P.N. Harijanto
Divisi Penyakit Tropik & Infeksi, Bagian Penyakit Dalam,
FK UNSRAT Manado/ RSU Bethesda Tomohon
Penyakit Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium dan disebarkan melalui gigitan nyamuk, dan sudah ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu. Akan tetapi penyakit ini masih merupakan penyakit yang mendapat perhatian oleh WHO agar dapat dikendalikan melalui gerakan yang disebut sebagai ‘ Roll Back Malaria (RBM)”. Salah satu butir pelaksanan dari RBM ialah diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk dapat melakukan eradikasi malaria, termasuk usaha menurunkan morbiditas dan mortalitas infeksi malaria.
Dala tahun 1997 – 2001 terjadi peningkatan kasus malaria di seluruh wilayah Indonesia yaitu peningkatan amat besar 10 kali di Jawa dan Bali dan kenaikan 4 – 5 x pada kasus di luar Jawa dan Bali. Peningkatan kasus ini disertai dengan peningkatan kasus resistensi terhadap obat standar yaitu klorokuin CQ) dan SP (Sulfadoksin- Pirimetamin ) pada hampir seluruh propinsi di Indonesia. Pada beberapa propinsi resistensi tersebut sudah melebihi 25 % sehingga obat-obat lama tidak dapat dipakai lagi. Pada beberapa propinsi telah dilakukan penelitian pemakaian obat kombinasi standar yaitu Klorokuin dengan Sulfadoksin pirimetamin dan hasilnya tidak bermanfaat. Oleh karenanya perlu segera dilakukan langkah –langkah pengobatan baru malaria di Indonesia
Penyebab mortalitas ialah infeksi Plasmodium Falciparum (Pf) yang dapat memberikan manifestasi malaria berat baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Kejadian malaria berat masih merupakan ancaman terhadap kehidupan manusia dimana mortalitas masih cukup tinggi dan bervariasi dari 10 – 50 % tergantung dari kemampuan diagnosa dan pelayanan kesehatan untuk pengobatan yang adekuat. Masalah lain terhadap tingginya mortalitas ialah keterlambatan diagnosa dan penanganan baik dari pasien maupun tenaga medik, serta resitensi terhadap obat-obat malaria.
1. PENATALAKSANAAN MALARIA RINGAN / TANPA KOMPLIKASI :
Berdasarkan pertemuan komisi ahli malaria (KOMLI) strategi pengobatan malaria secara nasional telah direkomendasikan untuk dirubah. Hal ini disebabkan sudah lebih dari 25 % preopinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Perubahan mendasar ini sesuai dengan rekomendasi dari WHO untuk secara global di dunia telah menggunakan obat golongan artemisinin yang di kombinasikan dengan obat lain. Pengobatan tersebut disebut Artemisinin base Combination Therapy ( ACT )
a. Pengobatan ACT ( Artemisinin Combination Therapy )
Golongan Artemisinin :
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai Qinghaosu . Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Hasil beberapa penelitian bahwa pemakaian obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka di rekomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat anti-malaria lain,. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/ injeksi dan suppositoria.
Tabel 1. Obat-obat golongan artemisinin
Nama Obat
|
Kemasan/ tablet/cap
|
Dosis
|
|
1.
|
Artesunat
|
Oral : 50 mg/ 200mg
|
Hari I : 2 mg/kg BB, 2 x sehari, hari II –V : dosis tunggal
|
Injeksi im/iv : 60 mg/amp
|
2,4 mg/kg hari I; 1,2 mg/kg/ hari minimal 3 hari / bisa minum oral
|
||
Suppositoria : 100 / 200 mg/sup
|
1600 mg/ 3 hari atau 5 mg/kg/ 12 jam
|
||
2
|
Artemeter
|
Oral : 40mg/ 50mg
|
4mg/kg dibagi 2 dosis hari I; 2mg/kg/ hari untuk 6 hari
|
Injeksi 80 mg/amp
|
3,2 mg/kg BB pada hari I; 1,6 mg/kg selama 3 hari/ sampai bisa minum oral
|
||
3
|
Artemisinin
|
Oral 250mg
|
20mg/kg dibagi 2 dosis hrI; 10mg/kg untuk 6 hari
|
Suppositoria: 100/200/300 / 400/ 500mg/supp
|
2800mg/ 3 hari; yaitu 600 mg dan 400mg hari I dan 2 x 400 mg , 2 hari berikutnya
|
||
3.
