AKHLAK PRIBADI ISLAM

AKHLAK PRIBADI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, juga budaya. Populasi sumber daya manusianya berjumlah 237.641.326 . Negara ini juga merupakan negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Namun potret bangsa ini semakin memprihatinkan. Pengangguran merajalela, Korupsi, tindakan kriminal, asusila, kemiskinan, merupakan akibat dari hasil akhlak runtuhnya akhlak di Indonesia. Padahal Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya akhlak.
Sehingga untuk merubah Indonesia ini menjadi lebih baik. Maka harus di bangun pembentukan akhlak pribadi masyarakat yang sesuai dalam kandungan Al-Quran. Karena didalam Al-Quran telah menjelaskan pribadi akhlak ideal bagi umat islam yang akan dijelaskan secara ringkas pada makalah ini.
Untuk memahami akhlak pribadi islam, maka setiap umat islam diharapkan dapat membaca, memahami dan akhirnya melaksanakan apa saja yang menjadi kaidah akhlak yang sudah ditetapkan dalam Al-Quran. Jika semua umat islam berakhlak sesuai dengan ketentuan ajaran Al-Quran. Maka citra umat islam akan dapat dibentuk dari perilakunya seperti jujur, amanah, percaya diri dan berpikir positif, bekerja keras, menghargai waktu, hemat, mandiri dan selalu bersyukur atas rahmat Allah SWT.

II. Pembahasan
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologis pengertian akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluk yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Sedang arti akhlak secara terminologi sebagai berikut; Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M) mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

