :
Suatu operasi penyidikan yang sifatnya tertutup dan dirahasiakan kegiatan-kegiatan penyusupan semuanya disamarkan ( Belanda : vermond ) sedemikian rupa. Sehingga orang-orang yang melakukan dan segala kegiatannya tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang atau obyek yang disusupi.
Operasi penyusupan yang dilakukan penyidik ini merupakan operasi yang cukup berbahaya. Hal ini disebabkan tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana yang terorganisir. Dengan demikian dalam melakukan penyusupan, penyidik menghadapai orang-orang dari organisasi ( sindikat) narkoba yang berbahaya.
Penyusupan ini akan sangat efektif jika digunakan dalam hal telah diketahui lebih dahulu, bahwa beberapa orang terlihat dalam suatu kejahatan berkomplot, tetapi bukti-bukti yang diperlukan masih kurang.
Dengan adanya informasi-informasi yang didapat melalui teknik-teknik yang disebut di atas tersebut dapat disusun perencanaan guna penangkapan pelaku tindak pidana narkoba yaitu dengan cara pembuatan TKP. Langkah ini merupakan penerapan dari teknik kedua. Dengan dibuatnya TKP oleh penyidik pada prinsipnya penyidik berkeinginan untuk membuat suatu tindak pidana narkoba yang diatur dan dikontrol oleh penyidik dengan cara menentukan lokasi dan teknik tertentu. Perekayasaan tempat kejadian perkara dalam tindak pidana narkoba bertujuan untuk menciptakan suasana tertangkap tangan sehingga pelaku tidak dapat mungkir dari sidang pengadilan.
Selain bertujuan agar pelaku tindak pidana tidak mungkir di Pengadilan, maka ditambahkan oleh Suwanto mengenai tujuan dari perekayasaan tempat kejadian perkara oleh penyidik :
a. Untuk memudahkan penangkapan.
b. Tidak mengganggu masyarakat.
c. Tidak membawa korban
4. Pembelian Terselubung ( undercover buy)
Pembelian terselubung ( undercover buy ) sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana narkoba dapat kita lihat pengertiannva dalam petunjuk lapangan No. Pol. Juklap/04/VIII/1983 disebutkan :
Pembelian terselubung atau undercover buy adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkoba, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung), atau pejabat lain yang diperbantukan kepada polisi ( di bawah selubung ), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual beli narkoba, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut, si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan dengan supply narkoba dapat ditangkap beserta barang bukti yang ada padanya.
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelian terselubung ( undercover buy ) bertujuan untuk menangkap penjual atau perantara atau orang yang berkaitan dengan supply narkoba beserta barang bukti yang sah. Pembeli terselubung ( undercover buy ) dapat dilaksanakan dalam hal penyelidik mengetahui atau memperoleh petunjuk yang kuat tentang adanya sejumlah narkoba yang akan diperjuai-belikah , akan tetapi dimana narkoba tersebut berada/disimpan oleh siapa, sehingga untuk penggungkapan tersangka atau barang bukti terselubung, perlu juga diupayakan pembelian terselubung.
Sebelum diadakannya pembelian terselubung ( undercover buy ) maka diadakan kegiatan-kegiatan berupa pertemuan, perundingan-perundingan dengan pengedar narkoba untuk memungkinkannya dilakukan pembelian terselubung. Bila dimungkinkan pembelian terselubung ini dilakukan lebih dari satu orang. Hal ini tergantung kepada situasi dan kondisi. Setelah dilakukan berupa transaksi dan dari pihak lawan tidak terdapat kecurigaan terhadap orang terselubung maka kemudian ditentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi terselubung. Dalam menentukan lokasi perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
a. Lokasi harus memungkinkan dilakukannya pengawasan tcrhadup gerak-gerik lawan dan memungkinkan dilakukannya pengamanan terhadap undercover, uang transaksi dan dihindari tempat yang terlalu ramai dan terbuka.
b. Lokasi memungkinkan dipergunakannya alat-alat komunikasi dan deteksi, baik untuk mengawasi lawan maupun untuk kepentingan komunikasi untuk koordinasi sesama petugas.
c. Lokasi harus dikuasai sejak dini,sehingga memungkinkannya dilakukan usaha pengamanan dan menghindari kontra penyelidikan pihak lawan.