|
Dihidroartemisinin
|
Oral : 20/60/80 mg
|
2mg/kg BB/dosis 2 x sehari hari I dan 1 x sehari 4 hari selanjutnya
|
Suppositoria : 80 mg/ sup
|
|||
4
|
Artheether
|
Injeksi i.m : 150mg/amp
|
b-arteeher (artemotil) : 4,8 dan 1,6 mg/kg 6 jam kemudian dan hari I; 1,6 mg/kg 4 hari selanjutnya
|
Penggunaan ACT ( Artemisinin base Combination Therapy )
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy ( ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap ( fixed dose ) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose ). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah ” Co-artem” yaitu kombinasi artemeter (20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah dihidroartemisinin (40mg) + piperakuin (320mg) yaitu ” Artekin ”. Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal 2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam , masing-masing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunate + mefloquine
2. Artesunate + amodiaqine
3. Artesunate + klorokuin
4. Artesunate + sulfadoksin-pirimetamine
5. Artesunate + pyronaridine
6. Artesunate + chlorproguanil-dapsone (CDA/ Lapdap plus )
7. Dihidroartemisinin+ Piperakuin + Trimethoprim ( Artecom )
8. Artecom + primakuin ( CV8)
9. Dihidroartemisinin + naphthoquine
Dari kombinasi diatas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate + amodiakuin dengan nama dagang ” ARTESDIAQUINE” atau Artesumoon. Obat Artesdiaqune tersedia untuk program yang saat ini diedarkan pada 10 propinsi. Obat ini dalam sediaanya masih terpisah yaitu tablet yang kecil adalah artesunate 50 mg sebanyak 12 tablet; dan amodiaquine 200 mg tablet yang besar sebanyak 8 tablet. Dikemas dalam satu doos. Dosis untuk orang dewasa yaitu artesunate (50mg/ tablet) 200mg (4 tablet) pada hari I – III . Untuk Amodiaquine(200mg/tab) dosisnya adalah 25 -30 mg/kg BB selama 3 hari yaitu 3tablet hari I dan II dan 11/2 tablet hari III atau 10 mg/kg BB Hari I & II dan 5 mg/kg BB pada hari III.
Tabel 2 : Dosis pemakaian Artesdiaquine berdasarkan umur :
Obat/Umur
|
Hari
|
1-5 th
|
5-10th
|
10-15th
|
>15th
|
Artesunate
( 50 mg)
|
H1
|
1
|
2
|
3
|
4
|
H2
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
H3
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Total tablet
|
3
|
6
|
9
|
12
|
|
Amodiaquine
(200mg)
|
H1
|
1
|
1 ½
|
2 ½
|
3
|
H2
|
½
|
1 ½
|
2 ½
|
3
|
|
H3
|
½
|
1
|
1
|
1 ½
|
|
Total tablet
|
2
|
4
|
6
|
7 ½ – 8
|
Artesumoon obat yang sudah diregistrasikan dan akan beredar di apotik, ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai untuk dewasa tiap blister/ hari ( artesunate+ amodiakuin) diminum selama 3 hari..
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak ( dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemisone ataupun trioxalones sintetik.
Catatan :
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin HARUS disertai/ dibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis atau tidak ada hasil pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.
Pengobatan malaria dengan obat non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin ( kegagalan masih kurang 25%). Oleh karenanya dibeberapa daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin – pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan.
