Tunjuk Ajar Melayu (3): Menuntut Ilmu

Tunjuk Ajar Melayu (3): Menuntut Ilmu
Dunia yang modern ini bukan lah hal yang perlu dijauhi tapi malah perlu dimasuki oleh seorang Melayu. Ilmu dan teknologi tidak patut jadi pantangan tapi harus dipelajari dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, kecuali ilmu sesat yang dapat membawa keburukan atau tidak serasi dengan ajaran agama Islam.
Orang tua-tua Melayu menegaskan agar dapat menapis dan menyaring ilmu yang dituntut berdasarkan referensi akidah Islam yang serasi dengan nilai-nilai luhur budaya dan sosial masyarakat. Dalam tingkat yang paling sederhana, disarakan untuk menuntut ilmu yang tidak mudarat bagi kehidupan di dunia dan di akhiriat. Tentang hal ini Tenas Effendy, seorang budayawan Riau, menyatakan dalam bukunya Tunjuk Ajar Melayu dengan ungkapan sebagai berikut:
mencari ilmu dengan ilmu,
meluruskan ilmu dengan iman
kalau mencari ilmu dunia,
luruskan olehmu dengan agama
kalau hidup hendak selamat,
carilah ilmu yang bermanfaat
kalau hidup hendak sentosa,
carilah ilmu yang berfaedah
kalau hidup hendak jadi orang,
menuntut ilmu janganlah kurang
kalau hidup hendak terhormat,
carilah ilmu jauh dan dekat
kalau hidup hendak terpuji,
menuntut ilmu jangan berhenti
kalau hidup hendak bertuah,
menuntut ilmu janganlah lengah.
Akan tetapi dalam menuntut ilmu diingatkan agar seimbang antara pengetahuan dan keimanan. Manusia yang seimbang ini merupakan seorang manusia yang sempurna yang dalam tradisi Melayu disebut sebagai orang bertuah yang merupakan keinginan seorang Melayu. Tentang ini diungkapkan:
apa tanda orang bertuah,
sepadan ilmu dengan imannya
apa tanda orang bertuah,
lahir menakah batin sempurna
Dalam menuntut ilmu diwasiatkan agar melakukannya menurut ungkapan berikut:
menuntut ilmu pada yang patut,
mengaji ilmu pada yang terpuji,
belajar pada yang benar,
mencontoh pada yang senonoh,
memakai pada yang sesuai.
Selanjutnya disadari pula bahwa manusia cenderung suka pada kebudayaan asing yang membuka peluang tergerus atau hilangnya kebudayaan lokal. Orang Melayu yang bersikap terbuka sangat terpapar pada budaya asing yang banyak datang ke negerinya, akan tetapi senantiasa diingatkan untuk berhati-hati dan pandai menyaring mana yang sesuai dan bermanfaat dan mana pula yang tidak perlu diterima. Karena budaya Melayu mementingkan kemajuan ilmu dan pengetahuan dalam arti luas maka diingatkan dengan ungkapan berikut:
kalau hidup hendak senonoh,
banyaklah mencontoh
kalau hidup hendak terpandang,
ambillah ilmu orang
Semoga kita termasuk orang-orang yang kuat mencari ilmu dan memanfaatkannya supaya menjadi orang yang terpandang atau ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt.

TUNJUK AJAR MELAYU, TENTANG ETIKA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

ETIKA PEMBANGUNAN KEHIDUPAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI RIAU

wahai saudaraku, dengarlah NASEHAT,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat

Arti penting pelestarian TUNJUK AJAR MELAYU itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama oleh daerah apalagi setelah Riau menetapkan Visi Riau 2020 yang menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Bagi masyarakat, tunjuk ajar itu dapat menjadi filter untuk menangkal arus globalisasi yang memporak-porandakan mentalitas kita, dan berusaha memisahkan diri kita dengan nilai-nilai agama, juga budaya.