Pembelian terselubung ( undercover buy ) ini haruslah dipersiapkan secara matang , karena operasi ini merupakan operasi yang cukup berbahaya karena menyangkut nyawa dari orang yang terselubung. Kegagalan yang mengakibatkan kematian dari orang terselubung akan mengusik perasaan dari penyidik dan merupakan kegagalan bagi upaya Penegakan hukum.
5. Penyerahan Narkoba Yang Dikendalikan ( Controlled Dellivery )
Penyerahan yang dikendalikan ( controlled dellivery ) sebagai suatu metode yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana narkoba dapat dilihat pengertiannya dalam petunjuk lapangan No. Pol. Juklap/ 03/ VIII/1993 disebutkan :
Penyerahan yang dikendalikan ( controlled dellivery ) adalah suatu teknik khusus dalam penyidikan kejahatan narkoba tahap penyelidikan dan terjadi penangguhan/ penangkapan/penahanan/pensitaan, barang bukti, dimana seorang tersangka yang mau bekerja sama dengan polisi atau informan atau pejabat lain ( undercover agent ) dibenarkan/narkoba tersebut pada penerimanya, dengan maksud pada saat penerimaan dapat ditangkap orang-orang yang terlibat kejahatan narkoba beserta barang buktinya
Penyerahan yang dikendalikan dapat dilakukan dalam hal penyidik telah berhasil menangkap tersangka beserta barang bukti narkoba, akan tetapi masih perlu pengembangan penyidikan lebih lanjut. Dalam pemeriksaan singkat penyidik berkesimpulan, bahwa tersangka hanya sekedar pembawa atau kurir atau diharapkan penemuan barang bukti lebih banyak lagi sekaligus membongkar jaringan sindikat.
Untuk menjamin kesuksesan dari operasi pembelian terselubung ( undercover buy ) dan penyerahan yang diatur ( controlled delivery ) ini haruslah didahului oleh perencanaan yang matang. Perencanaan ini meliputi beberapa faktor :
a. Jumlah manusianya macam dan lamanya jenis surveillance, macam dari pembelian yang harus dilakukan dan macam- macam keputusan lainnya yang tak dapat dihindarkan harus menggunakan tenaga menusia.
b. Uang karena seringkali berhasilnya penangkapan perdagangan narkoba karena membeli narkoba tersebut/memamerkan jumlah uang untuk menarik pengedar narkoba mada budget untuk melakukan operasi narkoba harus memadai.
c. Waktu strategi untuk mengamati dan memperlajari tersangka juga berbeda maka waktu yang disediakan untuk operasi narkoba haruslah cukup. Lebih baik menunda suatu rencana operasi narkoba bilamana waktu yang tidak memadai daripada gagal dalam melakukan tindak, jelas disini bahwa gerak tersangka adalah merupakan faktor utama dimana penyidik menentukan waktu banyak.
d. Alat terutama untuk melaksanakan operasi survellance, petugas harus mempunyai alat yang memadai. Alat-alat ini terdiri dari binokular transmitter tubuh, teropong malam, dan senjata khusus.
e. Bantuan hukum juga perlu dipersiapkan dalam penyidikan dan banyaknya
hal-hal teknis karena penyelesaian kasus seringkali terlupakan hal-hal yang
sebenarnya perlu diambil ; maka seorang penyidik narkoba perlu ditunjang oleh seorang ahli hukum bilamana ada. Dan bila peraturan-peraturan hukum dapat diambil dari kantor kejaksaan, maka penyidik dapat mempelajari dengan seksama.
Dalam kasus narkoba maka perencanaan yang baik akan menentukan operasi yang baik pula. Sehingga usaha yang dilakukan sebelumnya akan dapat dinikmati keberhasilannya dengan perencanaan yang matang. Dan menurut penulis kegagalan dalam operasi narkoba tidak hanya akan mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tetapi juga akan membahayakan orang-orang yang terlibat dalam operasi tersebut.
