TUGAS PENYAKIT TROPIK
Disusun oleh :
CHERINITA HAMIDA 25010113120118
DEWI FAJAR KHARISMA 25010113120136
WINDA APRIANI 25010113140365
TRI DAMAYANTI SIMANJUNTAK 25010113140370
ASTRI ADITYA SIRAIT 25010113130325
LULUK SAFURA PRIYANDINA 25010113130273
FINA KHILIATUS JANNAH 25010113140279
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
1. DEFINISI PATOFISIOLOGI & PATOGENESIS
A. Patofisiologi
Patofisiologi adalah studi tentang perubahan fungsional dalam tubuh yang terjadi dalam menanggapi penyakit atau cedera. Misalnya, jika seseorang tertelan racun, racun yang mungkin terkait dengan berbagai perubahan fisik, seperti peradangan pada lapisan lambung atau nekrosis ekstremitas. Bidang ini dirancang untuk membantu orang mempelajari perkembangan penyakit sehingga mereka dapat dengan cepat mengidentifikasi penyakit dan mempertimbangkan berbagai pilihan pengobatan.
Wilayah studi ini dibutuhkan untuk kebanyakan orang yang bekerja dalam profesi medis, termasuk dokter, perawat, dan teknisi medis. Memahami perkembangan penyakit adalah kunci untuk belajar bagaimana mengidentifikasi dan mengobatinya, dan banyak profesional medis memperoleh keterampilan tambahan dalam perjalanan pekerjaan mereka. Seorang ahli radiologi, misalnya, sering menjadi sangat mahir mengidentifikasi perubahan struktural yang terkait dengan kanker sebagai akibat dari melihat ratusan atau ribuan film.
Ada dua bidang medis yang terpisah yang terlibat dalam patofisiologi. Yang pertama adalah fisiologi, studi tentang tubuh dan fungsinya. Yang kedua adalah patologi, studi tentang penyakit dan dampaknya pada tubuh. Ketika dikombinasikan, siswa melihat bagaimana kemajuan penyakit perubahan tubuh, dan bagaimana perubahan dapat diobati atau terbalik.
B. Patogenesis
Patogenesis adalah asal mula dan perkembangan keadaan patologis atau penyakit. Jadi, patogenesis suatu penyakit menjelaskan tentang perkembangan atau evolusi penyakit. Patogenesis mencakup etiologi, proses masuknya penyakit kedalam tubuh, perkembangan penyakit, hingga manifestasi klinis yang ditunjukkan. Proses perjalanan penyakit umumnya dapat dibagi ke dalam 5 fase, yaitu prepatogenesis, inkubasi, penyakit dini, penyakit lanjut, dan akhir penyakit (Azrul Azwar, 1988 dalam Asmadi, 2008).
a. Fase prapatogenesis.
Pada fase ini telah terjadi interasi antara penjamu (manusia) dengan agens. Namun, jika daya tahan tubuh manusia pada fase ini masih kuat, penyakit tidak akan muncul.
b. Fase Inkubasi
Fase dimana agen telah masuk kedalam tubuh manusia tetapi belum terlihat adanya gejala. Masa inkubasi antara suatu agen penyakit berbeda dengan penyakit lainnya. hal ini disebabkan oleh agent penyakit/bibit penyakit yang berbeda. Selain itu masa inkubasi dipengaruhi oleh daya tahan tubuh manusia. Jika daya tubuh manusia turun makan bibit penyakit akan berkembang dan menimbulkan gangguan bentuk maupun fungsi tubuh manusia, begitu juga sebaliknya.
c. Fase Penyakit Dini
Fase ini dimulai sejak munculnya gejala penyakit. Biasanya, gejala yang muncul masih relatif ringan. Pada fase ini, daya tahan tubuh masih ada, namun cenderung lemah.
d. Fase Penyakit Lanjut.
Merupakan fase lanjutan dari penyakit dini. Terjadinya akibat melemahnya kondisi tubuh seseorang sehingga penyakit bertambah parah. Biasanya pada fase ini, individu tidak mampu lagi melakukan akitivitas sehari-hari sehingga datang ke tempat layanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan.
e. Fase Akhir Penyakit
Fase ini merupakan akhir perjalan penyakit pada manusia. Secara umum, ada 4 klasifikasi akhir perjalanan penyakit, yaitu :
1) Sembuh sempurna,
2) Sembuh dengan cacat,
3) Sembuh dengan pembawa (carrrier), dan
4) Meninggal.
