Virus Hendra (HeV) dan virus Nipah (NiV)

PENDAHULUAN

Penyakit infeksius merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia. Pada tahun 2002 lebih dari seperempat dari 57 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit infeksius. Kira-kira 75% emerging infectious disease di manusia dan hewan adalah zoonosis (Fauci 2006).
Penyakit kelompok emerging zoonosis yang dapat ditularkan melalui beberapa spesies kelelawar antara lain Lyssavirus, Menangle, Japanese encephalitis, virus Hendra dan Nipah (MacKenzie, et al. 2001; McColl et al. 2000; Reynes et al. 2005).
Menurut Woolhouse et al. 2005 salah satu sumber potensial dari emerging zoonosis adalah spesies host yang berbeda (reservoir). Perubahan dari satu spesies host ke spesies lain (species jump) telah menimbulkan penyakit-penyakit baru seperti HIV/AIDS, BSE, Ebola, Hendra, dan Nipah.
Kemunculan kasus-kasus zoonosis membuka suatu pemahaman dari lembaga kesehatan hewan sedunia atau OIE (World Organization for Animal Health) mengenai musuh dunia. OIE berpendapat musuh dunia bukan lagi perang dunia, bom nuklir ataupun serangan teroris, melainkan alam itu sendiri.
Kemunculan yang tidak terduga dari suatu penyakit zoonosis juga memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini didefinisikan secara luas sebagai suatu kejadian penyakit zoonosis dengan (1) agen penyakit yang telah dikenal dan muncul pada area geografik yang berbeda (2) agen penyakit yang telah dikenal atau kerabat dekatnya dan menyerang hewan yang sebelumnya tidak rentan (3) agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan terdeteksi untuk pertama kalinya (Morse 2004).
Virus Hendra (HeV) dan virus Nipah (NiV) atau lebih dikenal dengan Henipavirus muncul di dekade terakhir abad ke dua puluh sebagai penyebab terjadinya wabah penyakit pernafasan dan saraf yang menginfeksi sejumlah spesies hewan. Pada tahun 1994, HeV menyebabkan penyakit pernapasan yang parah serta kematian 13 kuda dan pelatih kuda di sebuah kandang di Brisbane, Australia.
Antara September 1998 dan April 1999, setelah penyebaran tidak diketahui sebagai infeksi pernafasan dan ensefalitis pada babi di Malaysia, NiV muncul pada populasi manusia dan menyebabkan ensefalitis yang fatal. Lebih dari satu juta babi dimusnahkan untuk menghentikan penyebaran penyakit ini.
HeV menyebabkan dua orang meninggal dunia pada saat dilaporkan terdapat 400 kasus NiV pada manusia, dengan perkiraan 200 orang meninggal di Malaysia, Bangladesh dan India. Kelelawar buah (flying foxes) termasuk dalam genus Pteropus adalah induk semang alami kedua virus ini (OIE 2008).

ETIOLOGI
Klasifikasi Virus
Klasifikasi dari henipavirus adalah sebagai berikut :
Grup : Group V ((-)ssRNA)
Ordo : Mononegavirales
Famili : Paramyxoviridae
Genus : Henipavirus
Tipe spesies : Hendra virus
Spesies : Nipah virus
Dikategorikan dalam genus Henipavirus, satu dari lima genus dalam subfamili Paramyxovirinae. Genus yang lain yaitu Respirovirus, Morbillovirus, Avulavirus dan Rubulavirus (gambar 1).

Sumber : Bellini et al. 2002
Gambar 1. Pohon filogenetik membandingkan virus Nipah dan Hendra dalam famili Paramyxovirus (HPIV=Human parainfluenza virus, SV5=simian virus 5, NDV=Newcastle disease virus, CDV=canine distemper virus, PDV=Phocine distemper virus, DMV=dolphin morbillivirus)

Struktur Virus
Henipavirus berbentuk pleomorphic (bentuk bervariasi), diameter 40-600 nm (Hyatt et al. 2001), memiliki membran lipid yang melapisicangkang protein matriks virus. Pada intinya adalah seuntai heliks tunggal dari genom RNA yang terikat dengan N (nukleokapsid) protein dan terkait dengan L (Large) dan P (phosphoprotein) protein yang menyediakan aktivitas polimerase RNA selama reolikasi (gambar 2).
Melekat dalam membran lipid spike dari F (fusion) trimer protein dan G (attachment) tetramer protein. Fungsi G protein adalah melekatkan virus ke permukaan sel host melalui (EFNB2), jumlah protein yang tinggi tersimpan pada beberapa mamalia (Bonaparte et al. 2005; Negrete et al. 2005). Protein F menyatukan membran viral dengan membran sel host, melepaskan kandugan virion ke dalam sel. Protein F ini juga menyebabkan sel yang terinfeksi bergabung dengan sel terdekat dan membentuk syncytia.

