Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta

Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Tantangan terbesar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki wilayah negara sangat luas dan terdiri dari ribuan adalah dalam hal merumuskan sistem pertahanan yang komprehensif dan memadai untuk perlindungan kedaulatan, wilayah dan warga negara dari berbagai bentuk ancaman. Salah satu sistem yang terus dikembangkan dan menjadi bagian dari konsep pertahanan yang selama ini berlaku adalah sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata)–yang dalam UU Pertahanan Negara disebut sistem pertahanan semesta (sishanta).Konsep ini mendapat kritik keras di masa pemerintahan Orde Baru yang dianggap menjadi dasar mobilisasi masyarakat untuk kepentingan kekuasaan Soeharto, menciptakan sekelompok ‘milisi’ sipil yang seolah-olah memiliki otoritas seperti aktor keamanan, dan cenderung berorientasi pada keamanan internal.
Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai sistem pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Seiring dengan perubahan ancaman dan sistem pemerintahan, maka pertanyaan tentang relevansi dari wacana sishankamrata kembali mengemuka.
Wacana Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) juga kembali muncul terkait rencana pemerintah untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) yang telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008. Pro dan kontra pun mengiringya. Para petinggi TNI cenderung pro pemerintah, sementara parlemen dan masyarakat sipil cenderung kontra pemerintah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perjalanan SISHANKAMRATA Sejak Awal Kemerdekaan RI
Upaya bangsa Indonesia menyelenggarakan system pertahanan dimulai sejak masa perang kemerdekaan, dengan tujuan untuk menghadapi agresi militer Belanda dan sejumlah pemberontakan paska proklamasi kemerdekaan. Sebagai negara ‘darurat’ yang baru merdeka, sistem penyelenggaraan negara yang berlaku termasuk sistem pertahanan-masih belum mencermikan satu sistem yang ideal.
Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai system pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu.
2.1.1. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949)
Pada masa ini mulai dibentuk angkatan perang yang diawali dengan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai badan penolong korban perang yang dibentuk oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 22 Agustus 1945. Pada 3 Oktober 1945 BKR
dibubarkan, kemudian dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan tonggak pembentukan organisasi yang dibawah Kementerian Keamanan Rakyat.
TKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, berada di bawah kementerian Pertahanan. Satu bulan kemudian, nama tersebut diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan menegaskan bahwa TRI bersifat kebangsaan (nasional) dan
merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.
TRI kemudian diubah lagi oleh Presiden Soekarno menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besarnya. Pembentukan BKR hingga kelahiran TNI tersebut terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:
 Terdiri dari sisasisa mantan anggota KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda);
 Para pemuda yang tergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), Heiho serta Giyugun yang merupakan bagian dari kekuatan darat; dan
 Lascar rakyat yang dibentuk oleh para pemuda yang tersebar di wilayah Indonesia.

Komponen pertahanan yang dibentuk pertama kali pada masa-masa tersebut memang merefleksikan sistem pertahanan sipil, dimana komponen rakyat yang terdiri dari kelaskaran, pasukan gerilya desa (pager desa), pelajar, Organisasi Keamanan Desa (OKD), Organisasi Keamanan Rakyat (OKR) dan Pertahanan Sipil menjadi bagian integral dari kekuatan komponen utama pertahanan.
Berbagai komponen pertahanan rakyat ini menjadi lapis operasional pendukung kekuatan utama. Eksistensi laskar-laskar ini mendapat pengakuan Menteri Pertahanan sebagai bentuk kekuatan perlawanan yang sah untuk menghadapi agresi Belanda paska kekalahan tentara Jepang menjelang akhir Perang Dunia ke II. Milisi sipil ini bersama tentara reguler tergerak dengan semangat yang sama menghadapi tentara kolonial Belanda yang memiliki kekuatan tempur standar yang jauh di atas militer Indonesia.
