Pengertian Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik ditetapkan oleh Undersea and Hyperbaric Medical society (UHMS) sebagai sebuah terapi dimana pasien bernapas menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih besar daripada tekanan laut ( 1 atmosfer absolut, ATA). Peningkatan tekanan ini bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam suatu monoplace chamber (untuk 1 orang) atau multiplace chamber. Di dalam multiplace chamber, tekanan udara yang diberikan berupa udara biasa, dengan oksigen diberikan melalui masker oksigen, hood tent, atau endotracheal tube. Sedangkan untuk monoplace chamber, tekanan udara yang diberikan berasal dari oksigen murni. (Bell, 2004).
Dasar Fisiologis Terapi Oksigen Hiperbarik
Efek dari terapi oksigen hiperbarik adalah berdasarkan hukum – hukum gas dan efek-efek fisiologis dan biokimia dari hiperoksia. Hukum-hukum fisika tentang gas tersebut antara lain:
- Hukum Boyle, menyatakan bahwa volume gas berbanding terbalik dengan tekanan bila temperatur dipertahankan konstan. Volume gas menurun dengan naiknya tekanan dan volume naik dengan turunnya tekanan. Hukum ini merupakan dasar untuk banyak aspek dari terapi oksigen hiperbarik, seperti suatu fenomena yang dikenal sebagai ‘squeeze’ yang terjadi selama proses terapi karena peningkatan temperatur ruangan (chamber). Ketika tuba eustachii tersumbat menyebabkan terganggunya proses keseimbangan tekanan gas yang mengakibatkan rasa nyeri yang menekan di middle ear (telinga bagian tengah).
- Hukum Dalton, menyatakan bahwa tekanan campuran (total pressure) dua gas atau lebih yang berada dalam suatu ruangan sama dengan jumlah tekanan gas (partial pressure) masing-masing yang ada dalam ruangan tersebut.
- Hukum Henry, menyatakan bahwa banyaknya gas yang larut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanan gas dan koefisien kelarutan gas tersebut. Hukum ini merupakan basis dari peningkatan tekanan oksigen di jaringan dengan penggunaan terapi oksigen hiperbarik (Bell et al, 2004).
Sebagian besar oksigen dibawa dalam darah dalam bentuk terikat dengan haemoglobin, yang mana 97% nya jenuh pada tekanan atmosfer. Sebagian oksigen dibawa dalam larutan dan bagian ini meningkat jika tekanannya juga meningkat sesuai dengan hukum Henry, yang memaksimalkan oksigenasi jaringan. Ketika menghirup udara dengen tekanan normal (normobaric), tekanan oksigen arteri berkisar antara 100mmHg dan tekanan oksigen di jaringan 55 mmHg. Dengan pemberian oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen arterial menjadi 2000 mHg dan tekanan oksigen jaringan 500 mmHg, dengan jumlah 60 ml oksigen per liter darah (bandingkan dengan tekanan atmofer yang hanya dapat mengangkut oksigen 3ml per liter darah). Kondisi tersebut dapat memberi support pada jaringan (resting tissue) tanpa dibutuhkan hemoglobin. Karena oksigen berada di dalam cairan tubuh, oksigen ini dapat mencapai area yang terobstruksi dimana sel darah merah tidak dapat melewatinya dan keuntungan lainnya oksigen ini dapat memberikan oksigenasi jaringan bahkan dalam keadaan pengangkutan hemoglobin-oksigen yang terganggu, contoh pada kasus keracunan karbon monoksida dan anemia yang parah (Bell et al, 2004).
Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan membrane lemak, merusak DNA dan menghambat fungsi metabolik dari bakteri. Oksigen hiperbarik efektif terutama melawan bakteri anaerob dan memfasilitasi oxygen dependent peroxidase system leukosit dalam membunuh bakteri. Terapi oksigen hiperbarik juga meningkatan oxygen-dependent transport dari beberapa jenis antibiotik sehingga dapat menembus dinding sel bakteri (Bell et al, 2004).