Setelah dilakukan operasi undercover buy dan cotrolled dellivery maka tindakan yang selanjutnya sangat menentukan adalah menentukan saat yang tepat untuk menangkap pelaku dalam operasi. Penentuan saat yang tepat untuk melakukan penangkapan dalam istilah Kepolisian disebut Raid Planning Execution.
6. Raid Planning Execution ( Rencana Pelaksanaan Penggerebekan )
Raid Planning Execution ini dapat dikatakan sebagai upaya penentuan dari keberhasilan operasi-operasi. Saat-saat yang tepat dalam melakukan penggerebekan adalah pada saat barang itu akan diserahkan kepada orang dibawah selubung dan masih ada ditangan penjual. Dengan demikian terciptalah apa yang disebut dengan tertangkap tangan . Tetapi apabila barang itu ada ditangan orang dibawah selubung maka kemungkinan besar dalam sidang pengadilan maka pelaku akan memungkiri bahwa barang bukti yang diajukan bukan merupakan miliknya. Pengertian tertangkap tangan menurut pasal 1 angka 19 KUHP disebutkan:
Tertangkapnya seseorang pada waktu yang sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut membantu melakukan tindak pidana itu.
Waktu penentuan penangkapan dari operasi terselubung maka memang sebaiknya dilakukan pada saat barang itu akan diserahkan . Dengan demikian akan memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1 angka 19 KUHP ditemukan benda atau barang bukti milik pelaku yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkoba.
Dalam hal ini maka upaya pembelian terselubung dan penyerahan yang dikendalikan dengan melakukan raid planning execution. Ini merupakan suatu usaha dari penyidikan untuk menciptakan suatu peristiwa dimana tersangka sedang melakukan jual beli narkoba, sehingga terciptalah unsur-unsur di dalam pasal 23 ayat 5 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 menyebutkan : “Dilarang tanpa hal mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual-membeli, atau menyerahkan, menerima , menjadi perantara dalam jual-beli atau menukar narkoba”. Selain itu dengan melakukan raid planning execution maka barang bukti masih ada di tangan tersangka, sehingga memenuhi rumusan dari pasal 1 angka 19 yaitu apabila sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu ada ditangan tersangka. Untuk lebih memperjelas dari teknik penyidikan narkoba penulis mencoba menyusun dalam suatu bagan akan lebih memperjelas uraian mengenai teknik penyidikan pada tindak pidana narkoba
BAGAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA
Pada bagan mengenai penyidikan tindak pidana narkoba diketahui adanya tindak pidana narkoba melalui informasi. Informasi yang didapat ini dijadikan dasar untuk melakukan penyelidikan, untuk menentukan dapat atau tidaknya diadakan penyidikan. Teknik- teknik dalam penyidikan itu melalui teknik-teknik: observasi, surveillance, undercover agent, undercover buy, dan controll delivery . Teknik-teknik yang digunakan ini disesuaikan dengan kondisi yang didasarkan atas informasi dan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkoba. Dari hasil yang diperoleh dari teknik-teknik tersebut di atas maka diadakan Raid Planning Execution untuk menciptakan kondisi tertangkap tangan saat transaksi narkoba. Dengan bukti-bukti serta kesaksian dari tersangka maupun saksi digunakan untuk pembuatan Berita Acara Pemeriksaan. Berita Acara Pemeriksaan telah lengkap dan memenuhi syarat –syarat diserahkan kepada penuntut umum.
Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 6 KUHP POLRI memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan penyidikan. Namun secara operasional didalam melakukan kasus-kasus tindak pidana narkoba POLRI selaku penyidik tidak melaksanakan tugasnya dengan murni mandiri. POLRI selaku penyidik perlu bekerjasama dan koordinasi dengan seksi-seksi yang ada ditubuh POLRI sendiri dan Instansi-Instansi terkait lainnya agar kasus-kasus tindak pidana narkoba, dapat dengan secepatnya dituntaskan dengan hasil yang sebaik-baiknya.
Dalam terjadinya suatu kasus tindak pidana narkoba POLRI mengadakan koordinasi dengan instansi yang terkait meliputi :
– Kejaksaan.
– Kehakiman.
– Laboratorium Kriminal.
– Imigrasi.
