Peranan Komisi Yudisial Dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman
1. Pendahuluan
Sebagai salah satu buah dari agenda reformasi nasional tahun 1998, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu adanya organ negara yang baru. Dalam Pasal 24B hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adanya ide pembentukan Komisi Yudisial diadopsi ke dalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Komisi Yudisial telah dilembagakan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sejak tanggal 13 Agustus 2004 (UU No. 22, 2004), yaitu dengan ketentuan Pasal 39 yang menyatakan: “Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-undang ini, pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang?undang Nomor 14 tahu 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”
Pembentukan Komisi Yudisial haruslah dilakukan dengan pengangkatan para anggota Komisi Yudisial menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 24B ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Oleh karena itu sebelum Komisi Yudisial dibentuk sebagaimana mestinya, perlu dibentuk terlebih dahulu tim seleksi Komisi Yudisial. Untuk itu Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Januari 2005 telah menanda tangani Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial (Harian Kompas, 2005). Atas dasar Keputusan Presiden inilah panitia akan melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Komisi Yudisial yang berkualitas, energik, potensial dan mengerti hukum. Pada tanggal 8 Juni 2005, komisi III DPR menetapkan tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) melalui voting tertutup dalam rapat pleno khusus (Harian Kompas, 9 Juni 2005).
2. Peranan Komisi Yudisial
Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman, pertama, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutus perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
Kewenangan tersebut diatas sungguh sangat terbatas untuk itu diuraikan lagi dalam Undang-undang No 22 tahun 2004 yang mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenangnya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisal diberi tugas yaitu (Pasal 14 UU No. 22, 2004): melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004). Disamping itu Komisi yudisial dalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi(Pasal 21 UU No 22, 2004).
Sebaliknya Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004).
Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Komisi diberi beberapa kewenangan antara lain yaitu: pengawasan terhadap perilaku hakim; pengajuan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya.
Dari beberapa peranannya tersebut diatas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat banyak berkaitan dengan proses seleksi dimana penyeleksian dilembagakan dalam suatu lembaga negara. Sudah barang tentu akan berdampak positif terhadap hasil kerja yang diinginkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung berkualitas, potensial, menerti hukum dan profesional. Karena anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin, sebab dibentuk berdasarkan undang-undang dasar dan pelaksanaan tugasnya di payungi oleh suatu undang-undang.
Selanjutnya peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi hambatan didalam dalam melaksanakan pengawasan didalam instansi atau lembaga sendiri. Hal ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi di negara-negara asing seperti Amerika dan Australia. Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat(Pasal 23 (2) UU No 22, 2004). Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) UU No 22, 2004). Disatu pihak apa yang direkomendasikan Komisi Yudisial belum ada kekuatan mengikat, hal ini terlihat dari diberinya kesempatan lagi kepada hakim yang diusulkan diberi sanksi untuk memberikan pembelaan secukupnya di depan Majelis Kehormatan Hakim. Dilain pihak usulan tersebut belum bersifat final. Timbul beberapa hal yang kurang jelas, apa yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Hakim, karena tidak dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-undang No 22 tentang Komisi Yudisial. Disamping itu, apabila pembelaan hakim yang diusulkan diberikan sanksi didepan Majelis Kehormatan Hakim diterima, bagaimana pula dampaknya terhadap usulan Komisi Yudisial? Jadi dapat disimpulkan bahwa rekomendasi Komisi Yudisial belum bersifat final dan belum mengikat. Selanjutnya usulan Komisi Yudisial untuk dapat mengikat dan bersifat final harus melalui tahapan pemeriksaan didepan Majelis Kehormatan Hakim dan Keputusan usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden. Sedangkan sanksi teguran tertulis dan pemberhentian sementara dilakukan oleh siapa ini yang belum jelas diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004.
3. Tata Cara Pengusulan Hakim Agung
Mekanisme pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial(Pasal 13 (a) UU No 22, 2004). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang dapat mengajukan menjadi calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?
Didalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain:Mahkamah Agung;Pemerintah; dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:Karir; dan Non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (Pasal 7(2) UU No 5, 2004).
Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya tersebut diatas, paling lama 6 (enam) bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (Pasal 14 (3) UU No.22, 2004). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 (lima belas) hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung harus mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (Pasal 15 (1) UU No.22, 2004). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 (lima belas) hari berturut-turut. Sebaliknya Mahkamah Agung, Pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung dalam jangka waktu paling lama 15 (lim belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung.