Tunjuk ajar dalam konteks menangkal budaya asing terasa manfaatnya karena perbedaan tradisi antara budaya asing dengan budaya lokal. Budaya asing yang tidak kontekstual dengan adat dan tradisi kemelayuan, dapat dengan mudah diakses anak jati Riau di berbagai tekhnologi informasi yang tersedia di banyak lokasi: mulai dari handphone, warnet, atau di rumah sendiri karena jaringan informasi.

Siapa pun, tak terkecuali anak-anak, dapat dengan leluasa bermain tekhnologi menelusuri situs-situs yang mereka maui. Dan, penelusran itu dilakukan diluar sepengetahuan orangtua. Dalam kemudahan bertekhnologi ini, kita merasakan betapa tunjuk ajar yang sarat dengan nilai, berperan membentuk watak dan karaktek, sekaligus menjadi benteng bagi budaya asing yang turut membentuk kepribadian seseorang.

Dalam pelestarian tunjuk ajar itu, Tenas tak sekedar tempat bertanya. Dia terbilang manusia ”langka” yang menjadi asset Riau yang menguasai seluk beluk budaya Melayu. Sosok kemelayuan dan pemikiran-pemikirannya teruji dan diakui oleh siapapun apalagi oleh manca negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, dll. Dan, pengakuan itu diterima Tenas setelah putera kelahiran Pelalawan ini, menerima gelar honoris causa di bidang kebudayaan dari UKM Melaysia.

Tenas banyak melahirkan buku-buku seputar nilai dan pandangan hidup orang Melayu. Salah satu buku Tenas yang paling fenomenal adalah Tunjuk Ajar Melayu yang sudah dicetak beberapa kali oleh Pemerrintah Provinsi Riau, dan dijadikan cendramata resmi pemprov untuk tamu-tamu penting yang berkunjung ke daerah ini.

Pengakuan serupa juga disampaikan mantan Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang menyebut Tenas sebagai tonggak kebudayaan Melayu. Dalam merayakan ulang tahun Tenas ke-75 tahun lalu, RZ pernah mengatakan, �kalau ada yang bertanya di mana pusat kebudayaan Melayu di Riau, selayaknya dibawa ke rumah Tenas Effendi. Ini semua untuk menjawab segala keingintahuan siapapun tentang budaya Melayu.

Tenas tak hanya tunak mengumpulkan tunjuk ajar. Ia sekaligus memahami dan menafsirkan tunjuk ajar, ungkapan, gurindam, pantun dan syair itu ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Ini, misalnya, terlihat dalam ungkapan : ”Ketuku batang ketakal, duanya batang keladi muyang, kita sesuku dengan seasal kita senenek serta semoyang”. ”Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, adat ialah syarak semata, adat semata Quran dan sunnah, adat sebenar adat ialah Kitabullah dan Sunnah Nabi, syarak mengata, adat memakai, ya kata syarak, ya kata adat, adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari Kitabullah, berdiri adat karena syarak”.

Ungkapan-ungkapan itu dilahirkan Tenas melalui penelitian yang tunak selama puluhan tahun, dan hasil kajian itu dia bukukan tanpa meninggalkan bahasa aslinya. Tenas mengaku, selain yang sudah dibukukan masih tersisa ribuan naskah lain yang belum sempat dicetak. Di manca negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Brunai Darussalam, buah pikir Tenas disamping menjadi rujukan penelitian ilmiah oleh mahasiswa yang ingin menyelesaikan pendidikan di semua strata juga menghiasi berbagai perpustakaan kampus dan toko-toko buku.

”Yang disebut tunjuk ajar Melayu, menunjuk dengan ilmu, mengajar dengan guru. Yang disebut tunjuk ajar Melayu, menunjuk kepada yang perlu, mengajar supaya tahu. Kalau duduk, duduk berguru, kalau tegak, tegak bertanya, kalau pergi, mencari ilmu”. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kekuatan dan kesehatan kepada Pak Tenas untuk terus melahirkan nilai-nilai budaya Melayu.*

“Kebebasan beragama menurut pandangan Islam berarti bahwa setiap agama diakui eksistensinya dan kepada para pemeluknya diberikan hak sebebas-bebasnya untuk memberlakukan hokum-hukum agama dan pandangan hidupnya, selama tidak bertabrakan dengan moral dasar manusia dan tidak mengganggu ketertiban umum.”

Banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa agama mempunyai peranan besar dalam proses pembangunan suatu bangsa, tetapi tidak kurang pula bukti-bukti yang menunjukkan bahwa agama dapat pula menjadi faktor disintegratif bagi bangsa lainnya. Agama memiliki dua dimensi yang kontradiktif satu sama lainnya, proklamator perdamian dan sekaligus konflik-kekerasan (Annemarie Schimmel). Dalam sekala global, konflik-konflik umat Katolik dan umat Protestan di Irlandia Utara, konflik umat Kristen-Maronit dan umat Islam di Libanon, konflik berdarah tak pernah henti gerilyawan Muslim Moro dan politik penerintahan Katolik Filipina, konflik umat Hindu dan umat Islam di India, konflik minoritas Islam Pattani versus mayoritas Budha di Thailand adalah contoh-contoh mutakhir yang dapat kita simak. Sementara dalam skala global, teror bom atas nama perjuangan Jihad Islam dan Konflik Islam-Katolik di Ciledug, tangerang, banten, serta sejumlah konflik lain yang hadir sepanjang dasawarsa akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 cukup memperkuat dugaan bahwa agama mengambil posisi di setiap teror dab bentuk-bentuk kekerasan fisik dan non-fisik.

Oleh karena itu seringkali timbul pertanyaan; bagaimanakah sesungguhnya peranana agama itu dalam proses integrasi suatu bangsa atau lebih luas lagi, dalam proses pembangunan bangsa tersebut? Berkaitan dengan masalaha ini adalah masalah yang jadi topik pembahasan kita kali yaitu etika yang bagaimanakah yang kita perlukan untuk membangun kehidupan antar umat beragama dalam masyarakat kita yang majemuk-pluralistik.

Pluralisme atau kemajemukan masyarakat kita sesungguhnya tidak saja terbatas dalam hal agama, tetapi juga dalam hal suku bangsa, tradisi dan budaya. Dalam tulisan yang sangat ringkas dan sederhana ini, kita hanya akan membahas etika pembangunan kehidupan antar umat beragam dari tinjauan awam, berhubung penulis bukanlah seorang teolog maupun sosiolog yang barangkali lebih tepat untuk membahas masalah ini.

Sudah barang tentu yang dimaksud dengan etika pembangunan kehidupan antar umat beragama dalam tulisan ini adalah ditinjau dari perspektif doktrinal Islam yang dalam kaitan ini ada empat hal yang harus kita ingat. Pertama, sebagai agama Tauhid, Islam mengajarkan adanya kesatuan penciptaan (unity of creation). Ayat-ayat Al-Qur’an (59:24; 20:50; dan 87: 1-3) banyak yang menunjukkan bahwa seluruh makhluk dan alam semesta (universe) diciptakan oleh allah dengan kekuasaan-Nya yang kreatif, dari ‘non-existence’ atau ‘adam ke ‘existence’ atau wujud. Sifat rububiyat Allah menjamin bahwa Tuhan tidak pernah memutus hubungan-Nya dengan uinversum yang telah diciptakan-Nya sehingga dalam pandangan Islam seluruh eksistensi merupakan satu kesatuan di bawah satu kekuasaan yang kreatif, yaitu Tuhan.

Kedua, sebagai agama Tauhid, Islam mengajarkan kesatuan manusia (unity of mankind). Manusia adalah makhluk atau masterpiece di antara segala makhluk Allah (Al-Qur’an 95:4) dan walaupun terdiri dari berbagai jenis bangsa dan warna kulit, beraneka ragam dalam bahasa dan agama, manusia memiliki asal yang sama (QS 4:1). Asal-usul manusia yang sama ini memperkuat dorongan untuk menghilangkan segala bentuk dan manifestasi diskriminasi antar manusia dan menumbuhkan kesadaran bahwa umat manusia seluruhnya adalah seperti satu keluarga, sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad saw. Karena mustahil ada dua Tuhan, maka tidak mungkin juga ada dua keluarga kemanusiaan. Perbedaan-perbedaan lingkungan geografis dan anthropografis di antara umat manusia tidak dapat menghilangkan hakekat esensial umat manusia bahwa mereka merupakan satu unitas kemanusiaan.