Obat non – ACT ialah :
1. Klorokuin difosfat/ sulfat, 250 mg garam ( 150 mg basa ), dosis 25 mg basa/ kg BB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg / kg BB pada hari III. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari III. Dapat dipakai untuk P. Falciparum maupun P. Vivax.
2. Sulfadoksin-Pirimetamin(SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal ( 1x). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk P.vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP atau obat ACT atau Kina.
3. Kina sulfat : ( 1 tablet 220 mg ), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/ kg BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P. Falciparum maupun P. Vivax. Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai.
4. Primakuin : ( 1 tablet 15 mg ), dipakai sebagai obat pelengkap/ pengobatan radical terhadap P. Falciparum maupun P. Vivax. Pada P. Falciparum dosis nya 45mg (3tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P. Vivax dosisnya 15mg/ hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit ( anti-relaps).
Penggunan obat kombinasi non-ACT
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut :
a. Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin
b. Kombinasi SP + Kina
c. Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin
d. Kombinasi SP + Doksisiklin/ Tetrasiklin
e. Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin
f. Kina + Clindamycin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon pengobatan sebab perkembang an resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.
B. P EMANTAUAN RESPON PENGOBATAN:
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk dapat mendeteksi kegagalan pengobatan malaria secara dini, sehingga mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas. Penderita diminta datang kontrol pada hari ke 2 atau 3 untuk diperiksa kembali dan dibuat sediaan darahnya dan pemeriksaan klinis dan pengukur an temperatur. Dikatakan gagal pengobatan, apabila terdapat salah satu kriteria berikut (WHO, 2001) :
a. Gagal pengobatan dini (early treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi berikut ini pada 3 hari pertama pengobatan :
– Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1, 2, 3.
– Parasitemia pada hari ke 2 > hari 0.
– Parasitemia pada hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
– Parasitemia pada hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 o C.
b. Gagal pengobatan kasep (late treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi berikut ini antara hari ke 4 s/d ke 28, dan dibagi dalam 2 sub grup :
Late Clinical (and Parasitological) Failure (LCF) :
– Parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) dengan komplikasi malaria berat setelah hari ke 3.
– Suhu aksila > 37,5 o C disertai parasitemia antara hari ke 4 s/d ke 28.
Late Parasitological Failure (LPF) :
Ditemukan parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) pada hari ke 7, 14 atau 28 tanpa disertai peningkatan suhu aksila < 37,5 oC.
C. TATALAKSANA MALARIA BERAT
Manifestasi malaria berat sangat beraneka ragam dan WHO melalui grup konsultasi malaria mendefinisikan malaria berat sebagai : Infeksi plasmodium falsiparum dengan parasitemi > 5 % dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut : malaria cerebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang; anemia berat ( Hb < 5 gr% atau hematokrit <15 % ) pada keadaan parasit > 10.000/uL; gagal ginjal akut ( kreatinin > 3 mg% dan urine kurang dari 400 ml/ 24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg BB pada anak-anak ); edema paru / ARDS; hipoglikemi : gula darah < 40 mg%; gagal sirkulasi : tekanan sistolik < 70 mmHg ( anak < 50 mmHg); hipertermi : > 40 C; perdarahan/ gangguan koagulasi; kejang lebih dari 2 kali/ 24 jam; asidosis dengan pH< 7.25/ plasma bikarbonat < 15 mmol/L; hemoglobinuri (bukan karena obat anti malaria pada kekurangan G-6-PD); diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler. Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat ialah gangguan kesadaran ringan ( obtundasi yang tak bisa dibangunkan); kelemahan otot (tak bisa duduk/ berjalan); hiperparasitemia > 5 % pada non-immune ( > 20% pada semua orang) ; ikterik ( bilirubin > 3 mg% bila disertai gagal organ lain/ hiperparasitemia); hiperpireksia (temperatur rektal > 40 0 C).