Setelah 15 (lima belas) hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belasa) hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang ke sahian informasi tersebut.
Proses penseleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.
4. Tata Cara Pengawasan Hakim
Untuk melaksanakan peranannya mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan beberapa hal antara lain untuk (Pasal 22 UU No.22, 2004):menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim tidak boleh sewenang-wenang. Komisi Yudisial wajib mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Perlu diperhatikan bahwa pelaksaanaan tugas pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 UU No.22, 2004).
Dalam hal menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan dari badan peradilan dan hakim, melakukan pemeriksaan, Komisi Yudisial setelah dilantik dan diambil sumpahnya diharapkan secepatnya membuat Tata Cara Pengajuan Laporan Terhadap Perilaku Hakim. Hal ini sangat penting sebagai pedoman kerja Komisi Yudisial. Disarankan bahwa yang dimaksud menerima laporan dari masyarakat dapat diperluas antara lain: perorangan; hakim;advokat;staf pengadilan;badan hukum publik atau private;lembaga negara;anggota Komisi Yudisial dan atau staff.
Untuk melaksanakan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, Komisi Yudisial harus membuat kode etik perilaku hakim secepatnya. Karena belum ada ukuran yang jelas yang dimaksud perilaku hakim yang berhormat dan bermartabat. Barangkali sebagai wacana bahwa perilaku dapat dibagai menjadi beberapa kategori antara lain: perilaku hakim didalam ruang sidang;perilaku hakim diluar ruang sidang;perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari; dan ketidak mampuan phisik dan mental.
Perilaku hakim didalam ruang sidang atau memimpin sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempat didalam ruang sidang. Termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. Perilaku secara phisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik. Sebagai contoh perilaku hakim yang tidak pada tempatnya adalah mengutarakan komentar yang bersifat rasial terhadap ras, suku, agama dan jenis kelamin serta tidur dalam persidangan atau mabuk. Bisa juga hakim dikenakan teguran berperilaku yang tidak berhormat dan bermartabat bilamana membutuhkan waktu yang sangat dalam membuat keputusan.
Hakim harus mandiri dari semua pengaruh yang berkemungkinan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memutus perkara secara adil dan tidak memihak. Untuk itu para hakim tidak diperbolehkan membiarkan anggota keluarganya, masyarakat sekitar dan hubungan politik memperngaruhi keputusan pengadilan. Sebagai contoh hakim tidak boleh memberi atau menerima hadiah, sogok, kredit atau bantuan. Untuk itu para hakim harus membuat laporan keuangan baik kepada pengadilan maupun Komisi Yudisial.
Mengenai perilaku hakim diluar ruang sidang, sudah barang tentu hakim sebagai anggota masyarakat hidup dilingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menjadi tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi kegiatan hakim diluar ruang sidang. Pengawasan ini meliputi: penyalahgunaan pegawai negeri, barang milik negara atau keuangan negara; perkataan atau pergaulan yang tidak pada tempatnya; mempengaruhi jalannya proses pengadilan; melakukan korupsi; menggunakan kedudukan untuk mengumpulkan dana. Jadi perilaku hakim yang tidak berhormat dan bermartabat sangat luas dari tindakan yang tidak pada tempatnya hingga tindakan yang bersifat kriminal.
Sedangkan perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari yang tidak berhormat dan bermartabat meliputi: melakukan persidangan dan berdiskusi hanya melibatkan salah satu pihak saja; mengintervensi hubungan pembela dengan yang dibela; bias; melakukan kampanye tidak pada tempatnya; penghinaan tehadap wibawa peradilan; melecehkan keadilan; dan tindakan yang bersifat kriminal.
Terakkhir, mengenai keadaan hakim, Komisi Yudisial juga berwenang dan bertanggung jawab untuk mengawasi ketidakmampuan phisik dan mental para hakim. Ketidak mampuan phisik dan mental meliputi: ketergantungan terhadap alkohol dan obat; faktor ketuaan; mempunyai penyakit yang serius; atau penyakit mental.
Untuk itu Komisi Yudisial dapat meminta pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari investigasinya dan bisa menyarankan untuk terapi atau konselling bilamana dianggap perlu.
Kesimpulan
Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Daftar Putaka
[1] Harian Kompas 25 Pebuari, 2005
[2] Harian kompas 9 juni, 2005
[3] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
[4] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[5] Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahana Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
[6] Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.