Daerah cadangan timah di Indonesia merupakan suatu bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 km, disebut sebagai “The Indonesian Tin Belt”, yang merupakan bagian dari “The South East Asia Tin Belt” yang membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, semenanjung Malaysia dan di Indonesia mencakup wilayah Pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Kepulauan Bangka Belitung dan Pulau Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan.
Catatan sejarah tertua yang melukiskan tentang penambangan timah di Pulau Bangka tercatat pada tahun 1710 yakni ketika Batin Anggor memerintahkan penggalian timah di Merawang. Bijih timah yang dihasilkan pada waktu itu dijual kepada pedagang – pedagang yang datang dari Portugis, Spanyol dan juga dari Belanda.
Selanjutnya mulai tahun 1733 tenaga kerja kasar (atau umum disebut kuli) dari daratan Cina selatan mulai dikerahkan oleh VOC untuk menggali timah di Bangka. Awal tahun 1800-an (diperkirakan 1806) Kesultanan Palembang dan VOC berkolaborasi melakukan penambangan timah di Bangka. Namun pada tahun 1816 Pemerintah Belanda mengambil alih tambang-tambang di pulau Bangka dan dikelola oleh badan yang diberi nama “Bangka Tin Winning Bedrijf” (BTW). Sedangkan di Pulau Belitung dan Pulau Singkep diserahkan kepada pengusaha swasta Belanda, masing-masing kepada Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (Biliton Mij) atau lebih dikenal dengan nama GMB di Pulau Belitung, dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij atau dikenal dengan nama NV SITEM di Pulau Singkep.
Secara historis penguasaan pertambangan timah di Indonesia dibedakan dalam dua masa pengelolaan. Yang pertama sebelum tahun 1960 dikenal dengan masa pengelolaan Belanda di mana Bangka, Belitung dan Singkep merupakan badan usaha yang terpisah dan berdiri sendiri. Bangka dikelola oleh badan usaha milik Pemerintah Belanda sedangkan Belitung dan Singkep oleh perusahaan swasta Belanda. Status kepemilikan usaha ini memberikan ciri manajemen dan organisasi yang berbeda satu dengan yang lain. Ciri perbedaan itu diwujudkan dalam perilaku organisasi dalam arti luas, baik struktur maupun budaya kerjanya.
Masa yang kedua adalah masa pengelolaan Negara Republik Indonesia. Status berdiri sendiri dari ketiga wilayah tersebut masih terus berlangsung tetapi dalam bentuk Perusahaan Negara (PN) berdasarkan Undang-undang No. 19 PRP tahun 1960, yaitu PN Tambang Timah Bangka, PN Tambang Timah Belitung dan PN Tambang Timah Singkep.
Selanjutnya berdasarkan PP No. 87 tahun 1961 ketiga Perusahaan Negara tersebut dikoordinasikan oleh Pemerintah dalam bentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU Tambang Timah) dengan pembagian tugas dan wewenang seperti bentuk “holding company”.
Perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 1968 di mana ketiga PN dan BPU ditambah Proyek Pabrik Peleburan Timah Mentok dilebur menjadi satu dalam bentuk PN Tambang Timah, yang terdiri dari Unit Penambangan Timah (UPT) Bangka, Belitung, dan Singkep serta Unit Peleburan Timah Mentok ( Unit Peltim).
Dengan pertimbangan memberi keleluasaan bergerak di sektor ekonomi umumnya, terutama dalam menghadapi persaingan, status PN Tambang Timah ini pada tahun 1976 diubah lagi menjadi bentuk Perseroan yaitu PT Tambang Timah (Persero) dengan Bangka, Belitung, Singkep dan Peleburan Timah Mentok tetap sebagai unit kegiatan operasi yang dipimpin masing-masing oleh Kepala Unit sedangkan Kantor Pusat berada di Jakarta sehingga secara manajemen perubahan dimaksud belum terintegrasi dalam arti sebenarnya.
Bahwa ciri geografis masih tetap melekat dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab secara sektoral merupakan warisan sejarah, dan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan-kesenjangan dalam pengambilan keputusan yang melatarbelakangi perlunya perubahan mendasar.
Status perusahaan ini secara mendasar dengan cara Restrukturisasi yang terdiri dari 4 langkah pokok yaitu : Reorganisasi, Relokasi, Rekontruksi, dan Pelepasan aset pendukung.
Di awal tahun 1991, program utama restrukturisasi adalah dengan dimulainya penutupan pusat pengoperasian di pulau Sinngkep dan di pindahkan ke kantor pusat di pulau Bangka. Sejalan dengan program restrukturisasi perusahaan tanggal 17 februari 1992, domisili kantor pusat PT. Tambang Timah (persero) di Jakarta dipindahkan ke Pangkalpinang. Alamat kantor pusat PT. Timah (persero) Tbk yang berada di Jl. Jendral Sudirman No. 51, Pangkalpinang.
Selanjutnya mulai tahun 1995 dengan terdaftarnya perusahaan sebagai perusahaan terbuka, namanya beralih menjadi PT. Timah (Persero) Tbk. Kegiatan pertambangan timah di darat dan laut, peleburan timah, serta fasilitas penunjangnya di Pulau Bangka dan Belitung telah membawa pengaruh dan manfaat yang besar pada perekonomian daerah, pengembangan wilayah, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kegiatan PT. Timah (Persero) Tbk selanjutnya disebut sebagai PT. Timah di tingkat daerah telah mampu mendorong terbukanya berbagai kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar, aksesibilitas wilayah, pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Dari kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan oleh PT. Timah diketahui bahwa total cadangan timah di darat dan laut di Pulau Bangka, Belitung, dan Pulau Kundur adalah sebesar 357.641,4 ton pada tahun 2007, dan 641.188 ton pada tahun 2008.