BUTA MATA BUKAN BERARTI BUTA HATI

Oleh: Cut Misrayana

Penulis Adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh – 2010

Terlahir sebagai tuna netra bukan menjadi alasan untuk berkeluh kesah dan menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Walaupun memiliki kekurangan secara fisik, namun Zainuddin adalah pribadi yang tiada pantang menyerah. Tidak pernah bisa melihat dunia bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa, terlahir cacat bukan berarti mengurangi rasa syukurnya kepada Sang Khalik. Walau bagaimanapun manusia tetaplah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Lalu seperti apa perjuangan hidupnya?

Bapak Zainuddin ditemanin anaknya berjualan di depan Fakultas Ekonomi Uversitas Syiah Kuala Banda Aceh ( Cut Misrayana )

Zainuddin (47), adalah sosok yang tidak pernah putus asa dengan kekurangan yang ia miliki. Memiliki gangguan indra penglihatan tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap berusaha mencari rezeki yang halal untuk menghidupi keluarganya tanpa harus mengemis belas kasih kepada orang lain. Bekerja menjadi penjual tidak tetap adalah pekerjaan sehari-harinya dengan penghasilan yang tidaklah seberapa. Namun tekadnya yang besar membuat ia tegar menjalani hidup nan penuh rintangan ini.

Namun pada tahun 1993 Zainuddin yang sehari-hari berjualan di depan Fakultas Ekonomi, Darussalam ini menikahi Maryana (44). Syukur mereka dikaruniai dua orang anak yang normal, Rahmat yang sedang duduk di bangku kelas II SD dan adiknya Mukhlis (2.5). “Ternyata Allah sangat sayang sama saya,” ujarnya dengan rona bahagia. Namun sangat disayangkan, rumah panggung bantuan dari NGO beberapa tahun silam yang ditempatinya bersama keluarga sudah tidak layak huni. Akan tetapi mereka tetap sabar dan bahagia.

Meskipun kondisi fisiknya seperti itu, warga Desa Ruyung, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini sama sekali tidak mau mengemis di jalan atau di kantor-kantor. “hoem hana biasa, loen male, male nyan koen iduk bak mata, tapi bak hate. Loen hana deuh kaloen ureung, tapi ureung deuh geukaloen loen ( saya tidak biasa, saya malu, malu itu bukan terletak pada mata, tetapi di hati (perasaan). Saya tidak dapat melihat orang, tetapi orang dapat melihat saya.” ujarnya dalam Bahasa Aceh ketika ditanyai alasannya tidak mengemis. Padahal begitu banyak para penyandang cacat maupun tuna netra di luar sana yang memanfaatkan kekurangannya sebagai cara untuk mencari uang. Salah satunya dengan mengemis, akan tetapi hal serupa tidak berlaku bagi Zainuddin.

Zainuddin memang lahir dengan kondisi memprihatinkan. Di usianya yang sudah berkepala tiga, ia tak pernah bisa melihat bagaimana dunia. “ Allah maha mengetahui, tidak ada yang membedakan seseorang dengan lainnya, kecuali ketakwaannya, apalagi kalau kita selalu bersyukur dan baik dengan sesama,”ucapnya bijak sambil memegang buah tasbih. Dengan keterbatasan yang dimiliki, bapak dua anak ini terus berusaha bekerja untuk menghidupi keluarganya dengan berjualan walaupun tidak tetap, karena tidak ada modal. “kadang-kadang saya menjual buah Jomblang, kadang buah Kranji, atau menjual Tiram. “Peu-peu yang na” (apa-apa yang bisa dijual). Bila ingin berjualan, saya pasti menunggu anak saya pulang sekolah dulu, baru kami pergi berjualan,” sambungnya.

Tengku Zainud, nama laki-laki ini biasa dipanggil ternyata mempunyai kelebihan-kelebihan yang luar biasa. Sebagai tuna netra tentunya sudah pasti ia tidak bisa melihat. Akan tetapi pada saat jual beli ia tidak pernah salah mengembalikannya uang sisa kembalian kepada pembeli. Selain itu, ia juga tidak pernah jatuh saat berjalan atau menyeberang jalan. Menangkap kepiting dan mengikatnya pun ia sangat lihai. “Alhamdulillah Allah beri saya kelebihan,” katanya singkat.

Dengan segala keterbatasannya, Zainuddin tidak pernah minder atau malu. Ia tetap bersosialisasi dengan masyarakat. Rutin ke mesjid, ikut menghadiri acara pesta perkawinan, dan takziah orang meninggal di kampungnya. Menurut pengakuan salah seorang bapak bernama Ilhamuddin ditemui di tempat terpisah yang juga sekampung dengannya dan sangat mengenal zainuddin mengatakan “ seulaen giat but, gobnyan cukop get budi. Gobnyan pih that taat keu Allah (selain giat bekerja, dia sangat baik dan juga sangat taat kepada Allah),” lanjutnya lagi.

Walaupun dikatakan sebagai orang dengan kondisi serba kekurangan fisik maupun finansial, namun Zainuddin mampu menghidupi keluarganya dan mampu menyekolahkan anaknya. Tidak hanya itu, dalam kondisi yang terjepit pun ia masih bisa memberi hutang kepada orang yang lain meskipun kadang hutang itu tidak dibayar. “menyo na ureung yang meu utang dan melanggar janji, hantom pernah geutunggee (bila ada orang yang berhutang padanya dan melanggar janji, ia tidak pernah menagihnya),” ungkapnya.

Berbicara soal tekad hidup, Zainuddin mengatakan, “ meski saya tidak bisa melihat, tapi saya tidak mau berpangku tangan, saya harus bekerja keras agar kami sekeluarga bisa bertahan hidup dengan bantuan dari Allah,” ujarnya.

ketidaksempurnaan panca indra bukanlah sebuah halangan untuk berkarya. Zainuddin adalah figur yang mampu memanfatkan kekurangan yang diberikan Tuhan. setidaknya itulah yang ditunjukkan. Ia mampu berperan dalam keluarga dan bukannya menjadi beban karena kekurangannya. Tidakkah ini menjadi batu loncatan dan motivator bagi penyandang cacat dan tuna netra lainnya untuk berusaha mandiri tanpa harus menggantungkan hidup dan meminta belas kasih kepada orang lain?

Zainuddin saja bisa, mengapa mereka tidak?. Ini tentu juga menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita yang terlahir normal. Sudah semestinya kita menyukuri anugerah Allah Swt, yang tak terhingga kepada kita, manfaatkan sebenar-benarnya untuk kebaikan. Seperti yang dilakukan oleh Zainuddin. Buta mata bukan berarti buta hati pula.

Anda punya tulisan menarik dan ingin berbagi silahkan kirim ke redaksi kami melalui link berikut http://karyatulisilmiah.com/upload-karya-anda/