BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan menjadi kontraversi dalam banyak seminar atau perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian Akhir Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UAN, dan pernyataan beberapa anggota Dewan yang mengusulkan penghapusan UAN tersebut.
Pendidikan yang berkualitas memegang peran kunci dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Sementara SDM diperlukan sebagai penggerak proses pembangunan suatu Negara, semakin berkualitas SDM yang dimiliki oleh suatu Negara maka semakin cepat proses pembangunannya menuju masyarakat madani. Undang-undang Dasar tahun 1945 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai intitusi Negara.
Hak warga Negara tersebut dapat berupa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas dan murah, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal. Dalam era otonomi daerah, terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menjalankan proses pendidikan di daerahnya masing-masing, tetapi tetap megikuti pedoman dan prosedur yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kebijakan tertinggi.
Menurut Heintz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam buku Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut (1996). Sehingga sering terdengar di masing-masing daerah di Indonesia memiliki kebijakan yang berbeda berkaitan dengan biaya pendidikan dan peningkatan kesejahteraan praktisi pendidikan.
Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka semakin besar pula dana yang dianggarkan untuk peningkatan penyelenggaraan pendidikan. Sementara pemerintah pusat mematok anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini adalah dengan melaksanakan ujian kelulusan atau yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan serentak secara nasional dengan standar nilai dan jumlah mata ujian ditentukan sebelumnya oleh Departemen Pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). UN sudah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2002/2003 dengan standar nilai 3,01 hingga tahun ajaran 2009/2010 dengan standar nilai kelulusan menjadi 6,00 dan dengan enam (6) mata pelajaran yang diujikan.
Terjadi perdebatan di masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah ini, ada yang mendukung UN dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang memang terperosok jauh dari Negara tetangga dan ada yang menolak dengan beragam argumentasi kerugian yang timbul akibat pelaksanaan UN. Puncaknya ketika pada 14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008 (www.kompas.com).
Dalam isi putusan ini, tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas. Sehingga terjadi permasalahan yang belum ada kejelasan hingga saat ini, apakah UN tetap dijalankan dengan mekanisme dan prosedur yang diperbaiki atau UN dihapus berganti dengan kebijakan lain. Meskipun perkembangannya pada akhirnya UN tetap dilaksanakan dengan memberikan keringan bagi yang tidak lulus UN untuk mengulang kembali mata pelajaran yang tidak lulus.
B. Rumusan Masalah
UN sejak awal sudah menuai kontroversi di Indonesia, sebahagian masyarakat menganggap UN tidak tepat untuk dilaksanakan secara merata di Indonesia. Disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana masing-masing sekolah yang ada di seluruh Indonesia belum merata, serta tidak semua sekolah dan siswa mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas. Sehingga dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalahnya, apakan kebijakan UN masih tetap layak untuk dilaksanakan di Indonesia dan jika tidak solusi apa yang bisa diberikan untuk mengganti kebijakan UN tersebut.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah UN itu sebenarnya?
2. Analisis Kebijakan UN.
3. Bagaimanakah plaksanaan UN di lapangan?
4. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan?
5. Apakah UN itu perlu dilaksanakan?
6. Jika UN dilaksanakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. UAN
1. Pengertian Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan menengah. Ujian Nasional (UN) merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berbagai polemik yang berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia tampak baik bagi demokrasi di negeri ini. Tapi satu hal yang jangan terlupa bahwa siswa peserta UN jangan sampai dibuat ragu atau takut tentang kepastian Ujian Nasional sebagai sarana untuk mengukur kemampuan mereka di bangku sekolahnya. Walaupun UN mengundang pro dan kontra tapi hendaknya tetap di jalur yang semestinya, karena bagaimana pun para siswa terutama siswa SMA / MA adalah para calon Agent of Change yang akan berperan untuk membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini. Oleh karena itu agar keraguan berkurang di kalangan dunia kependidikan, kami dari Tim Ujian Nasional mencoba menyampaikan beberapa hal yang dipandang penting terutama dalam hal dalam kebijakan UN 2011 yang tentunya diharapkan dapat menjadi bekal bagi para siswa agar mereka cukup persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional 2011.