2. Manfaat pemahaman pathogenesis dan patofisiologis pada
Patofisiologis sendiri dipelajari oleh berbagai cabang ilmu dan menjadi bagian dari pekerjaan secara profesional dari seluruh bidang kesehatan: dokter, perawat, hingga ahli kesehatan masyarakat. Untuk dokter dan perawat, karena patofisiologis berhubungan dengan timbulnya gejala yang membuat pasien terlihat abnormal atau sakit sehingga peran patofisiologis bagi mereka adalah membantu klien dalam memenuhi kebutuhan dasar yang terganggu akibat ketidakmampuan, ketidakmauan atau ketidaktahuan.
Untuk ahli kesehatan masyarakat sendiri adalah patofisiologi juga berhubungan dengan penyakit yang dapat berkembang karena faktor-faktor ekstrinsik. Perubahan lingkungan merupakan faktor ekstrinsik yang memicu timbulnya penyakit. Faktor ekstrinsik dapat menyebabkan penyakit apabila secara instrinsik kapasitas individu dalam mempertahankan diri tidak sepadan dengan perubahan lingkungan. Termasuk ke dalam faktor ekstrinsik diantaranya adalah agen menular, trauma mekanik, zat kimia beracun, radiasi, cuaca yang ekstrim, masalah gizi dan juga masalah psikologis. Sedangkan yang termasuk faktor instrinsik diantaranya adalah usia, jenis kelamin dan penyakit yang pernah diderita. Hal-hal tersebut di atas adalah faktor-faktor yang dikendalikan oleh seorang ahli kesehatan masyarakat. Maka dari itu, patofisiologi patut dipelajari agar penanganan suatu penyakit (apalagi yang sudah menjadi endemi di satu tempat) dapat dikendalikan dengan baik sesuai dengan karakteristik penyakit tersebut yang dipelajari dalam ilmu patofisiologi.
Alasan perlu mempelajarinya patogenesis suatu penyakit yaitu dapat mempermudah kita dalam menganalisis perkembangan dari penyakit yang terjadi. Selain itu, pendalaman mengenai patogenesis penyakit juga membantu kita untuk dapat mengetahui respon-respon apa saja yang terjadi akibat penyakit tersebut yang nantinya bisa dikaitkan dengan manifestasi penyakit klinis dan kemungkinan dari penyebab penyakit tersebut. Penyelidikan patogenesis juga memperhitungkan rangkaian peristiwa fenomena tertentu dan aspek-aspek waktu timbulnya penyakit. Yang harus dipatuhi dalam pendekatan ini adalah dugaan bahwa penyakit biasanya bukan suatu peristiwa yang statis , tetapi lebih merupakan gejala dinamis dengan irama dan riwayat alamiah sendiri.
3. Contoh Patogenesis dan patofisiologi penyakit
a. Penyakit tidak menular
Patogenesis dan Patofisiologis Penyakit Jantung Koroner (PTM)
Penyakit jantung korner adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan miokardium atas oksigen dengan penyediaan yang diberikan oleh pembuluh darah koroner (Napzi, 2010) Tedapat 4 faktor yang menentukan besarnya kebutuhan oksigen miokardium: frekuensi denyut jantung, daya kontraksi, massa otot, dan tegangan dinding ventrikel. Bila kebutuhan miokardium meningkat, otomatis penyediaan oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan penyediaan oksigen dalam jumlah yang memadai. Aliran pembuluh darah koroner harus ditingkatkan. Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi arteri kornaria dan meningkatkan aliran darah korner adalah hipoksia jaringan lokal. Pembuluh darah koroner dapat melebar sekitar lima sampai enam kali sehingga dapat memenuhi kebutuhan miokardium. Namun, pembuluh darah dapat mengalami stenosis dan tersumbat akibatnya kebutuhan miokardium akan oksigen tidak dapat terpenuhi.
