TUNA DAKSA

TUNA DAKSA

Yuflihul Khair.,S.Kep.,Ns

A. PENGERTIAN
Tuna daksa sering disebut juga cacat tubuh, cacat fisik dan cacat ortopedi. Tunadaksa berasal dari kata “ tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang tidak memiliki tubuh dengan sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat inderanya. Selanjutnya cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Ortopedic mempunyai arti hubungan dengan otot, tulang dan persendian. Dengan demikian cacat ortopedi kelainannya terletak pada sapek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.
B. ETIOLOGI
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tuna daksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal.
Adanya keragaman jenis tuna daksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebab-sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal),
a. Gangguan pertumbuhan otak
b. Penyakit metabolisme
c. Penyakit plasma
d. Penyakit ibu
2. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal),
a. Partus lama
b. Trauma kelahiran dan perdarahan subdural
c. Prematuritas
d. Pertumbuhan atau lilitan tali pusar
e. Atelektasis yang menetap
f. Aspirasi isi lambung dan usus
g. Sedasi berat pada tubuh ibu
3. Sebab-sebab setelah proses kelahiran (post natal),
a. Penyakit infeksi (ensefalitis)
b. Lesi oleh trauma
C. KLASIFIKASI ANAK TUNA DAKSA
1. Dilihat dari sistem kelainan terdiri dari :
a. Kelainan pada sistem cerebral
Kelaian pada system cerebral berupa cerebral palsy yang menunjukan kelainan gerak, sikap dan betuk tubuh, gangguan koordinasi dan kadang disertai gangguan psikologi dan sensoris karena adanya kerusakan pada masa perkembangan otak. Menurut derajat kecacatannya cerebral palsy diklasifikasikan menjadi:
1) Ringan, ciri-ciri yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri.
2) Sedang, cirri-ciri yaitu membutuhkan bantuan untuk latihan bicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus.
3) Berat, cirri-ciri yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri.
Dilihat berdasarkan kelainan gerak cerebral palsy
1) Spastik, ciri-ciri yaitu terdapat kekakuan pada bagian atau seluruh ototnya
2) Dyskinesia, cirri-ciri athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala).
3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi)
4) Jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan lebih dari satu tipe-tipe di atas.
b. Kelainan pada sistem otot dan rangka
Penggolongan pada kelainan pada sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut :
1) Poliomyelitis merupakan suatu infeksi penyakit pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan yang bersifat menetap dan tidak mengakibatkan gangguan kecerdasan atau alat- alat indera.
Kelumpuhan dibedakan atas tipe spinal (kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki), tipe bulbair (ditandai dengan gangguan pernafasan), tipe bulbispinal (gabungan antara tipe spinal dan bulbair), encephalitis (disertai dengan demam, kesadaran menurun, dan kadang – kadang kejang).
2) Muscle Dystrophy adalah jenis penyakit otot yang disebabkan oleh faktor keturunan dan mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris.
3) Spina Binifida merupkan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutup lagi selama masa perkembangan sehingga fungsi jaringan saraf terganggu dan terjadilah kelumpuhan.
D. KARAKTERISTIK ANAK TUNA DAKSA
1. Karakteristik Akademik anak tuna daksa, meliputi ciri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi mengalami kelainan karena terganggunya sistem cerebral sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tunadaksa karena kelainan pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar, seperti anak normal.
2. Karakteristik sosial/ emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa konsep diri dan respons serta sikap masyarakat yang negatif terhadap analk tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna, dan menjadi rendah diri. Akibatnya kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersingung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri,kurang dapatbergaul, malu, dan suka menyendiri serta frustasi berat.
Karakteristik fisik/ kesehatan anak tuanadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan gangguan motorik.
E. PENANGANAN TUNA DAKSA
1. Penanganan awal di Puskesmas selaku anggota Tim rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM).
2. Latihan gerak
3. Fisioterapi
4. Rujuk ke spesialis rehabilitasi medik.

F. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.
2. Riwayat penyakit keturunan keluarga.
3. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.
4. Status perkembangan anak.
– Anak kurang merespon orang lain
– Anak sulit focus pada obyek dan sulit mengenali bagian tubuh
– Anak mengalami kesulitan dalam belajar
– Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal
– Keterbatasan kognitif
5. Pemeriksaan fisik.
– Perlu diperhatikan ada tidaknya mikrosefali, anomali telinga luar, otitis media yang berulang, sindrom William, perawakan pendek, celah palatum dan lain-lain.
– Kekuatan tonus otot.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
2. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan spasme otot, meningkatnya aktivitas, perubahan kognitif.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan spasme dan kelemahan otot-otot.

Daftar Pustaka

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Assuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Sylvia A. Price, Lorraine Mc Carty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Musjafak Assjari, 1995. Ortopedagogik Anak Tuna Daksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTG.

Sugiarmin, M. (1996). Ortopedi dalam Pendidikan Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTG.

Suharso. (1982). Ortopedi 2. Surakarta: Rehabilitasi Centrum