Oleh : Rian Juanda
“Kalau ada orang bertanya, bagaimana sifat orang Aceh? Snouck Hurgronje, punya pendapat begini: “Aceh merupakan sebuah “Negeri Perompak” yang sudah tua, wataknya keras, masyarakatnya suka berperang dan fanatik terhadap agama islam (De Atjehness).
Baik sebelum atau sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh adalah sebuah wilayah dari sebuah negara yang selalu menjadi buah bibir dikalangan masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat internasional sekalipun. Jika pada awal kemerdekaan, secara nasional Aceh dikenal sebagai “Tulang Punggung” merebut dan memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia atau pendukung Republik Indonesia yang teramat setia, maka pada masa setelahnya, wilayah yang melimpah dengan kekayaan alamnya mulai dikenal dengan sebutan “Tanah Rencong” dan julukan “Serambi Mekah” atau istilah orang awam “Bumi Iskandar Muda” ini, banyak dikenal sebagai “Zona Konflik” karena terus bergejolak dengan konflik yang berkepanjangan dan berkesinambungan
Dimulai dengan demobilisasi para pejuang kemerdekaan, rakyat Aceh terus hidup dalam suasana kehidupan yang mencekam, resah dan gelisah. Ditandai dengan adanya ketegangan yang dipicu oleh pertikaian antara Jakarta dan Banda Aceh mengenai peranan Aceh di dalam negara Republik Indonesia, Aceh yang selama masa revolusi kemerdekaan memainkan peranan dan mempunyai andil besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang pada tanggal 18 Juni 1948 di Bireuen dalam pidatonya, Soekarno berkata : “Rakyat Aceh yang mengadakan perjuangan mati-matian, bertempur, menolak dan menahan imprealisme barat masuk ke daerah Aceh, sehingga karenanya Aceh menjadi Daerah Modal Republik Indonesia……”, justru diperkecil perananya dalam percaturan politik Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia diakui dunia Internasional.
Setelah itu, meletus pula pemberontakan Darul Islam, DI/TII pada tahun 1953 pimpinan Tengku Muhammad Daud Bereueh, yang pada masa itu lahirlah penderitaan:
Ta eek u gle jikap le rimung
Ta troun u krueng jikap le buya
Tajak u laot jitop le parou
Ta wo u nanggroe jipoh le bangsa
Yang arti lepasnya :
Naik ke gunung diterkam harimau
Turun ke sungai diterkam buaya
Pergi ke laut ditikam pari
Pulang ke negeri dibunuh bangsa
Pantun tersebut menggambarkan tentang bagaimana suasana saat itu.
Dimulai lagi dengan munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, pimpinan Hasan Tiro. Pada tahun 1987 gerakan ini baru menunjukan kebolehannya dalam adu fisik dengan TNI, yang merupakan cikal bakal lahirnya kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1989-1998. Gerakan ini sulit ditumpas di bandingkan dengan gerakan Darul Islaqm yang berlangsung hanya 9 tahun. Gerakan ini akhirnya melakukan perundingan dengan Repulbik Indonesia, yang akhirnya melahirkan nota kesepahaman antrara pemerintah Republik Indonesia dengan kelompok GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Lebih kurang 29 tahun sudah perjuangan GAM. Hal ini menjadi bukti bahwa dendam rakyat Aceh yang terlalu Membara kian panas terhadap pemerintahan pusat yang selalu melecehkan harkat dan martabat rakyat Aceh. Pembelaan terhadap harkat dan martabat itu pulalah yang membuat Aceh mampu dengan gagah perkasa dan berani melawan dan menghadapi kekuatan imprealisme kolonial di nusantara. Rakyat Aceh mempunyai daya tahan yang kuat untuk menentang setiap usaha yang menjatuhkan harkat dan martabat mereka.
Tanah Rencong memang tak pernah sepi dari duka nestapa, tetesan darah dan cucuran derai air mata selalu menghiasi kehidupan rakyat Aceh, luka lama belum terobati lika baru datang menyayat. Disaat mentari pagi menyinari bumi Iskandar Muda, minggu 26 Desember 2004, tanah Rencong di sapa oleh gempa yang berkekuatan 8,9 skala richter, meluluh lantakkan Serambi Mekah, tak lama kemudian disusul dengan terpaan gelombang tsunami yang maha dahsyat, menyapu bersih kawasan aceh yang dilaluinya. Bencana yang konon terbesa dalam seratus tahun terakhir itu tidak saja menghancurkan daerah yang terparah diterjang gelombang air laut tersebut, namun menelan ratusan ribu korban jiwa.
