Tinjauan Tentang Tablet Obat

2.1 Tinjauan Tentang Tablet

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan sesuai (Ansel,1989). Tablet terdapat dalam berbagai ragam, bentuk, kekerasan, ketebalan, sifat disolusi dan disintegrasi dan dalam aspek lain, tergantung pada penggunaan yang dimaksudkan dan metode pembuatannya. Tablet biasanya berbentuk bundar, dengan permukaan datar, atau konveks. Dan bentuk khusus seperti kaplet, segitiga, lonjong, empat segi, dan segi enam (heksagonal) telah dikembangkan oleh beberapa pabrik untuk membedakan produknya dengan produk dari pabrik lainnya (Siregar dan Wikarsa, 2010). Bentuk sediaan tablet mempunyai keuntungan yang meliputi ketepatan dosis, praktis dalam penyajian, biaya produksi yang murah, mudah dikemas, tahan dalam penyimpanan, mudah dibawa, serta bentuk yang memikat (Lachman et al, 1994).
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk tablet berkualitas baik adalah kekerasan yang cukup dan tidak rapuh, memenuhi persyaratan keseragaman bobot tablet dan kandungan obatnya, dan mempunyai penampilan yang menarik, baik pada bentuk, warna, maupun rasanya. Untuk mendapatkan tablet yang baik tersebut, maka bahan yang akan dikempa menjadi tablet harus memenuhi sifat-sifat mudah mengalir, artinya jumlah bahan yang akan mengalir dalam corong alir ke dalam ruang cetakan selalu sama setiap saat, dengan demikian bobot tablet tidak akan memiliki variasi yang besar, kompaktibel (bahan mudah kompak jika dikempa sehingga dihasilkan tablet yang keras) dan mudah lepas dari cetakan (Sheth et al, 1980).
2.1.1 Bahan Pembantu Pembuatan Tablet
Dalam pembuatan tablet selain zat aktif juga digunakan bahan tambahan atau eksipient yang dicampur bersama bahan obatnya. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi (diluent/filler), zat pengikat (binder), zat penghancur (disintegrant), dan zat pelicin (lubricant). Bahan pembantu tablet harus bersifat netral, tidak berbau, tidak berasa dan sedapat mungkin tidak berwarna (Voigt, 1984). Bahan tambahan tersebut antara lain adalah:
a. Bahan Pengisi (diluent/filler)
Bahan pengisi ditambahkan dalam formula tablet untuk memperbesar massa dan volume tablet. Selain itu bahan pengisi juga berfungsi untuk memperbaiki daya kohesi sehingga dapat dikempa langsung atau untuk memacu aliran. Bahan pengisi yang umumnya digunakan antara lain laktosa, sukrosa, mikrokristalin selulosa, pati, dektrosa, avicel (Banker dan Anderson, 1986).
b. Bahan Pengikat (binder)
Bahan ini dimaksudkan untuk memberikan kekompakan dan daya tahan tablet. Oleh karena itu bahan pengikat menjamin penyatuan beberapa partikel serbuk dalam sebuah butir granulat. Demikian pula pada kekompakkan tablet dapat dipengaruhi, baik oleh tekanan pencetakan maupun bahan pengikat (Voigt, 1984). Bahan pengikat berfungsi untuk mengikat bahan obat dengan bahan tambahan lain sehingga diperoleh granul yang baik, yang akan menghasilkan tablet yang kompak serta tidak mudah pecah. Pengaruh bahan pengikat yang terlalu banyak akan menghasilkan massa terlalu basah dan granul yang terlalu keras sehingga waktu hancur tablet menjadi lebih lama. Pemberian bahan pengikat yang terlalu sedikit maka akan terjadi pelekatan yang lemah dan tablet yang terbentuk lunak serta tablet menjadi capping (lapisan atas dan atau lapisan bawah tablet membuka) (Parrot, 1979).
Bahan pengikat memiliki sifat adhesif dan digunakan untuk mengikat serbuk-serbuk menjadi granul, selanjutnya bila dikempa akan menghasilkan tablet yang kompak. Bahan pengikat dapat ditambahkan dalam bentuk kering tetapi lebih efektif bila ditambahkan dalam bentuk larutan. Bahan pengikat yang umumnya digunakan dalam tabletasi adalah PVP (polivinil pirolidon) K30, gelatin, gom arab, acacia, CMC Na, metilselulosa, HPMC (Siregar dan Wikarsa, 2010).
