PENYESUAIAN SISTEM PENATAAN RUANG TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [152.14 KB]

ABSTRAK MAKALAH PENYESUAIAN SISTEM PENATAAN RUANG TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

OLEH

DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

Makalah berisikan uraian mengenai sistem penataan ruang, yang dikaitkan dan disesuaikan
dengan dampak serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim yang terjadi di
Indonesia. Dengan memperhatikan dampak-dampak tersebut, pada bagian akhir akan
dijelaskan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat menampung berbagai bentuk kegiatan
yang sifatnya antisipatif – strategis, guna mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap
sistem penataan ruang.
2
I. Pengertian tentang Penataan Ruang, Perubahan Iklim, dan Faktor – Faktor
Pengaruhnya.

1. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses
perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki
rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi,
Kabupaten, dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang
merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan
pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban
terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain
merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang
memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.

2. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/ mahluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,
seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/mahluk hidup serta kelestarian
lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).

3. Aspek teknis penataan ruang dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN
merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga
25-50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW
Provinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon
waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan
Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun)
dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencanarencana
rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian
dibawah 1 :5,000.
4. Dalam RTRWN, kawasan pertanian tercakup dalam kawasan budidaya. Kawasan budi
daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
daerah kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan (UU No.24/1992)
3
5. Cuaca dan iklim adalah proses interaktif alami (kimia, biologis dan fisis) di alam,
khususnya di atmosfer. Hal ini terjadi karena adanya sumber energi, yaitu Matahari dan
gerakan rotasi Bumi pada poros (kurang 24 jam) serta revolusi Bumi mengelilingi
Matahari. Dalam peristiwa ini, pendekatan fisis lebih dominan daripada kimia dan biologis.
Cuaca sebagai kondisi udara sesaat dan iklim sebagai kondisi udara rata-rata dalam kurun
waktu tertentu merupakan hasil interaksi proses fisis.
6. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim
akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus
beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan
pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.
7. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer,
yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang
(Trenberth, Houghton and Filho. 1995).
8. Kondisi cuaca ekstrem sampai saat ini belum memiliki definisi baku secara nasional. Baru
di tingkat internasional dikenal dan disusun laporan cuaca ekstrem. Mengikuti istilah
internasional, kondisi cuaca/iklim ekstrem muncul apabila terjadi penyimpangan
kondisi udara karena unsur-unsur cuacanya (suhu, tekanan, kelembaban, angin,
curah hujan) berindikasi menyimpang dari rata-ratanya.
9. Memasuki musim hujan, indikasi munculnya kondisi ekstrem umumnya ditandai dengan
hadirnya angin kencang, guntur, hujan deras, dipicu oleh awan jenis konveksi yang disebut
awan Cb (Cumulonimbus). Awan Cb terjadi karena adanya proses thermal (pemanasan
udara basah yang naik ke atas) dan proses mekanis, yaitu pertemuan angin yang
menimbulkan gerak vertikal udara basah ke atas. Proses thermal umumnya terjadi saat
peralihan musim (kemarau ke hujan atau sebaliknya) sehingga indikasi ini akan mudah
dijumpai saat ini di wilayah Indonesia. Proses thermal biasanya bersifat lokal dan kurang
memberi dampak terhadap munculnya kondisi ekstrem.
10. Catatan di BMG menunjukkan, saat-saat kering yang pernah dialami Indonesia adalah
tahun 1991, 1993, 1994, 1997, 2000, dan 2001, sedang saat-saat kelebihan air adalah
tahun 1992, 1996, 1999, dan mungkin 2002. Kenyataan ini bisa dipakai untuk memprediksi
dan sekaligus menginformasikan tidak hanya menyangkut saat tanam yang tepat, tetapi
4
juga jenis tanaman yang paling cocok dengan kondisi tersebut. Ini akan sangat membantu
upaya ketahanan pangan dan mengurangi risiko kegagalan panen.
II. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pemanfaatan Ruang