Gambar 2. Struktur dari henipavirus (Bonaparte et al. 2005)

Struktur Genom
Seperti semua virus ordo Mononegavirales, genom virus Hendra dan virus Nipah tidak bersegmen, untai tunggal RNA. Berukuran 18,2 kb dan mengandung 6 gen serta 6 struktur protein. Secara umum dengan anggota lain dari subfamili Paramyxovirinae, jumlah nukleotida dalam genom henipavirus merupakan kelipatan enam, sesuai dengan yang dikenal sebagai ‘aturan enam’ (Wang et al. 2001).
Deviasi dari aturan enam, melalui mutasi atau sintesis genom tidak lengkap, mengarah ke replikasi virus yang tidak efisien, mungkin karena kendala struktur yang dipaksakan oleh pengikatan antara RNA dan protein N (Wang et al. 2001).

Gambar 3. Genom henipavirus (3’-5’ orientasi) dan produk dari gen P (Wang et al. 2001)

Masih menurut Wang et al. 2001 henipaviruses memakai proses yang tidak biasa disebut RNA editing untuk menghasilkan beberapa protein dari gen tunggal. Proses tertentu dalam henipaviruses melibatkan penyisipan residu guanosin ekstra ke mRNA gen P sebelum translasi. Jumlah residu ditambahkan yang menentukan apakah protein P, V atau W ini disintesis (gambar 3). Fungsi dari V dan W protein tidak diketahui, tetapi mereka mungkin terlibat dalam mekanisme antiviral yang mengganggu host.

TRANSMISI

Induk Semang
Induk semang alami adalah kelelawar pemakan buah (Pteropus sp). Induk semang antara adalah babi sedangkan induk semang akhir adalah manusia (Deptan 2004).

Cara Penularan
Penularan ke manusia dan hewan lainnya adalah melalui inhalasi, aerosol atau kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh atau ekskresi infeksius lainnya dari hewan yang terinfeksi seperti air kencing, saliva, gelembung air yang dikeluarkan melalui pernafasan baik melalui mulut maupun dari hidung babi yang terinfeksi. Manusia bisa terinfeksi langsung dari kelelawar jika mengonsumsi buah atau produk dari buah yang terpapar feses atau urin kelelawar yang terinfeksi ataupun dari buah yang terpapar virus secara langsung (Deptan 2004)
VIRUS HENDRA

Kemunculan
Virus Hendra (sebelumnya disebut Equine morbilivirus) ditemukan September 1994 ketika menyebabkan kematian 13 kuda dan seorang pelatih di kandang kuda di Hendra, suburb Brisbane, Queensland, Australia (Selvey et al. 1995).
Outbreak kedua terjadi pada Agustus 1994 di Mackay, 1000 km utara Brisbane yang menyebabkan kematian 2 kuda dan pemiliknya (Field et al. 2001).
Survei satwa liar pada area outbreak dilakukan dan diidentifikasi bahwa kelelawar buah pteropid sebagai sumber Hendra virus dengan seroprevalens sebesar 47%. Isolasi virus didapatkan dari saluran reproduksi dan urin kelelawar sehingga diindikasikan transmisi ke kuda terjadi karena terdedah urin kelelawar (Halpin et al. 2000).

Outbreak di Australia
Sampai 30 Agustus 2011, total terjadi 31 kasus hendra virus, semua terjadi pada kuda. Sebanyak 4 kasus menyebar ke manusia karena kontak langsung dengan kuda yang terinfeksi. Pada 26 Juli 2011 seekor anjing yang berada di Mt. Alford dilaporkan memiliki antibodi HeV.
Kejadian outbreak terjadi pada pesisir timur Australia dengan wilayah paling barat terjadi di Cairns, Queensland, wilayah paling selatan di Macksville, NSW. Semua outbreak terjadi pada area penyebaran flying fox (kelelawar buah) yaitu : Little red flying-fox, (Pteropus scapulatus), black flying-fox, (Pteropus alecto), grey-headed flying-fox, (Pteropus poliocephalus) and spectacled flying-fox, (Pteropus conspicillatus).
Waktu kejadian mengindikasikan pola musim outbreak, kemungkinan berkaitan dengan siklus kawin little red flying fox. Spesies-spesies ini biasa beranak antara April-Mei. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa transmisi ke manusia langsung dari kelelawar, sehingga infeksi pada manusia hanya muncul melalui host antara yaitu kuda (Plowright et al. 2008).
Pada tahun 1994-2010 terjadi 14 kasus. Dari 20 Juni 2011-28 Agustus 2011 sebanyak 17 kasus teridentifikasi. Penyebaran HeV biasanya terjadi antara Mei-Oktober dan sering disebut sebagai Musim Hendra. Pada saat ini kelelawar buah dari berbagai spesies berkumpul di Queensland dalam jumlah besar karena area ini memiliki habitat yang baik pada saat musim dingin. Suhu di daerah ini lembab dan hangat yang mendukung tetap hidupnya HeV di lingkungan (Fogarty et al. 2008).

