SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoidus Lam.) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST PADA PUNGGUNG TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR DENGAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA

SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoidus Lam.) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST PADA PUNGGUNG TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR DENGAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA

Penelitian Eksperimental Laboratoris

YOHANES ARGO WICAKSONO
2011.04.0.0115

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lam) termasuk dalam family Pandanus. Tanaman ini banyak ditemukan di Papua, Papua Nugini (Jermia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009). Mereka mengenal buah merah sejak puluhan tahun lalu sebagai makanan berenergi dan minyak makanan, serta digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Ohtsuka dalam Surono et al, 2006). Buah merah berkhasiat mengobati mata rabun, gatal – gatal, luka, pegal, dan capek, menyuburkan rambut, mengobati kanker, dan pernyakit degenerative (jantung, kolesterol, diabetes, darah tinggi) (Limbongan dan Uhi, 2005)
Buah merah mengandung: antioksidan (karotenoid, tokoferol), asam lemak jenuh seperti, asam laurat, palmitat, stearat, dan asam lemak tak jenuh seperti asam palmitoleat, oleat, linoleat, omega-3 dan lain-lain, serat dan kalsium (Inti Aritni P. dan Martanto M., 2009).
Ketika ada kerusakan pada jaringan ikat sangat penting untuk memberikan nutrisi yang tepat untuk sintesis sabut kolagen dan proteoglikan. Sabut kolagen dan proteoglikan disintesis tergantung pada suplai dari nutrient building blocks meliputi asam amino dan gula amino. Vitamin dan mineral juga dibutuhkan dalam reaksi enzimatik untuk membangun kembali jaringan ikat. Beberapa nutrisi yang terlibat pada perbaikan jaringan ikat dan penyembuhan luka yaitu karbohidrat, protein, asam amino, L-arginine, lemak, vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan mineral (zinc, copper, magnesium dan zat besi) (Toni and Wali et al., 2013).
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi tubuh. Kulit berperan sebagai proteksi tubuh seperti pencegahan infeksi dan penguapan berlebihan dari tubuh. Kulit merupakan indra peraba yang meneriman rangsangan nyeri, panas, dingin dan sebagainya (Eroschenko,2003), di dalam jaringan kulit terdapat kelenjar minyak dan kelenjar keringat (Junqueira, 2007).
Seperti halnya bagian tubuh lainnya, pada kulit dapat terjadi kerusakan. Kerusakan pada kulit tersebut antara lain dapat disebabkan karena suhu. Kerusakan jaringan akibat luka bakar bukan hanya bisa terjadi pada permukaan kulit saja, tetapi bisa juga di jaringan bagian bawah kulit. Jaringan yang terbakar akan rusak, sehingga cairan tubuh bisa keluar melalui kapiler pembuluh darah pada jaringan yang mengalami pembengkakan akibat luka bakar. Pada luka bakar yang luas, kehilangan sejumlah besar cairan karena perembesan cairan dari kulit dapat menyebabkan terjadinya syok (Guyton, 2006).
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti air, api, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moennadjat, 2003). Salah satu upaya terapi luka bakar adalah pemberian bahan yang efektif mencegah inflamasi sekunder (Rahim et al., 2011). Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi, memacu pembentukan kolagen dan mengupayakan agar sisa – sisa sel epitel dapat berkembang sehingga dapat menutup permukaan luka (Syamsuhidayat dan Jong, 2004).
Luka bakar merupakan masalah yang serius dalam kesehatan dunia, khususnya di negara berkembang. Pada tahun 2008, lebih dari 410.000 luka bakar terjadi di Amerika Serikat, dengan sekitar 40.000 membutuhkan perawatan rumah sakit. Di India, lebih dari 1 juta orang mengalami luka bakar setiap tahun. Di Indonesia, belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar setiap tahun dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya (Meishinta Fitria, dkk. 2014). Di unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari – Desember 2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh bedah plastic yang dirawat yaitu sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau sekitar 26,41% dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat, kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan (Noer, 2012).
Luka bakar derajat IIA merupakan luka bakar yang mengenai bagian parsial superfisial atau epidermis dan sebagian dermis, ditandai oleh nyeri yang sangat dan timbulnya lepuhan dalam beberapa menit. Luka bakar derajat II ini membutuhkan waktu dua sampai dengan tiga minggu dalam penyembuhannya (Smeltzer & Bare, 2001).
Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar derajat I) membutuhkan penanganan medis segera karena berisiko terhadap infeksi, dehidrasi dan komplikasi serius lainnya (Balletto et al, 2001 dalam Ismail, Sanarto, & Taqiyah). Luka bakar derajar IIA dalam proses penyembuhannya, terdapat empat fase penyembuhan, diantaranya hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodeling (Guo & DiPietro, 2010).
Fase inflamatori ditandai dengan infiltrasi neutrofil, makrofag dan limfosit. Makrofag merupakan sel yang berperan pada inflamasi kronik yang berasal dari monosit dalam sirkulasi. Dalam proses ini, makrofag mempunyai peran multiple, diantaranya melepaskan sitokin, membersihkan sel-sel apoptosis, dan memulai transisi ke fase penyembuhan selanjutnya yaitu fase proliferasi. (Ardhani, 2013).
Proses penyembuhan diawali dengan proses inflamasi diikuti proses fibroplasia, kemudian remodeling jaringan dan pembentukan jaringan parut. Pada proses inflamasi terjadi perubahan vaskuler yang mempengaruhi besar, jumlah, dan permeabilitas pembuluh darah dan perubahan selular yang menyebabkan kemotaksis ke daerah jejas. (Ali Taqwim, 2011)
Pada 24 jam pertama setelah perlukaan mukosa terjadi peningkatan sel jaringan ikat yang baru terutama angioblas tepat di bawah lapisan daerah yang mengalami keradangan. Setelah proses inflamasi berkurang, dilanjutkan dengan proses fibroplasia tahap awal yaitu migrasi dan proliferasi fibroblas di daerah jejas. Pada hari ke-3, sejumlah fibroblas muda terlokalisir pada daerah jejas. Fibroblas dalam jaringan berpindah dari tepi luka sepanjang benang-benang fibrin di luka. Sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai relatif awal pada proses penyembuhan yaitu pada hari ke 3-5 dan berlanjut terus sampai beberapa minggu tergantung ukuran luka. Sintesis kolagen oleh fibroblas mencapai puncaknya pada hari ke-5 sampai hari ke-7. Selanjutnya proses penyembuhan luka memasuki fase remodeling pada hari ke-14. (Ali Taqwim, 2011).
Saat ini antibiotik sering dimanfaatkan untuk penanganan luka bakar, namun demikian penanganan antibiotik sebagai obat luka bakar tersebut masih terkena berbagai kendala umum yang terjadi pada berbagai jenis antibiotik yang ada sekarang salah satunya yaitu resistensi obat. Penggunaan antibiotika yang saat ini dimanfaatkan untuk mencegah infeksi akibat rusaknya jaringan kulit pada penanganan luka bakar, menimbulkan berbagai efek samping dan sepertinya belum tergantikan oleh obat lain (Anonim, 2012).
Buah merah mengandung banyak nutrisi seperti karbohidrat, vitamin, dan asam lemak yang sangat baik untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta mengobati berbagai penyakit degenerative dan luka (Jeremia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009), sehingga pemberian ekstrak buah merah diharapkan mempercepat penyembuhan luka bakar IIa pada tikus jantan (Rattus Norvegicus) galur wistar.

Rumusan Masalah
Apakah pemberian minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) berpengaruh terhadap pembentukan sel fibroblast pada punggung tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar dengan luka bakar derajat IIA?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian buah merah (Pandanus conoideus Lam.) selama 7 hari secara topical terhadap pembentukan jaringan fibroblast pada punggung tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar dengan luka bakar derajat IIA.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui adanya perbedaan pembentukan sel fibroblast sesudah pemberian buah merah (Pandanus conoideus Lam.) selama 7 hari dengan dosis 150mg/kgBB tikus/hari pada punggung tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar dengan luka bakar derajat IIA.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi mahasiswa
Sebagai bentuk aplikatif ilmu kedokteran yang selama ini telah diperoleh.
1.4.2 Bagi tenaga kesehatan dan masyarakat
Memberikan alternatif lain dalam bentuk terapi herbal khususnya untuk terapi kombinasi dalam mengatasi luka bakar.
1.4.3 Bagi universitas hang tuah
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber dan referensi pembelajaran untuk perpustakaan Universitas Hang Tuah khususnya Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

1.4.4 Bagi penelitian lain
Sebagai sumbangan informasi dan ilmu yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Buah Merah (Pandanus conoiedeus Lam.)
Klasifikas Buah Merah
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Pandanales
Famili : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Spesies : Pandanus Conoideus

Gambar 2.1 Pandanus conoideus Lam (http://herbal-buah-merah.blogspot.com).

Gambar 2.2 Pandanus conoideus Lam (http://semangat77.blogspot.com/2012/02/dunia-buah.html)
Nama Asing
Kuansu (Jayapura), Eken (Wamena), Tawi (Lembah Baliem), Red fruit (Inggris), buah merah (Melayu)

Morfologi dan Deskripsi
Tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) termasuk dalam famili Pandanus Tanaman ini banyak ditemukan di Papua, Papua Nugini, dan secara sporadis mulai ditanam di beberapa daerah seperti Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Daerah penyebaran- nya di Papua cukup luas, meliputi lembah Baliem Wamena, Tolikara, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, daerah sekitar kepala burung (Sorong dan Manok- wari), dan beberapa daerah pedalaman (Jeremia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009)
Tanaman buah merah tumbuh subur secara alami di dataran rendah hingga tinggi (Wamaer dan Malik 2009). Masyarakat Papua secara turun-temurun mengolah buah merah menjadi minyak makan atau digunakan langsung sebagai penyedap masakan. Mereka mengenal buah merah sejak puluhan tahun lalu sebagai makanan berenergi dan minyak makan, serta digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Ohtsuka dalam Surono et al. 2006).
Tanaman buah merah dikelompokkan menjadi empat tipe berdasarkan warna, ukuran, dan bentuk buah, yaitu buah merah panjang, buah merah pendek, buah merah kecoklatan, dan buah kuning (Hadad et al, 2005). Namun masyarakat papua membaginya menjadi 14 jenis. Keempat belas jenis tanaman ini umumnya memiliki sosok yang serupa. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk, berat, dan warna buahnya. 14 jenis buah tersebut, yaitu:
Ogi atau Barugum
Buah ogi atau barugum umumnya panjang, besar dan gemuk. Panjang buah ogi bisa mencapai 1,5 meter dengan diameter 10 – 15 cm dan berat 10 kg. Buah merah ini ada sua jenis, yaitu yang bijinya besar – besar dan bijinya kecil – kecil. Umumnya ogi memiliki kandungan minyak yang banyak. Setiap 1 cm2 permukaan kulitnya biasanya mengandung 5 – 8 biji buah. Warna buah ogi yang sudah tua dan tidak segera dipetik, kadang – kadang minyaknya keluar sendiri dari buahnya.

