TINJAUAN UMUM TENTANG LANDAS KONTINEN

TINJAUAN UMUM TENTANG LANDAS KONTINEN  

Berbicara megenai continental shelf pikiran kita selalu ditujukan kepada dasar laut dan tanah di bawahnya, dimana dasar laut dan tanah di bawahnya itu banyak mengandung sumber daya alam, seperti minyak, gas dan mineral.

            Secara teoritis pengertian continental shelf dapat dilihat berdasarkan pengertian secara geologis yang disebut dengan “dataran kontinen” dan dapat dilihat berdasarkan pengertian yuridis yang disebut dengan “landas kontinen”. Secara geologis dataran kontinen  yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan perpanjangan alamiah dari pantai suatu negara hingga sampai kepada kemampuan mengekploitasi sumber daya alamnya. Dengan demikian dataran kontinen itu ada yang terdapat di dalam wilayah suatu negara dan ada yang di luar wilayah suatu negara. Sedangkan secara yuridis landas kontinen yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut teritorial mulai dari kedalam air 200 meter hingga kemampuan mengekploitasi sumber daya alamnya atau hingga 200 mil laut apabila landas kontinen tidak mencukupi dari pada itu atau 350 mil laut apabila landas kontinen itu melebihi 200 mil laut.

            Menurut Lionnel M. Summers, bahwa landas kontinen itu didasarkan kepada suatu fakta geologis yang menyebutkan bahwa di sepanjang sebagian besar pantai tanahnya menurun ke dalam laut sampai akhirnya di suatu tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalam laut. Dan biasanya air di atas landas kontinen tersebut biasanya tidak begitu dalam, sehingga sumber-sumber alam yang terdapat di landas kontinen tersebut dapat dimanfaatkan dengan pemakaian peralatan teknik yang ada.[1]

Perhatian pertama terhadap dasar laut dan tanahnya di bawah sebenarnya dimulai sejak tahun 1918, yaitu pada waktu orang Amerika berhasil mengexploitasi minyak kira-kira 40 mil laut dari pantai Mexico, tetapi perkembangan hukum yang penting baru terjadi sejak ditanda-tanganinya perjanjian antara Inggeris dan Venezuela pada tahun 1942 dalam menetapkan batas daerah dasar laut masing-masing di Teluk Paria guna untuk mengusahakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan minyak di teluk tersebut.[2]

            Dengan adanya proklamasi Truman pada tanggal 28 Desember 1945 menyebabkan timbulnya perkembangan baru dalam bidang hukum laut modern, dimana munculnya istilah continental shelf dalam pengertian geologis. Tujuan diadakannya proklamasi Truman tersebut tidak lain adalah untuk mencadangkan kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat demi untuk kepentingan rakyat dan bangsanya terutama kekayaan mineral, khususnya minyak bumi dan gas.[3] Di samping itu continental shelf dianggap sebagai kelanjutan alamiah dari pada wilayah daratan Amerika Serikat, sehingga dengan demikian keamanan pengusahaan sumber alam yang terdapat di continental shelf tersebut seyogyanya pengaturannya berada pada negara pantai (dalam hal ini Amerika Serikat). Tuntutan Amerika Serikat ini hanya berlaku terhadap kekayaan alam yang terdapat di continental shelf tersebut (jurisdiction and control), bukan soverini-tasnya (kedaulatannya), sehingga dengan demikian bahwa perairan dan udara di atas continental shelf tersebut tetap berada di bawah rezim laut lepas.[4]

Sejak adanya deklarasi Truman maka mulailah timbul perlombaan untuk menuntut kekayaan alam di landas kontinen tersebut, dimana beberapa negara tidak saja menuntut kekayaan alamnya tetapi juga perairan di atas kontinental tersebut (epicontinental shelf) sebagai milik mereka. Salah satu negara yang menunut kekayaan alam dan perairan di landas kontinen tersebut adalah Argentina yang telah mengeluarkan deklarasinya pada tanggal 9 Oktober 1946.[5]