VIRUS NIPAH
Outbreak

Sumber : Wikipedia 2011
Gambar 4. Lokasi outbreak henipavirus (bintang merah– virus Hendra; bintang biru – virus Nipah) dan penyebaran reservoir flying fox (bayangan merah – virus Hendra ; bayangan biru– virus Nipah)

Lokasi outbreak NiV merupakan wilayah spesies Pteropus (Pteropus giganteus). Seperti kasus HeV, waktu outbreak mengindikasikan efek musim. Kasus di Bangladesh terjadi saat musim dingin 2001, 2003, 2004. Februari 2011 di Hatibandha Upazila, Bangladesh utara terjadi outbreak NiV pada manusia dengan 24 kasus dan 17 kematian.
 31 Januari- 23 Februari 2001, Siliguri, India : 66 kasus dengan 74% mortality rate. 75% pasien adalah staf rumah sakit atau pengunjung yang mengunjungi penderita, mengindikasikan transmisi manusia-manusia.
 April-Mei 2001, Meherpur, Bangladesh : 13 kasus dengan 9 kematian (69% kematian)
 Januari 2003, Naogaon, Bangladesh : 12 kasus dengan 8 kematian (67% kematian)
 Januari-Februari 2004, Manikganj dan Rajbari, Bangladesh : 42 kasus dengan 14 kematian (33% kematian)
 19 Februari-16 April 2004, Faridpur, Bangladesh : 36 kasus dengan 27 kematian (75% kematian). Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa outbreak NiV terjadi karena transmisi manusia-manusia. 92% kasus melibatkan kontak langsung dengan penderita NiV. Terdapat 6 kasus yang menunjukkan sindrom pernapasan akut. Transmisi manusia-manusia diperkirakan terjadi karena penyebaran droplet berukuran besar.
 Januari 2005, Tangail, Bangladesh : 12 kasus dengan 11 kematian (92% kematian). Diduga penyebaran virus dari sari kurma yang terkontaminasi feses atau saliva kelelawar.
 Februari-Mei 2007, Nadia, India : 50 diduga kasus NiV dengan 3-5 kematian.
 Februari-Maret 2008, Manikganj dan Rajbari, Bangladesh : 9 kasus dengan 8 kematian.
 Januari 2010, Bhanga, Bangladesh : 8 kasus dengan 7 kematian.
 Februari 2011, outbreak NiV di Hatibandha, Bangladesh : kematian 21 anak sekolah, sekolah-sekolah ditutup untuk mencegah penyebaran virus. Penduduk diminta tidak mengkonsumsi buah mentah dan produk buah. Diduga sumber infeksi berasal dari makanan yang terkontaminasi urin atau saliva kelelawar.
NiV diisolasi dari Lyle’s flying fox (Pteropus lylei) di Kamboja dan RNA virus ditemukan di urin dan saliva dari P.lylei dan Horsfield’s roundleaf bat (Hipposideros larvatus) di Thailand. Virus infektif juga diisolasi dari sampel urin dan sisa buah di Malaysia. Antibodi henipavirus ditemukan pada kelelawar di Madagaskar (Pteropus rufus, Eidolon dupreanum) dan Ghana (Eidolon helvum) mengindikasikan distribusi geografis yang luas dari virus ini. Sampai saat ini belum ditemukan infeksi pada manusia atau spesies lain di Kamboja, Thailand atau Afrika.
Virus Nipah di Malaysia
Perambahan hutan oleh manusia menyebabkan munculnya agen penyakit baru contohnya pada outbreak Nipah Virus di Malaysia terjadi pada kandang babi yang berdekatan dengan perkebunan buah yang kemudian terinfeksi oleh virus yang berasal dari kotoran kelelawar yang habitatnya berubah karena deforestasi (Fauci 2006). Virus Nipah pertama kali diisolasi dari pasien yang menderita ensefalitis di daerah Sungai Nipah, Malaysia pada tahun 1998. Wabah Nipah pertama kali dilaporkan di Malaysia pada bulan September 1998. Sejak saat itu sampai dengan bulan April 1999, penyakit Nipah telah menyebabkan 105 orang meninggal dunia dan 1,1 juta ekor babi dimusnahkan (Yob et al. 2001). Penyakit ini kemudian menyebar ke Singapura, dan menginfeksi 11 orang pekerja di Rumah Potong Hewan yang menangani babi yang berasal dari Malaysia yang telah terinfeksi virus Nipah (Chua et al. 2000).