Penanganan malaria berat
Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan dalam melakukan diagnosa seawal mungkin. Sebaiknya penderita yang diduga menderita malaria berat dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat. Prinsip penanganan malaria berat ialah :
A. Tindakan UMUM/ tindakan perawatan
B. Terhadap parasitemianya yaitu dengan:
1. Pemberian obat anti malaria
2. Exchange transfussion (transfusi ganti)
C. Pemberian cairan / nutrisi
D. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ yang mengalami komplikasi.
TINDAKAN UMUM (Tindakan Perawatan di bilik perawatan intensif (ICU)
a. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi.
b. Hindarkan trauma : dekubitus, jatuh dari tempat tidur
c. Hati-hati komplikasi: kateterisasi, dekubitus, edema paru karena over hidrasi
d. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap 1/2 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan.
e. Monitoring : ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot.
f. Baringkan/ posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
g. Sirkulasi: hipotensi–>posisi Trendenlenburg’s, perhatikan warna dan temperatur kulit
h. Cegah hiperpireksi:
i. tidak pernah memakai botol panas/ selimut listrik
ii. kompres air/ air es/ alkohol
iii. kipas dengan kipas angin/ kertas
iv. baju yang tipis/ terbuka
v. cairan cukup
i. Pemberian cairan : oral, sonde, infus, maksimal 1500 ml.
i. cairan masuk diukur jumlah per 24 jam
ii. cairan keluar diukur per 24 jam
iii. kurang cairan akan memperberat fungsi ginjal
iv. kelebihan cairan menyebabkan edema paru
j. Diet : porsi kecil & sering, cukup kalori, karbo hidrat dan garam.
k. Perhatikan kebersihan mulut
l. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi.
m. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan .
n. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab.
o. Perawatan anak :
i. hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin.
ii. letakkan posisi kepala sedikit rendah.
iii. posisi dirubah cukup sering.
iv. pemberian cairan dan obat harus hati-hati.
Pemberian obat anti malaria pada malaria berat .
Pemberian obat anti malaria(OAM) pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat parasitemi. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per parenteral ( intravena per infus/ intra musuler) yang berefek cepat dan kurang terjadinya resistensi.
1. Derivat ARTEMISININ : Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten. Ada 3 jenis:
a. Artesunate dalam bentuk puder, dikemas dengan pelarutnya dapat diberikan secara i.v dan ada yang diberikan i.m; Baik i.v maupun i.m pada study di Afrika pada anak-anak memberikan klirens parasit yang sama adekuat. Pada beberapa studi dalam jumlah kasus terbatas untuk membandingkan dengan kina mempunyai efek klirens parasit lebih cepat walaupun perbedaan mortalitas tidak berbeda bermakna. Keuntungan ialah efek hipoglikemi yang kurang dan efek kardiotoksik yang juga minimal. Masih sedang dilakukan uji klinis dalam skala besar untuk menilai efek mortalitas dalam jangkauan angka statistic yang bermakna.
Dosis pemakaian artesunate ialah : 2,4 mg/kg BB pada hari pertama tiap 12 jam ( jam 0 dan jam 12 ), kemudian dilanjutkan dosis 2,4 mg/kg BB/hari pada hari ke-2 – 7 ( mulai jam ke-24). Bila penderita sadar pemberian parenteral diganti oral dengan dosis 2 mg artesunate/kgBB/hari sampai hari ke-7. Untuk mencegah terjadinya recrudensi ditambahkan doksisiklin 2 x 100 mg hari selama 7 hari atau tetrasiklin 3 x 500 mg/ hari selama 7 hari. Untuk penderita ibu hamil dan anak-anak digunakan clindamycin 2 x 150 mg/hari selama 7 hari.
b. Artemeter dalam larutan minyak dan diberikan i.m. Dalam penelitian di beberapa tempat di Indonesia artemeter untuk malaria berat memberikan respon yang cukup baik yang tidak berbeda dengan pengobatan kina, hanya pada penggunaan artemeter kurang dijumpai hipoglikemia.