11. Perubahan iklim (anomali) akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan
sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya (ekstern atau tidak ekstern). Secara
umum dampak penyimpangan iklim terhadap aspek-aspek penataan ruang, meliputi :
a) Pemanfaatan lahan budidaya, berupa penurunan atau bahkan kegagalan berproduksi
usaha pertanian, seperti :
• Kegagalan panen tanaman pangan akibat kekeringan.
• Kegagalan panen tanaman pangan akibat banjir.
• Penurunan produksi holtikultura akibat penyimpangan iklim yang mempengaruhi
periode pembuahan.
• Kebakaran hutan yang memengaruhi produksi kayu dan hasil hutan.
• Kegagalan produksi kegiatan budidaya perikanan air tawar akibat kelangkaan air
atau bahkan kebanjiran.
Tabel
Luas tanaman padi terkena bencana banjir, kekeringan dan puso (ha)
pada tahun 1988-1997 (Jasis dan Karama, 1999. Yusmin, 2000)
Sumber : Rini Hidayati, 2001
b) Penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya
gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam, berupa : banjir
dan tanah longsor.
Tahun Keterangan Kebanjiran Kekeringan Puso
1987 El-Nino *** 430.170 ***
1988 La-Nina 130.375 87.373 44.049
1989 Normal 96.540 36.143 15.290
1990 Normal 66.901 54.125 19.163
1991 El-Nino 38.006 867.997 198.054
1992 Normal 50.360 42.409 16.882
1993 Normal 78.480 66.992 47.259
1994 El-Nino 132.975 544.422 194.025
1995 La-Nina 218.144 28.580 51.571
1996 Normal 107.385 59.560 50.649
1997 El-Nino 58.974 504.021 102.254
5
c) Penyimpangan iklim berupa curah hujan yang sangat rendah dibarengi peningkatan
suhu udara, menyebabkan terjadinya kekeringan. Kekeringan potensial menjadi
penyebab terjadinya :
• Penurunan ketersediaan air, yang akan mengganggu proses budidaya pertanian.
• Kebakaran hutan.
• Tidak maksimalnya operasionalisasi pembangkit tenaga listrik (PLTA).
12. Di Indonesia perubahan iklim yang lebih banyak dibahas adalah datangnya musim
kemarau yang berkepanjangan, yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Kekeringan
menjadi ancaman kegagalan panen tanaman bahan pangan. Penyebab anomali iklim,
yang sering disebut El Nino, adalah naiknya suhu udara di Kawasan Asia Pasifik.
Tahun 1997/1998 dan 1992/1993 Indonesia terkena dampak buruk dari bencana El Nino
Southern Oscilliation (ENSO) berupa kekeringan yang amat hebat dan penurunan
produksi beras lebih dari 30 persen yang menyebabkan import beras mencapai angka
tertinggi 5,8 juta pada tahun 1998 (Bustanil Arifin, 2003).
13. Terjadinya penurunan produksi mempengaruhi volume ekspor dan impor komoditas
pertanian. Pada tahun 1992 dan 1995, setahun setelah El-Nino terjadi, volume ekspor
minyak sawit, teh dan kopi mengalami penurunan. Sebaliknya impor pangan mengalami
peningkatan. Besarnya volume impor pangan oleh Indonesia dapat mempengaruhi harga
beras dunia.
14. Fenomena ENSO juga sangat berkaitan erat dengan populasi ikan di laut, khususnya di
Laut Pasifik (Serra, 1987). Pada saat terjadi El-Nino, populasi ikan khususnya jenis
pelagis seperti ikan sardine (Sardinops sagax), anchoveta (Engaulis ringens), ikan
mackerel (Tranchurus murphyi dan Scomber japonicuperuanus) berkurang karena
sedikitnya makanan yang tersedia. Diantara ke empat ikan ini, jenis ikan sardine dan jack
mackerel (Tranchurus murphyi) yang paling terpengaruh oleh fenomena ENSO.
III. Penyesuaian Sistem Penataan Ruang
15. Dari gambaran diatas, perubahan iklim berpengaruh besar tehadap kegiatan budidaya
pertanian dan lingkungan yang lebih luas. Artinya, perubahan iklim berhubungan erat
dengan pola pemanfaatan ruang dan aspek-aspek kewenangan didalamnya, seperti kawasan
permukiman, kawasan budidaya pertanian, sistem jaringan prasarana dan lain sebagainya.
6
16. Berdasarkan review RTRWN, pemanfaatan ruang kawasan budidaya yang termasuk
kedalam kawasan sentra produksi, antara lain :
 Kawasan sentra produksi pangan beririgasi nasional, yang memiliki produktivitas ratarata
13,06 ton/ha/tahun dengan produktivitas tertinggi di Jawa dan Bali. Dari total
produksi 49.236.692 ton, Jawa Timur memberikan share tertinggi sebesar 22,05%.
 Kawasan sentra produksi perkebunan tersebar dengan jenis komoditi sawit, karet,
kelapa, kakao, tebu dan pola pengelolaan PIR, PBS, UPP, dan Swa. Perkebunan cukup
luas dimiliki Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya.
Terkait dengan peningkatan ketahanan pangan nasional dan pemenuhan konsumsi utama
domestik, dikembangkan 267 sentra produksi tanaman pangan yang berada dalam 93
kawasan andalan (daftar terlampir).
17. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara nasional didekati dengan pemanfaatan
ruang kawasan sentra produksi pangan, perkebunan dan kelautan. Kondisi pemanfaatan
ruang kawasan sentra produksi umumnya, adalah sebagai berikut:
– Pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi pangan terutama yang beririgasi
– Pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi perkebunan per komoditi dengan jenis
pola pengelolaan
– Pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi kelautan di sembilan wilayah komoditi.
18. Bencana alam tanah longsor merupakan salah satu dampak penyimpangan iklim (curah
hujan yang tinggi) dan berpengaruh kuat terhadap penataan ruang, khususnya aspek
perencanaan alokasi pemanfaatan ruang. Artinya daerah rawan bencana menjadi
perhatian perencanaan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang.
19. Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menetapkan
antara lain daerah rawan longsor telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun dalam
kenyataannya ketetapan tersebut masih banyak dilanggar. Beberapa hal yang mendorong
terjadinya pelanggaran tersebut antara lain :
a. Kawasan tersebut telah terlanjur berkembang menjadi kawasan budidaya sebelum
Keppres dikeluarkan.
b. Masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk tinggal di kawasan yang lebih aman
karena keterbatasan ekonomi dan atau keterikatan adat yang kuat dengan tanah
kelahiran.
7
c. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang subur, sehingga mengundang untuk
dikembangkan sebagai kawasan buidaya.
20. Penyesuaian sistem Penataan Ruang harus memperhatikan prinsip perlindungan
keseimbangan ekosistem dan prinsip jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Artinya, baik di kawasan rawan kekeringan, kawasan rawan banjir maupun kawasan rawan
longsor masih harus ada peluang bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya
secara selektif dan terkendali.
21. Oleh karena itu, hal yang diperlukan pada tahap awal dalam (penyesuaian) penataan
ruang adalah pemetaan kawasan dampak perubahan iklim pada skala menengah (1 :
25.000 – 1 : 10.000) hingga detail (lebih detail dari skala 1 : 10.000).
IV. Kebijakan Antisipatif Bidang Penataan Ruang
22. Perubahan iklim adalah masalah lingkungan. Dalam keadaan iklim normal perubahan
iklim mungkin tidak menimbulkan akibat nyata, tetapi pada keadaan ekstrim seperti pada
periode La-Nina dan El-Nino skala besar perubahan dapat menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Jika tidak dipersiapkan upaya penekanan laju perubahan dan adaptasi dalam
menghadapi keadaan ini, maka Environment Cost yang ditanggung akan sangat besar.
23. Dalam pengembangan kawasan budidaya (seperti : pertanian), RTRWN mengatur
kriteria dan pola pengelolaan kawasan-nya. Dalam menentukan kriteria dan pola
pengelolaan kawasan tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi alam serta
lingkungan. Hal ini untuk mengatasi serta mengantisipasi dampak dari perubahan iklim,
yang membawa pengaruh pada kondisi kestabilan kawasan tersebut. Kriteria kawasan
pertanian merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang
ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dibagi dalam:
– Kriteria teknis sektoral yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang
untuk suatu kegiatan dalam kawasan memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kesesuaian ruang dan bebas bencana; dan
– Kriteria ruang, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu
kegiatan dalam kawasan, menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan
masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
8
24. Salah satu wujud dalam pelaksanaan kegiatan yang bersifat antisipatif terkait dengan
penataan ruang, adalah pemetaan terhadap kawasan – kawasan sentra produksi pertanian,
kawasan permukiman, dan kawasan strategis lainnya yang potensial terkena dampak
perubahan iklim (kekeringan, banjir, dan atau tanah longsor).
25. Diperlukan regulasi pemanfaatan ruang di kawasan – kawasan yang rawan pengaruh
perubahan iklim. Dalam penyusunan regulasi diperlukan keterlibatan masyarakat setempat
bersama dengan aparat daerah. Jadi, peraturan tersebut harus dibuat sendiri oleh
masyarakat berdasarkan kesadaran dan kesepakatan. Dalam hal ini pemerintah berperan
sebagai fasilitator. Diharapkan dengan cara melibatkan masyarakat, mereka akan merasa
kepentingannya diperhatikan dan dilindungi, sehingga dengan sadar berusaha menjaga
lingkungannya.
9
Daftar Pustaka
Hidayati, Rini., Masalah Perubahan Iklim di Indonesia Beberapa Contoh Kasus, Program
Pasca Sarjana / S-3, Institut Pertanian Bogor, November 2001.
Effendy, Sobri., Urgensi Prediksi Cuaca dan Iklim di Bursa Komoditas Unggulan
Pertanian, Program Pasca Sarjana / S-3, Institut Pertanian Bogor, November 2001.
Winarso, P Agus., Perkembangan Alam Indonesia, Butir-Butir Bahan Masukan pada Acara
Hari Air dan Meteorologi, Jakarta, 22 Maret 2002.
Winarso, P Agus., Peluang Munculnya Cuaca Ekstrem Akhir 2002 dan Awal 2003, Badan
Meteorologi dan Geofisikai, Jakarta, 2002.
Ditjen. Penataan Ruang – Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional :
Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan Kawasan Budidaya, Bahan Sosialisasi
RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Pertanian, Jakarta, 17Oktober 2002.