Mewabahnya penyakit Nipah di Malaysia dimulai dari kelelawar kemudian babi dan selanjutnya ke manusia yang menyebabkan kematian pada manusia dan babi. Dengan demikian penyakit ini dapat menjadi ancaman bagi peternakan babi dan masyarakat di Indonesia. Penyakit Nipah sangat menarik perhatian Indonesia karena munculnya kasus penyakit tersebut di Malaysia. Mengingat lokasi geografis Indonesia sangat berdekatan dengan Malaysia, maka dapat terjadi kemungkinan berpindahnya penyakit tersebut ke Indonesia melalui perpindahan satwa liar, dalam hal ini kelelawar. Secara serologis, Nipah pada Pteropus spp. Juga telah dilaporkan di beberapa negara Asia seperti Bangladesh, Kamboja, Filipina dan Australia (Hsu et al. 2004).
Pada bulan September 1998 terjadi outbreak penyakit pernapasan dan encephalitis dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah yang terjadi pada peternakan babi komersial (sebelumnya diduga sebagai penyakit pernapasan babi dan sindrom encephalitis) di distrik Kinta, Ipoh, Negara Perak di Semenanjung Malaysia. Pada bulan itu juga pekerja peternakan babi mengalami demam encephalitis akut berkaitan dengan kematian yang tinggi. Penyakit yang terjadi pada manusia ini sebelumnya didiagnosis sebagai Japanesse Encephalitis (JE) yang endemik di Malaysia (Tee et al. 2009).
Babi-babi yang terdapat di distrik Kinta dianggap bebas dari penyakit dan dilalulintaskan ke peternakan babi dan Rumah Potong yang berada di Negara lain di Malaysia serta ke Singapura. Outbreak yang serupa terjadi kembali pada Desember 1998 di Sikamat, Februari 1999 di Desa Sungai Nipah dan Kota Bukit Pelandok yang semuanya terletak di Kota Seremban di Negeri Sembilan yang terletak di Semenanjung Malaysia bagian tengah. Sebanyak 70% pasien yang terinfeksi terdiri dari etnis China yang secara langsung terlibat dalam kegiatan beternak babi yaitu sebagai peternak dan pekerja kandang babi. Semua penderita dalam jangka waktu dua minggu sebelum onset penyakit melakukan kontak langsung dengan babi. Pasien-pasien ini mengalami penyakit akut yang ditandai dengan demam, sakit kepala, kepuyengan, muntah, dan mengalami penurunan kesadaran sebelum kemudian mengalami encephalitis parah dengan cepat. Sebanyak lebih dari 25% kasus seiring dengan sindrom pernapasan. Outbreak yang sama terjadi dilaporkan terjadi juga pada pekerja Rumah Potong di Singapura yang menangani babi terinfeksi yang diimpor dari Malaysia (Tee et al. 2009).
Awal Maret 1999, paramyxovirus baru diyakini sebagai penyebab outbreak ini didapatkan dari isolasi cairan cerebrospinal pasien yang berasal dari Sungai Nipah yang kemudian diberi nama Virus Nipah (NiV). Bukti yang kuat menunjukkan bahwa transmisi NiV ke manusia melalui kontak yang dekat dengan babi yang terinfeksi, para pasien yang terkena adalah mereka yang terlibat secara langsung dengan aktivitas beternak babi seperti pembibitan babi, menangani kelahiran, memberi injeksi dan yang membawa babi mati. Oleh karena itu kemudian dilakukan pelarangan lalu lintas babi dan dilakukan pengafkiran sebanyak lebih dari 1 juta babi. Transmisi antar manusia dilaporkan terjadi antara pekerja kesehatan walaupun tidak biasa terjadi (Tee et al. 2009).