B. Empiris
1. Analisa Kebijakan UAN
Analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
C. Normatif
1. Pelaksanaan UN di lapangan
1) Dilematis Pelaksanaan UN
Ujian Nasional sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 tidak jarang menjadi momok menakutkan bagi pelajar yang kawatir tidak lulus karena tidak mendapatkan nilai yang mencukupi, sementara bagi para guru dan institusi pendidikan tempat siswa menimba ilmu kekawatiran serupa terjadi, kualitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan, tergantung dari banyak dan sedikitnya siswa yang lulus dalam UN. Sehingga tidak jarang terjadi kecurangan-kecurangan dari pelaksanaan UN di daerah-daerah baik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri maupun oleh para pendidik, dengan tujuan satu, mendongkrak nilai UN siswa agar mendapatkan nilai sesuai dengan batas minimal kelulusan.
UN di beberapa daerah masih cenderung mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Media elektronik dan cetak merekam kecurangan ini, banyak sekolah dan orang tua siswa yang paranoid dan sangat khawatir siswanya tidak lulus ujian dengan persentase tinggi. UN layaknya ‘palu sidang’ yang akan dijatuhkan untuk memvonis apakah seorang siswa dianggap pandai sehingga layak memperoleh predikat lulus, atau sebaliknya.
Mengingat hasil ujian ini berimplikasi pula pada eksistensi dan kredibilitas sekolah, setelah ditelisik lebih jauh ternyata paranoid ini tidak saja mengidap sekolah dan orang tua siswa, namun pemerintah daerah juga merasa perlu dan berkepentingan menjaga muka terkait pengelolaan pendidikan di wilayahnya. Selanjutnya sudah bisa ditebak, beragam kebijakan diambil oleh pemerintah daerah terkait sukses UN ini.
Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Faktanya pelaksanaan UN tahun 2008-2009 yang lalu masih ditemukan sejumlah 33 sekolah yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaannya (www.swaramerdeka.com). Masih segar dalam ingatan kita terhadap sekelompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air Mata Guru. Sebuah kelompok guru yang meskipun pahit telah berani mengikuti nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan ujian pada sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya.
Sayangnya, keberanian mereka mengungkap kecurangan ini menuai intimidasi. Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya hingga diberhentikan. Sikap Depdiknas pun setali tiga uang. Alih-alih melindungi para guru tersebut malah ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memperoleh perlindungan atau memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Masyarakat sebenarnya bisa mengerti ketika pemerintah menilai bahwa ujian tersebut bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun kamingnya, motivasi itu muncul hanya di akhir tahun ajaran menjelang ujian, bukan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Mereka berlomba-lomba memasuki institusi pendidikan non formal hanya untuk dapat lulus UN dan tentunya akan membuat pengeluaran masyarakat di bidang pendidikan semakin membengkak, belum lagi mental pelajar yang menjadi terganggu dengan tekanan belajar yang meningkat tajam.
2) Pelaksanaan UN di Tahun 2010
Tahun 2010 ini sejarah pendidikan kita kembali tercoreng oleh ulah para oknum pendidik beberapa waktu lalu yang harus berurusan dengan kepolisian karena kasus kecurangan dalam pelaksanaan UN. Bahkan ada beberapa sekolah yang secara diam-diam telah memberikan bocoran jawaban UN kepada para siswanya. Bisnis bocoran soal dan jawaban pun menjadi ladang uang bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sejak awal digulirkan kebijakan UN, tampak jelas begitu banyak permasalahan dan kontroversi yang ditimbulkannya.
2. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan
Akhir – akhir ini kita diingatkan kembali dengan masalah Ujian Nasional, karena beberapa Media baik cetak maupun Elektronik, ramai – ramai memberitakan kemenangan dari gugatan warga Negara atau Citizen Lawsuit terhadap Pemerintah, dimana kemenangan ini mulai dari tingkat Pengadilan Negri sampai dengan Mahkamah Agung. Ujian Nasional sesungguhnya mempunyai 2 sisi baik dan buruk,
SISI BAIK
1. Kita jadi mempunyai standard yang sama untuk kelulusan siswa, sehingga pada akhirnya tidak ada perbedaan antara siswa di Jakarta dan kota kota besar lainnya dengan siswa didaerah.