Disaat yang sama, seluruh mata masyarakat dunia sedang mengarah ke Aceh akibat bencana alam tersebut. Masyarakat dunia memberikan bantuan kemanusiaan sebagai bentuk empati dan simpati mereka terhadap nasib yang sedang diderita masyarakat Aceh. Tidak ketinggalan pula organisasi-organisasi dunia turut ambil bagian membantu yang pada akhirnya menjadikan aceh terbuka bagi siapa saja, tak terkecuali masyarakat internasional.
Terbukanya Aceh bagi masyarakat Internasional, banyak memberi pengaruh pada kebijakan pemerintah dalam penyelesaian konflik Aceh. Berbagi negara menegaskan komitmen mereka untuk kembali membangun Aceh paska bencana, apabila kondisi keamanan di daerah Aceh ini bisa terwujud. Akhirnya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono harus merubah pola pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik Aceh. Dari militer ke perundingan, yakni mengambil langkah-langkah damai untuk mengakhiri konflik Aceh. Sebenarnya ini bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh, hal serupa pernah terjadi pada masa pergerakan Darul Islam, DI/TII, Pimpinan Tengku Muhammad Daud Bereueh, perjuangan beliau tidak bisa dihentikan dengan cara militer tapi pada saat itu pemerintah menempuh jalur damai dengan mengadakan perundingan, musyawarah! Tapi itu tidak berlangsung lama, dimana salah satu pihak tidak mempunyai itikat baik untuk menciptakan Aceh yang damai, yakni mengkhianati perundingan! Apakah hal senada juga akan terjadi pada perundingan pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)?.
Aceh harus bangkit dari keterpurukan yang telah ada, musibah dan duka nestapa yang terjadi. Membangun kebersamaan dengan semangat kebangsaan menuju
Aceh damai dan sejahtera sekaligus bermartabat yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam yang luhur dan suci.
Adapun yang terjadi, dan bagaimanapun sejarah diputar oleh-Nya, kita semua yang mendambakan demokrasi, penegakan HAM, keadilan, dihormatinya hukum dan menjunjung tinggi harkat dan matabat masyarakat Aceh, perlulah sama-sama sejak sekarang dan dengan berbagai cara, yang mempunyai kekuasaan, gunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kebenaraqn dan keadilan serta kebaikan. Yang memiliki kecakapan dalam berbicara, berbicaralah untuk kepentingan masyarakat banyak atau yang hanya mampu diam, mari merenungkan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini dan memikirkan solusinya, khususnya masalah rekonsiliasi Aceh yang teramat penting bagi kehidupan masyarakat Aceh. Soalnya merupakan suatu kesalahan besar dan juga dosa besar kalau kita membiarkan masyarakat aceh terus berkubang dalam kotoran dendam dan berbagai racun yang telah merusak generasi sekarang dan lebih-lebih lagi kalau juga akan terus merusak generasi yang akan datang.
Sebelum kita menelaah lebih jauh tentang rekonsiliasi Aceh, Apa, antara siapa dengan siapa atau pihak yang mana dengan yang mana, dan sebagainya, ada baiknya untuk sama-sama kita samakan kita, dekatkan dulu penafsiran kita bersama-sama tentang kata Rekonsiliasi. Untuk tidak tenggelam dalam politik bertele-tele yang berkonotasi akademis atau bertafsirkan hukum yang tidak jelas, kita lihat sajalah berbagai kamus umum yang bisa kita temukan masing-masing menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (Dep. P dan K) edisi kedua..
Disitu disebutkan bahwa Rekonsiliasi berarti:
“Perbuatan memulihkan pada keadaan semula, atau perbuatan memperbarui seperti semula”.
Kalau direntang panjangkan, memang pernjelasan tersebut bisa saja kita anggap sudah mencakup berbagai masalah yang akan dibahas.