Dosis : Artemeter 3,2 mg/kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis ( tiap 12 jam), diikuti dengan 1,6 mg/kgBB/ 24 jam selama 4 hari. Pada dua penelitian yang paling akhir meliputi skala besar di Vietnam dan Afrika, dilaporkan dengan pengobatan artemeter i.m dapat mempercepat hilangnya parasit tetapi memperpanjang masa koma dan tidak berbeda mortalitasnya dibandingkan dengan pengobatan kina.
c. Artemisinin dalam bentuk suppositoria, yang ada ialah artesunat, dihidroartemisinin dan artemisinin. Bentuk suppositoria dapat dipakai sebagai obat malaria berat khususnya pada anak-anak, kasus muntah-muntah atau keadaan lain dimana tidak memungkinkan pemakaian parenteral. Beberapa studi di Thailand maupun Afrika, penggunaan artesunate suppositoria sama efektif dengan pengobatan parenteral.
2. .Kina (Kina HCl/ Kinin Antipirin )
Kina merupakan obat anti-malaria yang sangat efektif untuk semua jenis plasmodium dan efektif sebagai sizontosida maupun gametosida. Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat terhadap P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin, dapat diberikan dengan cepat (i.v) dan cukup aman.
Cara pemberian dan dosis:
a. Dosis loading dengan 20 mg/kgBB Kina HCl dalam 100-200 cc cairan 5% Dextrose ( atau NaCl 0,9%) selama 4 jam, dan dilanjutkan dengan 10 mg/Kg B.B dilarutkan dalam 200 cc 5 % dektrose diberikan dalam waktu 4 jam, selanjutnya diberikan dengan dosis yang sama diberikan tiap 8 jam. Apabila penderita sudah sadar, kina diberikan peroral dengan dosis 3x 10 mg/kg BB/ tiap 8 jam selama 7 hari dihitung dari pemberian hari I pemberian parenteral. Dosis loading tidak dianjurkan untuk penderita yang telah mendapat kina atau meflokuin 24 jam sebelumnya, tidak diberikan pada usia lanjut atau penderita dengan EKG dijumpai pemanjangan Q-Tc interval ataupun aritmia.
b. .Digunakan dosis tetap 500 mg Kina HCl ( dihitung BB rata-rata 50 Kg) dilarutkan dalam cairan 5% Dextrose dan diberikan selama 6 – 8 jam berkesinambungan tergantung kebutuhan cairan tubuh. Pada penelitian di Minahasa ternyata dosis awal 500 mg/ 8 jam per infus memberikan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dosis awal 1000 mg. Cara pemakaian ini lebih sederhana karena tidak memerlukan pemakaian mikro-drips.
c. Kina dapat diberikan secara intramuskuler bila melalui infus tidak memungkinkan. Dosis loading 20 mg/Kg BB diberikan i.m terbagi pada 2 tempat suntikan, kemudian diikuti dengan dosis 10 mg/Kg BB tiap 8 jam sampai penderita dapat minum per oral.
3. Kinidin: Bila kina tidak tersedia maka isomernya yaitu kinidin cukup aman dan efektif sebagai anti malaria. Dosis: loading 15 mg basa/kg B.B dilarutkan dalam 250 cc cairan isotonik diberikan dalam 4 jam, diteruskan dengan 7,5 mg basa/kg B.B dalam 4 jam, tiap 8 jam ,dilanjutkan per oral setelah sadar.
Catatan : – Kinidin efektif bila sudah terjadi resistensi terhadap Kina.
– Kinidin lebih toksik dibandingkan Kina.
– Kinidin juga menimbulkan hipoglikemia
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian kina:
1. Kina tidak diberikan intra-vena (i.v) bolus karena efek toksik pada jantung dan saraf. Apabila harus diberikan i.v caranya dengan mengencerkan dengan 30-50 ml cairan isotonis dan diberikan i.v lambat (dengan pompa infus)selama 30 menit.