Ketiga, kesatuan petunjuk (unity of guidance) juga ditekankan oleh Islam sebagai agama tauhid. Kebutuhan dasar manusia sepanjang sejarah adalah tetap sama, walaupun keperluannya yang tidak bersifat ‘basic’ dapat mengalamivariasi sesuai waktu dan lingkungan berbeda-beda. Petunjuk hidup bagi umat manusia diberikan oleh Tuhan lewat para Nabi dan dalam pandangan Islam, setiap bangsa diberi utusan atau rasul (al-Qur’an 10:47), kendatipun tidak semua rasul atau nabi disebutkan dalam Al-Qur’an, Islam mengajarkan bahwa setiap bangsa di zaman dulu dalam kurun waktu tertentu pernah diberi rasul oleh Allah dengan membawa pesan yang sama, yakni agar manusia mengabdi pada Allah dan menjauhi perbuatan jahat (Al-qur’an 16:36).

Secara demikian karena Tuhan hanyalah satu dan hakekat alam semesta hanyalah satu, maka tidak mungkin jika ada lebih dari satu petunjuk bagi manusia. Syir’ah dan Minhaj sepanjang sejarah dapat bermanifestasi berlain-lainan, akan tetapi hakekat agama itu sendiri adalah satu.
Keempat, sebagai konsekuensi logis dari ketiga hal di atas, maka bagi umat manusia hanya ada satu tujuan atau makna hidup (unity of purpose of life), yaitu sebagaimana ditunjukkan misalnya oleh Al-Qur’an 16:36 di atas. Tujuan hidup ini merupakan realisasi supremasi atau kemahamutlakan Tuhan dan usaha manusia untuk menjahui kejahatan sehingga alam semesta dan manusia bergerak bersama-sama sesuai Rencana Tuhan.

Pandangan Islam Terhadap Agama lain
Dengan adanya empat kesatuan fundamental seperti diterangkan di atas, yaitu kesatuan penciptaan, keastuan kemanusiaan, kesatuan petunjuk dan kesatuan tujuan hidup yang kesemuanya bersumber kepada kesatuan Tuhan (tauhidullah), maka seorang manusia Muslim harus mengetahui dan berusaha merealisasi rencana illahi dan mengabdi kepada Tuhan serta menolong segenap manusia, makhluk-Nya. Dengan formulasi singkat, seorang manusia Muslim harus berpegang teguh pada agamanya dengan jalan mentaati peraturan-peraturan Tuhan dan menunjukkan sikap kasih sayang kepada segenap makhluk oleh karena agama pada hakekatnya merupakan the Code of Selfless service to the whole of divine creation, especially man.

Berdasarkan kesadaran akan tanggungjawab bersama terhadap kesejahteraan manusia, seorang manusia sama sekali tidak boleh meremehkan agama lain dan tidak mungkin membenci umat lain. Hal ini dengan jelas tampak dari pandangan Al-Qur’an sendiri yang mendasrkan bahwa manusia Muslim harus memiliki toleransi terhadap eksistensi agama lain dengan melarang adanya paksaan dalam agama, oleh karena menurut Al-Qur’an sendiri perbedaan antara petunjuk dan kesesatan adalah demikian terang benderang, dan barangsiapa menolak ‘thagut’ dan beriman kepada Allah niscaya telah berpegang pada tali yang teguh, yang tidak mengalami infisham (Al-Qur’an 2: 256). Akan tetapi kata-kata tidak ada paksaan di dalam agama, tidak berarti bahwa Islam mentolerir praktek-praktek yang bertentangan dengan kemanusiaan dan kebebasan tanpa batas, sekalipun praktek-praktek a-manusiawi itu dibenarkan oleh suatu keyakinan tertentu. Jadi ‘charter of religious liberty’ atau piagam kebeabsan beragama dalam Islam bukannya tanpa batas.