Gambar 5. Peta penyebaran penyakit di Malaysia Sumber : Tee et al. 2009

Karakteristik genetik menunjukkan bahwa NiV sangat dekat dengan Virus Hendra (HeV), spesies paramyxovirus yang menyebabkan penyakit pernapasan berat pada kuda dan manusia di Queensland, Australia yang pertama kali muncul pada tahun 1994. Sequence genom lengkap NiV dan HeV 18kb yang lebih panjang daripada genom lain Paramyxovirinae subfamili yang memiliki panjang rata-rata 15,5kb. NiV dan HeV juga memiliki organisasi genom yang sama, keduanya memiliki panjang nukleotida yang memanjang dari 30 daerah noncoding. Karena hubungan filogenetik yang dekat antara NiV dan HeV dan perbedaan yang nyata serta reaktivitas silang yang kecil dengan genera lain dari Paramyxoviridae maka HeV dan NiV ini diklasifikasikan sebagai genus baru yaitu Henipavirus (Tee et al. 2009).
Hubungan yang unik antara NiV dan HeV mempunyai peran yang penting dalam identifikasi reservoir alami NiV di Malaysia. Berdasarkan penemuan spesies kelelawar buah dari genus Pteropus sebagai host alami dari HeV maka dilakukan surveilans serologi di dalam dan di sekitar daerah outbreak yang melibatkan kelelawar buah,hewan liar lain serta hewan-hewan peliharaan. Antibodi netralisasi terhadap NiV dideteksi pada flying fox (Pteropus hypomelanus), Malayan flying fox (Pteropus vampyrus) dan spesies lain pada ordo Chiroptera yang menunjukkan tersebarnya infeksi NiV di Semenanjung Malaysia. Metode baru untuk mengumpulkan sampel urin dari kelelawar buah dilakukan dengan menggunakan plastik. NiV didapatkan dari sampel urin dan swab dari sisa buah yang dimakan oleh flying fox. Hasil serologis menunjukkan bahwa kelelawar buah adalah host alami dari NiV. Kelelawar ini tersebar di Thailand, Indonesia, Kamboja, Bangladesh, dan India yang menunjukkan tersebarnya NiV di Asia Tenggara dan Asia Selatan terutama di negara dengan populasi Pteropus yang besar (Tee et al. 2009).

Sumber: Welbergen 2011
Pteropus poliocephalus (grey-headed flying-fox), reservoir alami virus Nipah

Virus Nipah di Indonesia
Di Indonesia kasus Nipah pada kelelawar dan babi belum pernah dilaporkan secara klinis. Sementara pada manusia kasus ensefalitis telah banyak dilaporkan (Woeryadi & Soeroso 1989). Namun demikian kejadian pada 2 orang Indonesia yang bekerja di salah satu peternakan babi yang terkena wabah Nipah di Malaysia, telah dilaporkan mengalami gejala ensefalitis kemudian meninggal di Rumah Sakit Umum Batam pada tahun 1999. Hasil serologis menunjukkan bahwa kedua orang tersebut mengandung antibodi terhadap virus Nipah (Widarso et al. 2000).
Pada tahun 2002-2003 dilakukan penelitian terhadap serum babi di beberapa wilayah, seperti Medan, Riau dan Jakarta, menunjukkan bahwa babi-babi tersebut tidak mengandung antibodi virus Nipah (Arjoso et al. 2001; Sendow et al. 2004). Hal ini disebabkan tidak adanya ternak babi yang terinfeksi Nipah masuk ke wilayah Indonesia. Sistem karantina yang ketat merupakan alasan tidak ditemukannya infeksi Nipah di peternakan babi di Indonesia. Disamping itu, tanaman buah sebagai sumber makanan kelelawar (P. vampyrus) tidak difasilitasi oleh peternak babi sehingga kemungkinan kelelawar Pteropus spp. Tidak menghampiri peternakan babi tersebut. Dengan demikian interaksi kelelawar dan babi relatif sangat rendah.
Menurut Sendow et al. 2008, infeksi Nipah telah terjadi pada kalong P. vampyrus di Indonesia (Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Barat), namun pada babi belum terjadi.

GEJALA KLINIS
Kuda
Pada kuda masa inkubasi pada kuda antara 8 sampai 11 hari, maksimum 16 hari. Perjalanan penyakit sangat akut dengan onset penyakit sampai terjadinya kematian antara 1-3 hari. Kuda mengalami anoreksia dan depresi, kuda mengalami demam sampai 41oC. Pernapasan cepat, dangkal, dan sulit. Kuda tampak berkeringat terjadi kongesti membran mukosa serta ataksia. Pada kuda yang akan mati, keluar discharge kuning dari hidung. Batuk tidak terlihat pada gejala klinis HeV (Barclay & Paton 2000).