2. Pemberian Kina dapat diikuti dengan terjadinya hipoglikemi karenanya perlu diperiksa gula darah/ 8 jam.
3. Pemberian dosis diatas TIDAK BERBAHAYA bagi wanita hamil.
4. Bila pemberian sudah 48 jam dan belum ada perbaikan, dan atau penderita dengan gangguan fungsi ginjal dosis dapat diturunkan setengahnya (30-50%).
5. Pemberian dosis loading diatas memerlukan pengamatan yang cermat, sebaiknya digunakan mikrodrip untuk menyesuaikan dengan kebutuhan cairan.
4. Klorokuin
Klorokuin masih merupakan OAM yang efektif terhadap P. falciparum yang sensitif terhadap klorokuin. Keuntungan tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak mengganggu kehamilan. Dengan meluasnya resistensi terhadap klorokuin, obat ini sudah jarang dipakai untuk pengobatan malaria berat.
Dosis loading : klorokuin 10 mg basa/Kg B.B dilarutkan 500 ml cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dan dilanjutkan dengan dosis 5 mg basa/ Kg BB per infus selama 8 jam diulang 3 kali ( dosis total 25 mg/Kg BB selama 32 jam)
Bila cara i.v per infus tidak memungkinkan dalam diberikan secara intra muskuler atau sub-kutan dengan cara:
* 3,5 mg/ Kg BB kloroluin basa tiap 6 jam interval atau,
* 2,5 mg/ Kg BB klorokuin basa tiap 4 jam.
Bila penderita sudah dapat minum oral segera pengobatan parenteral dihentikan biasanya setelah 2 x pemberian parenteral.
Exchange Transfusion (transfusi ganti)
Tindakan exchange transfusion dapat menurunkan secara cepat pada keadaan parasitemia. Pada malaria berat tindakan transfusi ganti berguna untuk : mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin hasil parasit dan metabolismenya (sitokin & radikal bebas) dan memperbaiki anemianya.
· Indikasi transfusi tukar (exchange blood transfusion/EBT) adalah :
– Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
– Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice (bilirubin total > 25 mg%) dan anemia berat.
– Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
– Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/(skizon) pada darah perifer)
Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis) dan ada fasilitas untuk melakukan dan memonitor prosedur transfusi ganti.
Pemberian Cairan dan Nutrisi
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan timbulnya nekrosis tubuler akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang, penderita juga sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi. Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, misalnya:
Maintenance cairan diperhitungkan berdasar BB, misal untuk BB 50 kg dibutuhkan cairan 1500 cc.
Derajat dehidrasinya: dehidrasi ringan ditambah 10 %, dehidrasi sedang ditambah 20% dan dehidrasi berat ditambah 30%. Setiap kenaikan suhu 10C ditambah 10% kebutuhan maintenence.
Monitoring pemberian cairan lebih akurat bila dilakukan pemasangan CVP line.
Cara diatas tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas/ RS Kabupaten. Sering kali pemberian cairan dengan perkiraan , misalnya 1500 – 2000 cc/ 24 jam dapat sebagai pegangan. Mashaal membatasi cairan 1500 cc / 24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan yang sering dipakai ialah Dextrose 5% untuk menghindari hipoglikemi khususnya pada pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium), dipertimbangan pemberian NaCl bila diperlukan.
Penanganan kerusakan/ gangguan fungsi organ.
1. Tindakan/ pengobatan tambahan pada malaria serebral
Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral. Penanganan/ pencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi. Penanganan kejang dapat dipilih dibawah ini :
a. Diazepam : i.v 10 mg; atau intra-rektal 0,5-1,0 mg/ Kg BB.
b. Paradelhid : 0,1 mg/Kg BB
c. Klormetiazol ( bila kejang berulang-ulang) dipakai 0,8 % larutan infus sampai kejang hilang
d.Fenitoin : 5 mg/Kg BB i.v diberikan selama 20 menit.
e.Fenobarbital
Pemberian fenobarbital 3,5 mg/Kg BB ( umur diatas 6 tahun) mengurangi terjadinya konvulsi.