Gambar 2.3 Pandanus conoideus Lam (http://books.google.co.id/books?id=kfQijw2n1rwC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false)

Maller
Buah merah jenis maller umumnya keci, tetapi panjang dan mengandung minyak yang banyak. Diameter buah maller 8 – 10 cm dan panjang 60 – 150 cm. Setiap 1 cm2 permukaanya buah maller biasanya terdapat 10 biji buah. Yang membedakan antara maller dan barugum adalah bentuk maller lebih ramping dibandingkan dengan barugum.
Wonna
Buah merah jenis wonna hampir sama dengan maller. Hanya, bentuknya tidak bulat sempurna. Tetapi lebih berbentuk persegi. Ukuran panjang dan diameter buahnya sama dengan maller.
Bullur, Yanggiru, atau Wanggeni
Bullur, Yanggiru, atau Wanggeni adalah Pandanus conoideus yang berwarna kuning. Bullur ini mempunyai bentuk buah bulat panjang dengan diameter 30 – 40 cm. Walaupun kandungan minyaknya sedikit, bullur memiliki kandungan kimia paling banyak dibandingkan dengan jenis buah merah papua lainnya. Perbedaan kandungan kimia antara bullur dan buah merah lainnya sampai saat ini masih dalam tahap penelitian. Warna minyak bullur lebih bening dibandingkan dengan minyak dari buah merah papua lainnya. Warna minyak dari buah merah bullur ini kuning bening menyerupai minyak kelapa atau minyak goreng.
Kanenen
Kanenen adalah buah merah papua yang memiliki ukuran sedang, lebih kecil daripada ogi, baik diameter buah maupun panjangnya panjang kanenen hanya sekitar 40 cm.
Kwambir dan Kumuluk
Kwambir dan kumuluk adalah jenis buah merah yang memiliki ukuran dan warna menyerupai kanenen. Kandungan minyak kedua jenis buah merah ini juga tergolong banyak dibandingkan dengan jenis buah merah lainnya. Umumnya kedua jenis buah merah ini jarang dijual dan lebih banyak dikonsumsi masyarakat karena rasanya lebih enak. Menurut penduduk di daerah Kaburaga, sayuran yang dicampur minyak, serta pasta kwambir dan kumuluk rasanya lebih gurih dibandingkan dengan minyak dan pasta buah merah lain.
Kwanggok
Kwanggok termasuk jenis buah merah yang besar, pendek, dan bentuknya agak bulat. Berat buah hampir mencapai 9 kg.
Muni
Muni adalah buah merah yang bentuknya agak berbeda dibandingkan dengan lainnya. Bentuk buah muni membsar di bagian pangkal dan meruncing di bagian ujungnya, hampir menyerupai kerucut.
Bomi, Magari, dan Iliruk
Bentuk dan ukuran buah bomi, magari, dan iliruk hampir sama dengan muni.
Yibagaya dan Wigele
Jenis buah merah papua lainnya adalah yibagaya dan wigele. Kedua jenis buah ini berukuran paling kecil dibandingkan dengan lainnya. Bentuknya bulat dan pendek hanya seukuran botol kecap 650 cc dengan berat 600 – 1.000 gram. Karenan ukurannnya yang kecil, buah merah papua ini jarang dieksploitasi dan jika dijual harganya sangat murah(H. Machmud dan Bernard T. Wahyu, 2005)
Tanaman buah merah dapat tumbuh pada dataran rendah hingga ketinggian 2.500 m dari permukaan laut (dpl), dengan kesuburan tanah rendah, masam sampai agak masam (Nainggolan, 2001). Salah satu sentra pengembangan tanaman buah merah di Papua adalah Kecamatan Kelila, yang terletak pada ketinggian 2.500 m dpl, dan tanahnya didominasi Podsolik dengan tekstur gelum. Kedalaman tanah sampai batas batuan kasar atau lapisan akar tanaman mampu menembus tanah untuk menyerap unsur hara berkisar antara 100−150 cm. Tanaman ini memiliki akar tunjang yang panjang dan jumlahnya banyak. Akar tersebut berfungsi menyerap oksigen dari udara dan hara dari tanah. Tanaman lebih menghendaki tanah yang lembap (Jeremia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009).
Berdasarkan hasil analisis tanah dari empat lokasi pengembangan buah merah di Papua, umumnya tanaman buah merah dapat tumbuh pada tanah kurang subur, banyak mengandung pasir, dan bersifat agak masam (pH 4,30−5,30) (Hadad et al, 2005). Tanaman tumbuh mengelompok di sekitar aliran sungai. Lebih dari 90% tanaman buah merah tumbuh secara liar atau dipelihara dengan teknologi budi daya dan pasca- panen seadanya (Yuhono dan Malik, 2006). Iklim Papua sesuai bagi pertumbuhan tanaman buah merah. (Jeremia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009).

Habitat
Di pelosok nusantara Pandanus conoideus tumbuh alami di pegunungan Jayawijaya, Nabire, Manokwari, Timika, dan Jayapura. Di luar Papua, dijumpai di Maluku sebelah utara. Sebelum popular sebagai pembatas halaman atau tumbuh bergerombol di sudut – sudut rumah atau perbukitan. Tanaman ini cukup adaptif karena tumbuh baik mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi

Manfat buah merah
Dari data empiris yang didapatkan oleh I Made Budi, beliau dapat menyimpulkan bahwa buah merah banyak dikonsumsi sebagai suplemen untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit, antara lain kanker, HIV/AIDS, hipertensi, asam urat, stroke, gangguan pada mata (rabun,kebutaan), diabetes mellitus, serta osteoporosis (Yahya dan Wiryanta, 2005)
Namun demikian, untuk dipercayai secara medis, adanya pengakuan sejumlah orang mengenai manfaat buah merah tersebut tentu saja memerlukan penelitian secara ilmiah, sehingga data yang dihasilkan adalah merupakan suatu evidence based. Semetara, sampai saat ini penelitian ilmiah tentang efektivitas minyak buah merah sebagai anti-inflamasi masih terbatas.

Penggunaan buah merah
Belum ada standar dosis penggunaaan minyak buah merah. Dosis yang digunakan berbeda-beda, tergantung kondisi individu. Dalam mengkonsumsi minyak buah merah, direkomendasikan untuk terlebih dahulu mencoba sebanyak satu sendok teh atau sekitar 5ml, dan mengkonsumsinya setelah makan, karena tidak sedikit pengkonsumsi yang mengalami mual dan muntah. Bagi yang merasa mual, sebaiknya tidak segera minum air, cukup mengkonsumsi makanan yang tidak memicu mual. Misalnya kue, bubur, dan sejenisnya (Budi, 2004). Ssebagai alternative konsumsi, minyak buah merah dapat digunakan sebagai pengganti minyak goring saat memasak (Yahya dan Wiryanta, 2005).

Efek samping buah merah
Pemanfaatan buah merah sebagai food suplemen sebaiknya harus dibawah pengawasan dokter. Contohnya, pasien yang sering menggunakan obat yang berfefek mengencerkan darah, seperti aspirin, atau obat-obatan yang tergolong warfarin, harus hati-hati mengkonsumsi buah merah. Hal ini disebabkan efek sari buah merah ini adalah mengencerkan darah. Darah yang terlalu encer bisa membahayakan karena bisa menyebabkan kebutaan. Karenanya dosis pemakaian disahakan tidak terlalu banyak (Yahya dan Wiryanta, 2005)

Kandungan senyawa aktif dan gizi
Secara garis besar, buah merah dimanfaatkan dalam empat hal pokok, yaitu sebagai bahan pangan, bahan pewarna alami, bahan kerajinan, dan sebagai obat untuk penyakit – penyakit degenerative seperti kanker, tumor, jantung coroner, diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol, hepatitis, gangguan prostat, stroke, dan HIV. Hal ini disebabkan karena buah merah mengandung zat – zat gizi bermanfaat atau senyawa aktif dalam kadar tinggi, diantaranya betakaroten, tokoferol, serta asam lemak seperti asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam dekanoat.
Ketiga jenis kultivar, yaitu buah yang berwarna merah, coklat, dan kuning, menghasilkan sari buah yang berbeda – beda sesuai warna buahnya, yaitu merah, cokelat, dan kuning. Untuk mengetahui perbedaan kandungan ketiga jenis sari buah merah tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Karoten
Sari buah merah yang diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu berwarna merah, cokelat dan kuning memiliki kandungan senyawa aktif yang sangat bervariasi, salah satunya adalah kandungan karoten. Nilai total karoten dari ketiga jenis sari buah merah, yang tertinggi adalah sari buah yang berwarna merah dengan nilai rata-rata 12.233,34 ppm, sedangkan minyak yang berwarna kuning rata-rata hanya 11.719,46 ppm. Dan minyak yang berwarna cokelat, sekitar 10.235,12 ppm. Dari nilai total ketiga jenis minyak ini dapat dipastikan bahwa potensi kandungan karotenoid cukup tinggi. Bila hasil analisis total karoten sari buah merah dibandingkan dengan total karoten minyak buah sawit, maka perbedaannya sangat jauh. Pada minyak sawit, total karoten hanya 500-1000 ppm. Perbandingan kandungan menunjukkan bahwa sari buah merah mempunyai potensi lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit (Made, 2004)

Ascorbic Acid
Vitamin C atau ascorbic acid, mempunyai berbagai fungsi sebagai co-enzyme dan co-factor pada beberapa jalur biokimia tubuh. Pada jaringan ikat, vitamin c dibutuhkan untuk sintesis serat kolagen, yang merupakan suatu proses penting dalam perbaikan dan penyembuhan jaringan. Vitamin C merupakan antioksidan larut air yang sangat penting bagi tubuh kita (Tonni and Wali et al, 2013)

Betakaroten
Betakaroten mempunyai aktivitas sebagai provitamin A yang dapat disimpan di hati dan dirubah menjadi vitamin A sesuai dengan kebutuhan (Wikipedia, 2006). Dalam tubuh dari molekul 1 betakaroten akan berubah menjadi 2 molekul vitamin A. Dari 1 molekul betakaroten ternyata dapat menangkap atau membersihkan sampai 1000 radikal bebas yang ada, bahkan menghalangi terbentuknya radikal bebas, oleh karena itu betakaroten juga memiliki peran dalam pencegahan penyakit degenerative seperti stroke, jantung koroner dan kanker (Made, 2004). Beta karoten dapat berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh karena adanya interaksi vitamin A dengan protein (asam amino) yang berfungsi dalam pembentukan antibody. Suatu studi membuktikan bahwa mengkonsumsi betakaroten 30-60mg/hari selama 2 bulan akan membuat tubuh memiliki sel-sel pembunuh alami lebih banyak serta sel-sel T-helpers dan limfosit yang lebih aktif. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel kanker dan mengendalikan radikal bebas yang sangat mengganggu kesehatan (Trubus, 2005). Selain itu betakaroten juga dapat memperlambat berlangsungnya penumpukan plak pada arteri sehingga aliran darah baik ke jantung maupun ke otak bisa berlangsung lancer tanpa sumbatan.
Kandungan betakaroten dari masing-masing jenis buah merah cukup tinggi, terutama pada sari buah berwarna merah. Selama ini pengolahan buah merah untuk diambil sarinya (minyak) masih dengan cara tradisional (pemanasan), belum menggunakan teknologi modern. Hasil analisis sampel dengan berat rata-rata 0,24 gram, kandungan betakarotennya mencapai 300 ppm (Made, 2004)

Tokoferol
Tokoferol merupakan setiap rangkaian senyawa yang secara structural serupa; tokol dengan subtitusi metal yang beberapa diantaranya memiliki aktifitas biologis vitamin E (Dorland, 2002). Alfa-tokoferol merupakan bentuk yang paling penting dari 8 jenis tokoferol yang terdapat di alam karena merupakan 90% tokoferol yang berasal dari hewan dengan aktifitas biologic yang paling besar.
Gangguan absorbs lemak akan menimbulkan defisiensi vitamin E karena tokoferol merupakan antioksidan yang terlarut dalam lemak (Wikipedia, 2006). Vitamin E diangkut di dalam darah oleh lipoprotein, pertama melalui inkorporasi ke dalam kilomikron yang mendistribusikan vitamin tersebut ke jaringan yang mengandung lipoprotein lipase dan kemudian ke hati dalam bentuk fragmen sisa kilomikron; kedua melalui ekspor dari hati di dalam lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL, very low density lipoprotein). Vitamin E disimpan dalam jaringan adipose. Dengan demikian defisiensi vitamin E dapat ditemukan pada keadaan yang berkaitan dengan disfungsi berbagai proses diatas, misal pada penyakit hepar kolestatik, kistik fibrosis, ataupun pasien yang telah menjalani operasi reseksi usus (Murray, 2003).
Struktur alfa-tokoferol ini merupakan antioksidan larut lemak yang terpenting yang melindungi membrane sel dari oksidasi dengan memutus berbagai rantai reaksi radikal bebas atau mencegah terbentuknya hasil oksidasi yang toksik misalnya hasil peroksidasi asam lemak tidak jenuh (Ginaswarna, 1995). Kerja antioksidan tokoferol berlangsung efektif pada konsentrasi oksigen yang tinggi dan dengan demikian tidaklah mengherankan jika vitamin tersebut cenderung terkonsentrasi di dalam struktur lipid yang terpajan pada tekanan parsial O2 paling tinggi, misal membrane eritrosit, membrane saluran pernapasan dan retina (Murray, 2003).
Tokoferol (vitamin E) yang selama ini hanya dikenal sebagai obat awet muda, untuk menambah nilai kosmetik, sebenarnya berfungsi hampir sama seperti betakaroten yaitu pencegah penyakit degeneratif. Perbaikan system kekebalan tubuh dapat dihasilkan oleh kehadiran tokoferol, sel limfosit, dan mononuclear di dalam tubuh sehingga akan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tokoferol mampu mengatasi pembentukan karsinogen atau menghambat karsinogen sel sasaran sehingga akan dapat menghambat terjadinya kasus kanker. Tokoferol juga dapat menurunkan kolesterol LDL jahat dan meningkatkan HDL sehingga dapat mencegah aterosklerosis. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa penderita peyakit jantung maupun stroke merasakan ada perubahan seperti respirasi lebih lancar serta tekanan darah dan detak jantung lebih normal (Made, 2004).
Fungsi tokoferol adalah memperkuat system kekebalan tubuh, menetralisir kolesterol dalam darah dan menangkal radikal bebas. Jika serangan radikal bebas tidak dapat dihalau dan kolesterol dalam darah tidak dapat dinetralisir maka akan timbul efek yang sangat berbahaya karena hal tersebut merupakan pemicu kematian secara mendadak. Kondisi ini umumnya dialami sebagian besar masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan dengan gizi yang salah. Peran tokoferol alami dalam buah merah inilah yang kemudian bekerja mengencerkan darah dan memperlancar sirkulasi darah sehingga kandungan oksigen dalam darah menjadi normal (Yahya dan Wiryanta, 2005). Kandungan total tokoferol cukup tinggi pada jenis sari buah merah yang berwarna merah dan cokelat sedangkan sari buah yang berwarna kuning konsentrasinya lebih rendah. Konsentrasi tersebut memperlihatkan bahwa minyak buah merah sangat berpotensi untuk digunakan sebagai sumber antioksidan. Potensi tokoferol dari ketiga jenis sari buah merah ini akan dapat digunakan sebagai sumber bahan baku pembuatan suplemen alami seperti dalam bentuk kapsul atau jenis produk lainnya untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat (Made, 2004).