Babi
Menurut Paton & Done 2002, Pada babi periode inkubasi antara 7-14 hari dengan gejala klinis pernapasan dan syaraf. Kadang dengan kematian mendadak pada induk babi dan babi jantan dewasa.
Gejala klinis pada babi berhubungan dengan sistem respirasi dan CNS. Gejala ringan sampai jarang pada pulmo kadang terjadi, disertai emfisema atau hemoragi, dan konsolidasi (Hsu, 2007).

Manusia
Pada manusia, gejala klinis yang terjadi mirip dengan influenza berat. Gejala yang muncul adalah gejala pernapasan, demam, dan myalgia. Penderita yang melewati gejala ini, meninggal setahun kemudian karena encephalitis (Barclay & Paton 2000).
Pada manusia lain yang terinfeksi timbul gejala dominan enchepalitis, terlihat leptomeningitis dengan infiltrasi plasma sel dan limfosit (O’Sullivan et al. 1997).

PATOLOGI

Gambaran patologi menunjukkan lesi paru ringan sampai berat dengan konsolidasi, emfisema, perdarahan, dan edema interlobular. Secara histologi lesi utama adalah pneumonia sedang hingga berat (Paton & Done 2002).
Pada kuda perubahan utama terjadi pada paru-paru, terjadi edema sub pleura dan kongesti. Hemoragi ptekial terlihat pada permukaan pleura dan cairan edema keluar saat dilakukan penyayatan. Hemoragi juga tampak pada parenkim paru-paru dan saluran udara tertutup oleh busa berwarna putih atau kemerahan karena darah. Produksi cairan toraks dan perikardial berlebihan. Pada ginjal terlihat visceral edema dan hemoragi ptekial serta hemoragi ekimosa di jaringan peri renal, hal ini terjadi juga pada lambung dan usus (Barclay & Paton 2000).
Otopsi terhadap korban manusia menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan pada paru dan otak. Salah satu pasien dengan gejala utama pneumonitis, mengalami alveolitis dengan nekrosis fokal, disertai adanya sel giant, syncitial, serta inklusi virus (Selvey et al. 1995).
Hewan yang menderita virus Nipah mengalami kerusakan pembuluh darah. Kerusakan dapat terjadi berupa peradangan dan nekrosis (kematian sel) dinding pembuluh darah, adanya trombosis disertai infiltrasi sel-sel radang berupa netrofil dan monosit, serta micro-infark dengan gambaran jaringan kekurangan oksigen di sekitar pembuluh darah yang mengalami peradangan. Dijumpai pula pembentukan sel sinsitial pada endotel otak, paru-paru dan kapsul Bowman dari glomerulus ginjal. Pada otak terjadi penyebaran (inklusi) sitoplasmik eosinofil serta nukleus virus pada neuron di dekat pembuluh darah yang mengalami peradangan (vasculitis) seperti dijumpai pada infeksi paramyxovirus yang lainnya (Straw 2006).
Pada preparat histologi terlihat pneumonia interstisial, dan pembentukan sel syncitial dengan vaskulitis, nekrosis fibrinoid, dan hemoragi. Infeksi buatan pada babi, menunjukkan adanya virus di nasal turbinates, trakea, pulmo, nervus cranial, serta sel epitel olfaktori (Hsu, 2007).

DIAGNOSA

Berikut adalah tehnik diagnosa terhadap henipavirus (OIE 2008) :
1. Identifikasi agen
a. Isolasi virus
b. Uji netralisasi virus untuk membedakan HeV dan NiV
c. Metode pengenalan berdasarkan asam nukleat (PCR)
d. Immunohistokimia (deteksi antigen henipavirus pada jaringan)
2. Tes serologis
a. Virus Neutralisation Test (VNT)
b. ELISA
Isolasi virus dengan kultur sel (Vero cell) yang memperlihatkan efek sitopatik. Karakteristik struktur virion dan envelope ganda yang berumbai dapat terlihat dengan mikroskop elektron. Uji indirect immunoperoxidase dan immunofluorescence dapat digunakan untuk memperlihatkan antigen viral pada jaringan yang difiksasi dengan formalin dan pada kultur sel. RT-PCR dapat digunakan pada jaringan yang difiksasi formalin, jaringan segar, atau kultur sel. Uji serologi dilakukan dengan indirect immunofluorescence dan immunoblotting serta serum netralisasi dan ELISA. Sampel organ yang diambil adalah paru-paru, ginjal, dan otak. HeV diklasifikasikan sebagai patogen Hazard Group 4 dan memerlukan prosedur biosekuriti level tertinggi (Barclay & Paton 2000).