Tetapi karena yang ingin kita telaah adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan politik, atau sikap hidup dalam masyarakat, atau antar hubungan dalam kehidupan berbangsa, maka baik juga kita simak berbagai kamus atau buku yang lain. Maka kita akan menjumpai disitu berbagai penjelasan tentang rekonsiliasi, kiranya lebih cocok untuk kita pakai dalam menafsirkan bersama-sama, arti rekonsiliasi ini. Antara lain, yang menyebutkan bahwa kita rekonsiliasi mengandung pengertian:
“Merujuk pihak-pihak yang bertentangan, atau mencari perdamaian di antarar pihak-pihak yang bersilisih pendapat atau kepentingan, atau mengusahakan pendekatan antara pihak-pihak yang bermusuhan”.
. Dalam rangka pengertian itu, kita coba sama-sama memasuki persoalannya. Dalam
menghadapi situasi masyarakat Aceh yang beragam seperti yang kita telah saksikan bersama-sama dewasa ini, maka bisa saja diantara kita menjadi bingung. Mengapa keadaan bisa menjadi begini? Apa-apa saj penyebabnya? Apakaah keadaan semacam ini akan berlangsung lama? Bagaimana perspektif penyelesaiannya? Memang perlu kita akui dengan jujur bahwa tidak mudah untuk menjawab semua pertanyaan itu? Mulai dari persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertentangan antar suku, agama, ras, para pelanggar HAM Aceh dan korban-korbannya, pertikaian kelompok bersenjata GAM dan Pemerintaha R epublik Indonesia ditambah dengan dampak yang timbul dari bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami. Jadi jelas cukup rumit sekaligus kompleks. Lalu, kalau sudah demikian bisa saja orang bertanya-tanya dari mana dimulai rekonsiliasi ini, bagaimana caranya serta apa pula tujuannya?
Tak perlu dipertanyakan lagi, bahwa keruwetan berbagai persoalan parah dewasa ini di bumi Iskandar Muda telah di lahirkan dari rahim sistem politik otoriter baik masa politik orde lama, orde baru atau orde setelahnya dengan kebijakan-kebijakan politik ala dikdator. Mulai dari menggilanya KKN, penginjakan hak-hak demokrasi, kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, kerusakan budi pekerti diberbagai kalangan atasan, pembusukan moral secara besar-besaran dalam kehidupan masyarakat.
Kalau kita kaji lebih dalam dan kalau dicermati dengan teliti, maka akan nampak jelaslah bahwa pada dasarnya pertentangn pokok yang termanisfestasi dalam berbagai persoalan dewasa ini adalah perbentukan antara pola berfikir secara orde lama/orde baru atau sistem politik otoriter yang berhadapan dengan pola berfikir pro-HAM, pro-kemanusiaan, pro-rakyat, pro-reformasi, pro-referendum. Ini sedang terjadi dikalangan elite politik pemerintahan, dikalangan DPR, DPRD, DPD, elite perekonomian, kalangan militer, intelektual dan dimasyarakat luas.
Bahwa rekonsiliasi kita butuhkan, ini sudah jelas terutama setelah tercapainya kesepakatan damai antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tertuang dalam butir-butir MOU di Helsinki, Finlandia, sebab untuk membangun kembali Aceh yang lebih maju dan bermantabat memerlukan persatuan nasional dan persatuan nasional yang kokoh hanya bisa dibangun kalau ada rekonsiliasi antara berbagai komponen masyarakat, bangsa. Sedangkan, kita menyaksikan sendiri bahwa dewasa ini terdapat berbagai macam friksi, gesekan atau pertentangan antara berbagai komponen masyarakat, yang diwarisi oleh sistem politik otoriter dan haus kekuasaan.
Rekonsiliasi hanya bisa betul-betul kita ciptakan dengan membersihkan diri kita masing-masing dari pola berfikir negative dan dengan melakukan perlawanan terus menerus terhadap mereka yang masih mau mempertahankan konsep-konsep yang salah yang menyebabkan perpecahan bangsa. Untuk itu kita harus terus menerus membongkar keburukan-keburukan sitem politiknya, dan praktek-prakteknya. Dalam begitu, maka akan makin jelas arah yang mau kita tuju, yaitu menuju rekonsiliasi Aceh yang bermartabat, dan lebih gamblang pulalah jalan salah yang manakah yang harus kita tinggalkan untuk selama-lamanya.