            Penetapan continental shelf secara yuridis dikemukakan pertama sekali pada waktu diadakannya konprensi hukum laut I (UNCLOS I) di Jenewa pada tahun 1958. Konprensi ini diprakarsai PBB yang sebagai hasilnya adalah 4 buah konvensi, yang antara lain : (1). Konvensi I tentang laut teritorial dan jalur tambahan; (2) Konvensi II tentang laut lepas; (3) Konvensi III tentang perikanan dan perlindungan kekayaan hayati lau lepas; (4) Konvensi IV tentang landas kontinen.[6]

            Dalam Pasal 1 Konvensi IV Hukum Laut 1958 disebutkan bahwa continental shilf dalam pengertian yuridis adalah “landas kontinen” yaitu dasar laut yang terletak di luar laut wilayah (kursip dari penulis).[7]

            Kedaulatan negara pantai atas landas kontinen menurut Konvensi IV Hukum Laut 1958 yaitu sampai kedalaman air 200 meter atau di luar batas itu sampai di kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam yang ada di daerah tersebut.[8]

            Untuk menentukan batas landas kontinen suatu negara ada diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 (Konvensi IV) menyebutkan bahwa untuk menentukan cara-cara menetapkan garis batas landas kontinen antara negara-negara yang berhadapan atau berdekatan yaitu dengan menggunakan garis tengah (median line) yang diukur dari garis-garis dasar masing-masing negara, kecuali jika negara-negara tersebut setuju dengan cara penetapan garis batas yang lain atau kalau ada “special circumstances” yang dapat membenarkan

cara-cara penarikan garis batas yang bukan dengan garis tengah.[9]  Sementara itu Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982  menyebutkan sebagai berikut:[10]

  1. Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (ayat 1).
  2. Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV ayat (ayat 2).
  3. Sambil menunggu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, negara-negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian dan kerjasama harus membuat segala usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama peralihan ini tidak membahayakan atau menggangu pencapaian persetujuan yang tuntas. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan penetapan garis batas yang tuntas (ayat 3).
  4. Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, masalah yang bertalian dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu (ayat 4).

            Landas kontinen  di Celah Timor antara Indonesia dan Australia hingga kini belum tersediakan batasnya. Hal ini disebabkan karena di landas kontinen tersebut terdapat palung laut (Timor Trench) sehingga menyebabkan kedua negara berbeda cara pandangnya terhadap landas kontinen tersebut dan juga dan juga dalam menentukan batas garis landas kontinennya. Indonesia beranggapan bahwa landas kontinen tersebut merupakan  kelanjutan alamiah dari pantai Indonesia dimana di landas kontinen tersebut terdapat “celah” sehingga dengan demikian landas kontinen itu hanya satu landas kontinen (one continuous continental shelf). Dan sesuai dengan

ketentuan hukum laut internasional. maka prinsip garis tengah (median line) yang harus digunakan sebagai batas landas kontinen tersebut. Sementara itu Australia berpandangan bahwa landas kontinen tersebut merupakan kelanjutan alamiah dari pantainya(natural piolongation), dimana di landas kontinen tersebut terdapat dua landas kontinen yang berbeda yang dipisahkan oleh “lembah timor” yang terletak 60 mil laut dari sebelah Selatan pulau Timor dan 300 mil laut dari sebelah Utara Darwin. Berdasarkan hal tersebut Australia beranggapan bahwa prinsip garis tengah tidak diberlakukan dalam penetapan batas landas kontinen tersebut. Hal ini didasarkan, jika garis tengah diterapkan dalam penentuan batas landas kontinen di Celah Timor tersebut, maka garis tengah itu ada yang melintasi daerah-daerah dangkal yang kedalaman airnya kurang dari 200 meter di sebelah Utara pantai Australia dan karenanya akan mengambil bagian-bagian tertentu dari landas kontinennya.[11] Australia yang tetap konsisten dengan ketentuan landas kontinennya yang sesuai dengan Konvensi Jenewa 1958 menginginkan agar batas landas kontinen tersebut ditetapkan pada “bathymetric axis”dan menginginkan garis batas yang menjembatani Timor Gap merupakan garis yang kurang lebih lurus yang menghubungkan garis-garis batas yang telah pernah disetujui dalam tahun 1972.[12]  Prinsip Australia ini tetap sama sewaktu mengadakan perundingan menyangkut batas landas kontinen ini dengan Portugal dimana waktu itu Timor-Timur masih di bawah naugan Portugal. Dan Portugal waktu itu berpendirian sama seperti dengan pendirian Indonesia.