Asam lemak
Dalam sari buah yang berwarna merah, cokelat, dan kuning terdapat jenis asam lemak yang sama, yaitu asam miristat, asam petadekanoat, asam palmitat, asam eikasanoat, asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam eikosanoat dengan komposisi yang bervariasi. Asam lemak behenat hanya ditemukan pada jenis sari kuning (0,852%). Sementara asam dekanoat dan asam laurat hanya terdapat pada sari kuning. Namun pada sari cokelat tidak terdapat jenis asam lemak stearat seperti pada sari kuning dan merah.
Kandungan asam miristat tertinggi terdapat pada jenis sari cokelat (0.204%) dan terendah pada jenis sari kuning (0,055%). Kandungan asam pentadekanoat yang tertinggi terdapat pada jenis sari merah (0,292%) dan terendah pada jenis sari kuning (0,182%). Untuk asam palmitat masing-masing sari buah hampir sama kandungannya, yaitu sari kuning 16,083%, jenis sari merah 14,336% dan sari cokelat 13,189%
Hasil analisis kandungan asam lemak dari ketiga jenis sari buah merah yang paling dominan adalah asam lemak tak jenuh tunggal, yaitu asam oleat dengan rata-rata 49,83-57,388%. Sementara asam lemak jenuh didominasi oleh asam palmitat, rata-rata 13,819-16,083%.
Buah merah juga mengandung asam lemak esensial dalam dosis tinggi, yaitu omega-9 dan omega-3 (Trubus, 2005). Omega-3 merupakan asam lemak esensial yang memiliki efek anti-inflamasi (Wikipedia, 2006). Sebagai asam lemak tak jenuh, buah merah mudah dicerna dan diserap sehingga memperlancar proses metabolism. Lancarnya proses metabolism sangat membantu penyembuhan penyakit sebab, tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga pasien un tak perlu mendapat asupan protein dari luar. Bahkan, metabolism yang semakin membaik dapat membantu hati meregenerasi sel-sel hati yang rusak akibat hepatitis (Trubus, 2005)
Asam lemak yang terkandung dalam buah merah merupakan antibiotic dan antivirus. Asam lemak aktif melemahkan dan meluruhkan membrane dan lipid virus serta mematikannya. Bahkan, virus tidak dapat membangun struktur baru sehingga tidak bisa beregenerasi. Oleh karena kemampuan tersebut, buah merah efektif menghambat dan membunuh beragam strain virus, termasuk virus hepatitis yang merusak sel hati. Terbukti juga bahwa buah merah mampu menghambat dan membunuh sel-sel tumor aktif bahkan menekan perkembangan virus HIV/AIDS (Made,2004)
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sari buah berwarna merah lebih baik, jika dibandingkan dengan sari buah merah jenis lain (cokelat dan kuning) maka sari buah yang berwarna merah lebih baik karena kandungan senawa aktifnya relative lebih tinggi, terutama kandungan karoten, beta karoten dan tokoferol. Dengan demikian, potensi untuk dijadikan antioksidan (pencegah penyakit) sangat baik. Kandungan senyawa aktif sari buah jenis merah disajikan dalam table 2.3 dan table 2.4. secara umum semua senyawa yang terkandung dalam buah merah berkhasiat obat dan bersifat aktif. Betakaroten dan tokoferol (vitamin E) misalnya, dikenal sebagai senyawa antioksidan yang ampuh mencegah penyakit. Senyawa antioksidan mampu menetralisir zat-zat radikal bebas dalam tubuh yang merupakan sumber pemicu timbulnya berbagai penyakit, terutama penyakit degeneratif. Dengan tingginya kadar antioksidan, buah merah memiliki efek antikanker yang kuat (Trubus,2005).
Sesuai dengan sifat karoten dan tokoferol yang larut dalam lemak, maka untuk mendapatkan kadar karoten dan tokoferol yang tinggi, buah merah diolah menjadi minyak (Yahya dan Wirjayanta, 2005).

Table 2.1. Kandungan Senyawa Aktif dalam Sari Buah Merah (Yahya dan Wiryanta, 2005)

Senyawa aktif Kandungan
Total karotenoid 12.000ppm
Total tokoferol 11.000ppm
Betakaroten 700ppm
Alfa-tokoferol 500ppm
Asam oleat 58%
Asam linoleat (omega-6) 8,8%
Asam linolenat (omega-3) 7,8%
Dekanoat 2,0%

Tabel 2.2 Komposisi zat gizi per 100 gram Buah merah (Yahya dan Wiryanta, 2005)

Senyawa aktif Kandungan
Energy 394,00 kalori
Protein 3.300,00 mg
Lemak 28.100,00 mg
Serat 20.900,00 mg
Kalsium 554.000,00 mg
Fosfor 30,00 mg
Besi 2,44 mg
Vitamin B1 0,90 mg
Vitamin C 25,70 mg
Nialin 1,80 mg
Air 34,90%

2.2 Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada orang dewasa 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5-1,9 m2. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5-6 mm tergantung dari letak, umur, dan jenis kelamin (Perdanakusuma, 2007).

2.2.1 Anatomi Kulit
Secara embriologis kulit terbagi menjadi 3 lapisan utama yaitu, epidermis, dermis dan jaringan subkutan. Lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Perdanakusuma, 2007). Di dalam lapisan-lapisan tersebut terdapat jutaan sel, ujung saraf, kapiler, kelenjar minyak, folikel rambut dan kelenjar keringat (Mayo Clinic, 2012)

Gambar 2.4 Anatomi kulit (Mayo Clinic, 2012)

2.2.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi degenerasi setiap 4-6 minggu. Lapisan epidermis berfungsi sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilitas sel, pigmentasi (melanosit) dan pengendalian allergen (Sel Langerhans) (Perdanakusuma, 2007).
Struktur epidermis terdiri atas lima lapisan, antara lain:
Stratum Korneum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri dari keratin, yaitu jenis protein yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit sebagai proteksi dari lingkungan luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum korneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung pelembab tipis yang dinamakan mantel asam kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
Stratum Granulosum
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya di tengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel langerhans.
Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filament-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans.
Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandul melanosit (Perdanakusuma, 2007).
2.2.1.2 Dermis
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi. Dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivate epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
Dermis terdiri dari dua lapisan:
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat
2.2.1.3 Subkutan
Merupakan lapisan dibawah dermis atau hypodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan dibawahnya. Subkutan berfungsi untuk menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi, melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, control bentuk tubuh dan mechanical shock absorber (Perdanakusuma, 2007).

2.2.1.4 Vaskularisasi
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis.Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient dari dermis melalui membran epidermis (Perdanakusuma, 2007).

2.2.2 Fisiologi Kulit
Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar yang memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, ekskresi, dan metabolism (Perdanakusuma, 2007; Geerlings, 2009). Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati) dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari (Geerlings, 2009).
Sensasi merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit. Thermoregulasi di control oleh hypothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru, dan mukosa bukal. Temperatur kulit di control dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperature meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperature dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperature yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas (Perdanakusuma, 2007).

2.3 Luka Bakar
2.3.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah kerusakan jaringan karena kontak dengan agen termal, kimiawi, atau listrik (Cecili dan Linda, 2004). Luka bakar merupakan luka yang disebabkan oleh terpaparnya permukaan kulit dengan benda – benda yang menghasilkan panas (terkena api secara langsung atau tidak langsung, terkena sinar matahari, listrik, bahan kimia, air dan lain – lain) atau zat – zat yang bersifat membakar misalnya asam kuat ataupun basa kuat (Jong, 2005). Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidemis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lama kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalam luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel – sel (Effendi, 1999).
2.3.2 Faktor Resiko
Kelompok terbesar kasus luka bakar adalah anak – anak dengan usia kurang dari 6 tahun, bahkan sebagian besar berusia kurang dari 2 tahun. Insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja yaitu pada usia 23 sampai dengan 35 tahun. Insiden luka bakar terutama terjadi pada pria dikarenakan dominasi pekerjaan pria pada industry – industry berat (Schwartz, 2000).

2.3.3 Etiologi
Luka bakar disebabkan adanya kontak dengan agen termal, kimiawi maupun listrik. Luka bakar akibat agen termal adalah yang paling sering terjadi, umumnya terjadi di dapur ataupun kamar mandi. Luka bakar akibat listrik dan kimia biasanya terjadi pada anak usia 1 sampai 3 tahun serta pekerja – perkerja industry (Cecily dan Linda, 2004). Luka bakar yang disebabkan oleh paparan panas bersuhu 98°C selama 30 detik akan menimbulkan luka bakar derajat II A (Gayline AB et al., 2000).

2.3.4 Klasifikasi Luka Bakar
Sesuai kedalamannya luka bakar dibagi menjadi tiga jenis yaitu derajat satu (superfisial) hanya meliputi epidermis superfisial misalnya akibat terkena sinar matahari. Luka bakar derajat dua meliputi seluruh epidermis dan berbagai ukuran dermis misalnya akibat terkena air panas. Luka bakar derajat tiga epidermis dan dermis rusak, meliputi jaringan adiposa subkutan, fasia otot, dan tulang misalnya akibat terbakar api (Corwin, 2008).
Manifestasi awal untuk luka bakar sedang sampai berat meliputi: takikardi, tekanan darah menurun, ekstrimitas dingin dan perfusi buruk, perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi 9ditandai penurunan turgor kulit, penurunan urin, lidah dan kulit kering), peningkatan frekuensi napas, serta pucat (Cecily dan Linda, 2004).

2.3.4.1 Luka Bakar Derajat I
Adapun ciri dari luka ini yaitu kulit menjadi kering, terjadi hiperemik memberikan efloresesnsi berupa eritema, tidak dijumpai bula (gelembung berisi cairan) dan timbul nyeri karena ujung – ujung saraf sensorik teriritasi.

2.3.4.2 Luka Bakar Derajat II
Cirinya yaitu dijumpai bula (gelembung berisi cairan), dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal, nyeri karena ujung – ujung saraf sendorik teriritasi.
Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1.Derajat II A (Dangkal)
Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar sebasea masih utuh.
Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat satu dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat dua superfisial setelah 12 sampai 24 jam.
Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna pink dan basah.
Jaringan menyebabkan hypertrophic/ scar.
Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan kurang dari 3 minggu.
2.Derajat II B (Dalam)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tampak berwarna pink dan putih segera setelah terjadi cedera karena variasi suplai darah ke dermis (daerah yang berwarna putih mengindikasi aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali; daerah yang berwarna pink mengindikasikan masih ada beberapa aliran darah).
Jika infeksi dicegah luka bakar akan sembuh dalam 3 sampai 9 minggu.
2.3.4.3 Luka Bakar Derajat III
Cirinya adalah tidak dijumpai bula (gelembung berisi cairan), kulit yang terbakar berwarna abu – abu dan pucat,kering, letaknya lebih rendah disbanding kulit sekitarnya akibat koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar), tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung – ujung saraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian dan penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit (Idries, 1997)

2.3.5 Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi atau luka bakar kimiawi (Syamsuhidayat dan Jong, 2007)
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpapar suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada didalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permebilitas penyebabkan oedema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat 3.
Bila luas luka bakar kurang dari 20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan – pelan, maksimal terjadi setelah 8 jam.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapileh milai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel – sel (Effendy, 1999).

2.3.6 Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Proses yang dimaksudkan disini karena penyembuhan luka melalui beberapa fase. Fase-fase penyembuhan luka menurut Suriadi (2004) meliputi fase koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan fase remodeling.

2.3.6.1 Fase Koagulasi
Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Awal pengeluaran akan menyebabkan vasokonstriksi dan terjadi koagulasi. Proses ini adalah sebagai hemostasis dan mencegah perdarahan yang lebih luas. Pada tahap ini terjadi adhesi, agregasi dan degranulasi pada sirkulasi platelet di dalam pembentukan gumpalan fibrin. Kemudian suatu plethora mediator dan cytokine dilepaskan seperti transforming growth factor beta (TGF-ᵝ), platelet derived growth factor (PDGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), platelet-activating factor (PAF), dan insulinilke growth factor-1 (IGF-1), yang akan mempengaruhi edema jaringan dan awal inflamasi.