Anti-TNF dan pentoxifylline dan desferioxamine, prostacyclin, acetylcystein merupakan obat-obat yang pernah dicoba untuk malaria serebral dan tidak terbukti manfaatnya, sedangkan heparin, dextran, cyclosporine, epinephrine dan hiperimunglobulin tidak terbukti berpengaruh menurunkan mortalitas. Kortikosteroid seperti deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria serebral, karena itu seyogyanya TIDAK DIPERGUNAKAN LAGI. Penggunaan steroid justru memperpanjang lamanya koma dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastro-intestinal.
2. Tindakan/ pengobatan pada gagal ginjal akut
Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus 300 – 500 cc N.Salin untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan , kalau produksi urin kurang dari 60 ml/ jam, diberikan furosemid 40-80 mg i.v. Setelah 2 – 3 jam tak ada urin , pertimbangan melakukan dialysis, semakin dini dialysis dilakukan prognosa lebih baik. Bila penderita hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,0 ugr/kg/menit . Kebutuhan protein dibatasi 20 gram/hari dan kalori diberikan dengan diet karbo-hidrat 200 gram/hari. Hemodialisis lebih baik dari peritoneal-dialisis karena efek samping perdarahan dan infeksi. Indikasi dialisis antara lain ialah gejala uremia, gejala kelebihan cairan seperti edema paru atau gagal jantung kongestif, adanya bising gesek perikard, hiperkalemia, asidosis HCO3 < 15 meq/L. Bila terjadi hiperkalemia, diberikan regular insulin 10 unit i.v/ i.m bersama-sama 50 ml dekstrose 40 %, monitor gula darah dan serum kalium. Sebagai pilihan lain dapat diberikan 10 -20 ml kalsium glukonat 10% i.v pelan-pelan. Alternatif lain yaitu resonium A 15 gr/8 jam per oral atau resonium enema 30 gr/8 jam. Bila pemeriksaan kadar kalium darah tak tersedia dapat dilakukan monitoring dengan pemeriksaan elektrokardiografi.
Hipokalemi terjadi 40 % dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3,0 – 3,5 meq/L diberikan KCL per infus 25 meq; kalium 2,0 – 2,9 meq/L diberikan KCL per infus 50-75 meq. Pemberian KCl tidak melebihi 100 meq/ hari dan tidak diberikan i.v bolus. Hiponatremi dapat memberikan penurunan kesadaran. Kebutuhan Natrium dapat dihitung: B.B (kg) x 60 % x Na. defisit (meq/L). Satu liter NaCl 0,9% = 154 meq; 1 gr NaCl puyer = 17 meq. Asidosis (pH <7,15) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering bersama-sama dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat. Kebutuhan Bikarbonat = 1/3 B.B(kg) x defisit bikarbonat = …. ml 8,4 % NaHCO3. Bila pemberian natrium dikuatirkan terjadinya edema paru, dapat diberikan THAM (tris-hydroxymethyl-aminomethan) atau pyruvate dehydrogenase activator dichloroacetate. Dialisis merupakan pilihan terbaik.
3. Tindakan terhadap malaria biliosa
Vitamin K dapat diberikan 10 mg/ hari i.v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vit. K. Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada penderita dengan ikterik yang berat. Hati-hati dengan obat-obatan yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin.
4. Hipoglikemi
Periksa kadar gula darah secara cepat dengan glukometer pada setiap penderita malaria berat ( malaria serebral, malaria dengan kehamilan, malaria biliosa ). Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg%, maka diberikan 50 ml Dekstrose 40 % i.v dilanjutkan dengan glukosa 10 % per infus. Monitor gula darah tiap 4 – 6 jam, bila gula darah masih dibawah 40 mg%, diulang pemberian bolus 50 ml Dextrose 40%. Bila perlu obat yang menekan produksi insulin seperti diazoxide , glukagon atau somatostatin analogue.