Koordinasi yang dilakukan atara POLRI selaku penyidik, Jaksa selaku penuntut umum dan Hakim dalam Upaya Penegakan hukum dapat dikatakan erat sekali. Dalam hal ini Suwanto mengemukakan bahwa ” Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan criminal justice system atau dalam bahasa instansi final yang menangani perkara, Polisi berusaha untuk mengumpulkan fakta hingga terungkap perkara pidana, kemudian dilanjutkan ke Penuntut Umum guna pembuatan surat dakwaan yang nantinya diajukan ke Hakim dalam persidangan”. Dari apa yang diungkapkan oleh Suwanto dapat diketahui bahwa ketiga lembaga inilah yang melakukan upaya Penegakan hukum dalam suatu Sistem peradilan pidana sehingga antara satu lembaga dan lembaga lain saling menunjang, kelemahan salah satu lembaga akan mempengaruhi Sistem dari peradilan hukum.
Koordinasi yang dilakukan oleh POLRI selaku penyidik dengan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum mempunyai arti yang cukup penting bagi pihak POLRI yaitu agar nantinya semua proses penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan oleh POLRI atas kasus tindak pidana narkoba yang akan diberikan kepada Kejaksaan. Dengan adanya koordinasi akan dapat menghindarkan dikembalikan berkas-berkas perkara tersebut kepada POLRl dengan alasan terdapat kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan yuridis, koordinasi ini akan menghindari kemungkinan terjadinya prapenuntutan. Bentuk koordinasi oleh POLRI selaku penyidik dengan penuntut umum adalah :
a. Penyidik wajib memberitahukan kepada Penuntut Umum pada saat
dimulainya penyidikan.
b. Penyidik wajib memberitahukan mengenai perpanjangan penahanan.
c. Penyidik wajib memberitahukan mengenai penghentian penuntutan kepada
Penuntut Umum.
Koordinasi antara pihak POLRI selaku penyidik dan Kejaksaan selaku penuntut umum juga diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus narkoba yang amat rumit. Sehingga penuntut umum akan lebih mudah mengetahui persoalan yang akan ditanganinya, sehingga dapat menghemat waktu bagi penyidik maupun penuntut umum. Dengan adanya koordinasi yang baik dengan pihak POLRI selaku penyidik dan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum akan memberikan dampak yang positif bagi pihak POLRI maupun pihak Kejaksaan. Hasil koordinasi yang dilakukan oleh POLRI selaku penyidik dengan pihak Kejaksaan selaku penuntut umum adalah untuk mencegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-pelanggaran yang timbul di dalam masyarakat yang disebabkan oleh penyalahgunaan narkoba yaitu dengan jalan menyerahkan berkas-berkas penuntutan yang didasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pada Hakim guna diperiksa dan diputuskan untuk mendapatkan suatu penetapan hukum bagi pelaku tindak pidana narkoba.
Dalam menangani tindak pidana narkoba POLRI juga bekerjasama dengan pihak Imigrasi, perlunya kerjasama ini mengingat pelaku tindak pidana narkoba dalam perdagangannya memiliki uang dalam jumlah yang cukup besar sehingga mobilitas pelakunya begitu tinggi. Pihak POLRI dapat meminta bantuan pihak Imigrasi untuk melaksanakan apa yang sering disebut cekal yaitu berarti cegah dan tangkal, cegah berarti bahwa dilakukannya upaya untuk mencegah orang-orang tertentu yang merugikan kepentingan negara dan melanggar hukum positip tidak dapat melarikan diri ke luar negeri, sedangkan tangkal berarti bahwa dilakukannya upaya untuk mencegah orang-orang tertentu dari luar negeri yang dianggap pemerintah membahayakan kepentingan hukum positip dan pemerintahan sehingga dilarang untuk memasuki teritorial Negara Republik Indonesia.
Apabila tersangka tindak pidana narkoba telah melarikan diri ke luar negeri maka pihak POLRI dapat bekerjasama dengan meminta bantuan kepada Interpol yang
merupakan organisasi Kepolisian Internasional dan apabila ternyata negara lain tempat dimana pelaku tersebut melarikan diri mempunyai hubungan diplomatik bilateral dengan Indonesia, maka dapat dilakukan Upaya ekstradiksi atau pengambiian tersangka ke Indonesia.