c. Bahan Penghancur (disintegrant)
Bahan penghancur dimaksudkan untuk memudahkan hancurnya tablet setelah kontak dengan cairan pencernaan. Selain itu juga dapat berfungsi menarik air ke dalam tablet, mengembang dan menyebabkan tablet pecah menjadi bagian-bagiannya. Fragmen-fragmen tablet itu mungkin sangat menentukan kelarutan selanjutnya dari obat dan tercapainya bioavaibilitas yang diharapkan (Banker dan Anderson, 1986). Bahan penghancur dapat ditambahkan sebelum proses granulasi atau diberikan sebelum proses penabletan pada saat pemberian bahan pelicin atau diberikan pada saat kedua proses tersebut. Bahan penghancur yang sering digunakan adalah amilum, avicel, starch 1500, explotab dan primojel (Ansel et al, 1995).
d. Bahan Pelicin (lubricant)
Tujuan diberikan bahan pelicin pada pembuatan tablet adalah untuk mempercepat aliran granul dalam corong ke dalam rongga cetakan, mencegah melekatnya granul pada punch atau cetakan. Bahan pelicin juga berfungsi mengurangi pergesekan antara tablet dan dinding cetakan ketika tablet keluar dari mesin dan memberikan bentuk yang baik pada tablet yang sudah jadi. Jumlah bahan pelicin yang dapat dipakai pada pembuatan tablet antara 0,1-5% berat granul. Diantara pelicin yang umum digunakan adalah talk, magnesium strearat, dan kalsium stearat (Ansel et al, 1995).
Diantara semua bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan tablet, lubrikan adalah yang paling penting. Tanpa lubrikan, bahan obat akan mengganngu peralatan kecepatan tinggi, karena bahan obat akan menempel pada dinding die pada saat pengempaan dan pengeluaran tablet. Penggunaan lubrikan dalam tablet terbatas karena akan mengurangi disintregasi dari bahan obat itu sendiri (Voigt, 1984).

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Goeswin. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. Edisi Revisi dan Perluasan, Bandung; Penerbit ITB
Anief, M., 2000. Ilmu Meracik Obat. Edisi Revisi. Cetakan ke 9. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 168-169.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, EdisiKeempat. UI – Press: Jakarta, pp. 300, 607-608
Ansel, Howard C. Nicholas G. Popovich and Layd V. Allen Jr. 1995. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Diliverry Sistems. Six Edition, 194-202, Lea and Febiger, USA.
Arisandi Y, Andriani Y.2008. Khasiat Tanaman Obat. Pustaka Buku Murah, hal 251-52
Aulton, M., and Summers M. 2002. Tablet and Compaction in : Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design. 2nd., Churchill Livingstone : Philadelphia,pp. 397-439
Banker, G. S., and Anderson N. R. 1986. Tablet in: Lachman L., Lieberman H. A., andKanig J.L. Eds. The Theory and Practice of Industrial Pharmacy. 3rd., Lea and Febiger : Philadelphia,pp. 293-343.
Bonte, F., 1994, Influence of asiatic acid, madecassic acid, and asiaticoside on human collagen I synthesis, Planta Medica, Vol. 60, 133-135.
Brinkhaus, B.; Lindner, M.; Schuppan, D.; Hahn, E.G. 2000. Chemical, pharmacological and clinical profile of the East Asian medicinal plant Centella asiatica. Phytomedicine, pp. 7, 427-448.
Brooks, G. F., Butel, J. S ., Morse, S. A., 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg Edisi 23. Jakarta: EGC pp. 640
Cartensen, Jens T. 1977. Pharmaceutics of Solids and Solid Dosage Forms. John Wiley &Sons : New York,pp. 132-243.
Chatterjee TK, Chakraborty A, Pathak M. 1992. Effects of plant extract Centella asiatica L. on cold restraint stress ulcer in rats. Indian journal of experimental biology, pp. 30:889–891.
Cronquist, A., 1981, An Intergrated System of Classification of Flowering Plants, New York, Columbia University Press, 477.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen KesehatanRI : Jakarta.
Duke, 2003, Phytochemical and Ethnobotanical Databases, http:/www.ars grin.gov/duke, Diakses tanggal 10 Januari 2013.
Hutapea, JR. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (II). Jakarta: Depkes RI.
Inamdar, P. K., Teola, R. D., Ghogare, A. B. and de Souza, N. J. 1996. Determination of biologically active constituents in Centella asiatica. Journal of Chromatography A 742: 127-130.
James, J. T. and Dubery, I. A. 2009. Pentacyclic triterpenoids from the medicinal herb, Centella asiatica (L.) Urban. Molecules 14: 3922-3941.