2. 10 Akhlak Pribadi Islami
Sebagai umat islam, tentunya kita juga wajib untuk berakhlak pribadi Islami. Akhlak Islami ini didasarkan pada Al-Quran dan Sunah Rosul. Dan akhlak Rosul, sebagai mana dinyatakan Aisyah dalam HR Muslim adalah “akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran”. Jadi untuk memahami akhlak pribadi islami, maka setiap umat islam diharapkan dapat membaca, memahami dan akhirnya melaksanakan apa saja yang menjadi kaidah akhlak yang sudah ditetapkan dalam Al-Quran.
Berikut ini adalah 10 akhlak pribadi islami, yang harus dimengerti dan dijalankan oleh pribadi islami, sehingga perilaku dan adatnya sesuai dengan kaidah agama, yang merupakan kunci sukses pribadi islam.
a. Jujur (Shidiq, Honesty)
Jujur dapat diartikan adanya kesesuaian/keselarasan antara apa yang disampaikan/diucapkan dengan apa yang dilakukan/kenyataan yang ada. Kejujuran juga memiliki arti kecocokan dengan kenyataan atau fakta yang ada. Lawan kata dari kejujuran adalah Dusta. Dusta adalah apa yang diucapkan dan diperbuat tidak sesuai dengan apa yang dibatinnya, dan tidak sesuai dengan kenyataan. Dusta juga dapat berarti tidak berkata sebenarnya, dan menyembunyikan yang sebenarnya.
Al-Quran sangat menganjurkan untuk berbuat jujur, di antara Firman Allah tentang, kejujuran di antaranya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar (QS At-Taubah-119).
Rasulullah SAW juga bersabda mengenai pentingnya kejujuran sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam: “Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebijakan, dan kebajikan kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha selalu jujur, akhirnya ditulis Allah sebagai seseorang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta”.
Jujur kepada diri sendiri, dapat dimulai dengan jujur dalam niat dan kehendak. Setiap keinginan pada diri sendiri harus didasarkan niat yang baik dan mengharapkan ridho Allah. Jujur pada diri sendiri harus dimulai dari mengenal diri sendiri, mengenal kelemahan, mengenal kelebihan, mengenal kebutuhan dan mengenal keinginan. Dengan mengenal diri sendiri, maka kita dapat memenuhi kebutuhan diri dengan cukup, tidak kurang dan tidak lebih.
Jujur kepada sesama, dapat dimulai untuk menyampaikan dan berbuat sebagaimana mestinya, menyampaikan fakta dengan benar dan tidak berbohong atau berdusta. Jujur terhadap sesama ini, dapat dilakukan dengan membuat pertanggungjawaban (accountability) terhadap setiap tanggung jawab dan wewenang atau tugas. Jujur terhadap sesama dapat dimulai dengan mempertanggungjawabkan sertiap yang kita terima baik uang, amanah-pesan, dan pekerjaan.
Jujur kepada Allah, adalah tingkatkan jujur yang paling tinggi. Jujur kepada Allah diwujudkan adanya rasa pengharapan, cinta dan tawakal pada setiap niat, ucapan perbuatan. Jujur kepada Allah dapat berupa tindakan ikhlas di dalam melakukan seluruh kewajiban yang ditentukan Allah dengan harapan mendapat ridhonya.
b. Percaya Diri
Akhlak yang kedua dari pribadi islami adalah percaya atau rendah hati (Tawadhu). Pengertian percaya diri atau tawadhu adalah merendahkan hati atau diri tanpa harus menghinakannya atau meremehkan harga diri tanpa harus menghinakannya atau meremehkan harga diri sehingga orang lain berani menghinanya dan menganggap ringan. Pribadi yang percaya diri, harus mampu menunjukkan sesuatu yang unggul berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap atau perilaku (attitude), sehingga orang lain memberikan kepercayaan dan kehormatan yang sepatutnya, dan tidak bersikap sombong terhadap kemampuan yang dimilikinya.
Lawan sikap percaya diri adalah Takabur. Seseorang yang takabur merasa dirinya lebih tinggi, lebih mampu, dan lebih sempurna daripada orang lain, padahal kenyataannya tidak. Ciri orang yang takabur adalah selalu dan ingin menghina orang lain, menganggap enteng orang lain, menjauhkan diri dari orang lain, enggan bergaul, mencela orang lain, dan bersikap sewenang-wenang.
Terkait dengan percaya diri dan tidak berbuat sombong. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Kuakan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina. (QS Al-Mu’min:60)
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda dalam Kanzul Ummal, Juz II, hlm 25 Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kamu semua bertawadhu sehingga tidak ada yang sombong terhadap yang lainnya dan tidak ada yang sombong terhadap yang lainnya dan tidak ada seorang menganiaya lainnya. (HR Muslim)
Orang-orang yang sombong dan orang-orang yang sewenang-wenang kepada orang lain, pada hari kiamat akan dikumpulkan seperti butir-butir debu. Mereka diinjak-injak oleh para manusia, disebabkan mereka hina disisi Allah SWT.
c. Bekerja Keras (Hubbul Amal, Excellence)
Bekerja keras merupakan salah satu akhlak islami. Al-Hufiy (2000) dalam keteladanan akhlak Rasul, menyatakan bahwa “Islam membenci pengangguran, kemalasan, dan kebodohan karena hal itu merupakan maut yang lambat laun akan mematikan semua daya kekuatan dan menjadi sebab kerusakan di dunia dan akhirat”. Pernyataan ini sangat relevan untuk terus dikumandangkan terutama dikalangan umat Islam di Indonesia.
Kemalasan akan membuat kehancuran dapat juga dicontohkan pada zaman Romawi. Bangsa Romawi memandang pekerjaan adalah hina dan harus dikerjakan budak. Akibat banyak pekerjaan dilakukan oleh budak, maka timbulnya budaya malas dan berkibat kehancuran Romawi.
Bekerja keras tidak hanya fisik. Akal dan pikiran harus terus digunakan untuk memikirkan sesuatu yang lebih baik. Kemalasan akal atau malas berpikir lebih jelek daripada malas badan. Orang yang cerdas tetapi malas berpikir akan merusak jiwa, karena pikiran-pikiran yang buruk serta rusak ada dalam tubuh manusia yang malas dan lemah. Orang malas akan menjadi gelisah hatinya, lemah badannya, dan membenci kehidupan walaupun memiliki harta yang cukup.
Terkait dengan bekerja keras, Allah SWT berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS Al-Jumuah:10)
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan seseorang ialah dari hasil pekerjaannya sendiri”.
Dua orang lelaki datang kepada Rasul SAW untuk meminta bagian dari sedekah. Kemudian rasul memperhatikan keduanya. Mereka berdua dianggap oleh beliau orang yang kuat, lalu beliau berkata, “Bila kamu mau, aku akan memberimu. Akan tetapi, dalam sedekah ini, tidak ada bagian bagi orang yang kaya atau orang yang masih kuat bekerja.
Banyak tauladan Rasul tentang bekerja keras ini di antaranya adalah:
• Rasul mau menjadi penggembala kambing milik Bani Sa’ad,
• Rasul berdagang, menjualkan barang Siti Khadijah, sampai ke negeri Syam
• Rasul ikut bekerja membuat parit dengan memecahkan batu dengan linggis serta menggali tanah
• Rasul melakukan pekerjaan rumah seperti memberi makan unta, menyapu rumah, memerah susu, membetulkan sandal, memperbaiki baju, membantu pekerjaan pembantu, membuat tepung gandum, dan membawa sendiri barang yang dibeli dari pasar.
d. Menghargai Waktu
Satu akhlak islami yang mendorong sukses pribadi umat Islam adalah menghargai waktu. Waktu terus berjalan dan tidak pernah kembali. Oleh sebab itu, setiap detik waktu harus dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan keberhasilan. Untuk dapat memanfaatkan secara optimal dari waktu, maka perlu adanya manajemen waktu yaitu aktivitas untuk menfaatkan waktu yang tersedia dan potensi-potensi yang tertanam dalam diri kita guna mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan menyeimbangkan tuntutan kehidupan pribadi, masyarakat, serta kebutuhan jasmani, rohani dan akal.Terkait dengan menghargai waktu, Alllah SWT berfiriman :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS Al-Ashr:1-3).
Selain itu, Rasul juga sangat sayang kepada umat islam dan Rasul menganjurkan agar umat islam menggunakan waktu dalam ketaatan dan bergegas berlomba-lomba dalam kebaikan:

“Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempatan yang lain: kehidupanmu sebelum datang kematianmu, kesehatanmu sebelum datang sakitmu, kelonggaranmu sebelum datang kesibukanmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu”.
e. Berpikir Positif
Berfikir positif adalah pola pikir yang didasarkan pada penyusunan rencana yang matang dalam mencapai tujuan, selalu berusaha untuk mencapai tujuan, dan mengambil hikmah setiap kejadian. Berpikir positif juga dapat diartikan kita mencari hal-hal positif dan baik dari berbagai hal tersebut, kemudian hal-hal yang buruk kita kesampingkan. Orang yang berpikir positif mengambil sisi baik dari setiap kejadian, melakukan evaluasi dan merencanakan kembali untuk mencapai tujuan mencapai. Orang yang berpikir memiliki sikap yang penuh harapan, yakin dalam hidup, berperilaku baik, ramah, dan menyenangkan.
Berpikir positif sangat penting dalam kehidupan manusia terutama umat islam, karena menjadikan hidupnya konstruktif dan produktif yang diliputi oleh kebahagiaan dan kesuksesan. Dengan berpikir positif dapat diwujudkan hasil yang lebih banyak daripada yang dapat dicapai oleh cara yang lain. Dapat mengubah masalah yang sulit menjadi masalah yang bisa dimanfaatkan dan digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dalam hidup kita. Hal sebaliknya terjadi jika berpikir negatif. Berpikir negatif menjadikan kita melihat berbagai hal dengan pandangan pesimis dan dari sisi yang gelap. Membawa kita kepada kemurungan, kesedihan, dan frustasi.
Allah Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”(QS Al-Hujurat: 12)
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridho dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (QS At-Taubah:59)
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah melarang umat Islam untuk berpikir, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain atau menggunjingkan orang lain. Terhadap umat Islam yang telah meninggal, juga dilarang membuka aibnya. Oleh sebab itu, umat Islam harus mulai merancang aktivitas yang produktif dan selalu bekerja keras.
Ayat ini juga menganjurkan kepada umat Islam untuk selalu berpengharapan positif. Apabila umat Islam sudah merencanakan sesuatu dengan baik, menjalankan rencana dengan baik, serta niat yang biak, maka InsyaAllah, Allah akan memberikan karunianya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi umat Islam untuk berpikir positif dan berpengharapan baik.
f. Memiliki Harga Diri (dignity, selfesteem)
Harga diri adalah penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri, dan bagaimana ia menjaga kehormatan diri, sehingga orang lain tidak menghinakannya. Memiliki harga diri berarti seseorang mempunyai kemampuan untuk menjaga perilaku etis dan menjauhi perilaku nista. Harga diri perlu diperkuat agar orang merasa malu melakukan segala bentuk penyimpangan, kecurangan, dan kenistaan.