Membangun rekonsiliasi Aceh adalah tujuan yang mulia, yaitu menciptakan kedamaian yang sejuk di hati masyarakat Aceh. Kedamaian yang memanusiakan antara sesame manusia. Ini merupakan tugas besar yang harus kita pikul bersama-sama. Tetapi rekonsiliasi, kalau mau yang sungguh-sungguh, memerlukan syarat-syarat. Rekonsiliasi Aceh tidak akan kokoh, kalau tidak didasarkan atas perasaan keadilan, perasaan senasib sepenanggungan dan perasaan saling menghargai dan menghormati. Perasaan keadilan sulit dicapai tanpa ditegakkan hukum. Penegakkan hukum penting untuk mencari kebenaran dan kebenaran harus berdasarkan fakt atau kenyataan.
Rekonsiliasi harus melibatkan unsur-unsur penting atau faktor-faktor utama dalam kehidupan masyarakat Aceh. Diantara unsur-unsur utama yang harus dan perlu dirujukkan adalah antara pelanggar HAM dengan para korban, sistem politik otoriter serta pihak yang bertikai, tak terkecuali kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia.
Siapa sangka negeri yang dibawah kepemimpinan “Sultan Iskandar Muta Meukuta Alam, yang kejayaannya tak tertandingi dimasa itu, sedangkan gaungnya menembus dunia luar”, kini hancur berantakan bagaimana negeri tak bertuan, apalagi setelah bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami tak ubahnya laksana negeri tak berpenghuni.
Penyebab utamanya adalah: Aceh, adalah sebuah wilayah dari sebuah Negara yang tingkat kebobrokan dan kezalimannya sangat tinggi, sehingga Aceh terus menerus direndahkan martabatnya, mulai dari penipuan berkedok kemanusiaan, penganiayaan serta adanya pengekangan dan pembatasan terhadap segala bentuk aspirasi masyarakat Aceh, sehingga masyarakat Aceh tidak punya kesempatan untuk membela serta memperbaiki dan berbenah diri kearah yang lebih bermartabat. Sedikit yang bisa dilakukan, karena semua kebijakan-kebijakan terhadap rakyat Aceh lahir dari rahim sistem politik otoriter, sudah diplot dan diatur sedemikian rupa dari pemerintahan pusat. Di sisi lain pemimpin-pemimpin di negeri yang menduduki Aceh adalah terdiri dari sebagian manusia-manusia bermental tikus, manusia-manusia yang korup yang senantiasa selalu lebih mementingkan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan daripada kepentingan umat dan Negara, yang merusak tatanan moral dan adat budaya Aceh yang sudah mendarah daging. Dan yang paling sangat kita sesalkan adalah para lini depan pemerintahan Aceh sendiri mulai daripada gubernur, bupati, camat sampai kepala desa turut serta berpartipasi dalam memperburuk dan memperkeruh suasana. Terpengaruh oleh jabatan sesaat,silauan harta benda dan berbagai kenikmatan duniawi sesaat yang dibayang-bayangi oleh penguasa otoriter pemerintahan pusat.
Kemudian ditambah lagi dengan maraknya budaya bangsa tertentu yang masuk kedalam wilayah aceh, mulai dari pergaulan bebas, pakaian diluar batas agama, padahal nyata-nyata aceh adalah Wilayah Syariat Islam, terjadinya perubahan struktural pemerintahan kampung, tunduk dan taat pada atasan tanpa mau tahu benar atau salah.
Tak perlu diragukan lagi berbagai macam media turut serta berpartisipasi dalam menciptakan hawa yang tidak menyenangkan bagi masyarakat Aceh, dengan berbagai ragam acaranya, hiburannya, tampilan-tampilan yang tidak berbobot, menonjolkan hal-hal yang tidak layak dan merusak Generasi Muda Aceh, yang tidak sesuai dengan adat dan budaya bangsa Aceh, seharusnuya hal tersebut tidak layak dan tidak patut dinikmati oleh masyarakat aceh, karena hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat aceh lalai, memberhalakan media, terpengaruh dengan tindak dan tanduk media, baik itu media cetak ataupun elektronik baik secara langsung atau tidak, walaupun ada segelintir media yang turut membangun dan mencerdaskan Aceh tapi itu hanya sedikit dibandingkan dengan yang sebaliknya.