Praktek-praktek yang bertentangan dengan moral dasar dan cenderung merusak ketenangan masyarakat dan keamanan bersama tidak dapat dibenarkan dengan dalih “tidak ada paksaan dalam beragama”. Sebagai misal, keharusan seorang janda yang ditinggal mati suaminya untuk bersedia dibakar bersama jenazah sang suami jelas tidak dapat ditolerir oleh Islam, sekalipun praktek a-manusiawi ini dibenarkan oleh suatu keyakinan agama tertentu. Demikian juga perjudian dan prostitusi yang tidak diakui di dalam Islam walaupun mungkin dibenarkan atau ditolerir oleh sementara keyakinan tertentu.
Kebebasan beragama menurut pandangan Islam berarti bahwa setiap agama diakui eksistensinya dan kepada para pemeluknya diberikan hak sebebas-bebasnya untuk memberlakukan hukum-hukum agam dan pandangan hidupnya (Weltanshaung), sekali lagi, selama tidak bertabrakan dengan moral dasar manusia dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Dalam hubungan antara Islam dengan agama-agama lain, Kristen dan Yahudi mendapatkan tempat khusus dalam Al-Qur’an. Sebagai ahli kitab, mereka dipanggil oleh al-Qur’an agar bersama kaum muslimin mereka dapat menjalin titik-titik persamaan fundamental, yaitu keyakinan pada Tuhan Allah Yang Esa, dan ekualitas manusia di hadapan Tuhan di mana tidak ada manusia yang lebih superior dibandingkan manusia lainnya sehingga tidak dibenarkan adanya ekploitasi manusia atas manusia lainnya.
Ajakan Al-Qur’an sangat logis, mengingat keesaan Tuhan merupakan suatu keyakinan dasar juga bagi ahli kitab. Seandainya ajakan ini tidak diterima oleh ahli kitab, Islam masih tetap menganjurkan umatnya agar terus melakukan hubungan sosial yang sebaik-baiknya dengan mereka, makan dan minum bersama mereka, dan bahkan diizinkan mengawini wanita-wanita ahli kitab tanpa mengahruskan wanita-wanita tersebut memeluk Islam. Kedudukan ahli kitab dalam pandangan Islam memang cukup istimewa dibandingkan dengan para pemeluk agama lain, mengingat agama Islam adalah lanjutan atau penyempurnaan syari’at yang diobawa oleh Isa a.s. lewat Kitab Injil dan syari’at yang bibawa oleh Musa a.s. lewat kitab Taurat. Malahan Al-Qur’an menyatakan dengan jelas bahwa di antara para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani serta kaum Shabiin yang benar-benar percaya kepada Allah dan hari Akhir serta berbuat baik, bagi mereka pahala dari Tuhan, dan mereka tidak perlu merasa takut maupun bersedih (Al-Qur’an 2: 62). Menurut Al-Qur’an, umat manusia memang berbeda-beda dalam melakukan ajaran agama masing-masing. Akan tetapi mereka yang yakin pada keesaan Allah dan berbuat kebajikan akan teramsuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat.
Ada di antara teolog Muslim sendiri yang merasa kikuk menghadapi pandangan Al-Qur’an yang luas ini.