2.3.6.2 Fase Inflamasi
Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase inflamasi terjadi pada hari 0 – 5. Luka trauma atau luka pembedahan mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan. Pada tahap awal darah akan mengisi jaringan yang cedera dan terpaparnya darah terhadap kolagen berakibat terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman. Hal ini akan memicu system biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin, kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari tempat luka sehingga tidak hanyak mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan tepi luka akan tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka. Leukosit PMN adalah sel pertama yang menuju ketempat luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24 – 48 jam. Fungsi utamanya adalah melakukan fagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal kehadiran sel – sel ini tidak begitu penting. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah hari ketiga (Robin Novriansyah, 2008).
Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada tahap selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48 – 96 jam setelah terjadinya luka dan mencapai puncak pada hari ke 3. Dibandingkan dengan leukosit PMN makrofag berumur lebih panjang dan tetap ada didalam luka sampai proses penyembuhan luka berjalan sempurna. Setelah makrofag akan muncul limfosit T penting keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama hal nya dengan neutrofil, makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organisme – organisme patologis dan jaringan sisa. Disamping itu makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan dan sitokin yang mengawali dan mempercepat formasi jaringan granulasi (Robin Novriansyah, 2008).

2.3.6.3 Fase Proliferasi
Fase ini terjadi pada hari ke 3 – 14. Bila tidak ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi akan berlangsung pendek. Jaringan granulasi merupakan kombinasi elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 7. Meningkatnya jumlah fibroblast memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar, kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke 3 setelah luka, meningkat terus sampai minggu ke 3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan regular sepanjang luka. Fibroblast juga menyebabkan matriks fibronektin, asam hialuronik dan glikos aminoglikan (Robin Novriansyah, 2008).
Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunas – tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka, tunas – tunas kapiler ini bercabang di ujung kemudian bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas – tunas baru akan muncul dari lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor – faktor terlarut yang menyebabkan angiogenesis belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini terjadi dari kombinasi proses proliferasi dan migrasi. Mediator terbentuknya sel pertumbuhan ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit, makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya sitokin dan growth factor seperti platelet – derived growth factor (PDGF), endothelin, vascular endhotelial growth factor (VEGF), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu : TNF α, IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah meningkatkan matriks ekstra seluler (ECM) dan meningkatkan kolagenasi (Robin Novriansyah, 2008).
Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi restorasi integritasi epitel. Reepitelisasi beberapa jam setelah luka. Pada tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat – serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi sampai saat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor – faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGF β, bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus berulang ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Robin Novriansyah, 2008).

2.3.6.4. Fase Remodeling dan Maturasi
Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Setelah matriks ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Matriks ekstra sel pada mulanya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblas. Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan pada pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen selanjutnya berkembang cepat menjadi faktor utama yang membentuk matriks. Pada awalnya serabut kolagen terdistribusi secara acak membentuk persilangan dan beragregasi membentuk serabut fibril secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari periode jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka berjalan lambat. Setelah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Robin Novriansyah, 2008).
Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena deposisi jaringan kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen membentuk serabut-serabut kolagen lebih besar dari cross linking inter molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen yang berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Robin Novriansyah, 2008).

2.3.6.5 Mekanisme Penyembuhan Luka

Gambar 2.5: Patomekanisme Penyembukan Luka (Sussman dan Jensen, 2007)

Seperti yang digambarkan pada Gambar 2.5, setelah terjadi luka maka akan terjadi proses inflamasi yang merupakan awal proses penyembuhan luka. Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan dan penghancuran sel atau agen penyebab kerusakan sel. Proses inflamasi melibatkan PDGF, TGF-β, neutrophil, makrofag, dan fibroblast. Secara keseluruhan proses penyembuhan luka selalu melibatkan kolagen, pada saat fase inflamasi kolagen berperan membantu proses hemostasis, menyebabkan pembersihan alami infiltrate inflamasi. Sintesis kolagen diperbanyak oleh faktor pertumbuhan PDGF, TGF-β, sintesis yang terus menerus ini lama kelamaan akan memodulasi sintesis dan aktivasi metaloproteinase. Metalloproteinase merupakan suatu enzim yang berfungsi untuk degradasi komponen matriks ekstraseluler. Hasil dari sintesis dan degradasi ECM merupakan remodeling kerangka jaringan ikat, dan struktur ini merupakan gambaran pokok penyembuhan luka pada fase inflamasi (Triyono, 2005). Setelah fase inflamasi proses penyembuhan luka dilanjutkan oleh fase proliferasi dimana terjadi reepitelisasi yang di pici oleh EGF dan TGFa. Angiogenesis yang dipicu oleh VEGF, bFGF, dan TGF-β juga terjadi saat fase proliferasi (Diegelmann dan Evans, 2004). Pada saat fase remodeling serabut – serabut kolagen menutup bersama, menyebabkan kolagen cross-linking dan akhirnya mengurangi ketebalan scar. Kolagen intermolekul dan intermolekul cross-link menghasilkan meningkatan kekuatan luka (Triyono, 2005).

2.3.7 Perawatan Luka Bakar
Penanganan luka bakar merupakan hal yang sangat penting dalam menangani pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi maupun menghindari terjadinya sindrom kompartmen karena adanya luka bakar circumferencial (Effendy, 1999). Perawatan local adalah mengoleskan luka dengan antiseptic dan membiarkannya terbuka untuk perawatan terbuka atau menutupnya dengan pembalut steril untuk perawatan tertutup (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).
Perawatan luka bakar terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan. Setiap bagiannya memiliki tujuan yang berbeda sesuai dengan masalah actual yang sedang dihadapi dalam proses penyembuhan luka bakar tersebut. Perawatan luka bakar secara umum dijelaskan sebagai berikut:
Perawatan Pertama
Segera setelah terbakar luka harus segera didinginkan dengan air bersuhu 20°C. Hal ini dilakukan mengingat sifat kulit adalah sebagai penyimpan panas terbaik, maka pasien yang mengalami luka bakar, tubuh masih tetap menyimpan energi panas sampai beberapa menit setelah terjadinya trauma panas. Pengdinginan luka dilakukan guna mencegah pasien berada pada zona luka bakar yang lebih dalam, mengurangi perluasan kerusakan fisik sel, dehidrasi dan membersihkan luka sekaligus mengurangi nyeri (Effendy, 1999)
Perawatan Defitinif
Perawatan luka mencakup pembersihan luka dan debridemen, pengolesan preparat antibiotik topikal serta pembalutan (Smeltzer dan Bare, 2002). Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk membersihkan luka dan menggunakan cara – cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka. Membersihkan luka secara hati – hati dengan normal salin 0,9% dan memasang balutan yang dibasahi larutan salin merupakan cara yang paling sring digunakan untuk membersihkan luka dan melakukan debridemen luka (Potter dan Perry, 2006). Kasa yang digunakan untuk pembalutan dapat terbuat dari bahan biologik, biosintetik, dan sintetik. Seiring dengan banyaknya jenis luka yang mungkin terjadi, metode perawatan luka pun bermacam – macam. Umumnya bentuk perawatan luka didasarkan pada tipe luka, ukuran luka, dan jumlah eksudat yang timbul. Metode perawatan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni perawatan terbuka dan tertutup. Pertimbangan pemilihan metode merawatan luka ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yakni percegahan terhadap infeksi, terhadap perluasan kerusakan jaringan, waktu penyembuhan luka, penanganan terhadap inflamasi dan eksudat yang timbul, pencegahan terhadap perdarahan, dan pencegahan terhadap ekskoriasi kulit sekitar luka (Kozier, 1995)
Pada metote perawatan terbuka, luka dibiarkan terbuka agar dapat terkena udara. Perawatan luka tetap dijalankan seperti biasa dan preparat topikal tetap dioleskan pada luka walaupun luka tidak dibalut. Keberhasilan metode ini bergantung pada upaya untuk menjaga lingkungan yang bebas kuman. Jadi pengawasan ketat harus diberikan pada lingkungan, termasuk linen, orang yang berkontak dengan klien harus mengenakan masker, sarung tangan, dan tidak diperkenankan menyentuh klien. Ruangan harus dijaga agar suhu tetap hangan dengan kelembapan 40-50% untuk mencegah kehilangan cairan melalui penguapan.
Pada metode tertutup, pemakaian balutan memiliki peran tersendiri. Balutan oklusif merupakan kasa tipis yang sebelumnya sudah dibubuhi dengan preparat antibiotik topikal atau yang dipasang sesudah luka diolesi dengan salep atau krim antibiotik, keuntungan yang didapatkan melalui metode ini antara lain balutan dapat menyerap drainase, melindungi dari mikroorganisme, membantu hemostasis, melakukan debridement luka, menyangga atau mengencangkan tepi luka, meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka mempertahankan kelembapan yang tinggi diantara luka dengan balutan dan memberikan estetika tersendiri sehingga dapat mendukung kondisi psikis klien (Potter dan Perry, 2006).

2.4 Fibroblast
2.4.1 Definisi Fibroblast
Fibroblas adalah sel yang menghasilkan serat dan substansi dasar amorf jaringan ikat biasa. Pada saat sedang aktif menghasilkan substansi internal, sel ini memiliki juluran sitoplasma lebar atau tampak berbentuk kumparan. Sitoplasmanya yang banyak bersifat basofil dan anak intinya sangat jelas, yang menandakan adanya sintesis protein secara aktif. Fibroblas merupakan salah satu sel jaringan ikat dalam rongga mulut yang paling khas dan berperan penting dalam perkembangan dan pembentukan struktur jaringan. (Ali Taqwim, 2011)

2.4.2 Struktur Fibroblast
Fibroblas paling banyak terdapat dalam ligamen periodontal dan secara rapat memenuhi populasi, bentuknya gelondong atau disk flat (pipih) dan mempunyai inti yang panjang dan ovoid, serta banyak proses sitoplasmik yang panjangnya bervariasi. Struktur sitoplasmiknya berhubungan dengan fibroblas lain dalam jaringan penghubung manusia. Fibroblas membawa banyak vakoula sitoplasmik yang berisi serat-serat kolagen yang pendek dan enzim proteolytic, dimana bukti bahwa fibroblas juga turut serta dalam pembentukan badan serat melalui resorpsi dari kolagen yang telah dibentuk. (Ali Taqwim, 2011)
Fibroblas merupakan sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng dengan banyak cabang dan dari samping terlihat berbentuk gelondong atau fusiform. Sitoplasmanya bergranula halus dan mempunyai inti lonjong, besar di tengah dengan satu atau dua anak inti jelas. (Ali Taqwim, 2011)

Gambar 2.6. Fibroblast(Ali Taqwim, 2011).
Pengamatan menggunakan mikroskop elektron menampakan aparat golgi secara jelas dan banyak sekali retikulum endoplasma kasar dalam fibroblas, terutama jika sel secara aktif memproduksi matrik, seperti pada proses penyembuhan luka. Aktin dan α-aktinin terletak di sekeliling sel dan miosin terdapat di seluruh sitoplasma. Fibroblas aktif lebih kecil dan lebih ovoid serta mempunyai sitoplasma asidofilik, nukleus lebih kecil, memanjang, dan lebih berwarna gelap. (Ali Taqwim, 2011)
2.4.3 Fungsi Fibroblas
Fibroblas adalah sel yang paling banyak terdapat dalam jaringan ikat, berfungsi menghasilkan serat dan substansi interseluler aktif amorf. Fibroblas merupakan sel induk yang berperan membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matrik, terutama serat kolagen. Sel ini mensekresi molekul tropokolagen kecil yang bergabung dalam substansi dasar membentuk serat kolagen. Kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka yang menyembuh dengan baik. (Ali Taqwim, 2011)

Gambar 2.7 Peran fibroblas (Ali Taqwim, 2011).