DIFFERENSIAL DIAGNOSA

Shipping fever, keracunan, infeksi bakteri akut, intoksikasi seperti antraks,pasteurela, legionela atau botulismus, African Horse Sickness, Hantaan, Highly Virulent Influenza (Barclay & Paton 2000).

PENGOBATAN
Pengobatan untuk penyakit yang disebabkan virus Hendra hanya merupakan pengobatan yang bersifat suportif. Tidak ada terapi antiviral untuk penyakit ini. Namun, pada kasus in vitro, ribavirin menunjukan efek inhibisi terhadap sintesis RNA (Wright et al. 2005). Ribavirin dan acyclovir telah digunakan untuk pengobatan infeksi Nipah.
Tidak ada vaksin yang spesifik untuk Nipah dan Hendra virus, meskipun begitu, imunisasi aktif terhadap Nipah virus dan transfer pasif antibodi ke Nipah virus menunjukkan hasil yang menjanjikan pada hamster sebagai hewan coba (Hsu 2007).

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

Kontrol wabah dilakukan dengan pelarangan lalu lintas babi dan pengafkiran babi serta penutupan peternakan babi di daerah pegunungan (Paton & Done 2002).
Menurut Breed et al. 2006 strategi untuk mengatasi henipavirus antara lain : memperkecil kontak baik langsung maupun tidak langsung antara host alami, memonitor host intermediate, memperbaiki biosekuriti pada peternakan, serta perbaikan cara diagnosa dan uji laboratorium, mengkarantinakan hewan yang sakit, pembatasan lalu lintas hewan, desinfeksi, dokter hewan yang melakukan penyelidikan penyakit diharuskan memakai perlindungan diri, pemasangan jala kawat pada kandang ternak sehingga kelelawar tidak bisa masuk ke dalam kandang, kontak tidak langsung antara kelelawar dan babi dilakukan dengan pemasangan atap yang melebihi dinding kandang sehingga urine, feses, atau sisa buah yang dimakan kelelawar tidak bisa masuk ke dalam kandang .
KESIMPULAN

1. Henipavirus adalah penyakit yang disebabkan oleh paramyxovirus, bersifat zoonosis, menyebabkan ensefalitis dan pernafasan yang fatal pada manusia.
2. Munculnya Henipavirus dikaitkan dengan meningkatnya kontak antara kelelawar dan manusia yang terkadang melibatkan host antara berupa hewan domestik. Meningkatnya kontak karena masuknya manusia ke wilayah habitat kelelawar dan pergerakan kelelawar menuju pemukiman karena perubahan habitat alaminya.
3. Henipavirus dapat dicegah dengan sanitasi dan biosekuriti yang baik.

SARAN

Dalam rangka mempertahankan status bebas terhadap penyakit Henipavirus di Indonesia, pengenalan tanda-tanda infeksi Henipavirus, pemahaman epidemiologi penyakit Henipavirus, serta monitoring secara berkala terhadap ada tidaknya infeksi Henipavirus secara serologis diperlukan agar kemungkinan masuknya infeksi Henipavirus ke wilayah Indonesia dapat diidentifikasi secepatnya sehingga langkah-langkah penanggulangannya dapat dilaksanakan dengan tepat. Selain itu monitoring terhadap kelelawar dari beberapa daerah di Indonesia perlu dilakukan sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya pemasukan dan penyebaran infeksi Henipavirus dapat diantisipasi.

DAFTAR PUSTAKA

Barclay AJ & Paton DJ. 2000. Hendra (Equine Morbilivirus). The Veterinary Journal 160 : 169-176.

Bellini WJ, Rota P, Parashar UD. 2002. Zoonotic paramyxoviruses. Clinical Virology 2nd Ed. ASM Press. Washington DC.

Breed AC, Field HE, Epstein JH, Daszak P. 2006. Emerging henipavirus and flying foxes – Conservation and management perspectives. Biological Conservation 131 : 211-220.

Bonaparte M, Dimitrov A, Bossart K, et al. 2005. Ephrin-B2 ligand is a functional receptor for Hendra virus and Nipah virus. Proc Natl Acad Sci U S A 102 (30): 10652–7.

