Peranan Kyai Dalam Pesantren

Eksistensi seorang kyai dalam sebuah pesantren menempati posisi yang central. Kyai merupakan  titik pusat bagi pergerakan sebuah pesantren. Kyai merupakan sumber inspirasi dan sumber pengetahuan bagi santrinya secara absolut. Seringkali dalam sebuah pesantren, kyai adalah perintis, pengelola, pemimpin, pengasuh, bahkan sebagai pemilik tunggal, sehingga kepemimpinan seorang kyai terlihat otoriter.[1] Terbentur dengan kepemimpinan seorang kyai, orang-orang di luar pesantren akan sulit sekali menembus dunia pesantren.

Kyai bebas menentukan format pesantrennya, sesuai dengan format yang diinginkannya, tanpa campur tangan siapapun. Meski format itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh gaya dan kemampuan kyai tersebut. Hal itulah yang akhirnya menentukan ciri khas dari sebuah pesantren.

Bagi seorang santri, peran kyai yang paling besar adalah sebagai guru dan teladan bagi santrinya. Seorang kyai adalah tokoh ideal bagi komunitas santri.[2] Seluruh waktu kyai habis untuk mengajar santrinya. Seorang kyai juga menjadi model santrinya, sehingga seorang kyai harus selalu menjaga citranya, jangan sampai melakukan perbuatan yang melanggar syari’at Islam.

Dalam pandangan Tolghah Hasan, peranan kyai dipandang secara sosiologis. Peranan kyai adalah sebagai pemimpin. Kepemimpinan kyai meliputi empat dimensi, yaitu:

  1. Kepemimpinan ilmiah, di mana seorang kyai dipandang mempunyai kecerdasan dan pengetahuan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya.
  2. Kepemimpinan spiritual, seorang kyai membimbinh masyarakat dan santri melalui tasawuf dan tarekat.
  3. Kepemimpinan sosial, seorang kyai menjadi tokoh masyarakat.
  4. Kepemimpinan administratif, di mana seorang kyai memimpin sebuah institusi seperti pesantren dan organisasi yang lain.[3]

[1]  Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nur Cholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisonal), Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal. 63.

[2]  M. Ridlwan Nasir,  Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 23.

[3]  Muhibbin, Op. Cit. hal 15.