Para teolog Muslim yang sempit pandangannya ini barangkali khawatir kalau sampai kehilangan monopolinya atas kebenaran. Pandangan seperti ini banyak menghinggapi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang picik pandangan dan selalu ingin mempunyai posisi monopolistik terhadap kebenaran yang datang dari Tuhan. Al-Qur’an banyak mensinyalir: Dan di antara orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nashrani tidak berada di jalan yang benar”. Dan orang-orang nashrani berkata : “Orang-orang Yahudi tidak di jalan yang benar”. Padahal mereka membaca kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, berkata seperti yang dikatakan mereka. Maka allah memberi keputusan di antara mereka itu pada hari qiyamat tentang apa yang mereka perselisihkan (Al-Qur’an 2: 113). Dalam hubungan ini ada cerita yang cukup menarik. Lord Headley, ketika meninggalkan agama Nashrani dan memeluk Islam diberitahu oleh seorang bishop: “Saudara, saya sangat bersedih melihat saudara memeluk keyakinan yang keliru dan palsu. Saya gemetaran membayangkan saudara yang akan masuk ke dalam neraka”. Lord Headley menjawab: “Maaf, justru karena pandangan picik versi keyakinan anda itulah saya terpaksa meninggalkan agama saya tempo hari.

Anda bilang, saya akan masuk neraka karena saya tidak percaya lagi kepada dogma-dogma anda. Tetapi ketahuilah, Islam yang saya peluk mengajarkan kepada saya bahwa anda, sebagai orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan dan berbudi baik, tidak akan masuk neraka. Tuhan yang diajarkan oleh Islam bukanlah Tuhan yang picik pandangan dalam perbedaan-perrbedaan dogmnatik”. Ceritera kecil ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pada para pemeluknya suatu sikap yang lapang dada, penuh toleransi dan penuh simpati serta selalu mencoba ber-empati terhadap agama lain dari para pemeluknya. Lord Headley yang baru saja masuk Islam sudah memahami posisi Islam yang sangat toleran terhadap agama lain, terutama Yahudi dan Kristen.

Melarang Agresivitas Keagamaan

Islam, sebagai agama universal, memang mendorong umatnya untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam kepada siapa saja di muka bumi ini, akan tetapi metode yang dipakai dan atau diterapkan tidak boleh berada di luar garis-garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an sendiri, yakni dengan Hikmah (Wisdom), Mauidhah (Beautiful Sermous) dan Mujadalah Hasanah (decent and rational controversy) seperti diterangkan oleh Al-Qur’an 16: 125. Jika terjadi kontroversi keagamaan, manusia memang cenderung melakukan semacam sinisme dan cenderung menggunakan bahasa vituperatif terhadap objek persembahan dan penghormatan dari agama lain. Al-Qur’an melarang dengan keras cara-cara yang tidak wajar tersebut. Bahkan seandainya seorang Muslim melihat praktek-praktek agama atau keyakinan tertentu yang terlalu jauh menyeleweng dari apa yang seharusnya, ia dilarang oleh Al-Qur’an untuk menggunakan bahasa yang ofensif, oleh karena penggunaan bahasa yang ofensif dan vituperatif dapat memancing fihak lain melakukan hal yang sama (Al-Qur’an 6: 108). Seorang Muslim cukup mengatakan bahwa ia tidak akan menyembah apa yang disembah oleh pemeluk agama lain, sebagaimana pemeluk agama lain itu tidak akan menyembah Tuhan orang-orang Muslim sendiri. Dan setelah itu, masalahnya dianggap selesai, berhubung kompromi dalam hal-hal yang menyangkut “Ultimate Objects of Worship” sama sekali tidak diperkenankan dalam Islam. (Al-Qur’an 190: 1-5).
Dengan cara demikian, berarti Islam melarang agresi keagamaan. Dalam sejarah Islam tidak terdapat contoh di mana kaum Muslimin, ketika mereka berkuasa secara sosial-politik-ekonomi dan menjadi mayoritas, melakukan agresi keagamaan terhadap umat agama-agama lain yang dikuasainya dan merupakan kelompok minoritas. Tetapi sebaliknya, para pemeluk agama lain malah memperoleh perlindungan penuh dan malahan dilihat sebagai bagian integral dari masyarakat Muslim sendiri.