KEMBALI KE TEMPO DULU
Rekonsiliasi memang antara lain mensyaratkan kemauan untuk bernegoisasi dengan masa lampau. Untuk membangun Aceh dan menjadikan Aceh sebuah negeri yang aman, damai, tentram, sejahtera, bermartabat dan selalu dalam perlindungan dan kasih sayang Allah.S.w.t, maka kita perlu membuka kembali lembaran demi lembaran sejarah masa lalu dan bercermin padanya.
Kerajaan Islam Peureulak dan Samudera Pasai telah membangun Aceh dengan konsep yang sangat mujarab, sehingga aceh terkenal keseluruh dunia. Bermula dari Zawiyah Buket Cek Brek dan Zawiyah Cot Kala, para pemimpin negeri telah membamngun Aceh dalam berbagai dimensi kehidupan umat dengan inisiatif yang mengutamakan kepentingan urusan Islam dan umatnya daripada kepentingan pribadi dan keluarga. Inilah modal utama bagi Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah(1513-1530) untuk sepakat dengan rakyat menyerang Portugis dari Daya, Pidie, Pasai, Aru, Johor dan Malaka. Kemudian Ia mempersatukan semua kerajaan kecil tersebut dan mendirikan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang gaungnya menembus dunia luar.
Hal serupa juga terwujud dalam kerjaan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yuang berhasil mengangkat Aceh menjadi salah satu negara Super Power dimata dunia. Pada abad 16-17 , mulai dari Jami`ah Baiturrahman, beliau menyusun berbagai strategi dan keperluan untuk membangun Aceh dalam berbagai dimensi, sehingga bangsa Aceh betul-betul terdidik dan menjadi pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan PUSA, kondisi serupa juga kembali digaungkan Ulama serta pemimpin besar Tengku Muhammad Daud Bereueh dengan sejumlah pendidikan modern dan dakwah yang berkelanjutan. Dengan demikian suasana Aceh dalam tiga periode yang terpisah tersebut betul-betul sangat reprensetatif untuk umat Islam di Bumi Iskandar Muda.
Para pemimpin Aceh masa lalu telah berbuat untuk umat dengan jujur dan iklas. Dalam setiap derap langkahnya, mereka senantiasa mengutamakan kepentingan umat daripada pribadi dan keluarga. Sebaliknya para pemimpin Aceh setelah mereka, berbuat dan bekerja lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga daripada kepentingan masyarakat dan bangsa. Para pemimpin tempo dulu sangat paham dan terikat dengan nilai-nilai luhur Islam, sehingga menjadi pemimpin untuk mensejahterakan rakyat bukan memperkaya diri, kelompok atau golongan dan keluarga.
Zawiyah Buket Cek Brek, Zawiyah Cot Kala, Jami`ah Baiturrahman, dan PUSA adalah lumbung-lumbung ilmu yang pernah melahirkan generasi-generasi yang berhasil dan mampu menyelamatkan Aceh. Sudah sepatutnya pula pendidikan-pendidikan di Aceh seperti Universitas Syiah Kuala”jantong hate rakyat Aceh”, Institut Agama Islam Negeri Jami`ah Ar-Raniry, Universitas Malikusshaleh dan sederetan pendidikan di Aceh, bisa melahirkan sosok pembaharu dalam masyarakat Aceh yang berjiwa besar, memikirkan persoalan umat, sehingga tenaga, harta, dan jiwa raganya dipersembahkan dan dicurahkan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh, umat Islam. Bukankah hal yang tidak mustahil sejarah kejayaan Aceh akan terulang kembali? Tanpa harus dinina bobokan oleh sejarah kejayaan masa lampau.
SOSOK IDEAL PEMIMPIN ACEH
Haram zadah punya pemimpin! Puki mak punya pemimpin! Mentang-mentang dapat kursi, rakyat dilupakan langsung! Siang malam pagi petang asyik nepotisme! Asyik kronisme. Asyik isi perut sendiri! (Shahnon Ahmad)
Petikan tersebut adalah salah satu isi novel politik yang ditulis oleh Shahnon Ahmad, seorang novelis terkemuka dari malaysia. Untuk menumpahkan kekesalannya dan kemarahannya terhadap rezim Mahatir Muhammad, ia secara lugas menggambarkan bagaimana kebobrokan pemerintahan Mahatir selama memimpin Malaysia.