5. Penanganan malaria algid
Tujuan dalam penanganan malaria algid/ malaria dengan syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik. Diberikan cairan infus plasma atau NaCl 0,9% untuk mengembalikan volume darah (1 L cairan mengandung dekstran/ plasma diberikan dalam 1 jam ). Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan denyut jantung, di berikan lagi 1 L cairan isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan. Bila tak berhasil dapat dipakai dopamin dengan dosis 2-4 ampul dopamin ( 1amp = 200 mg) dalam 500 cc Dextrose 5%, dengan tetesan infus mulai 1-2 microgr/Kg/min. Tetesan sampai 5 microgr/Kg/min dopamin menyebabkan vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi ginjal.
6. Penanganan edema paru
Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, oleh karenanya pada malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk mencegah terjadinya edema paru. Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP line . Pemberian cairan melebihi 1500 ml cenderung memberikan edema paru. Bila ada anemi , transfusi darah diberikan perlahan-lahan.( 1 unit darah dalam 4 jam ). Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah duduk, pada edema paru karena kelebihan cairan dapat diberikan diuretika, yaitu furosemide 40 mg i.v. Untuk memperbaiki hipoksia diberikan oksigen konsentrasi tinggi( 6 – 8 L/ menit ) dan bila mungkin dengan bantuan respirator mekanik.
7. Penanganan anemi
Bila anemi kurang dari 5 gr % atau hematokrit kurang dari 15 % diberikan tranfusi darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik dibanding darah biasa. Transfusi sebaiknya pelan-pelan, kalau perlu dengan monitoring CVP line atau dengan memberikan furosemid 20 mg sebelum transfusi.
8. Penanganan terhadap infeksi sekunder/ sepsis
Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi, sepsis yang berasal dari infeksi perut dan infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter. Keadaan ini sering menimbulkan gejala hipotensi. Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau bila mungkin sefalosporin generasi ke III ( ceftizoxim, ceftriaxone atau ceftazidime).
Kepustakaan :
1. Harijanto, PN : Management of Cerebral Malaria. Medical Progress 1999 : 23 -27.
2. Harijanto PN : Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku Kedokteran ECG 2000 : 224 – 236
3. Krogstad DJ :Plasmodium spesies ( Malaria). In. G.L. Mandell, J.E. Bennett, R. Dolin (eds). Mandell, Douglas and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Churchill Livingstone U.S.A. 5th edition, 2000 : 2817 – 2831.
4. Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et all : Clinical experience with intravenous quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003: 34(1): 54 -61
5. Njuguna PW, Newton CR : Management of severe falciparum malaria. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :45- 50
6. Olliaro PL, Taylor WR : Developing artemisinin based drug combinations for the treatment of drug resistant falciparum malaria: A review. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :40-44
7. RBM : ACT : the way foeward for treating malaria. Http://www.rbm.who.int/cmc_upload/ 0/000/015/364/ RBMInfosheet_9.htm
8. Taylor TE, Strickland GT: Malaria. In. Strickland GT. Hunter`s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th edition., WB Saunders, USA, 2000 : 614 – 643
9. Trapuz A, Jereb M, Muzlovic I et all : Clinical review : Severe Malaria. Critical Care 2003 : 7 :315 -323
10. White NJ, Breman JG: Malaria and Babesiosis: Diseases caused by Red Blood Cell Parasites. In Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, et al (eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol.1, 16 th ed. Mcgraw -Hill, New York 2005, pp :1218 – 1233.
11. White NJ. : Malaria. In : Cook GC & Alimuddin Zumla(Ed). Manson’s Tropical Disease, 21th ed.,W.B. Saunders, Cina, 2003 : 1205 – 1295.
12. WHO : A global strategy for malaria control, Geneve, World Health Organization : Geneva, 1993
13. WHO : Severe Falciparum Malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 2000
14. Woodrow CJ, Haynes RK and Krishna S : Review. Artemisinins. Postgraduate Medical Journal 2005; 81:71-78