TENAGA MEDIS JEMBATAN PENGHUBUNG MENUJU MDGs
Oleh : Dsk Made Diah Purnama Sari
Dalam masyarakat umumnya, kelaparan melambangkan kemiskinan. Perang melawan kelaparan telah mengamuk selama beberapa dekade, namun akhirnya tetap keluar dari pandangan.Orang miskin terus menemukan diri mereka sepenuhnya bergantung pada pemberian makanan, meskipun miliaran dolar telah dipompa ke dalam upaya untuk membantu mereka. Sementara itu benar untuk melawan kelaparan, mungkin, cara melawan telah dilakukan sejauh ini belum yang terbaik.Solusi berkelanjutan, melengkapi keluarga miskin dengan sarana untuk menghasilkan makanan yang cukup untuk makan sendiri, dan menjual kelebihan apapun untuk orang lain, harus jalan.
Kota besar seperti Jakarta, Surabaya ,Denpasar dan kota –kota besar lainnya banyak kita jumpai anak-anak di bawah umur sudah bekerja layaknya orang dewasa seperti: pedagang asongan,tukang koran ,tukang pikul barang, pembantu rumah tangga,peminta-minta.dan yang paling disayangkan menjadi penjaja sex komersial (WTS) dan banyak lagi contoh-contoh yang lainnya yang lebih memprihatinkan bagi kita semua. Pekerjaan ini mereka lakukan seolah olah tidak ada lagi pilihan yang lainnya yang lebih layak mereka lakukan.
Setelah ditelusuri lebih jauh melalui berbagai pengamatan dan informasi-informasi dari beberapa sumber, termasuk wawancara orang-orang tersebut baik secara langsung dengan penulis atau dengan pihak-pihak media cetak, ternyata hal ini mereka lakukan karena semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menafkahi orangtuanya, ditengah-tengah keadaan ekonomi keluarganya yang serba kekurangan, bahkan anak seperti ini justru menjadi tulang punggung keluarganya.Anak- anak seperti ini tidak merasa canggung dan kadang tidak pernah menyerah ,walaupun berbagai tantangan yang mereka hadapi.Kadang harus berhadapan dengan panas teriknya matahari ,guyuran hujan, haus dan lapar, terkadang harus menghadapi kerasnya perlakuan orang-orang Ibu Kota ,yang tidak mengenal prikemanusiaan, mereka lakoni semuanya dengan tanpa pernah menyerah.
Sesuatu yang menarik ternyata, banyak dari kita masih hidup di sekitar garis kemiskinan.Sebenarnya,banyak dari kita yang sangat rentan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan atau ketika harga hasil panen beranjak turun. Kita pun bisa tiba-tiba berada di bawah garis kemiskinan akibat meningkatnya pengeluaran karena melonjaknya harga bahan pokok, atau transportasi.Angka kemiskinan 2010 menurut BPS adalah 31,2 juta jiwa atau 13,33 persen. Namun, angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari yang miskin absolut.
Jika menggunakan standar garis kemiskinan yang berlaku internasional, yakni pendapatan 2 dollar AS per hari, jumlah penduduk miskin masih 42 persen atau hampir 100 juta lebih. Ini hampir sama dengan total penduduk Malaysia dan Vietnam digabungkan. Artinya, Indonesia adalah rumah sebagian besar penduduk miskin Asia Tenggara. Kemiskinan bisa kita lihat sehari-hari di depan mata kita dalam bentuk kian luasnya daerah miskin dalam peta kemiskinan, masih banyaknya daerah tertinggal, memburuknya angka kematian ibu dan bayi, masih tingginya kasus kurang gizi dan busung lapar, tingginya angka anak putus sekolah, masih sangat besarnya jumlah mereka yang dianggap layak menerima raskin dan Jamkesmas yang 70 juta lebih orang.
Selain itu tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi, sebagaimana yang kita ketahui pengangguran merupakan salah satu masalah yang sulit dipecahkan di Indonesia. Banyaknya sumber daya manusia di Indonesia tidak dibarengi dengan banyaknya jumlah lapangan kerja guna menampung para tenaga kerja.Hal ini lah yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia karena semakin banyak jumlah pengguran maka angka kemiskinan pun semakin tinggi.
Yang penulis sayangkan ialah dengan kondisi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah yang dimiliki oleh Indonesia kemiskinan seharusnya bukan lagi menjadi masalah besar di negara yang sedang berkembang. Kemiskinan tidak hanya berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat kriminalitas tetapi juga berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakatnya .
Bahkan di Indonesia ada suatu kampung yang hampir sebagian besar penduduknya mengalami penyakit kekurangan gizi serta keterbelakangan mental. Bahkan kampung tersebut dijuluki kampung “autis” karena hampir sebagian waranya mengalami kelainan mental. Setelah di telurusuri lebih dalam ternyata kejadian ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh kelainan gen dari orang tua mereka melainkan dipengaruhi juga oleh keadaan ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Jumlah penghasilan yang tidak seberapa ditambah biaya hidup yang tidak sedikit membuat mereka harus bertahan dengan keadaan yang bisa dibilang sangat tidak layak. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan asupan gizi di tambah dengan keadaan ekonomi mereka membuat penyakit ini semakin buruk karena setiap anak yang lahir perlakuan yang mereka lakukan sama yaitu memberikan asupan gizi yang sangat jauh dari kata cukup.
Disinilah sebenarnya diperlukan peran serta tenaga medis yang handal guna memberi penyuluhan serta pengertian kepada masyarakat akan pentingnya asupan makanan yang bergizi. Peran serta dari pemerintah pun tidak kalah pentingnya sebagai ujung tombak suksesnya pemberantasan kemiskinan serta kelaparan. Pemerintah berkewajiban menciptakan tenaga-tenaga medis yang handal guna membantu para masyarakat yang kurang mampu agar tetap mendapatkan fasilitas kesehatan yang selayaknya. Dengan adanya tenaga medis yang siap di tempatkan di seluruh pelosok negeri maka masalah kelaparaan setidaknya bisa di kurangi karena tenaga medis dapat memberikan penyuluhan serta dapat membantu para masyarakat untuk lebih mengerti akan pentingnya asupan gizi . Kualitas manusia Indonesia, khususnya generasi muda sangat menentukan kualitas masa depan bangsa Indonesia. Karena mereka yang akan menentukan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pemuda dapat menjadi aset bangsa atau menjadi beban bangsa. Bagi yang cerdas dan sehat akan menjadi aset dan berpotensi memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan bangsa, sedangkan yang tidak sehat akan sulit bagi mereka untuk mengembangkan potensi yang mereka tidak memiliki.