Nabi saw memberikan contoh yang jelas, betapa Islam melindungi dan menjaga hak-hak orang Yahudi yang berada dalam naungan masyarakat Islam. Seperti diriwayatkan di dalam Sirah Ibn Hisham, Piagam Kemerdekaan Beragamayang diberikan oleh Nabi kepada orang-orang Yahudi mengatakan antara lain: “Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf harus dipandang sebagai bagian dari suatu komunitas bersama-sama dengan komunitas Muslim. Kaum Muslimin harus melindungi mereka dari setiap agresor. Hubungan di antara mereka haruslah didasarkan atas i’tikad baik dan saling menguntungkan. Sekutu kaum Yahudi akan diperlakukan sebagai sekutu kaum Muslimin dan siapapun juga yang tertekan, terlepas dari keyakinan agamanya, haruslah ditolong”.

Hal yang sama, dilakukan juga oleh Nabi saw kepada para pemeluk Nashrani lewat Piagam Kemerdekaan Beragama yang berbunyi: “Kelompok Kristen dari Najran berada di bawah perlindungan Tuhan dan Nabi-Nya. Kehidupan dan kekayaan mereka serta wilayah mereka dijamin sepenuhnya untuk selalu dihormati dan dilindungi, dan perlindungan ini mencakup juga anak cucu mereka”.
Dari dua contoh yang disebutkan di atas, dapat kita tarik satu pengetahuan penting bahwa Islam melarang keras penggunaan kekerasan dalam menda’wahkan agama dan sejarah membuktikan bahwa pemeluk agama-agama non-Islam memperoleh kedudukan yang sangat terhormat dalam masyarakat Muslim.
Sikap Islam yang demikian toleran terhadap keyakinan lain itu didasrkan atas ajaran Islam sendiri yang mengatakan bahwa agama langit pada asal mulanya bersifat monotheistik, di samping memiliki moralitas dasar (basic morality) yang sama. Setiap bangsa atau komunitas yang beradab dalam sejarah pasti pernah menerima bimbingan wahyu dari seorang nabi atau rasul, walaupun kemudian ajaran nabi atau rasul itu mengalami dilusi, distorsi dan korupsi oleh tangan-tangan manusia. Oleh karena itu, di mata seorang Muslim, kebenaran esensial dan orisinal seluruh agama langit adalah sama. Bahkan Islam mengingatkan para pemeluknya agar tidak membuat sikap yang diskriminatif terhadap para rasul. Peringatan Al-Qur’an ini dipegang teguh oleh kaum Muslimin, sehingga tidak mungkin kita jumpai dalam literatur ke-Islaman suatu tulisan yang tidak menghormati semua nabi dan rasul, apalagi meremehkannya, sementara dalam literatur non-Islam masih saja terdapat tulisan-tulisan yang mencoba men-misinterpretasi ajaran-ajaran yang dibawanya.

Menghormati Setiap Rumah Ibadah

Sebagai konsekuensi lanjutan dari sikap Islam di atas vis-a-vis agama lain dan para pemeluknya, setiap Muslim tidak saja harus menghormati, tetapi juga menjaga rumah-rumah peribadatan agama-agama lain, apakah berwujud kloister, gereja, atau sinagog (Al-Qur’an 22: 40). Proteksi atas rumah-rumah peribadatan oleh Al-Qur’an dipandang sebagai “usaha menolong Allah”, yakni sebagai salah satu manifestasi pengabdian pada Tuhan dan pada gilirannya merupakan juga pengabdian pada perdamaian dan kesejahteraan umat mnausia. Islam mendidik para pemeluknya untuk selalu menyuburkan spirit toleransi terhadap tempat-tempat peribadatan agama lain yang secara eksplisit mewajibkan para pemeluknya untuk ikut menjaga kelestarian rumah-rumah peribadatan. Dari agama apa saja, sebagaimana diajarkan oleh Islam.
Dalam pandangan Islam, setiap tempat ibadah yang digunakan untuk mengagungkan nama Allah, terutama masjid Islam, sesungguhnya tidak bersifat ekslusif, tetapi terbuka lebar bagi setiap orang yang beriman. Malahan pernah terjadi dalam sejarah Nabi, beliau memperbolehkan orang-orang Nashrani suku Najran melakukan misa suci mereka dalam masjid nabawi, salah satu masjid yang paling mulia bagi kaum Muslimin. Akan tetapi dalam kesempatan lain Nabi melarang Kaum Muslimin telah merubah gereja menjadi mesjid, berhubung kemenangan politik dan militer Islam tidak boleh disangkutkan dengan Islamisasi pemeluk agama lain.