2. Kelulusan akan menjadi suatu hal yang membanggakan dan suatu hal yang patut disyukuri, karena ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
3. Pada akhirnya untuk masuk ke Perguruan tinggi cukup menggunakan nilai hasil kelulusan.
4. Dan lain lain.
SISI BURUK
1. Siswa menjadi Depresi dan sangat tertekan karena Ujian Nasional seolah olah tidak bisa diprediksi materi yang akan diujikan
2. Karena Standard pengajaran diseluruh Indonesia berbeda – beda, sesuai dengan kualitas pengajar, tingkat ekonomi didaerah, dan lain lain, maka sulit untuk dilakukan penyeragaman soal ujian. Bayangkan saja sekolah yang berbeda standard pengajarannya dipaksakan harus mengerjakan soal yang sama.
3. Pembuat soal kurang turun ke lapangan, meninjau sekolah sekolah terpencil untuk mengetahui sebaiknya materi Ujian itu sampai tingkat yang bagaimana.
4. Di beberapa kasus terjadi kesalahan dari sistim koreksi yang dilakukan untuk menilai hasil ujian Nasional ini, contohnya ada kasus dimana satu sekolah tidak lulus ujian dan selanjutnya dilakukan ujian ulang. Bagaimana Pemerintah bisa yankin bahwa sistim penilaiannya sudah benar, seandainya saja pada contoh kasus diatas yang mengalami kesalahan penilaian hanya 11 orang, mungkin ujiannya tidak bisa diulang. Dan jadilah siswa yang apes tadi harus menerima nasib ia tidak lulus ujian.
3. Sebuah Gambaran tentang Ujian Nasional (UN)
UN Amburadul, Gambaran Pendidikan yang Bobrok 09:48, 29/04/2010
Pengumuman hasil ujian nasional (UN) di beberapa daerah sangat mengejutkan kita. Ironisnya, ada sekolah yang 99 persen bahkan 100 persen siswanya dinyatakan tidak lulus. Meski tingkat kelulusan cenderung meningkat, tapi kecurangan-kecurang pada pelaksanaan UN menegasikan validitas data kelulusan.
“Fenomena kecurangan dan hasil UN yang amburadul dan mengecewakan tersebut merupakan gambaran kebobrokan sistem pendidikan kita,” kata Syamsir Pohan, Ketua Umum Badko HMI Sumut.
Terkait Komisi E DPRD Sumut meminta panitia UN Provinsi Sumatera Utara memeriksa ulang lembar jawaban untuk Kabupaten Labuhan Batu, menyusul penolakan hasil UN dari Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu, itu merupakan affirmative action, tindakan penyelamatan positif.
Tapi, akar permasalahan kita bukan itu. Sejatinya, Komisi E DPRD Sumut harus mengevaluasi total manajemen mutu pendidikan kita, khususnya di Sumatera Utara. Lebih jauh lagi, persoalan ini harus dibahas secara serius dan dibawa ke Musrembangnas oleh Dinas Pendidikan Sumut,” tambah Syamsir.
Belakangan, lanjut Syamsir, peristiwa kasus bunuh diri Juliana di Plaza Medan Fair juga diuga akibat stres karena takut tidak naik kelas.
Ini juga menjadi persoalan. Ada kecenderungan bahwa kenaikan kelas, kelulusan UN dan prestasi dengan tolok ukur angka-angka di rapor menjadi “momok” bagi siswa.
“Menurut saya, selain berorientasi pada peningkatan intelejensia dan pengetahuan, pendidikan kita harus diarahkan pada pembangunan mental dan kerohanian. Agar siswa dapat menghayati dan menikmati pendidikan, khususnya pendidikan formal, sebagai sebuah kawah candra di muka, tempat menempa diri,” pungkasnya. (mag-13/rel)
Gambar: Menangis Seorang siswi SMK Negeri 7 Medan menangis ketika mengetahui dirinya harus kembali melaksanakan ujian ulangan karena gagal lulus pada Ujian Nasional, Senin (26/4)
D. Evaluatif
1. Bagaimana seharusnya UN itu.
1) Menurut kami Ujian Nasional dengan penyeragaman soal, baik untuk dilakukan diseluruh Indonesia, namun untuk kelulusan siswa tetap diserahkan pada sekolah masing – masing dengan mempertimbangkan hasil ujian Harian, Tengah Semester dan Semester yang telah dilakukan selama ini. Karena yang benar benar mengetahui kemampuan siswa yang bersangkutan adalah guru guru mereka sendiri.