Fibroblas merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen, retikulum, elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler amorf. Pada orang dewasa, fibroblas dalam jaringan mengalami perubahan. Mitosis hanya tampak jika organisme memerlukan fibroblas tambahan, yaitu jika jaringan ikat cedera. Fibroblas lebih aktif mensintesis komponen matriks sebagai respon terhadap luka dengan berproliferasi dan peningkatan fibrinogenesis. Oleh sebab itu, fibroblas menjadi agen utama dalam proses penyembuhan luka. (Ali Taqwim, 2011)
2.4.4 Peran Fibroblas pada Penyembuhan Luka
Pada saat jaringan mengalami jejas yang menyebabkan terbentuknya lesi atau perlukaan, maka proses penyembuhan luka tersebut merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa proses. Penyembuhan luka sebagai salah satu prototip dari proses perbaikan jaringan merupakan proses yang dinamis, secara singkat meliputi proses inflamasi, diikuti oleh proses fibrosis atau fibroplasia, selanjutnya remodeling jaringan dan pembentukan jaringan parut. (Ali Taqwim, 2011)
Proses fibrosis atau fibroplasia dan pembentukan jaringan parut merupakan proses perbaikan yang melibatkan jaringan ikat yang memiliki empat komponen, yaitu : (a) pembentukan pembuluh darah baru, (b) migrasi dan proliferasi fibroblas, (c) deposisi ECM (extracellular matrix), dan (d) maturasi dan organisasi jaringan fibrous (remodeling). Dari keseluruhan proses yang telah disebutkan di atas, fibroblas memiliki peran penting pada proses fibrosis yang melibatkan dua dari keempat komponen di atas yaitu migrasi dan proliferasi fibroblas serta deposisi ECM oleh fibroblas. (Ali Taqwim, 2011)
Pada proses inflamasi terjadi perubahan vaskuler yang mempengaruhi besar, jumlah, dan permeabilitas pembuluh darah dan perubahan seluler yang menyebabkan kemotaksis ke arah jejas setelah proses inflamasi berkurang, dilanjutkan dengan proses fibrosis tahap awal yaitu migrasi dan proliferasi di daerah jejas. Migrasi dan proliferasi fibroblas terutama dipacu oleh transforming growth factor-β (TGF-β), yaitu faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh jaringan granulasi yang terbentuk selama proses inflamasi. Migrasi dan peningkatan proliferasi fibroblas di daerah jejas akan meningkatkan sintesis kolagen dan fibronektin, serta peningkatan deposisi matriks ekstraselular. (Ali Taqwim, 2011)
Pada tahap selanjutnya terjadi penurunan proliferasi sel endotel dan sel fibroblas, namun fibroblas menjadi lebih progresif dalam mensintesis kolagen dan fibronektin sehingga meningkatkan jumlah matriks ekstraselular yang berkurang selama inflamasi. Selain TGF-β, beberapa faktor pertumbuhan lain yang ikut mengatur proliferasi fibroblas juga membantu menstimulasi sintesis matriks ekstraselular. Pembentukan serabut kolagen pada daerah jejas merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kekuatan penyembuhan luka. Sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai relatif awal pada proses penyembuhan (hari ke 3-5) dan berlanjut terus sampai beberapa minggu tergantung ukuran luka. Menurut Sodera & Saleh (1999), sintesis kolagen oleh fibroblas mencapai puncaknya pada hari ke-5 sampai ke-7. Proses sintesis ini banyak bergantung pada vaskularisasi dan perfusi di daerah lunak, dan mencapai hasil optimal dalam lingkungan yang sedikit asam. (Ali Taqwim, 2011)
Proses akhir dari penyembuhan luka adalah pembentukan jaringan parut, yaitu jaringan granulasi yang berbentuk spindel, kolagen, fragmen dari jaringan elastik dan berbagai komponen matriks ekstraselular. Jadi, pada saat jaringan mengalami perlukaan, maka fibroblas yang akan segera bermigrasi ke arah luka, berproliferasi dan memproduksi matriks kolagen dalam jumlah besar yang akan membantu mengisolasi dan memperbaiki jaringan yang rusak. (Ali Taqwim, 2011)
2.5 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
2.5.1 Tikus percobaan
Malole dan Pramono (1989) menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki tikus atau rat (Rattus Norvegicus) antara lain mudah dipelihara dan relatif sehat, sehingga memenuhi kriteria sebagai hewan percobaan di dalam suatu penelitian. Tikus yang digunakan secar luas di dalam penelitian laboratorium menurut Malole dan Pramono (1989) adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah (Sudrajat, 2008).

2.5.2 Galur tikus
Menurut Malole dan Pramono (1989) terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antar lain galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya; Wistar dengan ciri-ciri kepala besar dan ekor yang lebih pendek; Long-Evans bercirikan ukuran lebih kecil daripada tikus putih serta memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan; serta galur inbred (Sudrajat, 2008).

2.5.3 Penggunaan tikus percobaan dalam penelitian
Tikus merupakan salah satu alasan pengguna hewan-hewan ini dalam penelitian berbasis percobaan nutrisi (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Penelitian menggunakan tikus percobaan akan bermanfaat jika digunakan dalam demonstrasi fisiologi dan farmakologi. Anatomi dan fisiologis tikus mendukung suatu penelitian percobaan nutrisi dengan menggunakan metode ad libitum (Muchtadi, 1989). Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus yang bermuara ke dalam lambung, serta tidak memiliki kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pernyataan yang hampir sama dikemukakan Muchtadi et al,. (1993) bahwa karakteristik tikus yaitu : (1) tidak memiliki kantung empedu (gall blader), (2) tidak dapat memuntahkan kembali isi perutnya, (3) tidak pernah berhenti tumbuh, namun kecepatannya akan menurun setelah berumur 100 hari (Sudrajat, 2008).
Penelitian menggunakan tikus percobaan harus memenuhi aspek kenyamanan hewan percobaan selama masa penelitian, hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan bias lingkungan penelitian terhadap hewan percobaan. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, terbuat dari bahan yang mudah dibongkar, mudah dibersihkan dan mudah dipasang kembali. Kandang harus tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tetapi hewan harus tampak jelas dari luar. Alas kandang selalu kering dan tidak berbau untuk mencegah gangguan respirasi, serta alat-alat dalam kandang dibersihkan 1-2kali/minggu. Suhu kandang yang ideal berkisar antar 18-270 C dan kelembaban berkisar antara 40-70%. Cahaya harus diusahakan agar terdapat keadaan 12 jam terang dan 12 jam gelap (Malole dan Pramono, 1989; Sudrajat, 2008).
Tikus tergolong hewan yang makan pada malam hari (nocturnal) dan tidur pada siang hari. Kualitas makanan tikus merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan tikus mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak serta aktifitas hidup sehari-hari. Makanan tikus tidak berbeda seperti hewan percobaan lainnya yang membutuhkan protein, lemak, energi serta mineral. Tikus mengkonsumsi makanan dalam sehari tiap ekor berkisar 12-20 g dan konsumsi minum 20-45 ml air (Muchtadi, 1989; Sudrajat, 2008).
2.5.4 Taksonomi
Dalam sistematika taksonomi hewan, rattus norvogicus diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Keluarga : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus

Gambar 2.8 Tikus rattus norvogicus galur wistar (Robirukmana, 2012)

BAB III
KERANGKAN KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini, pemberian minyak buah merah secara topical pada tikus dengan luka bakar derajat IIA dapat menstimulasi proliferasi dan migrasi fibroblast. Proliferasi dan migrasi fibroblast dapat mengakibatkan deposisi kolagen sehingga menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi dan angiogenesis.
Pada uji laboratorium, minyak buah merah mengandung zat anti inflamasi,anti microbial, omega3, antioxidan, karoten, betakaroten, tokoferol, asam lemak esensial, vitamin C dan zat besi. Zat-zat tersebut dapat mempercepat proses inflamasi berlangsung dan menurunkan tanda tanda dari inflamasi. Bila fase inflamasi dapat dilalui dengan cepat maka akan mempengaruhi fase berikutnya yaitu proferasi dan migrasi fibroblast. Fibroblast dengan cepat mensintetis kolagen dan bahan dasar (ground substance), dan puncak produksi berlangsung dari hari ke-5 sampai ke-7.
Proses penyembuhan luka terjadi dalam beberapa tahap yaitu, koagulasi, inflamasi, proliferasi, remodeling dan maturasi. Fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Fasei nflamasi adalah reaksi local terhadap kerusakan jaringan yang bekerja pada tingkatan untuk mempertahankan homeostatis. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka, Pada fase ini makrofag dan limfosit masih berperan kemudian dilanjutkan ke fase remodeling dan maturasi.

3.2 Bagan Kerangka Konseptual

3.3 Hipotesis Penelitian
H0 : Minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) tidak mempengaruhi pembentukan sel fibroblast pada penyembuhan luka bakar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.
H1: Minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) dapat mempengaruhi pembentukan sel fibroblast pada penyembuhan luka bakar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian
4.1.1 Desain penelitian
Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni laboratoris yang dilakukan dalam laboratorium. Rancangan penelitian ini tergolong jenis penelitian Post Test Only Control Group Design. Pada design ini, peneliti dapat mengontrol semua faktor yang mempengaruhi proses dan hasil penelitian sehingga memberikan hasil dengan validitas internal dan eksternal yang tinggi. Kelompok intervensi dan kelompok kontrolnya sudah dirandomisasi, rancangan ini memungkinkan peneliti mengukur pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol (Notoatmodjo S, 2005).

4.1.2 Metode penelitian
Metode penelitian pada percobaan ini adalah mengukur pemberian minyak buah merah dengan membandingkan kelompok kontrol yang hanya diberi luka bakar dengan kelompok perlakuan yang diberi luka bakar dan minyak buah merah. Secara skematis rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

O P1 O1
R S
O P2 O2
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

R : Randomisasi seluruh sampel
S : Kelompok sampel
P1 : Tanpa perlakuan
P2 : Perlakuan dengan pemberian minyak buah merah
O : Observasi sampel
O1 : Observasi sampel setelah tanpa perlakuan (dilakukan setiap 2 hari hingga hari ke 7)
O2 : Observasi sampel setelah perlakuan atau pemberian minyak buah merah (dilakukan setiap 2 hari hingga hari ke 7)

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1 Populasi
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Galur Wistar dewasa.

4.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Galur Wistar berumur 10 – 12 minggu dengan berat badan antara 150 – 250 gram sebanyak 20 ekor, yang diperoleh dari dan dipelihara oleh Laboratorium Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Kriteria inklusi :
Galur Wistar
Umur 10 – 12 minggu
Berat badan 150 – 250 gram
Jenis kelamin jantan
Sehat selama penelitian (keadaan tikus: gerakan lincah, mata cerah, bulu halus, nafsu makan baik, anatomi tubuh sempurna)
Kriteria eksklusi :
Sakit dalam masa persiapan atau adaptasi (tubuh melemah, kurang lincah, mata pudar, nafsu makan turun, bulu kasar dan berdiri).
Cacat fisik

Kriteria drop out :
Mati dalam masa penelitian
Menderita penyakit lain, disamping yang disebabkan oleh perlakuan
4.2.3 Besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Federer (1955) sebagai berikut :

(t – 1) (r – 1) ≥ 15

Keterangan :
t = banyaknya kelompok
r = besarnya sampel tiap kelompok
sehingga :
(2 – 1) (r – 1) ≥ 15
(r – 1) ≥ 15/3
r ≥ 16
Jadi besarnya sampel tiap kelompok adalah 16.
Untuk menghindari kasus drop out atau kemungkinan hilangnya hewan coba yang digunakan maka untuk mengantisipasinya dikalikan dengan 10% (f = 0,1), sehingga :

n =1/(1-f)x 16 =1/(1-0,1)x 16 = 17,78 = 18

Dari perhitungan diperoleh besar sampel sejumlah 18 ekor (sampel tiap kelompok), sehingga besar sampel pada seluruh kelompok adalah 36 ekor sampel.

4.2.4 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan pengambilan secara acak sederhana (simple random sampling). Dimana pada teknik ini, setiap anggota populasi memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih menjadi sampel (Notoatmodjo, 2010).