Untuk meningkatkan harga diri, manusia tidak boleh sombong, atau riya, tetapi harga diri dibangun melalui berbagai usaha kepada kebaikan yang sudah ditentukan oleh Allah, sebagaimana firmannya:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan (QS Al-Baqarah:110)
g. Mandiri
Setiap individu diberi potensi oleh Allah. Setiap umat harus mampu menggali dan mengembangkan diri dengan baik sehingga hidup di dunia yang hanya satu kali ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan hidup kita akan terhormat jika kita dapat meringankan beban orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya”.
Menjadi manusia mandiri adalah menjadi manusia yang memiliki harga diri. Mandiri adalah sumber percaya diri. Mandiri adalah seumber percaya diri. Tentang kemandirian manusia, Allah berfiriman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ” (QS Ar Ra’ad:11)
Kita diberi kemampuan oleh Allah untuk merubah nasib kita sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, ini berarti kita harus mandiri, dalam mengarungi hidup ini. Keuntungan menjadi manusia mandiri adalah:
• Kita akan mempunyai wibawa
• Hidup akan lebih tenang
• Kita akan semakin percaya diridalam menghadapi hidup
h. Hemat atau Hidup Sederhana
Hidup hemat atau hidup sederhana adalah sikap hidup yang mengendalikan diri sendiri untuk mencukupkan kebutuhannya, sehingga tidak boros dan tidak kikir. Terkait dengan hidup hemat, Allah SWT berfirman :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.(QS Al-Furqan: 67)
Hidup boros hidup yang membelanjakan harta secara berlebih-lebihan, melebihi batas kepantasan. Pembelian rumah, mobil, televisi, makanan dan pakaian yang berlebihan, sehingga tidak terpakai semuanya adalah contoh hidup yang boros. Termasuk dalam kehidupan yang boros adalah pengeluaran harta yang tidak pantas seperti maksiat, bermegah-megahan, penyuapan dan lain-lain.
Hidup kikir atau bakhil adalah sikap pelit yaitu orang yang enggan mengeluarkan hartanya baik untuk keperluan diri sendiri, keluarga atau infak. Orang kikir merasa apabila mengeluarkan uang, maka hartanya akan berkuranga.
Hidup hemat adalah sifat baik yang diwariskan dalam akhlak Islam dan sangat baik diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hemat adalah apabila kita membelanjakan harta secara tidak berlebih-lebihan, melakukan penghematan pengeluaran dan menabung untuk masa-masa sulit. Hemat adalah fondasi dari segala macam keberhasilan.
i. Memelihara Amanah
Amanah per definisi adalah titipan berharga yang dipercayakan Allah kita atau aset penting yang dipasrahkan kepada kita. Konsekuensi sebagai penerima amanah tersebut, kita terkiat secara moral untuk melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar.
Terkait dengan amanah, Allah berfiriman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS Al-Anfaal:27)
Bakat merupakan amanah yang diberikan kepada kita, potensi biologis-psikologis-spiritual insani yang kini menajdi milik kita. Menurut Howard Gardner, seorang pakar kecerdasan dari Universitas Harvard, kita semua menerima kombinasi unik paling sedikit dari tujuh macam kecerdasan antara lain kecerdasan rasional-matematika, kecerdasan ruang waktu, kecerdasan musikal, kecerdasan verbal, dan kecerdasan sosial.
Kesadaran moral atas amanah potensi-potensi inilah yang melahirkan konsep tanggung jawab pribadi atas pengembangan didi kita secara optimal menuju batas/limit kesempurnaan yang mungkin. Semakin besar rasa tanggungjawab kita, semakin besar pula ukuran diri kita.
j. Bersyukur
Syukur adalah menggunakan atau mengolah nikmat yang dilimpahkan Allah sesuai dengan tujuan dianugerahkannya. Artinya, jika Anda bersyukur, berarti Anda harus berani mengolah dan mengelola segala anugerah Allah yang berupa rahmat dengan baik dan benar. Sebab dengan begitu, Allah akan menjamin berkah-berkah-Nya selanjutnya pada Anda.
Terkait dengan Rahmat, maka terdapat dua jenis Rahmat, yaitu :
1. Rahmat Umum
Rahmat adalah fasilitas ilahi bagi pertumbuhan dan kemajuan kita menuju pemenuhan potensi manusiawi kita sehingga kita menjadi manusia seutuhnya. Rahmat umum mencakup semua kebaikan Allah sebagai infrastruktur dan fasilitas umum agar kita dapat mengalami regenerasi pertumbuhan, dan kesempurnaan insaniah kita. Jadi, keluarga adalah Rahmat, bumi adalah Rahmat, hutan adalah Rahmat, sungai adalah Rahmat, laut adalah Rahmat, hujan adalah Rahmat, awan adalah Rahmat, dll.
2. Rahmat Khusus
Rahmat khusus ini adalah Rahmat yang secara istimewa diberikan kepada kita sedangkan orang lain tidak. Misalnya Kecantikan, suara yang merdu, dll.
Pada tingkat emosional, paradigma Rahmat ini membuat hati kita berlimpah syukur. Secara khusus, kita harus bekerja, nelajar dengan penuh rasa syukur, tidak boleh bermalas-malasan atau setengah hati.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa syukur memiliki tiga persyaratan utama:
• Secara batin kita mengakui nikmat-nikmat Allah,
• Secara lahir kita membicarakan nikmat-nikmat Allah
• Menjadikan segala nikmat Allah untuk taat kepada-Nya

Jika ketiga persyaratan itu kita penuhi, niscaya Allah akan semakin menambah nikmat dan karuniayanya kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.(QS Ibrahim: 7)

Daftar Pustaka
Agustian A.g. 2001. ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Arga. Jakarta.
Al-Hufiy, A.M. 2000. Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. Pustaka Setia. Bandung.
Al-Sya’rani, A A. 2004. 99 Akhlak Sufi: Meniti jalan surga bersama orang- orang suci. Mizan Media Utama. Bandung.
Departemen Agama. 1971. Al-Quran dan terjemahannya. Departemen Agama. Jakarta.
Sanusi A. 2006. Jalan Kebahagiaan. Gema Insani Press. Jakarta.