            Sehubungan dengan penetapan batas landas kontinen tersebut di atas, Michael Richardson menyebutkan “…pihak perusahaan minyak O.E.C. mengharapkan agar Indonesia dapat memberi izin seperti yang diberikan oleh Portugal. Dan bagi Australia jika permintaan itu dipenuhi dan Indonesia mau mengubah formula pejanjian 1971 dan 1972, maka izin konsesi itu akan memotong enam wilayah konsesi Australia. Akhirnya Australia mengharapkan agar Indonesia melanjutkan garis batas “yang kurang lebih lurus” dari garis batas yang telah dicapai” (kursif dari penulis).[13]

            Karena adanya perbedaan menyangkut landas kontinen tersebut sebagaimana telah disebutkan di atas, kedua negara tetap terus mengadakan perundingan-perundingan guna menemukan jalan keluar yang terbaik, namun hasilnya tetap tidak menemukan jalan keluar yang terbaik dalam menetapkan batas landas kontinen di Celah Timor tersebut. Namun kedua negara menemukan jalan lain yaitu dalam memanfaatkan sumber daya alam di landas kontinen tersebut yang dituangkan ke dalam suatu perjanjian (treaty) pada tanggal 11 Desember 1989. Perjanjian itu disebut dengan “Perjanjian Indonesia-Australia mengenai Zona Kerjasama di Celah Timor”, dimana hasil dari perjanjian itu wilayah yang disengketakan menjadi 3 wilayah atau zona, yaitu: zona “A”, “B”, dan “C”. Zona A merupakan wilayah kerjasama dengan pembagian fifty-fifty, zona B dikuasai Australia dengan catatan akan memberikan 16% dari net resources rent tax kepada Indonesia, sedang wilayah C dikuasai Indonesia dengan catatan akan memberikan 10%  dari pajak pendapatan kontraktor yang melakukan kegiatan di wilayah itu kepada Australia.[14]

[1] Lionnel M. Summers, The International Law of Peace, New York: Oceana, 1972, hlm. 158-159. Lihat juga Chairul Anar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Jakarta: Djambatan, 1989, hlm. 54. 

[2] Hasjim Djalal, Op. cit, 1986, hlm. 83.

[3] Mochtar Kusumaatmadja, Op. cit, 1986, hlm. 83.

[4]Ibid.

[5] Hasyim Djalal, Loc. cit.

[6] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Op. cit., hlm. 109-166. Lihat juga Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, Hhlm. 128. 

[7] Lihat Pasal 1 Konvensi IV Hukum Laut 1958.

[8] Chairul Anwar, Op. cit., hlm. 57.

[9] Hasyim Djalal, Op.cit., Lihat juga Pasal 6 Konvensi IV Hukum Laut 1958.

[10] Lihat Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982.

[11] Hasjim Djalal, Op.cit., hlm. 169-170.

[12] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Perjanjian Indonesia-Australia Di Celah Timor” dalam Hukum dan Pembangunan, Juni 1992, hlm. 221.

[13] Lihat Michael Richardson, “Drawing The Seabed Line” dalam “Feer”, 10 Maret 1978, hlm. 81. Lihat juga Asnani Usman, Op.cit., hlm. 618.

[14] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 222-223.