Oksigen hiperbarik membantu proses penyembuhan luka dengan menguatkan gradien oksigen sepanjang daerah luka yang iskemik dan merangsang formasi matriks kolagen yang bersifat oxygen dependent yang dibutuhkan untuk proses angiogenesis (Bell et al, 2004).
Selama reperfusi, leukosit melekat pada jaringan yang iskemi, melepaskan protease dan radikal bebas yang mengarah ke vasokonstriksi patologis dan kerusakan jaringan. Zamboni, mendemonstrasikan adanya pengurangan perlekatan leukosit dan vasokonstriksi post iskemi pada jaringan tikus iskemi yang mendapat terapi oksigen hiperbarik (Zamboni, 1993) dan lebih baru lagi, Thom mendemonstrasikan pengurangan peroksidasi lipid pada tikus dengan keracunan karbon monoksida yang mendapat oksigen hiperbarik (Bell et al, 2004).
Hiperoksia pada jaringan normal yang mendapat oksigen hiperbarik menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan. Tetapi ini dikompensasi dengan peningkatan oksigen plasma dan aliran darah mikorvaskuler ke jaringan iskemi yang secara jelas ditingkatkan oleh oksigen hiperbarik. Vasokonstriksi dapat mengurangi oedem pada jaringan post traumatic yang berkontribusi pada terapi crush injuries, compartment syndromes dan luka bakar (Bell et al, 2004).
Selain itu, oksigen hiperbarik membatasi reduksi produksi ATP oleh jaringan post iskemi dan menurunkan akumulasi laktat pada jaringan iskemi. Kesimpulannya, oksigen hiperbarik mempunyai efek yang kompleks pada system imun, transport oksigen dan haemodinamik. Efek terapeutik yang positif berupa pengurangan hipoksia dan oedema dan membantu respon host normal terhadap infeksi dan iskemia (Bell et al, 2004).
Administrasi oksigen hiperbarik
Pemberian oksigen hiperbarik efektif jika dihirup pada atmosfer atau melalui tuba endotrakeal dalam monoplace chamber atau melalui masker dalam multi-occupant chamber. Durasi pengobatan tunggal sangat bervariasi dari 45 menit, untuk kasus korban keracunan karbon monoksida (CO), hingga hampir 5 jam, pada kelainan dekompresi yang parah. Pemberian oksigen hiperbarik rata–rata 90 menit untuk pengobatan luka yang tidak peka terhadap antibiotik dan debridement setiap 20-30 perawatan. Pemantauan kritis dan pengobatan, termasuk ventilasi mekanik, harus siap tersedia (Nugroho,2010).
Proses HBOT diawali dengan konsultasi dokter dan pemeriksaan fisik untuk menentukan ada tidaknya kontraindikasi absolut seperti pneumotoraks dan kontraindikasi relatif seperti asma, klaustrofobia(takut ruangan sempit), penyakit paru obstruktif kronik, disfungsi tuba eustachius, demam tinggi, kehamilan, dan infeksi saluran napas atas (LAKESLA,2009).
Pasien akan dibawa masuk dalam suatu ruangan hiperbarik setelah dipastikan tidak memiliki kontraindikasi HBOT. Ada 2 jenis ruangan yaitu ruangan multipel yang dapat digunakan bersamaan dengan pasien lain dan ruangan single yang hanya dapat digunakan oleh 1 pasien saja. Tidak perlu penggunaan masker maupun sarung tangan dalam ruangan, kecuali pada kasus keracunan karbonmonoksida. Di dalam ruangan pasien dapat melakukan aktivitas seperti membaca dan mendengarkan musik. Dosis dan lamanya HBOT disesuaikan dengan kondisi jaringan dan indikasi dilakukannya HBOT. Sebagai contoh, HBOT untuk perawatan luka dilakukan sebanyak 10 sesi perawatan, setiap sesi memakan waktu 90 hingga 120 menit (LAKESLA, 2009).
Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2 – 3 ATA (Atmosphere Absolute) dengan pemberian O2 intermitten akan mencegah keracunan O2 dan memberikan efek samping seminimal mungkin. Efek samping yang ditimbulkan biasanya berupa mual, kedutan pada otot wajah dan perifer, maupun kejang (LAKESLA, 2009).
Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Kelainan yang merupakan indikasi terapi oksigen hiperbarik dikelompokkan menurut kategmengorisasi yang dibuat oleh Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and Hyperbaric Medical Society yang telah mengalami revisi pada tahun 1986 dan 1988 (LAKESLA, 2009).
Penyakit-penyakit yang termasuk kategori yang diterima adalah sebagai berikut:
- Aktinomikosis
- Emboli udara
- Anemia karena kehilangan banyak darah
- Insufisiensi arteri perifer akut
- Infeksi bakteri
- Keracunan CO
- Keracunan sianida
- Penyakit dekompresi
- Gas gangrene
- Cangkok kulit
- Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob
- Osteoradinekrosis
- Radionekrosis jaringan lunak
- Sistitis akibat radiasi
- Ekstrasi gigi pada rahang yang diobati dengan radiasi
- Kanidiobolus koronotus
- Mukomikosis
- Osteomielitis
- Ujung amputasi yang tidak sembuh
- Ulkus diabetic
- Ulkus stasis refraktori
- Tromboangitis obliterans
- Luka tidak sembuh akibat hipoperfusi dan trauma lama
- Inhalasi asap
- Luka bakar
- Ulkus yang terkait vaskulitis (LAKESLA, 2009).
Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
- Kontraindikasi Absolut
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut (LAKESLA, 2009).
Keganasan yang belum diobati atau keganasan metastatik akan menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan dan termasuk kontraindikasi absolut, itulah anggapan orang-orang selama bertahun-tahun. Namun penelitian-penelitian yang dikerjakan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sel-sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik. Penderita keganasan yang diobati dengan oksigen hiperbarik biasanya secara bersama-sama juga menerima terapi radiasi atau kemoterapi (LAKESLA, 2009).
Kehamilan juga merupakan kontraindikasi absolut karena tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus, sehingga secara teoritis pada bayi prematur dapat terjadi fibroplasia retrolental. Namun pada penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa komplikasi ini nampaknya tidak terjadi (LAKESLA, 2009).
- Kontraindikasi Relatif
Beberapa kondisi yang memerlukan perhatian jika akan melakukan terapi hiperbarik Tetapi bukan merupakan kontraindikasi absolut adalah:
- Infeksi saluran napas bagian atas
- Sinusitis kronis
- Penyakit kejang
- Emfisema yang disertai retensi CO2
- Panas tinggi yang tidak terkontrol
- Riwayat pneumothorax spontan
- Riwayat operasi dada
- Riwayat operasi telinga
- Infeksi virus
- Spherositosis kongenital
- Riwayat neuritis optik
- Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan atau pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009).
Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Oksigen hiperbarik relatif aman walaupun ada beberapa resiko yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dan hiperoksia. Efek yang paling sering adalah myopia yang progresif dan reversible yang disebabkan karena deformasi fisik lensa. Toksisitas pada CNS berupa kejang mungkin terjadi dan telah dibuktikan oleh Paul Bert pada tahun 1878. Barotrauma sinus dan middle ear dapat dicegah dengan ekualisasi tekanan atau menggunakan tympanostomy tubes dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephedrine. Barotrauma telinga dalam jarang terjadi tetapi ruptur pada timpani dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang permanen, tinnitus dan vertigo. Barotrauma paru dan penumothorax jarang terjadi, terutama disebabkan sebelumnya ada riwayat penyakit paru. Selain itu efek samping psikologis seperti claustrophobia sering terjadi (Bell et al, 2004).