4.3 Variabel dan Definisi Operasional Variabel
4.3.1 Variabel bebas
Pemberian buah merah secara topikal

4.3.2 Variabel tergantung
Jumlah sel fibroblast
Penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Galur Wistar

4.3.3 Variabel terkendali
Luka: ukuran luka, jenis luka dan cara perawatan luka
Hewan coba: jenis hewan coba yang digunakan, jenis kelamin, umur, berat badan, kesehatan fisik hewan coba, pemeliharaan dan perawatan hewan coba
Waktu yang digunakan dalam pemberian perlakuan

4.4 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skor Skala Data
Variabel bebas:
Minyak buah merah Minyak buah merah diberikan pada kelompok perlakuan, sampai minyak buah merah menutupi luka tersebut. Minyak buah merah didapatkan melalui beberapa tahap:
Buah merah matang (empulurnya dibuang, dan daging buah dipotong-potong kemudian buah dicuci bersih)
Dikukus 1-1,5 jam
Diperas dan disaring (terbentuk pasta dan ampas)
Pasta diambil dan disentrifugasi (menghasilkan 3 lapisan, yaitu air, minyak dan pasta)
Pisahkan minyak Minyak buah merah dioleskan 2x sehari mulai hari pertama tikus diberi luka bakar – –
Variabel tergantung:
Jumlah sel fibroblast Meningkatnya sel fibroblast dalam setiap lubang kecil dalam microplate sebagai tempat penanaman sel, yang diukur dengan menghitung jumlah sel fibroblast di bawah mikroskop pada setiap lapang pandang Jaringan luka diambil dengan prosedur pembedahan dan selanjutnya diperiksa dengan pengecatan HE, yaitu dimulai dari tahap pembuatan jaringan histopatologi, pengecatan dan pembacaan.
Rata-rata jumlah sel fibroblast Rasio
Variabel terkendali:
Luka

Tikus Luka yang diberikan berupa luka bakar pada punggung tikus, dengan diameter 2 cm . Luka dirawat sesuai ketentuan perawatan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, luka dibiarkan (tidak diberikan minyak buah merah). Pada kelompok perlakuan, luka diolesi minyak buah merah. Penyembuhan luka merupakan tahap akhir atas proses jaringan akan luka. Indikator penyembuhan luka pada penelitian ini adalah secara mikroskopis yang ditandai dengan adanya sel fibroblast dihitung dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x

Tikus yang digunakan adalah tikus putih (Rattus novergicus) galur wistar dengan jenis kelamin jantan, berumur sekitar 12 minggu, memiliki berat ± 150-250 gram, dan dalam kondisi fisik yang sehat. Kesehatan hewan coba memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Farris EJ, Griffith JG, 1962):
Bermata jernih
Bulu mengkilat
Gerakan aktif
Tinja baik / tidak lembek
Berat badan tidak turun lebih dari 10% selama proses aklimatisasi Lokasi pada punggung tikus
Diameter 2cm
Lempeng besi panas diletakkan diatas punggung tikus tanpa ditekan
Suhu lempeng besi 70°C
Lempeng besi diletakkan selama 1 menit

Ekor Nominal

Nominal

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus novergicus) galur wistar dengan jenis kelamin jantan, umur ± 10-12 minggu, berat ± 150-250 gram, dan semua tikus dalam kondisi sehat. Jumlah tikus dalam setiap kelompok adalah 18 ekor.
Minyak buah merah
Minyak buah merah yang diberikan pada kelompok perlakuan selama 14 hari.
Makanan dan minuman hewan coba
Larutan ether untuk anestesi inhalasi
Alcohol 70% untuk sterilisasi
4.5.2 Instrumen penelitian
Kandang binatang
Tempat makan dan tempat minum untuk tikus
Sekam
Timbangan binatang
Lempengan logam untuk alas pembedahan tikus
Lempengan logam untuk membuat luka bakar
Larutan diethyl ether anaestheticum
Thermometer
Peralatan untuk membuat sediaan atau preparat
Mikroskop cahaya

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya pada bulan November 2014.

4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
4.7.1 Penyediaan minyak buah merah
Minyak buah merah yang digunakan berasal dari buah merah jenis ogi yang besar dan panjang serta mengandung banyak minyak.
Buah merah yang sudah matang, empulur di buang dan daging buah di potong – potong serta dicuci
Dikukus 1- 1,5 jam kemudian didinginkan, lalu disaring sehingga memisahkan ampas dan sari buah
Sari buah merah disentrifugasi sehingga terbentuk 3 lapisan, yaitu minyak, air dan pasta
Pisahkan minyak buah merah dari air dan pasta

4.7.2 Prosedur penelitian
Sehari sebelum pembuatan luka bakar, bulu tikus dicukur pada daerah punggung. Kemudian pada saat akan dilukai, tikus dianesthesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan dengan diethyl eter. Tikus dimasukkan ke dalam wadah kaca dan ditutup dengan kasa, kemudian larutan diethyl eter diteteskan kedalam wadah. Tikus diangkat dari wadah jika sudah tidak bergerak lagi sekitar 1 menit setelah penetesan diethyl eter. Tikus kemudian diletakkan diatas alas bedah untuk diberikan luka.
Pada daerah kulit punggung yang telah dicukur dan sekitarnya dibersihkan dengan larutan alcohol 70%. Setelah itu dibuat luka bakar berbentuk lingkaran dengan diameter 2 cm, dengan cara kulit dijejas pada suhu 70⁰C selama 1 menit.
Tikus dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Pada kelompok pertama, luka hanya dibiarkan sebagai kelompok kontrol. Kelompok kedua diberi minyak buah merah secara topikal sebagai kelompok perlakuan. Percobaan berlangsung selama 6 hari. Kemudian hari ke 7 tikus diambil jaringan kulitnya kemudian dibuat preparat histopatologi. Setelah itu preparat diamati dibawah mikroskop kemudian dilakukan perhitungan sel fibroblast melalui mikroskop.

Buah merah yang sudah matang, empulur di buang dan daging buah di potong – potong serta dicuci
Dikukus 1- 1,5 jam kemudian didinginkan, lalu disaring sehingga memisahkan ampas dan sari buah
Sari buah merah disentrifugasi sehingga terbentuk 3 lapisan, yaitu minyak, air dan pasta
Pisahkan minyak buah merah dari air dan pasta

Diadaptasikan pada lingkangan laboratorium Fakultas Kedokteran Hang Tuah Surabaya selama 1 minggu
Bulu pada daerah punggung dicukur

4.7.3 Pemusnahan
Setelah penelitian selesai, hewan coba dieuthanasia pada hari ke-7 dan dilakukan pemusnahan. Hal ini dilakukan karena setelah pengambilan darah dan jaringan, hewan coba tidak dapat bertahan hidup atau dapat mengalami kecacatan. Hewan coba dieuthanasi dengan menggunakan Ketamine HCl, kemudian dilakukan pengambilan kulit. Sisa tubuh hewan coba dikirim ke incinerator Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.Ramelan Surabaya untuk pemusnahan.

Cara Analisis Data
Berdasarkan tuuannya, penelitian ini termasuk jenis penelitian komparatif karena membandingkan tiap kelompok perlakuan dan skala data penelitian ini adalah numerik (ratio) dan jika data berdistribusi normal maka akan dilakukan uji hipotesis yaitu uji parametrik. Karena ada 2 kelompok hewan coba yaitu kelompok perlakuan dan kelompok control. Variable terlihat berskala rasio, serta hanya dilakukan engukuran 1x data maka akan dianalisa dengan uji statistika independent t-test (t-test bebas)

BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Data Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan mulai dari bulan November 2014 hingga bulan desember 2014 di laboratorium biokimia Universitas Hang Tuah Surabaya dengan menggunakan 32 ekor tikus putih galur wistar yang dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang diberi minyak buah merah. Pada hari ke tujuh perlakuan, dilakukan pengambilan sampel kulit dari tikus yang kemudian dilakukan pemeriksaan jumlah sel fibroblast dengan hasil sebagai berikut.

5.2 Hasil Penelitian
Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan jumlah sel fibroblast
Kelompok Label Lapangan Pandang 1 Lapangan Pandang 2 Lapangan Pandang 3 Lapangan Pandang 4 Lapangan Pandang 5 Rata

Rata

KONTROL K1 17 18 20 17 18 18
K2 14 16 11 14 20 15
K3 17 13 18 16 11 15
K4 18 20 20 22 14 19
K5 32 44 45 37 33 38
K6 14 12 13 17 9 13
K7 29 27 30 33 20 28
K8 11 9 11 9 10 10
K9 25 21 27 22 20 23
K10 21 23 21 24 22 22
K11 26 20 28 24 16 23
K12 35 31 35 30 33 33
K13 41 45 51 45 33 43
K14 25 23 27 25 21 24
K15 11 15 14 14 12 13
K16 22 24 24 22 24 23
Jumlah 338
Rerata 21

PERLAKUAN P1 23 25 25 24 23 24
P2 24 26 25 26 24 25
P3 22 26 24 25 23 24
P4 34 30 33 31 33 32
P5 22 28 25 27 24 25
P6 23 21 22 24 20 22
P7 28 34 28 32 32 31
P8 18 22 20 14 25 20
P9 23 27 23 28 23 25
P10 32 30 29 32 32 31
P11 25 23 20 24 29 24
P12 33 35 37 32 32 34
P13 21 25 34 30 6 23
P14 25 27 26 26 25 26
P15 19 23 20 23 19 21
P16 23 21 21 19 25 22
Jumlah 388
Rerata 24

5.3 Analisa Hasil Penelitian
5.3.1 Hasil Analisis Deskriptif

Tabel 5.2 Rata-rata jumlah sel fibroblast jaringan pada kelompok kontrol dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 tanpa diberi minyak buah merah dan kelompok perlakuan dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 yang diberi minyak buah merah secara topikal dua kali sehari.

Dari output Independent Samples Statistics dapat pula diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblast setelah diberi minyak buah merah 27,06 dengan standar deviasi sebesar 7,629. Sedangkan rata-rata jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah 22,50 dengan standar deviasi sebesar 2,315.
Gambaran Histopatologi sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 tanpa pemberian minyak buah merah dapat dilihat pada Gambar 5.1.

*Keterangan: = sel fibroblast

Gambar 5.1 Gambaran Histopatologi sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 tanpa pemberian minyak buah merah dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin pada pembesaran 400 kali

Gambaran Histopatologi sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 dengan pemberian minyak buah merah dapat dilihat pada Gambar 5.2.

*Keterangan: = Sel fibroblast

Gambar 5.2 Gambaran Histopatologi sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 dengan pemberian minyak buah merah dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin pada pembesaran 400 kali

5.3.2 Hasil Uji Normalitas
Untuk melakukan uji normalitas menggunakan parameter Saphiro-Wilk karena besar sampel kurang dari 50.
Hasil uji normalitas jumlah sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 tanpa pemberian minyak buah merah dan jumlah sel fibroblast pada kelompok hewan coba dengan luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 dengan pemberian minyak buah merah, dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Normalitas Jumlah Sel Fibroblast Yang Diberi Minyak Buah Merah
Hipotesis:
Ho: Distribusi data jumlah sel fibroblast yang diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar normal.
H1: Distribusi data jumlah sel fibroblast yang diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar tidak normal.
Kriteria Pengujian
Jika nilai signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak Jika nilai signifikansi > 0,05, maka Ho diterima
Penarikan Kesimpulan
Dari output dapat dilihat bahwa nilai signifikansi (asymp sig 2-tailed) adalah 0,055. Karena nilai signifikansi > 0,05 maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa distribusi data jumlah sel fibroblast yang diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar normal.

Uji Normalitas data sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah
Hipotesis:
Ho: Distribusi data jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar normal.
H1: Distribusi data jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar tidak normal.
Kriteria Pengujian
Jika nilai signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak Jika nilai signifikansi > 0,05, maka Ho diterima
Penarikan Kesimpulan
Dari output dapat dilihat bahwa nilai signifikansi (asymp sig 2-tailed) adalah 0,222. Karena nilai signifikansi > 0,05 maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa distribusi data jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar normal.

Tabel 5.3 Hasil uji normalitas menggunakan parameter Saphiro-Wilk

5.3.3 Uji Homogenitas Varian
Setelah diketahui bahwa kedua data berdistribusi normal dengan uji saphiro-wilk, kemudian dilakukan uji kesamaan varian dari kedua data tersebut menggunakan uji Levene.
Adapun hasil uji homogenitas variansi data menggunakan uji Levene seperti tercantum pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Hasil Uji Homogenitas Variansi Data

Hipotesis:
Ho : Kelompok data jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah memiliki varian yang sama.
H1 : Kelompok data jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah memiliki varian yang berbeda.
Kriteria Pengujian
Jika nilai signifikansi < 0,01, maka Ho ditolak Jika nilai signifikansi > 0,01, maka Ho diterima
Penarikan Kesimpulan
Dari output dapat dilihat bahwa nilai signifikansi (asymp sig 2-tailed) pada kolom levene’s test adalah 0,479. Karena nilai signifikansi > 0,01 maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kelompok data jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah memiliki varian yang sama.
Dikarenakan kedua kelompok data berdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen, maka dapat dilanjutkan ke uji statistik parametrik independent sample t-test.

5.3.4 Uji Independent Samples T-test
Independent Samples T-test digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah. Pengujian menggunakan tingkat signifikansi 1 % atau 0,01.
Hipotesis :
Ho : Tidak ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah.
H1 : Ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah.

Menentukan nilai t hitung dan signifikansi
Dari output perhitungan SPSS diketahui nilai t hitung 1,521 dan nilai signifikansi 0,139.
Menentukan nilai t tabel
T tabel dapat dilihat pada lampiran tabel statistik pada signifikansi 0,01/2 = 0,005 ( uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n – 2 = 32 -2 = 30.
Hasil yang diperoleh untuk t tabel sebesar 2,75.
Kriteria pengujian
Berdasarkan nilai t hitung dan t tabel
Jika nilai –t tabel ≤ t hitung ≤t tabel, maka H0 diterima
Jika nilai t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel, maka H0 ditolak
Berdasarkan nilai signifikansi
Jika nilai signifikansi > 0,01, maka H0 diterima
Jika nilai signifikansi < 0,01, maka H0 ditolak Kesimpulan Berdasarkan nilai t hitung dan t tabel Karena nilai –2,75 ≤ 1,521 ≤ 2,75, maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah. b. Berdasarkan nilai signifikansi Karena nilai signifikansi 0,139 > 0,01 maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah.

