Tidak Ada Rotan, Akar Pun Jadi Di Tengah Terbatasnya Fasilitas Kesehatan Kreativitas Pun Beraksi

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [6.18 KB]

TIDAK ADA ROTAN, AKAR PUN JADI DI TENGAH TERBATASNYA FASILITAS KESEHATAN , KREATIVITAS PUN BERAKSI

Yuni Indriani Hadi

Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa, bagai sang surya menyinari dunia. Kutipan yang memang benar adanya. Ibu adalah sosok yang penuh cinta kasih, yang rela berkorban demi keluarga, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih. Sehingga sudah sepatutnya kita memberikan yang terbaik untuk ibu. Namun bagaimana dengan kondisi para ibu di Indonesia saat ini? Berbagai sumber menyebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan1. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia belum mampu memberikan yang terbaik kepada para ibu. Suatu hal yang cukup menyedihkan.

Penyebab kematian ibu dibagi menjadi dua, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung berupa penyulit kehamilan dan persalinan yang terjadi, seperti perdarahan dan hipertensi dalam kehamilan. Hal ini diperparah dengan adanya 3T (3 terlambat), yang terdiri dari terlambat mendeteksi tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat sampai ditempat pelayanan kesehatan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat. Termasuk penyebab tidak langsung adalah ibu- ibu yang mempunyai “status” 4 terlalu, yaitu terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, dan terlalu rapat jarak melahirkan.

Derajat kesehatan ibu di Indonesia memang membaik yang dapat dilihat dari turunnya AKI, yaitu dari 307/100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2003 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2007. Namun hasil ini adalah hasil nasional, karena terdapat kesenjangan yang cukup besar antar daerah di Indonesia,  tercermin dari prosentase Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Terampil yang merupakan indikator proksi paling sensitif dari kematian ibu. Berdasar hasil penelitian di berbagai negara, terdapat korelasi yang erat antara persalinan oleh tenaga kesehatan dengan AKI. Menurut data yang dihimpun dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, rata-rata nasional persalinan oleh nakes mencapai 80,73 %, paling rendah terdapat di Provinsi Papua yang hanya mencapai 29,63 % sedangkan tertinggi ada di Provinsi Bali yang sudah mencapai 97,61 %2.

Dari fakta yang tersebut di atas, tampak pelayanan kesehatan belum menyentuh seluruh masyarakat, terutama yang berada di daerah pedalaman. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi hal ini. Inpres nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 menekankan upaya penempatan tenaga kesehatan strategis di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dalam rangka peningkatan pemerataan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas3. Namun, pelaksanaannya sungguh berbeda. Banyak masyarakat yang enggan memeriksakan kesehatannya ke puskesmas akibat jauhnya lokasi puskesmas dari tempat tinggal mereka atau rintangan yang cukup berat untuk mencapai puskesmas. Misal, saat kondisi gawat di mana seorang ibu ingin melahirkan. Karena jauhnya jarak ke puskesmas, keluarga ibu mengambil keputusan untuk membawa sang ibu ke dukun beranak saja. Hal ini sungguh sangat disayangkan mengingat dukun beranak hanya mengandalkan pengalamannya saja tanpa mempunyai standar kelulusan dalam menolong persalinan. Tentu ini dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Terlebih lagi fasilitas yang kurang di daerah. Hal ini menghambat para tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan ke masyarakat. Listrik yang menyala hanya beberapa jam, ketiadaan saluran telepon untuk menghubungi petugas ketika salah satu ibu hendak melahirkan, atau seperti contoh di atas, keengganan masyarakat berobat ke puskesmas menjadi hambatan yang besar dalam menurunkan AKI.

Menunggu pemerintah membangun fasilitas yang memadai di daerah sepertinya terlihat agak sia-sia. Karena walaupun telah banyak rencana dirancang untuk meningkatkan pelayanan di daerah, tampaknya memang hanya menjadi sebatas rencana. Lalu apakah kita sebagai tenaga kesehatan hanya bisa berdiam, menunggu pemerintah merealisasikannya? Atau hanya mengajukan kritik kepada mereka tanpa berbuat apapun? Dalam mengatasi hal ini kreativitas tenaga kesehatan dapat dijadikan suatu inovasi yang memberikan manfaat. Suatu kreativitas dalam menggunakan fasilitas yang ada. Sebuah kreativitas di tengah keterbatasan. Seperti halnya yang dilakukan salah satu bidan di daerah Tidore. Dengan melaksanakan program Kampanye “Surat untuk Teman” beliau berhasil meningkatkan kesehatan ibu-ibu hamil di daerah Tidore. Di masyarakat Tidore, orang merasa dihormati dan dihargai ketika mereka diundang melalui sebuah surat. Budaya ini dimanfaatkan oleh Bidan Fara dan teman-temannya untuk mengajak para ibu hamil memeriksakan kesehatan kandungannya ke puskesmas. Dukun beranak juga turut membantu mengirimkan “Surat untuk Teman”. Melalui program kerja sama dukun beranak-bidan, persalinan yang didampingi tenaga kesehatan naik meningkat dan hampir mencapai 100 %4. Sebuah ide sederhana namun memberikan manfaat yang luar biasa dalam menurunkan AKI.

Contoh lainnya adalah adanya program kemitraan bidan – dukun di Puskesmas Alianyang. Awalnya puskesmas ini hanya menerima 3 sampai 5 pasien tiap bulannya karena para ibu lebih memilih untuk melahirkan di dukun beranak. Hal ini mendorong Puskesmas Alianyang untuk menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan dengan para dukun beranak. Ternyata tawaran tersebut disambut baik oleh para dukun dengan kesepakatan bahwa para dukun akan menolong pasiennya di klinik bersalin Alianyang bersama bidan. Tugas mereka adalah merawat bayi dan ibunya selama masa nifas berakhir, termasuk mendampingi ibu untuk membawa bayinya ke puskesmas sebelum usia 7 hari pertama dan sebelum usia 28 hari, sampai ibunya ber-KB. Para dukun mulai beralih fungsi yang dulunya sebagai penolong persalinan, namun sejak saat itu para dukun hanya melakukan asuhan dan pendampingan selama ibu hamil, bersalin sampai masa nifas dengan pendekatan kekeluargaan dan kasih sayang. Hal ini sangat didambakan para ibu yang sedang kesakitan pada proses persalinan. Dukun yang bekerja di klinik mendapat jasa sesuai UMR, tetapi bagi yang mengirim pasiennya mendapat jasa sebesar Rp 50.000,00 per pasien5. Sebuah program yang mampu membaca situasi sekitar dan memanfaatkannya untuk menuju kesehatan yang lebih baik.

Keterbatasan fasilitas jangan sampai menghalangi kinerja tenaga kesehatan. Walaupun memang diakui fasilitas yang memadai akan menurunkan AKI, namun akibat kenyataan yang ada sekarang, kreativitas tenaga kesehatan sangat dibutuhkan. Mempelajari budaya masyarakat sekitar, menjalin kerja sama dengan warga dan tokoh masyarakat yang dipercaya, pandai membaca situasi, menggali ide kreatif di tengah keterbatasan, dan memanfaatkan apapun yang ada di sekitar, disertai dengan komitmen yang kuat mengabdi kepada masyarakat, niscaya dapat mewujudkan kesehatan ibu-ibu hamil di seluruh Indonesia. Mari berkreasi!!!