Efek Fisiologis Oksigen Pada Penyembuhan Luka
Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan respon imun host dengan meningkatkan aktifitas bakterisidal leukosit, neutrophile oxidative burst dan leukocyte killing dari organisme aerob gram negatif. Oksigen bersifat sitotoksik terhadap bakteri anaerob. Sehingga mungkin menurunkan morbiditas, mortalitas dan kebutuhan untuk intervensi operasi pada berbagai macam infeksi yang ternekrotisasi. Oksigen hiperbarik juga meningkatkan transport antibiotik amynoglycoside (gentamycin, tobramycin, amykacin dan lain-lain) melewati dinding sel bakteri, meningkatkan efektivitas dari obat-obat ini yang mungkin dapat dihambaT secara in vivo oleh keadaan hipoksia yang banyak terjadi pada pasien dengan luka yang parah (Falabella, 2005)
Terapi oksigen hiperbarik mengurangi edema lokal jaringan melalui vasokontriksi arterial disamping juga mengatur pengiriman oksigen yang lebih banyak ke jaringan luka. Oksigen hiperbarik mencegah post iskemik reperfusion injury yang dimediasi oleh leukosit dengan cara mencegah perlekatan leukosit pada dinding venul sehingga membatasi produksi radikal bebas oksigen yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol. Selain itu, sudah sejak lama hiperbarik diketahui dapat meningkatkan deposisi kolagen di jaringan hipoksia sebaik meningkatkan angiogenesis (Falabella, 2005).
Oksigen dan Sel Radang
Perlekatan leukosit pada endotel pembuluh darah merupakan langkah awal yang penting dalam proses inflamasi, akan tetapi hal ini dapat membawa konsekuensi yang destruktif. Adherence molecule yang tampak, akan memperantarai interaksi antara sel-sel endothelium dan inflamasi. Sepasang receptor-counterreceptor ligand menghubungkan adesi, sehingga keterikatan antara ligand ini merupakan langkah penting yang menimbulkan injuri organ setelah aliran darah dihambat disebut injuri reperfusi. Mekanisme pemanfaatan Oksigen hiperbarik dalam injuri reperfusi dapat menyebabkan terhambatnya perlekatan leukosit pada endothelium dari sel basal membrane vaskuler yang mengalami reperfusi. Oksigen hiperbarik dapat mencegah injuri melalui penghambatan keterikatan leukosit pada endotel pembuluh darah dan lebih terkait dengan PMN daripada sel endothelium (Herawati, 2002)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Silver, pada kelinci yang menghirup udara ruangan, sel-sel radang terkumpul pada daerah luka pada keadaan yang relatif hipoksia. Ketika difusi oksigen ditingkatkan, penggunaan oksigen oleh sel radang juga meningkat. Kulit yang normal mengkonsumsi oksigen relatif sedikit sekitar 0,7ml/100ml aliran darah pada perfusi normal. Sedangkan sel-sel yang luka mengkonsumsi oksigen hanya sedikit lebih banyak daripada sel normal, produksi energi sebagian besar melalui hexose-monophosphate shunt (glukosa + oksigen laktat +superoksida) (Falabella, 2005).
Meningkatnya oksigen tidak digunakan untuk metabolisme seluler, tetapi lebih untuk dikonsumsi oleh sel-sel radang untuk mempercepat perbaikan jaringan dan melawan infeksi. Sel radang menggunakan oksigen sebagian besar untuk memproduksi oksidan. Oksigen sudah diketahui sangat penting untuk sintesis kolagen, epitelisasi, angiogenesis dan bacterial killing. Oksigen dibutuhkan pada konsentrasi yang relative tinggi untuk melakukan proses-proses tersebut dan oksidan adalah sinyal utama untuk growth factors (faktor pertumbuhan) yang mengatur proses penyembuhan luka (Falabella, 2005).
- Bell, C.N.A, Gill. 2004. Hyperbaric Oxygen: its uses, mechanisms of action and outcomes. Oxford Journals, no 397, pp.385-395
- LAKESLA. 2009. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. Surabaya: Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL.
- Zamboni, William A. 2003. Hyperbaric Oxygen and Wound Healing. 30: 67-75. Las Vegas: Elsevier Science.
- Fallabela, Anna. Kirsner, Robert et al. 2005. Wound Healing (Basic and Clinical Dermatology). Boca Raton: Taylor & Francis.
- Herawati, Etty. 2002. Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Sel Radang Akibat Luka Bakar Karena Air Panas. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.