Penyidikan pada tindak pidana narkoba tidak hanya dilakukan oleh POLRI tetapi juga dilakukan oleh Pejabat Kesehatan selaku penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan tindak pidana narkoba terbatas hanya pada pengawasan narkoba terhadap lembaga-lembaga yang ada di bawahnya.
Untuk menentukan suatu zat merupakan narkoba maka pihak POLRI dalam hal ini penyidik bekerjasama dengan Laboratorium Kriminal POLRI . Pernyataan yang dikeluarkan oleh Laboratonum Kriminal dalam bentuk tertulis merupakan keterangan ahli yang dilampirkan dalam Berita Acara Pemeriksaan . Secara fisual pihak penyidik mampu mengetahui suatu zat apakah narkoba atau bukan, terutama yang paling mudah adalah ganja. Hal ini didasarkan atas pengalaman pihak penyidik Reserse Narkoba Polres Yogyakarta tetapi untuk menguatkan perlu adanya keterangan ahli yang menguatkan .
Dalam melakukan penyidikan pihak POLRI tidak hanya berhubungan dengan tersangka tindak pidana narkoba, tetapi juga berhubungan dengan penasehat hukum yang memiliki tersangka. Adanya penasehat hukum ini tergantung dari keinginan tersangka, apakah tersangka berkeinginan untuk didampingi penasehat hukum atau tidak. Bagi POLRI adalah suatu kewajiban menawarkan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, sesuai dengan pasal 115 KUHAP. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwanto yang menyebutkan :
Digunakannya penasehat hukum itu tergantung tersangka apakah memakai atau tidak, kewajiban POLRI untuk menawarkan apakah tersangka memerlukan penasehat hukum atau tidak
Dari apa yang diungkapkan Suwanto maka istilah ” dapat ” dalam pasal 115 KUHAP oleh penyidik bukanlah merupakan suatu alternatif tetapi merupakan kewajiban untuk menawarkan kepada tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum karena penyidikan merupakan proses awal dari penegakan hukum yang bersangkutan dengan hak asasi manusia dan dengan adanya kesempatan untuk didampingi oleh penasehat hukum maka hak asasi tersangka dapat terlindungi. Dalam tingkat penyidikan maka kehadiran penasehat hukum untuk mendampingi tersangka sebatas pada mendengar dan melihat. Dalam hal ini H. Hamrad Hamid dan Harun M. Husein memberikan gambaran :
Meskipun demikian , pada hemat kami KUHAP telah membuka lembaran baru bagi penyelenggaraan bantuan hukum dengan menempatkan hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum sejak pada tahap penyidikan . Dengan kehadiran penasehat hukum dalam pemeriksaan itu, telah menunjukkan Perubahan sifat pemeriksaan yang tidak lagi menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan, tetapi sebagai subyek pemeriksaan yang hak-haknya dilindungi Undang-Undang.
Dengan adanya koordinasi antara POLRI selaku penyidik dan instansi terkait maka POLRI mampu mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana narkoba di Yogyakarta dimulai tahun 2000.
Pemakai yang dimaksud di sini adalah orang yang menggunakan narkoba untuk dirinya sendiri. Pengedar adalah orang yang memiliki narkoba untuk diperdagangkan dengan memperoleh imbalan berupa uang . Pengedar dan pemakai adalah orang yang memiliki narkoba untuk digunakan untuk dirinya sendiri dan untuk diperdagangkan . Penanam adalah orang yang menanam tanaman narkotika.
Dari keterangan diatas dapat dikatakan tanaman ganja memiliki kualitas yang paling banyak dibandingkan dengan tanaman narkotik lainnya, baik dilihat dari jumlah kasus, pemakai dan barang bukti. Banyak tanaman ganja yang digunakan sebagai tindak pidana narkoba di Yogyakarta menurut Suwanto dikarenakan beberapa faktor yaitu :
1. Ganja dapat tumbuh di Indonesia sehingga tanaman ganja mudah diperoleh di Indonesia.
2. Dari faktor ekonomi , ganja lebih murah dibandingkan dengan heroin atau
kokain.