Tentunya kita tidak ingin hal serupa terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tercinta ini. Manusia memang dilahirkan ke permukaan bumi ini untuk menjadi Khalifah (pemimpin) yang sesuai dengan ukuran kepemimpinanya masing-masing. Akan tetapi tidak semua orang akan sesuai,layak dan patut untuk menjadi pemimpin Aceh, setelah melihat beberapa tokoh yang terlanjur menjadi pemimpin di Tanah Rencong ini. Yang dengan kepemimpinanya menjadikan Aceh negeri yang penuh kekacauan, dan hiruk piruk pertentangan.
Seorang pemimpin haruslah orang yang sepenuhnya memikirkan persoalan umat, sehingga tenaga, harta, dan jiwa raganya dipersembahkan dan dicurahkan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Seorang pemimpin haruslah atas pilihan umat yang jauh dari sikap ambisi dengan menghalalkan segala cara. Ketika mereka memimpin, maka mereka sepenuhnya memikirkan persoalan umat.
Ini dapat kita lihat mulai dari kepemimpinan Sultan Ali Mughayat syah, kemudian dilanjutkan oleh Al-Qahhar, Sultan Iskandar Muda, Tengku Syik Ditiro dan terakhir Tengku Muhammad Daud Bereueh. Dalam periode kepemimpinan mereka, Aceh benar-benar aman,tentram, sejahtera dan damai sentosa. Lalu bagaimana sosok yang ideal, pantas dan layak jadi pemimpin Aceh? Memang bukan hal mudah untuk mencari sosok pemimpin Aceh yang memang betul-betul sosok “pemimpin Sejati”, tapi jika seandainya kita lihat kriteria kepemimpinan Rasulullah Muhammad S.A.W dan apa-apa yang telah diwariskan
oleh beliau, kita tidak perlu bersusah payah dan membuang tenaga percuma serta dana dalam perjalanan mencari sosok pemimpin Aceh. Kita padakan saja pada kriteria yang telah diwariskan Rasulullah S.A.W dan mengikuti peninggalan Endatu yang telah bersahaja meninggalkannya untuk kita, masyarakat Aceh. Lebih –lebih lagi dengan diberlakukannya Syariat Islam di Aceh, bukankah hal yang mudah? Pemimpin pilihan umat, sesuai tuntunan Rasulullah S.A.W dan di Ridhai Allah.S.W.T, Isya Allah Negeri aman dan damai, rakyat makmur sejahtera, Baldatun thaybatun wa rabbul ghafur, amin.
JALAN KELUAR BUAT ACEH
Untuk membangun Aceh yang bermartabat, maka salah satu solusi yang paling mujarab adalah kembali ke asal mula. Sejarah telah membuktikan bahwa Aceh jaya, bermartabat dan berkuasa karena Islam, rakyat, aman dan tentram tanpa huru-hara karena pemimpinnya adil dan bertanggung jawab atas semua tugas dan kewajibannya, tidak terpengaruh oleh perbuatan setan dengan tidak mengejar harta dan kekayaan, rakyat diberikan kesempatan untuk beramal dan beribadah kepada Tuhan serta bebas mencari makan untuk menyambung kehidupan yang bebas, jauh dari ancaman dan pemerasan. Setidaknya kondisi ini akan terwujud jika bangsa ini mau bersatu padu dalam satu ikatan yang terjalin rapi dan kuat dalam Islam. Maka bersatu padulah kamu pada tali (agama) Allah dan jangan sekali-kali bercerai berai karena perceraian itu memudahkan pihak luar menghancurkan kita.
Pendidikan juga berperan dalam proses rekonsiliasi Aceh, yaitu pendidikan yang mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan masyarakat Aceh, yang bertujuan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah.S.W.T, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, moratif dan aspiratif serta respek dengan lingkungan masyarakatnya.
Masyarakat Aceh membutuhkan Sosial Kontrol. Sosial kontrol yang kita butuhkanpada masa kini adalah nilai-nilai agama yang tertanam dalam nasihat-nasihat dan contoh teladan dari sosok alim ulama Aceh, yakni para alim yang jauh dari hal-hal yang bisa menjadi fitnah dalam masyarakat, memiliki keyakinan yang kuat yang bersumber dari agama murni, yaitu Alqur-an dan Sunnah Rasul. Pengendalian sosial merupakan suatu sistem yang berguna untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan tegak dan utuhnya suatu masyarakat yang bermartabat.