– Patogenesis Penyakit Jantung Koroner
Aterosklerosis pembuluh darah koroner merupakan penyebab tersering penyakit jantung koroner, yang disebabkan oleh adanya penimbunan lipid di lumen arteri koronaria sehingga secara progresif mempersempit lumen arteri tersebut dan bila terus berlanjut, maka dapat menurunkan kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi. Awal terbentuknya aterosklerosis adanya respon terjadinya cidera dinding pembuluh darah oleh beberapa pajanan seperti faktor-faktor hemodinamik, hipertensi, hiperlipidemia, derivate rokok, dan toksin (missal homosistein atau LDL-C teroksidasi). Tahapan tahapan patogenesis aterosklerosis adalah (Silvia, Loraine, 2006a):
1. Cidera dan disfungi endotel, terjadi peningkatan perlekatan trombosit dan leukosit, permeabilitas, koagulasi, inflamasi dan migrasi monosit ke dalam dinding arteri; LDL-C teroksidasi masuk ke dalam tunika intima
2. Pembentukan bercak lemak, bercak lemak terdiri atas makrofag mengandung lemak (sel busa) dan limfosit T. Trombosit da pengaktivan GF (faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh makrofag mengakibatkan pertumbuhan dan migrasi otot polos pembuluh darah dari media ke dalam intima, sehingga proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur)
3. Pembentukan lesi aterosklerosis komplikata lanjut, bercak lemak berkembang menadi intermediet dan lesi membentuk lapisan fibrosa yang membatasi lesi dari lumen pembuluh darah, lesi ini berupa campuran dari leukosit, debris, sel busa dan lipid bebas yang nantinya membentuk inti nekrotik
4. Komplikata plak ateromatosa, dimana thrombosis terjadi dari perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
– Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
Berkurangnya kadar oksigen miokardium mengubah metabolism pada sel-sel miokardium dari aerob menjadi anaerob. Hasil akhir metabolism anaerob yaitu asam laktat yang akan tertimbun dan dapat menurunkan PH sel. Berkurangnya energy yang tersedia dari keadaan asidosis dapat mengganggu fungsi ventrikel dalam memompa darah, sehingga miokardium yang mengalami iskemia kekuatannya berkurang, serabut-serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya berkurang. Selain itu dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung menyebabkan perubahan hemodinamika yang bervariasi sesuai tingkat keparahan iskemi dari miokard. Menurunya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung kiri akan meningkat sehingga terjadi peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Iskemia miokardium biasanya disertai dengan 2 perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi sel, yaitu gelombang T terbalik dan depressi segmen ST.
Angina pectoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia miokard. Nyeri biasanya digambarkan sebagai satu tekanan substernal, kadang-kadang menyebar turun ke sisi media lengan kiri. Umumnya angina dipicu oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat peningkatan aktivitas.
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan mengakibatkan kerusakan sel irreversible serta nekrosis miokard. Miokard yang mengakami infark atau nekrosis akan berhanti berkontraksi secara permanen. Terdapat 2 jenis infark, infark transmural (mengenai seluruh tebal miokard yang bersangkutan) dan infark subendokardial (terbatas pada separuh bagian dalam endokardium) (Silvia, Loraine, 2006a)
b. Penyakit menular
Konjungtivitis
– Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah. (Rapuano, 2008)
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik. (Vischer, 2009)
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglubulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasu dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva. (Amadi, 2009)
– Patogenesis
Mekanisme pasti atau mekanisme bagaimana terbentuknya flikten masih belum jelas. Secara histologis fliktenulosa mengandung limfosit, histiosit, dan sel plasma. Leukosit PMN ditemukan pada lesi nekrotik. Bentuk tersebut kelihatannya adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap protein tuberkulin, Staphylococcus aereus, Coccidioides immitis, Chlamydia, acne rosacea, berberapa jenis parasit intertisial dan fungus Candida albicans. Jarang kasusya idiopatik. (Alamsyah,2007). keratitis flikten dapat berkembang secara primer dari kornea meskipun seringkali biasanya menyebar ke kornea daei konjungtiva. Epitel yang ditempati oleh flikten rusak, membentuk ulkus dangkal yang mungkin hilang tanpa pembentukan jaringan parut. (Alamsyah,2007)
Flikten khas biasanta unilateral oada atau di dekat limbus, pada konjungtiva bulbar atau kornea, dapat satu atau lebih, bulat, menginggi, abu-abu atau kuning, hiperemis, terdapat nodul inflamasi dengan dikelilingi zona hiperemik pembuluh darah. Flikten konjungtiva tidak menimbulkanjaringan parut. Jaringan parut fibrovaskuler kornea bilateral limbus cenderung membesar ke bawah daripada ke atas mungkin mengindikasikan flikten sebelumnya. Flikten yang melibatkan kornea sering rekuren, dan migrasi sentripetal lesi inflamasi mungkin berkembang. Kadangkala, beberapa inflamasi menumbulkan penipisan kornea dan jarang menimbulkan perforasi. (Alamsyah,2007)
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, A. (2007). Analisis Farmasi Secara Titrimetri. Medan: CV Bin harun
Amadi, A. 2009. Common Ocular Problems in Aba Metropolis of Albia State, Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC http://www.wisegeek.org/what-is-pathophysiology.htm
Nazpi, 2010. Defisini Penyakit Jantung. http://www.library.upnvj.ac.idpdf4s1 kedokteran207311154Bab%202.pdf.unlocked
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology
Silvia Loraine, 2006 a. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I. Edisi VI. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta hal 576-612
Uderwood J.C.E .1999.Karakteristik, Klasifikasi Dan Insiden Penyakit , Patologi Umum Dan Sistemik, edisi 2. Buku Kedokteran: Jakarta
Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective Conjunctivitis. Canadian Family Physician.