3. Sehingga dari faktor ekonomi ganja lebih banyak konsumennya. Dari apa yang diutarakan oleh suwanto nampak bahwa ganja merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi oleh pemakai narkoba di Yogyakarta
Sedangkan dilihat dari skala yang lebih luas maka tindak pidana narkoba di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dapat dikatakan cukup kecil. Hal ini diungkapkan oleh Suwanto sebagai berikut:
Situasi narkoba di Indonesia selama ini dapat dikatakan cukup kecil dibandingkan negara lain. Jumlah pecandu narkotika dan psikotropika di Indonesia sebanyak 10.176 orang dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia 186 juta maka tingkat perbandingan pecandu narkoba adalah 0.055. Dibandingkan dengan Malaysia maka pecandu narkoba sebanyak 157.000 orang dengan jumlah penduduk Malaysia sebanyak 15 juta maka tingkat perbandingan 1.04 % .
Tingkat perbandingan pecandu narkoba yang cukup kecil ini merupakan kondisi yang cukup menggembirakan tetapi pengawasan terhadap penyalahgunaan narkoba harus tetap ditingkatkan karena usaha-usaha pencegahan baik preventif maupun represif yang tidak dilaksanakan secara kontinyu akan memberikan kesempatan bagi berkembangnya pecandu narkoba .
C. HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH PENYIDIK DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA.
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan yang ditemui POLRI selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan itu meliputi:
1. Personil.
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba hambatan dari segi personil yang ada di Polres Yogyakarta merupakan hambatan dari kurangnya pendidikan khusus yang diperoleh. Diungkapkan oleh Suwanto mengenai kurangnya pendidikan khusus narkoba yang diterima oleh penyidik dalam hal ini unit narkoba di Polres Yogyakarta:
Dalam penyidikan kasus narkoba haruslah penyidik minimal pernah mendapatkan pendidikan mengenai penyidikan kasus narkoba.
Pendidikan khusus ini diadakan oleh Mabes Polri bekerjasama dengan Departemen Pertahanan Dan Keamanan maupun dari pihak luar negeri. Kedua lembaga inilah yang sering bekerjasama dengan Polri dalam menyelenggarakan pendidikan khusus, tetapi penyelenggaraan pendidikan khusus ini sangat terbatas dengan jenjang waktu yang cukup lama. Dengan demikian kesempatan-kesempatan untuk mengikuti pendidikan khusus ini sangat terbatas. Dengan adanya pendidikan khusus diharapkan penyidik tindak pidana narkoba dapat meningkatkan kemampuan mengenai kasus-kasus narkoba.
2. Masyarakat kurang mengetahui ciri-ciri narkoba.
Narkoba sebagai bahan yang harus selalu mendapat pengawasan karena sifat berbahaya , narkoba harus dapat diketahui ciri-cirinya oleh masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui adanya ciri-ciri dari tanaman narkotika guna mencegah dilakukannya tindak pidana narkoba “Hingga saat ini dapat dikatakan masyarakat kurang mengetahui ciri-ciri narkoba, untuk perlu diadakan usaha penyebaran informasi mengenai ciri-ciri narkoba.”
Pasal 31 Undang-Undang No. 9 tahun 1976 memberikan suatu premi bagi penyidik yang berhasil mengungkapkan atau membongkar tindak pidana narkoba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan gairah bagi berhasilnya penyidikan tindak pidana narkoba yang sangat tertutup dan pelik masalahnya. Tetapi pemberian premi ini belum terlaksana dikarenakan Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ada.
Upaya-upaya yang dilakukan POLRI dalam memecahkan hambatan-hambatan dalam penyidikan tindak pidana narkoba. Tindak pidana Narkoba sebagai tindak pidana yang tidak hanya membahayakan pelakunya tetapi juga bangsa dan negara haruslah dapat dilakukan pencegahan . POLRI sebagai aparat penegak hukum tidak terlepas dari hambatan-hambatan dalam penyelidikan tindak pidana narkoba . Untuk itu diperlukan upaya untuk memecahkan hambatan-hambatan penyidikan tindak pidana narkoba seperti dalam uraian sebelumnya :
1. Latihan rutin sebagai alternatif untuk mengatasi kekurangan pendidikan khusus mengenai penyidikan narkoba.
2. Penyuluhan yang dilakukan POLRI sebagai upaya penaggulangan preventif tindak pidana narkoba
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dengan adanya Penyidik POLRI upaya penyidikan terhadap pelaku tindak pidana Narkoba dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan dengan hasil memuaskan. Hal ini karena instrumen yang ada di dalam POLRES D.I.Y bekerjasama dalam menuntaskan kasus-kasus tindak pidana narkoba yang terjadi.