Chua KB, Bellini WJ, Rota PA, et al. 2000. Nipah virus : A recently emerging deadly paramyxovirus. Science 288 : 1432-1435.

[DEPTAN] Departemen Pertanian, Penyakit Eksotik pada Hewan. Jakarta : Deptan RI, 2004.

Fauci AS. 2006. Emerging and re-emerging infectious disease : Influenza as a prototype of the host-pathogen balancing act. Cell 124 : 665-670.

Field H, Young P, Yob JM, Mills J, Hall L, Mackenzie J. 2001. The natural history of Hendra and Nipah viruses. Microbes Infect. 3 (4): 307–14.

Fogarty RD, Halpin K, Hyatt AD, Daszak P, Mungall BA. 2008. Virus Research 132 (1-2): 140–144.

Halpin K, Young PL, Field HE, Mackenzie JS. 2000. “Isolation of Hendra virus from pteropid bats: a natural reservoir of Hendra virus”. J. Gen. Virol. 81 (8): 1927–32.

Hsu VP et al. 2004. Nipah virus encephalitis reemergence, Bangladesh. Emerg. Infect. Dis. http : //www.cdc.gov/ncidod/EID/vol10no12/04-0701.htm.

Hsu, VP. 2007. Nipah and Hendra Viruses [Editorial]. Emerging Viruses in Human Populations. 179-199.

Hyatt AD, Zaki SR, Goldsmith CS, Wise TG, Hengstberger SG. 2001. “Ultrastructure of Hendra virus and Nipah virus within cultured cells and host animals”. Microbes Infect. 3(4): 297–306.

Mackenzie JS, Chua KB, Daniels PW, et al. 2001. Emerging viral diseases of Southeast Asia and the Western Pasific. CDC suppl. 7 (3).

McColl K, Tordo N, Aguilar-Setein A. 2000. Bat lyssavirus infections. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 19 : 177-196

Morse. 2004. Factor and Determinants of Diseases Emergence. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz.
Negrete OA, Levroney EL, Aguilar HC, et al. 2005. EphrinB2 is the entry receptor for Nipah virus, an emergent deadly paramyxovirus. Nature 436 (7049): 401–5.

[OIE] Office International des Epizootis. 2008. Hendra and Nipah virus diseases.

O’Sullivan JD, Allworth AM, Paterson DL, Snow TM, Boots R, Gleeson LJ, Gould AR,
Hyatt AD, Bradfield J. 1997. Fatal encephalitis due to novel paramyxovirus transmitted from horses. 349: 93–95.

Paton DJ, Done SH. 2002. Viral Infection of Pigs : Trends and Knowledge. J. Comp. Path 127 : 77-95.

Plowright RK et al. 2008. Reproduction and nutritional stress are risk factors for Hendra virus infection in little red flying foxes (Pteropus scapulatus). 275;1636:861-869

Reynes JM, Counor D, Ong S, Faure C, Seng V, Molia S, Walston J, Georges-Courbot MC, Deubel V, Sarthou JL. 2005. Nipah virus in Lyle’s flying foxes, Cambodia. Emerg. Infect. Dis. 11(7) : 1042-1046.

Selvey LA, Wells RM, McCormack JG, et al. 1995. Infection of humans and horses by a newly described morbillivirus. Med. J. Aust. 162 (12): 642–645.

Straw B. 2006. Diseases of swine-9th edition. USA : Blackwell publishing.

Tee KK, Takebe Y, Kamarulzaman A. 2009. Emerging and re-emerging viruses in Malaysia,1997—2007. International Journal of Infectious Diseases 13 : 3073-18.

Wang L, Harcourt BH, Yu M. 200. Molecular biology of Hendra and Nipah viruses. Microbes Infect. 3 (4): 279–87.

Welbergen J. 2011. The Grey-headed flying-fox, Pteropus poliocephalus. www.zoo.cam.ac.uk.

Wikipedia. 2011. Henipavirus. http://en.wikipedia.org/wiki/Henipavirus.

Woolhouse MEJ, Haydon DT, Antia R. 2005. Emerging pathogens : the epidemiology and evolution of species jumps. Trends in Ecology and Evolution 20 : 238-244.

Yob MY, Field H, Rashdi AM, Morrissy C, Van der Heide B, Rota P, Adzhar A, White J, Daniels P, Jamaluddin A, Ksiazek T. 2001. Nipah virus infection in bats (Order Chiroptera) in Peninsular Malaysia. Emerg. Infect. Dis. 7(3) : 439-441.