2) Data hasil dari Ujian Nasional itu menjadi masukan yang baik bagi Pemerintah untuk mengetahui peta keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan diseluruh Indonesia, jadi bisa tahu, mana daerah yang perlu mendapatkan perhatian lebih, atau mana Sekolah yang perlu dievaluasi mutu pendidikkannya.
2. Kenapa harus demikian
Mutu Standard Pendidikan belum merata baik antar sekolah, maupun antar Daerah, untuk itu merupakan tugas Pemerintah melalui Departemen Pendidikan untuk membenahi hal tersebut. Alasan lainnya adalah Pemerintah seharusnya tidak terburu buru menerapkan standard yang MUTLAK untuk Ujian Nasional, sebaiknya diberlakukan standard NORMA, yang mempertimbangkan berbagai aspek, belajar itu tidak harus dibangku sekolah, banyak orang yang disekolahnya biasa-biasa saja namun setelah lulus ia menambah pengetahuannya dengan berbagai hal yang menunjang pekerjaannya dan berhasil.
Disini kami berikan sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin jadi Ahli kimia, tapi ia tidak bisa segera mewujudkan keinginannya itu karena tidak lulus ujian Nasional pada mata pelajaran Matematika, di Bab Calculus Diferential. Atau tidak lulus Bahasa Indonesia pada bagian Sinonim. Kan konyol jadinya ? Lebih parah lagi bila ternyata ada oknum pembuat soal ujian yang merasa seperti pembuat Teka – teki, jadi makin susah dijawab, dia makin bangga karenanya. Kasihan anak – anak jadi korban. Kan bisa saja itu terjadi, banyak yang bilang orang Indonesia (baca “Oknum”) itu, seringkali terlihatnya seperti rendah hati, padahal Arogan. contohnya banyak (kalau dibilang banyak berarti tidak semua) yang sebelum terpilih jadi anggota DPR, wah baik banget seolah olah akan berjuang demi rakyat, namun setelah terpilih ternyata mengecewakan.
3. Aspek yang perlu diterapkan dalam UN
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN yang selama ini dilakukan hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Ketiga, aspek sosial dan psikologis.
Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 dan meningkat seterusnya dari tahun ketahun. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di UN kan di sekolah dan di rumah. Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya.
Tidak hanya pemerintah yang harus mengeluarkan dana ekstra dalam memberikan materi tambahan kepada peserta didik, tetapi juga orang tua siswa yang terpaksa mengalokasikan dana untuk memberikan kursus tambahan agar anaknya mendapatkan nilai memuaskan dalam pelaksanaan UN nantinya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang diberlakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan tidak lain mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang terpuruk dari Negara lain terutama di wilayah Asia Tenggara. Meskipun akhirnya terjadi kontroversi di tengah masyarakat dan berakibat keluarnya putusan MA, yang melarang dilaksanakannya UN pada tahun ajaran 2009/2010.
B. Saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan terhadap pemerintah perlu dilakukan dalam pelaksanaan UN selanjutnya yaitu:
1. UN tetap dilaksanakan tetapi soal UN diselaraskan dengan tingkatan Akreditasi masing-masing sekolah.
2. Membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UN dari tingkat pusat,sampai ke sekolah-sekolah. Bukan hanya itu, Panitia Independen juga bertugas menjadi pengawas ruang saat berlangsungnya ujian, mengawasi dan atau mengumpulkan lembar-lembar jawaban, sampai dengan pengawasan dalam proses penilaian dan pengumuman hasil ujian nasional.
3. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus menerus meningkatkan pengalokasian anggaran di bidang pendidikan agar kualitas pendidikan dinegeri ini semakin meningkat dan merata.
4. Para pendidik dan pemerintah daerah negeri ini perlu belajar kembali tentang norma-norma kejujuran, sehingga tidak dengan mudah menerapkan segala cara dalam mendongkrak nilai UN siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Conny R. Semiawan. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. 2005. PT RAJAGRAFINDO PERSADA : JAKARTA
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
www.swaramerdeka.com.
www.kompas.com.
http://www.hariansumutpos.com/2010/04/42801/un-amburadul-gambaran-pendidikan-yang-bobrok.html
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/07/kontroversi-ujian-nasional.html
http://antikorupsi.org/indo/content/view/3764/2/
http://scalamedia.net/berita/editorial/389-ujian-nasional.html
http://kampungtki.com/baca/10710