2. Dengan keberadaan UU/10 : 22 tahun 1997 tentang narkoba dan UU No : 5 Tahun 1997 tentang psikotropika diharapkan agar para pelaku tindak pidana narkoba semakin jera, karena sanksi yang diatur di dalamnya mengatur tegas tentang kejahatan-kejahatan narkotika dan psikotropika.
3. Perjalanannya proses penyidikan perkara tindak pidana narkoba serta
keberhasilan penyidik dapat membersihkan seseorang benar-benar
melakukan tindak pidana narkoba, dapat kita lihat dari tabel-1, ini karena
ditunjang oleh kebersamaan para anggota penyidik POLRI serta fasilitas-
fasilitas penunjang terlaksananya penyidikan suatu kasus.
4. Diharapkan berlanjutnya Berita Acara Pemeriksaan yang diserahkan penyidik POLRI kepada ke Kejaksaan dapat segera diselesaikan sesuai prosedur dan bisa diserahkan ke Pengadilan.
5. Kekuatan pembuktian dari alat bukti serta adanya pemeriksaan laboratorium kriminal ( tes urine) , maupun barang bukti , cukup menguatkan keyakinan Hakim.
6. Berdasarkan sanksi-sanksi yang telah diatur oleh UU No. 22 Tahun 1997
usaha-usaha dari Penyidik POLRI benar-benar diperhatikan oleh Hakim
dalam menjatuhkan putusannya.
B. SARAN-SARAN
Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat penyelesaian perkara tindak pidana/ narkoba antara lain :
1. Perlu dipikirkan peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang
diperlukan dalam membantu proses penyidikan guna memberikan titik
terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti dibuatkan suatu buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini disebarkan kepada masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat menginformasikan kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-obatan tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan.
2. Harus diusahakan penambahan personil dari kantor kepolisian resort D I Y karena untuk proses penanganan kasus narkoba membutuhkan waktu yang lama ,untuk itu dibutuhkan personil yang banyak dalam arti pembagian tugas dari pada penyidik baik lapangan maupun kantor telah dibagi tugasnya masing-masing.
3. Pengadaan suatu pendidikan atau penataran terhadap para penyidik yang terlibat dalam penanganan tindak pidana narkoba karena dilihat dari berbagai macam jenis-jenis Psikotropika yang disalahgunakan dan beredar di masyarakat, diharapkan penyidik telah mengetahui jenis-jenis obat psikotropika yang beredar di masyarakat.
4. Diharapkan masyarakat Yogyakarta Khususnya membantu tugas POLRI dalam memberi informasi apabila adanya peredaran obat-obat terlarang dilingkungan masing-masing.
5. Dan diharapkan kepada Masyarakat, agar menyadari bahwa mengkonsumsi obat-obat yang identitasnya tidak jelas dan dilarang oleh pemerintah dapat merusak kesehatan dan mempunyai sanksi hukum yang tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Gerson Bawengan Penyidikan Perkara Pidana.Pradnya Paramita.Jakarta.l977
Andi Hamzah , Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. I983
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta , Jakarta 1993
Andi Hamzah Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Tekhnik dan sarana hukum, Ghalia,Indonesia,Yogyakarta, 1986
Abdul Mun’im dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Proses Penyidikan Perkara, Karya Unpra 1982
Ratna Nurul Afiah,SH , Barang Bukti Dalam Proses Pidana.Sinar Grafika.Jakarta,1998
Departemen Hankam Mabes Polri, himpunan juklak dan juknis tentang Proses Penyidikan Perkara Pidana, Jakarta, 1982
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1997; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1997; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 1996; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention On Psychoterapic Substances 1971 ( Konvensi Psikoterapi 1971)