Kesimpulan Hasil Penelitian
Hipotesis:
H0 = Minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) tidak mempengaruhi pembentukan sel fibroblast pada penyembuhan luka bakar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.
H1 = Minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) mempengaruhi pembentukan sel fibroblast pada penyembuhan luka bakar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.

Dari output Independent Samples Statistics dapat pula diketahui bahwa rata-rata jumlah sel fibroblast setelah diberi minyak buah merah 24. Sedangkan rata-rata jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah 21. Terlihat bahwa rata-rata jumlah sel fibroblast setelah diberi minyak buah merah lebih tinggi dibandingkan rata-rata jumlah sel fibroblast tanpa diberi minyak buah merah. Akan tetapi berdasarkan pengujian statistik pada tingkat signifikansi 1 % didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah. Yang berarti bahwa perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast tidak signifikan, sehingga H0 diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa Minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.) tidak mempengaruhi pembentukan sel fibroblast pada penyembuhan luka bakar tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.

BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan galur Wistar dengan usia 10-12 minggu dan berat 150-250 gram dan semua tikus dalam kondisi sehat. Tikus diadaptasikan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya selama 7 hari dengan diberi pakan standar dan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok hewan coba tanpa pengolesan minyak buah merah pada luka bakar derajat IIA dan kelompok hewan coba dengan pengolesan minyak buah merah pada luka bakar derajat IIA yang akan di hitung jumlah sel fibroblast pada hari ke-7.
Setelah adaptasi, dilakukan pembuatan luka bakar derajat IIA pada punggung tikus sepanjang ± 2 cm. Pada kelompok hewan coba dengan pengolesan minyak buah merah pada luka bakar derajat IIA, diberikan minyak buah merah secara topikal dua kali sehari selama 7 hari.
Berdasarkan analisis data, pada kelompok hewan coba tanpa minyak buah merah pada luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 menunjukkan nilai rerata sel fibroblast 21 dan kelompok hewan coba dengan dengan pemberian minyak buah merah pada luka bakar derajat IIA pada hari ke-7 menunjukkan nilai rerata 24.
Berdasarkan hasil Uji t dua sampel bebas menunjukkan hasil signifikansi = 0,139 (>0,01), maka Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata jumlah sel fibroblast pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar antara yang diberi minyak buah merah dan tanpa diberi minyak buah merah.
Pada proses penyembuhan luka terdapat fase inflamasi. Reaksi awal penyembuhan luka, respon vaskular dan selular merupakan manifestasi respon inflamasi. Respon inflamasi akut biasanya berlangsung selama 24-48 jam dan selesai dalam 2 minggu (Culloch et al, 1995).
Inflamasi merupakan suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal cedera sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi juga terkait dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan rusak dengan regenerasi sel parenkim serta pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa. Sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel serta matriks ekstraselular jaringan ikat sekitarnya terlibat dalam respon radang. Sel dalam sirkulasi adalah leukosit polimorphonuclear (PMN) yang berasal dari sumsum tulang (neutrofil), eosinofil, dan basofil; limfosit dan monosit; serta trombosit. Sel jaringan ikat meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel mast, makrofag, dan limfosit serta fibroblas yang menyintesis matriks ekstraselular dan dapat berproliferasi untuk menigisi luka (Kumar, 2007).
Fibroblast merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen, retikulum, elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler amorf. Pada orang dewasa, fibroblas dalam jaringan mengalami perubahan. Mitosis hanya tampak jika organisme memerlukan fibroblas tambahan, yaitu jika jaringan ikat cedera. Fibroblas lebih aktif mensintesis komponen matriks sebagai respon terhadap luka dengan berproliferasi dan peningkatan fibrinogenesis. Oleh sebab itu, fibroblas menjadi agen utama dalam proses penyembuhan luka. (Ali Taqwim, 2011)
Ketika ada kerusakan pada jaringan ikat sangat penting untuk memberikan nutrisi yang tepat untuk sintesis sabut kolagen dan proteoglikan. Sabut kolagen dan proteoglikan disintesis tergantung pada suplai dari nutrient building blocks meliputi asam amino dan gula amino. Vitamin dan mineral juga dibutuhkan dalam reaksi enzimatik untuk membangun kembali jaringan ikat. Beberapa nutrisi yang terlibat pada perbaikan jaringan ikat dan penyembuhan luka yaitu karbohidrat, protein, asam amino, L-arginine, lemak, vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan mineral (zinc, copper, magnesium dan zat besi) (Toni and Wali et al., 2013).
Buah merah mengandung: antioksidan (karotenoid, tokoferol), asam lemak jenuh seperti, asam laurat, palmitat, stearat, dan asam lemak tak jenuh seperti asam palmitoleat, oleat, linoleat, omega-3 dan lain-lain, serat dan kalsium (Inti Aritni P. dan Martanto M., 2009).
Buah merah mengandung banyak nutrisi seperti yang sangat baik untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta mengobati berbagai penyakit degenerative dan luka (Jeremia Limbongan dan Afrizal Malik, 2009), sehingga pemberian ekstrak buah merah diharapkan mempercepat penyembuhan luka bakar IIa pada tikus jantan (Rattus Norvegicus) galur wistar.
Namun hal ini tidak tampak pada hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa pemberian minyak buah merah belum memberikan pengaruh yang bermakna terhadap peningkatan jumlah sel fibroblast pada punggung tikus jantan (Rattus Norvegicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.

Masalah yang dihadapi pada penelitian ini antara lain :
Tidak adanya penelitian pendahuluan untuk mengetahui dosis yang dapat menimbulkan efek pada tikus wistar, tetapi menggunakan dosis yang terbukti menimbulkan efek pada manusia sehingga diduga dosis yang diperlukan pada tikus belum cukup adekuat untuk mempercepat proses penyembuhan luka pada tikus wistar.
Adanya faktor eksternal seperti lama adaptasi yang kurang terhadap lingkungan dan pakan yang diberikan, sehingga menyebabkan berkurangnya nafsu makan dari tikus dan juga cara pemberian ekstrak buah merah yang diduga kurang tepat pada tikus, sehingga peningkatan jumlah sel fibroblast setelah perlakuan dapat berbeda dari yang seharusnya.

Jadi, dari penelitian ini dapat dilihat bahwa pemberian minyak buah merah secara topikal pada punggung tikus jantan (Rattus Norvegicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA belum dapat mempengaruhi peningkatan jumlah sel fibroblast.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Bedasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian minyak buah merah (Pandanus Conoidus Lam) secara topikal dua kali sehari selama 7 hari berturut–turut tidak dapat meningkatkan jumah sel fibroblast pada punggung tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar yang diberi luka bakar derajat IIA.

7.2. Saran
Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah 1) perlu dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui dosis dan cara pemberian minyak buah merah dan waktu yang lebih lama yang dapat mempercepat penyembuhan luka. 2) perlu dilakukan penelitian mengenai efek samping pemberian minyak buah merah (Pandanus Conoidus Lam). 3) perlu dilakukan penelitian menggenai metode cara pembuatan luka bakar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Antibiotic resistance. CDC. Atlanta.14 Maret 2012 http://www.cdc.gov/narms/faq_pages/3. htm.
Budi, I made., Fendy R Paimin. 2004. Buah merah. Depok: Penebar swadaya
Corwin, E. J. 2008. Buku Saku Patofisiologi. EGC, Jakarta.

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: ECG.
Effendy, Cristantie. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. EGC, Jakarta.
Eroschenko, V.P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional.EGC. Jakarta. hlm 135- 145.
Idries, AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara.
Ismail, Dina D.s.l., Sanarto, & Taqiyah, B. Pengaruh Perawatan Luka Bakar Derajat II dengan Madu Nectar Flora terhadap Lama Penyembuhan Luka.
Gaylene AB, Patricia B, Valerie C. 2000. Delmar’s Fundamental and Advanced: Nursing Skill. Thomson Learning, Canada, p. 3-6.

Geerlings, Marion. 2009. Skin Layer Mechanics. Universiteitsdrukkerij TU Eindhoven, Eindhoven, The Netherlands. ISBN: 978-90-74445-92-4.

Guo, S., & DiPietro L. A. 2010. Factors Affecting Wound Healing. Critical Review in Oral Biology & Medicine, 3, 219-229.
Guyton, A. C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC. Jakarta. hlm 299.
Hadad, M., T. Sugandi, D. Wamaer, M. Ondikleu, dan P. Ramba. 2005. Laporan Eksplorasi Tanaman Buah Merah di Papua. Kerja Sama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.
H. Machmud dan Bernard T. Wahyu, 2005.Khasiat dan manfaat buah merah: si emas merah dari Papua. AgroMedia. Jakarta. hlm 13-15.
Inti A. P., Martanto M. 2009. Buah Merah: potensi dan manfaatnya sebagai antioksidan, The Journal Of Indonasian Medical Plant.

Jeremia Limbonga, Afrizal Malik 2009. Peluang pengembangan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) di Provinsi Papua, Penelitian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, viewed 24 Oktober 2014.

Jong DW, Syamsuhidayat R., 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi Jakarta: ECG.

Jong DW. 2005. Bab 3: Luka, Luka Bakar: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : ECG. hlm 66-88.

Junqueira, Luiz. Carneiro, Jose. 2012. Basic Histology: Text & Atlas. 12th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Limbongan, J. dan H.T. Uhi. 2005. Penggalian data pendukung domestikasi dan komer- sialisasi jenis, spesies dan varietas tanaman buah di Provinsi Papua. hlm. 55−82. Prosiding Lokakarya I Domestikasi dan Komersialisasi Tanaman Hortikultura, Jakarta 15 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta.
Meishinta F.,Deddy S., Gusti R. 2014. Pengaruh getah papaya terhadap pembentukan jaringan granulasi pada penyembuhan luka bakar tikus percobaan. Jurnal Kesehatan Andalas.
Moenadjat Y. 2003. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
M. Sjaifuddin Noer, 2012. Management acute Phase in burn. Departemen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik. FK Universitas Airlangga.

Muray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, and V.W. Rodwell. 2003. Biokimia Harper. Jakarta:ECG. Diterjemahkan oleh A. Hartono.
Nainggolan, D. 2001. Aspek Ekologis Kultivar Buah Merah Panjang (Pandanus conoideus Lamk.) di Daerah Dataran Rendah Manok- wari. Skripsi Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua, Manokwari.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Perdanakusuma, David S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Plastic Surgery Department Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Potter PA dan Perry AG. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: ECG.
Rahim, F. M. Aria, dan N.P. Aji. 2011. Formulasi krim ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoeae Batatas L.) untuk pengobatan luka bakar. J. Scienita. 1(1):21-26.
Ramanda, Lucky. 2013. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Jumlah Pembuluh Darah Baru Luka Bakar Derajat IIA pada Tikus novergicus Galur Wistar. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Smith, J.B., dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Laboratorium di Daerah Tropis, Cetakan 1, UI Press, Jakarta.
Sri Mariati. 2007. Pengaruh Pemberian Minyak Buah Merah Terhadap Perubahan Derajat Adenokarsinoma Mammae Mencit C3H, viewed 8 September 2014, http://eprints.undip.ac.id/22414/1/Sri_Mariati.pdf
Surono, I.S., T. Nishigaki, A. Endaryanto, and P. Waspodo. 2006. Indonesian biodiversities from microbes to herbal plants as potential functional food. J. Fac. Agric. Shinshu Univ. 44(1−2): 23−27.
Syamsuhidayat R dan W.D. Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi-2,EGC, Jakarta.
Tranggono, R. dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Triyono B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus Wistar Yang Diberi InfiltrasiPenghilang Nyeri Levobupivakain dan Yang Tidak Diberi Levobupivakain. Tesis. Tidak diterbitkan. Program Magister Biomedik dan PPDS Universitas Diponegoro, Semarang.
Trubus. 2005. Buaj Merah Bukti Empiris & Ilmiah. Penebar Swadaya: Bogor. hal 3-61.
Tonni, Wali et al. 2013, Dietary Considerations Of Wound Healing In Ayurveda, Journal nutr food Sci.

Yahya, M dan B. T. W Wiryanata.2005. Khasiat dan
Yuhono, Y.T. dan A. Malik. 2006. Keragaan komoditas buah merah (Pandanus cono- ideus Lamk.): Teknologi pendukung dan solusi arah kebijakannya sebagai sumber pendapatan daerah Papua. hlm. 273−281. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua 24−25 Juli 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Wikipedia. 2006. Pandanus conoideus. (online) http://en.wikipedia.org/wiki/Pandanus_conoideus , viewed 25 september 2014.