Kerukunan Antar Agama

Berdasarkan beberapa ayat yang kita kutip di atas dan juga dari beberapa contoh di atas dan juga dari beberapa contoh secara sepintas, bagi Islam kerukunan antar uamt beragama bukanlah sesuatu yang asing sama sekali, oleh karena hidup rukun di antara para pemeluk azgama yang berlain-lainan merupakan semacam kewajiban keagamaan bagi setiap Muslim. Etik Islam dalam masalah ini sudah terlalu gamblang dan jelas. Akan tetapi kita memang tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan keras yang kadangkala terjadi di dalam masyarakat kita sebagai akibat hubungan antar agama yang kurang serasi. Bahkan dalam sejarah, kita juga mengenal perang Salib antara pemeluk Islam, agama perdamaian (religion of peace) dengan para pengikut Jesus, ratunya perdamaian (prince of peace). Ketika tentara-tentara Salib dari Eropa menyerbu ke negeri-negeri Muslim di Timur Tengah. Di Indonesia masalah hubungan Islam – Kristen sangat menentukan ketenangan dan stabilitas politik yang kita dambakan Minoritas Kristen di negara kita cukup significant (lebih daripada angka 10 %) dan hubungan mayoritas-minoritas dalam masyarakat kita memang harus kita arahkan pada suatu pola hubungan adil dan serasi.
Saya tidak begitu mengetahui,a pakah juga dalam agama Kristen ada perintah-perintah eksplisit untuk bertoleransi dengan agama lain. Akan tetapi saya yakin bahwa spirit dasar agama Kristen juga merindukan perdamaian dan kasih di antara sesama umat manusia. Dus, tidak akan jauh berbeda dengan spirit Islam, berhubung kedua agama adalah sama-sama agama langit.

Di Indonesia, umat Islam dan umat Kristen (Katholik dan Protestan) dapat bekerjasama saling bahu-membahu untuk mengatasi masalah-masalah nasional yang memerlukan solusi bersama. Kemelaratan massal dan aktual, deteriorasi ekologi, gejala-gejala dekadensi moral dan juga ancaman komunisme – atheisme adalah beberapa contoh masalah-masalah besar yang harus dihadapi oleh Islam dan Kristen. Masalah-masalah ini adalah masalah kemanusiaan yang menuntut penanggulangan bersama. Adalah menjadi tugas para pemimpin Islam untuk mengajak umat Islam agar menggunakan kacamata jernih dalam melihat umat Nashrani. Dan kacamata itu adalah kacamat Qur’an. Akan tetapi juga sebaliknya menjadi tugas para pemimpin dan umat Nashrani untuk melihat umat Islam dengan kacamata yang tidak buram. Seandainya kitab Injil juga ternyata mengajarkan toleransi seperti Al-Qur’an, sudah tentu hubungan Islam-Kristen di negeri ini akan menjadi lebih harmonis karena memiliki dasar pijakan yang paling kuat, yaitu kitab suci masing-masing.

Dewasa ini kaum agamawan dituntut untuk membuktikan peranan positif-konstruktif agama masing-masing. Kaum agnostis, humanis, pragmatis, rasionalis dan sekularis seringkali menuduh agama sebagai faktor “divisife” di tengah masyarakat, karena menurut meeka agama tidak mampu menciptakan toleransi kemanusiaan yang dicita-citakan. Untuk menjawab keragu-raguan ini, apa yang dikatakan oleh Dr. Khalifa Abul Hakim barangkali sangat tepat, karena konsep kesatuan fundamental kemanusiaan dalam Islam memberikan ruangan cukup luas bagi keanekaragaman dalam kerangka kebenaran abadi