Kesepakatan damai yang telah dicapai antara pihak pemerintahan Republik Indonesia (R.I) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setidaknya dapat kita jadikan sebagai kunci pembuka untuk membangun kembali Aceh yang lebih maju dan bermartabat. Hal ini secara gamblang disebutkan dalam dasar pemikiran MoU, bahwa : pemerintah Republik indonesia (R I) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, dan berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Pembangunan tersebut juga menjangkau problem kemanusiaan terkini yang melanda bumi Iskandar Muda, yakni gempa bumi dan gelombang Tsunami.
Kehadiran MoU tersebut memberi harapan bagi banyak pihak untuk membangun kembali Aceh, kendati banyak juga yang tidak terlalu berharap bahwa proses ini bisa berjalan dengan lancar, bukan berarti mereka tidak setuju apalagi tidak mendukung kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah, akan tetapi jika melihat masa lalu perjalanan menuju Aceh damai selalu saja berakhgir dengan kegagalan dan kegagalan, hal ini dapat kita maklumi.
Kita berharap juga agar kedua belah pihak bisa menunjukkan komitmen dan itikat baik mereka untuk menciptakan kedamaian bagi rakyat Aceh merupakan tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama. Oleh sebab itu upaya untuk tidak saling menyerang satu sama lain dan menahan diri adalah tindakan yang bijaksana dan cerdas yang seharusnya memang harus dilakukan keduanya.
Pembangunan kembali Aceh dari kehancuran dan keterpurukan akibat konflik dan bencana alam tidak hanya tergantung pada kesiapan dan kesungguhan masyarakat Aceh, mulai dari perangkat desa sampai gubernur, tetapi ditentukan pula oleh keinginan pihak yang bertikai, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk mengakhiri konflik bersenjata yang sudah bertahun lamanya.
Aceh harus bangkit dari keterpurukan, kehancuran yang melanda dan duka nestapa yang terjadi, membangun semangat kebangsaan menuju Aceh damai dan sejahtera sekaligus bermartabat. Tapi hal itu semua tanpa adanya kondisi yang kondusif (damai), rekonsiliasi Aceh, mulai dari proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh yang sedang berjalan tidak akan membawa dampak yang begitu berarti.
Bebaskan pengekangan terhadap hak rakyat Aceh untuk berbicara, biarkan rakyat Aceh berekspresi, hidup aman dan damai, menjalani hidupnya dengan lebih bermartabat , biarkan Aceh menatap dan menggapai cita-citanya, beri kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri serta kesempatan untuk beramal dan beribadah kepada Tuhan serta bebas mencari makan untuk menyambung kehidupan yang bebas, jauh dari ancaman dan pemerasan.
Sudah saatnya Aceh bangkit,bersama-sama membangun negeri Serambi Mekah ini menjadi sebuah negeri yang aman dan damai, rakyatnya makmur sejahtera dan selalu dalam perlindungan dan kasih sayang Allah S.W.T…!
Adan, Hasanuddin Yusuf, 2003. Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh.
Ar Ruzz Media : jogjakarta
——————————–,2005. Sejarah Aceh dan Tsunami. Ar Ruzz Media : jogjakarta
Usman, Abdul Rani, 2003. Sejarah Peradaban Aceh. Yayasan Obor Indonesia.
Reid, Anthony, 2005. Asal Mula Konflik Aceh. . Yayasan Obor Indonesia
El Ibrahim, Muhammad Nur, 2001. Peranan Teungku Muhammad Daud Bereueh dalam.
Pergolakan Dakwah. Media dakwah
Ricklefs, M.C, 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 M. Serambi.
Santoso, Anang, 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Wedatama Widya Sastra: Jakarta
Fachruddin, Ahmad, 2000. Jihad Sang Demonstran. Raja Grafindo Persada.:Jakarta
Departement Pendidikan dan Kebudayaan.2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua, Balai Pustaka: Jakarta
Ahmad, Shahnon, 1999. Novel Politik yang Busuk lagi Membusuk. Pustaka Reka: Darul Naim