JADWAL PELAKSANAAN

No Waktu Pelaksanaan Okt Nov Des Jan Feb
1 Persiapan
a Penelusuran referensi dan kepustakaan
b Penyusunan proposal dan mengurus perizinan
2 Pelaksanaan eksperimen
3 Pengambilan data
4 Analisis data dan pembahasan
5 Penyusunan laporan

Lampiran 1. Persetujuan Komisi Etik

Lampiran 2. Hasil Uji Taksonomi

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Lampiran 4. Keterangan Hewan Coba

Lampiran 5. Foto Eksperimen

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoidus Lam.) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST PADA PUNGGUNG TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR DENGAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA

Penelitian Eksperimental Laboratoris

Disusun oleh
Yohanes Argo Wicaksono
NIM : 2011.04.0.0115

Mensahkan :
Ketua Sidang,

dr. Eva Pravitasari N, Sp.PA
NIK/NIP. 01452

Penguji I, Penguji II,

dr. Troef Sumarno, MS, Sp.PA dr. Edward Simon, Sp.PA
NIK/NIP. 01557 NIK.NIP. 02306
PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah karya saya sendiri, bebas plagiat, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Apabila kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam skripsi saya, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.

Surabaya, 10 Februari 2015

Yohanes Argo Wicaksono
2011.04.0.0115

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : ” PENGARUH PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus Conoidus Lam) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST PADA PUNGGUNG TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR DENGAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA“.
Dalam penyusunan penelitian skripsi ini, saya telah mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan dukungan serta kerja sama yang positif dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini dengan hati yang tulus saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :
Ir. Sudirman S.IP.,S.E.,M.AP. selaku Rektor Universitas Hang Tuah Surabaya.
dr. Sakti Hoetama, Sp.U selaku Dekan Program Pendidikan Dokter Universitas Hang Tuah Surabaya.
dr. Sri Rukmini, Sp.THT-KL selaku Wakil Dekan I Progran Pendidikan Dokter Universitas Hang Tuah Surabaya.
dr Budiarto, Sp.PK selaku Wakil Dekan II Program Pendidikan Dokter Universitas Hang Tuah Surabaya.
dr. Prajogo selaku Wakil Dekan III Program Pendidikan Dokter Universitas Hang Tuah Surabaya.
dr. Eva Pravitasari Neferiti, Sp.PA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya.
dr. Edward I. Simon, Sp.PA dan dr. R Ng Troef Soemarno Kromodjojoadiningrat,MS, Sp.PA, yang sudah bersedia membimbing dan menguji skripsi saya ini sehingga penelitian dan pengerjaan skripsi dapat selesai tepat pada waktunya.
dr. Duti S. Aziz, Sp.PA dan dr. Judiah Sukmana, Sp.PA, sebagai dosen bagian Patologi Anatomi.
dr. Wienta Diarsvitri MSc, PhD, atas bimbingan dan saran mengenai metodologi penelitian.
Seluruh dosen dan staf laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Unversitas Hang Tuah Surabaya.
Kedua orang tua dan kakak saya atas segala dukungan semangat,dan doa mulai dari pemulaan penelitian hingga penyusunan skripsi.
Teman seperjuangan penelitian kak Brenda, dan Mega Selvia serta teman-teman tim Patologi Anatomi yang saling memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi.
My girlfriend “LIGITA” dan sahabat “BIN” yang selalu menemani saya disaat suka maupun duka pada saat pembuatan skripsi ini.
Dan juga sahabat-sahabat super saya “Mbud, Bagas, Muje, Syafaat, Icha, Nisa, Cyntia, Jojo, Arby dan Enrico” yang setia menemani dan membantu saya dalam pengerjaan skripsi ini.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu persatu atas dorongan dan bantuan sehingga dapat diselesaikannya skripsi ini.

Pada kesempatan ini pula saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak demi kesempurnaannya.
Demikian skripsi ini dibuat dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat untuk mengembangkan Ilmu Kedokteran di masa mendatang.

Yohanes Argo Wicaksono

DAFTAR ISI
Halaman
Sampul Dalam i
Lembar Pengesahan ii
Lembar Orisinalitas iii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi vi
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Lampiran xii
Abstrak xiii
Abstract xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.4.1 Bagi Mahasiswa 5
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan dan Masyarakat 5
1.4.3 Bagi Universitas Hang Tuah 5
1.4.4 Bagi Penelitian Lain 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) 7
2.1.1 Klasifikasi Buah Merah 7
2.1.2 Nama Asing 8
2.1.3 Morfologi dan Deskripsi 8
2.1.4 Habitat 12
2.1.5 Manfaat Buah Merah 12
2.1.6 Penggunaan Buah Merah 13
2.1.7 Efek Samping Buah Merah 13
2.1.8 Kandungan Senyawa Aktif dan Gizi 13
2.2 Kulit 21
2.2.1 Anatomi Kulit 21
2.2.2 Fisiologi Kulit 24
2.3 Luka Bakar 25
2.3.1 Definisi Luka Bakar 25
2.3.2 Faktor Resiko 25
2.3.3 Etiologi 26
2.3.4 Klasifikasi Luka Bakar 26
2.3.5 Patofisiologi 28
2.3.6 Proses Penyembuhan 29
2.3.7 Perawatan Luka Bakar 35
2.4 Fibroblast 37
2.4.1 Definisi Fibroblast 37
2.4.2 Struktur Fibroblast 38
2.4.3 Fungsi Fibroblast 39
2.4.4 Peran Fibroblas pada Penyembuhan Luka 39
2.5 Tikus Wistar (Rattus norvegicus) 42
2.5.1 Tikus percobaan 42
2.5.2 Galur tikus 42
2.5.3 Penggunaan tikus percobaan dalam penelitian 42
2.5.4 Taksonomi 44
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESIS 45
3.1 Kerangka Konseptual 45
3.2 Bagan Kerangka Konseptual 46
3.3 Hipotesis 47
BAB 4 METODE PENELITIAN 48
4.1 Rancangan Penelitian 48
4.1.1 Desain Penelitian 48
4.1.2 Metode Penelitian 48
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 49
4.2.1 Populasi 49
4.2.2 Sampel 49
4.2.3 Besar Sampel 50
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel 50
4.3 Variabel Penelitian 51
4.3.1 Variabel Bebas 51
4.3.2 Variabel Tergantung 51
4.3.3 Variabel Terkendali 51
4.4 Definisi Operasional 51
4.5 Bahan dan Instrument Penelitian 55
4.5.1 Bahan Penelitian 55
4.5.2 Instrumen Penelitian 56
4.6 Tempat dan Waktu Penelitian 56
4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data 56
4.7.1 Penyediaan Minyak Buah Merah 56
4.7.2 Prosedur Penelitian 57
4.7.3 Pemusnahan Hewan Coba 60
4.8 Analisa Data 60
BAB 5 HASIL PENELITIAN 61
5.1 Data Penelitian 61
5.2 Hasil Penelitian 61
5.3 Analisa Hasil Penelitian 63
5.3.1 Hasil Analisis Deskriptif 63
5.3.2 Hasil Uji Normalitas 65
5.3.3 Uji Homogenitas Varian 67
5.3.4 Uji Independent Samples T-test 69
5.3.5 Kesimpulan Hasil Penelitian 70
BAB 6 PEMBAHASAN 72
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 76
7.1 Kesimpulan 76
7.2 Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77
JADWAL PELAKSANAAN 81
LAMPIRAN 82

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kandungan Senyawa Aktif dalam Sari Buah Merah 20
Tabel 2.2 Komposisi Zat Gizi per 100 Gram Buah Merah 20
Tabel 4.1 Definisi Operasional 38
Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan jumlah sel fibroblast 61
Tabel 5.2 Rata-rata jumlah sel fibroblast jaringan pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 63
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas 67
Tabel 5.4 Hasil Uji Homogeneity of Varians 68

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pandanus conoideus Lam 7
Gambar 2.2 Pandanus conoideus Lam 7
Gambar 2.3 Pandanus conoideus Lam 9
Gambar 2.4 Anatomi kulit 21
Gambar 2.5 Patomekanisme Penyembukan Luka 34
Gambar 2.6 Fibroblast 38
Gambar 2.7 Peran fibroblas 39
Gambar 2.8 Tikus rattus norvogicus galur wistar 44
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian 48
Gambar 5.1 Gambaran Histopatologi sel fibroblast 64
Gambar 5.2 Gambaran Histopatologi sel fibroblast 65

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Komisi Etik 82
Lampiran 2. Hasil Uji Taksonomi 83
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 84
Lampiran 4. Keterangan Hewan Coba 85
Lampiran 5. Foto Eksperimen 86

ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN MINYAK BUAH MERAH (Pandanus Conoidus Lam) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST PADA PUNGGUNG TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR DENGAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA
Yohanes Argo Wicaksono
Latar belakang. Masyarakat indonesia sering mengobati luka bakar dengan obat yang sudah teruji secara klinis dan obat tersebut bisa didapatkan dengan mudah di daerah perkotaan. Namun tidak bagi masyarakat di daerah terpencil di mana ketersediaan obat masih sangat terbatas. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang obat bakar alternatif di daerah terpencil. Buah merah merupakan buah endemik di papua dan buah itu mengandung antioksidan, betakaroten, vitamin dan asam lemak. Zat yang terkandung di dalam buah merah itu sangat baik untuk meningkatkan imunitas serta mengobati berbagai penyakit degenerativ dan luka
Tujuan. Untuk membuktikan adanya peningkatkan jumlah sel fibroblast sesudah pemberian buah merah (Pandanus conoideus Lam.) secara topikal pada punggung tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar dengan luka bakar derajat IIA
Metodologi. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental post test only control group design dengan menggunakan 32 ekor tikus yang diberi luka bakar derajat IIA. Tikus akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok kontrol (tanpa terapi minyak buah merah secara topikal) dan kelompok perlakuan (dengan terapi minyak buah merah secara topikal). Perlakuan dilakukan selama 6 hari. Pada hari ke-7, dilakukan pengambilan sampel kulit serta terminasi hewan coba.
Hasil penelitian. Penelitian dilakukan dengan pengujian statistika menggunakan metode independent samples T-test. Dengan metode pengujian ini menunjukkan bahwa pemberian minyak buah merah secara topikal dua kali sehari selama 6 hari tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sel fibroblast sesudah pemberian buah merah (Pandanus conoideus Lam.) secara topikal pada punggung tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar dengan luka bakar derajat IIA. Nilai signifikansi 0,139. Maka p>0,01 sehingga H0 diterima.
Kesimpulan. Pemberian minyak buah merah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan sel fibroblast putih yang diberi luka bakar grade IIA.
Kata kunci. Minyak Buah merah, Luka Bakar, Betakaroten.

ABSTRACT
EFFECT OF APPLYING RED FRUIT OIL (Pandanus Conoidus Lam) TO THE TOTAL NUMBER OF MN INFLAMMATORY CELLS ON MALE RATS (Rattus Norvegicus), WISTAR WITH IIA DEGREE BURNS.
Yohanes Argo Wicaksono
Background. It is common for indonesian to heal burn wound using clinicaly tested drugs which are avaible in urban area. However, these aren’t common in rural areas, because of the lack of the drug’s availability. And so, further research on the availability of alternative burn wound drugs is needed. Red Fruit is one peculiar fruit in papua. These fruits contain high amount of antioksidants, betacaroten, vitamin, and fatty acid. The substances contained by Red fruit are believed to be good substances to improve imunity and heal degenerative diseases as well as wounds
Purpose. To prove that there is a increase in the number of fibroblast cells, after the administration of red fruit (Pandanus conoideus Lam.) Topically on the backs of male rats (Rattus norvegicus) Wistar strain with IIA degree burns.
Methodology. This study used a eksperimental post test only control group design using 32 rats that were given a IIA degree burns. Rats were divided into two groups: control group (no treatment of red fruit oil, topically) and treated group (with red fruit oil therapy, topically). The treatment was done in 6 days. On the seventh day, the skin samples were taken and the experimental animals were terminated.
The result of the study. This research was carried out by statistical testing using independent samples t-test method. The result showed that the administration of red fruit oil topically twice a day for 6 days had no significant effect on increase in the number of fibroblast cells, after the administration of red fruit (Pandanus conoideus Lam.) Topically on the backs of male rats (Rattus norvegicus) Wistar strain with IIA degree burns. The significance value is 0,139. The result is p>0,01, thus, H0 is accepted.
Conclusion. The application of red fruit oil has no significant affect on the increase in the number of fibroblast cells, of the experimented rats that were given a IIA grade burns.
Keywords. red fruit oil, burns, beta-carotene.