Kartnig, T., 1988, Clinical applications of Centella asiatica (L.) Urb. In : Craker, L.E. Simon, J.E., Eds., Herbs, spices, and medicinal plants : recent advances in botany, horticulture, and pharmacology, Vol. 3, Phoenix, AZ, Oryx Press, 145- 173.
King, Robert E. 1980. Tablets, Capsules, and Pills, in Osol A., Chase G. D., Gennaro A. R., Gibson M. R., Granberg C. B., Harvey S. C., King R. E., Martin A. N., Swinyard E. A., Zink G. L. Remington’s Pharmaceutical Sciences 16th Edition, Volume 2. Mack Publishing Company : Easton.
Koensoemardiyah. 2010. A to Z Minyak Atsiri – untuk Industri Makanan, Kosmetik, dan Aromaterapi. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET. Hal. 1.
Lachman, C.L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J,L., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi II. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: Universitas Indonesia Press, pp. 160-161, 713-714.
Lieberman M.A, et. Al. 1989. Pharmaceutical Dosage Forms : Tablet. Second Edition, Revisied dan Expanded, Volume I, Marcel Dekker, Inc.
Loiseau, A. and Mercier, M. 2000. Centella asiatica and skin care. Cosmetics and Toiletries Magazine 115: 63-67.
Martin, A., 1993. Farmasi Fisik: Dasar – Dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik, Edisi ketiga, Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta.
Peters, D., 1989, Medicated Lozenges, In : Lieberman. H. A., Lachman. L. And Schwart.I.B.Eds.,Pharmaceutical Dosage Form, Tablet, Vol 1,2 nd Ed Revisied And Expanded, Marcel Dekker. Inc, New York, pp :339-463.
Pramono S. 1992. Profil Kromatogram Ekstrak Herba Pegagan yang Berefek Antihipertensi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia I, hal (2): 37-39.
Pramono S. D, Ajiastuti. 2004. Standarisasi Ekstrak Herba Pegagan (Centella asiatica L) Berdasarkan Kadar Asiaticosida Secara KLT-Desnsitometri. Majalah Farmasi Indonesia 15 (3), hal 118-123.
Qin, L. P., Ling, R. X., Zhang, W. D. et al. 1998. Essential oil from Centella asiatica and its antidepressant activity. Di Er Jun Yi Da Xue Xue Bao (Second Military Medical University) 19: 186-187.
Rahardja, Kirana. 2008. Obat Obat Penting. Edisi Keenam Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, 132-138, Penerbit ITB, Bandung.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Weller, P.J. 2009.Handbook of Pharmaceutical Excipient, Sixth Edition. The Pharmaceutical Press and The American Pharmaceutical Association : London,pp. 581-585
Shin Etsu Chemical Company. 1997. Product Bulletin., Cellulose Division. Japan
Shin HS et al. Clinical trials of madecassol (Centella asiatica) on gastrointestinal ulcer patients. Korean journal of gastroenterology, 1982, 14:49–56
Siregar, CJP., Wikarsa, S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet : Dasar-dasar Praktis. Jakarta: EGC.
Sheth, B. B., Bandelin F, J., Shangraw r.,F., 1980, Compressed Tablet., in Lieberman M.A, et. Al. 1989. Pharmaceutical Dosage Forms : Tablet. Second Edition, Revisied dan Expanded, Volume I, Marcel Dekker, Inc., New York and Basel, 105-115.
Suntornsuk, L. and Anurukvorakun, O. 2005. Precision improvement for theanalysis of flavonoids in selected Thai plants by capillary zone electrophoresis. Electrophoresis 26: 648-660.
Voigh, R. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, oleh Dr..rer.nat. Soendani NoeronoSoewandhi., Apt (penterjemah) dan Prof. Dr. Moch. Samhoedi Reksohadiprodjo., Apt (Editor). Gajah Mada University press : Jogjakarta.
Wahyuningtyas Ika. 2010. Formulasi Sediaan Tablet Fast Disintegrating Antasida Dengan Primojel® Sebagai Bahan Penghancur Dan Manitol Sebagai Bahan Pengisi. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta .
Winarto, W.P., dan Surbakti, 2003, Khasiat dan Manfaat Pegagan Tanaman Penambah Daya Ingat, 1,5-9,39, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Zainol, M. K. M. 2004. Determination of flavonoids in Centella asiatica (L.) Urban and their utilization in herbal noodles. Serdang, Malaysia: Universiti Putra Malaysia, MSc Thesis.
Zheng, C. J. and Qin, L.P. 2007. Chemical components of Centella asiatica and their bioactives. Journal of Chinese Integrative Medicine 5: 348-351.