Keberadaan mereka semakin diakui melalui Maklumat Dewan Pertahanan Negara No 19 1946 yang menyatukan tentara regular dengan berbagai bentuk kelaskaran. Badan kelaskaran masuk dalam “barisan-barisan” sebagai komponen cadangan yang melakukan tugas-tugas militer dan juga perbantuan dalam keamanan, sosial dan membantu pemerintah dalam pembangunan dan pertahanan. Peran “barisan” ini cukup besar karena sebagai penyedia logistik pasukan reguler saat itu. Pada masa ini tidak ada istilah wajib militer.
2.1.2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
Sebagai Negara yang menganut demokrasi liberal kala itu, Indonesia juga mengadopsi kebijakan dalam menerima anggota angkatan perang sukarela. Undang-Undang No 19 Tahun 1958 telah mengatur kedudukan warga negara sebagai anggota militer sukarela, yaitu tentara reguler yang secara sukarela bergabung dalam angkatan bersenjata. Pasal 5 UU No 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara juga telah mengamanatkan agar rakyat terlatih untuk menjalankan perlawanan, oleh karena itu kemudian diberlakukanlah wajib latih bagi rakyat usia 18 hingga 40 tahun. untuk mempersiapkan perlawanan rakyat aktif dan cadangan umum yang teratur dan terlatih untuk Angkatan Darat.
Pada tahun 1958 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 66 Tentang Aturan UU Wajib Militer yang berisi syarat, tata cara dan rekrutmen warga Negara dalam dinas kemiliteran. Pada tahun 1960 peraturan tersebut kemudian diganti dengan UU No. 40. Panya kenyataannya implementasi UU ini hampir tidak ada.
2.1.3. Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dalam proses pembebasan Irian Barat, presiden Soekarno membentuk Organisasi Petahanan Sipil (Hansip) yang memiliki fungsi utama sebagai perlawanan rakyat (wanra) dan perlindungan masyarakat (linmas). Dalam rangka mobilisasi umum sebagai salah satu amanat dati Trikora, pemerintah membuat peraturan tentang keterlibatan aktif rakyat secara dalam pertahanan negara dalam untuk membantu kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata dan sebagai pertahanan keamanan Negara. Rakyat yang terlibat dalam sukarelawan aktif itu kemudian disebut sebagai sukarelawan pembebasan Irian Barat dan berada dalam kendali Komando Mandala, dan mempunyai kedudukan hukum yang diatur dalam Undang-Undang serta mempunyai hak jika gugur dalam tugasnya.
Dalam masa demokrasi terpimpin ini kebijakan wajib militer juga masih dilanjutkan bahkan diperluas sampai menjangkau tingkat perguruan tinggi, dan dibentuk pula organisasi Resimen Mahasiswa (Menwa) yang harus menjalani wajib latih bela negara.
2.1.4. Masa Orde Baru (1967-1998)
Dalam masa pemerintahan Soeharto, kebijakan wajib militer tetap dijalankan, keberadaan Menwa diperkuat, sedangkan Organisasi Hansip diubah menjadi Organisasi Perlawanan dan Keamanan Rakyat (Wankamra). Akan tetapi, kebijakan komponen cadangan masih belum jelas karena tidak terdapat penjelasan mengenai kedudukan dari para personilnya dalam hal ini para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai cadangan nasional, yaitu apakah mereka sebagai bagian dari cadangan angkatan bersenjata atau menjadi komponen cadangan pendukung.
Perubahan fundamental terhadap pertahanan Negara kemudian dilakukan pada 1982 dengan menyempurnakan sistem pertahananan nasional, yaitu menjadi Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep ini menempatkan pasukan yang bersifat
permanen di daerah-daerah melalui pembentukan komando daerah militer yang pembinaannya dilakukan oleh Angkatan Darat, yang terdiri atas Rakyat Terlatih sebagai komponen dasar; Angkatan Bersenjata beserta Cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama; Perlindungan Masyarakat sebagai komponen khusus; dan Sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung.
2.1.5. Masa Reformasi (1998)
Habibie yang menjabat pada masa ini masih melanjutkan beberapa terdahulu. Salah satunya adalah tentang komponen dasar yaitu Rakyat Terlatih (ratih) yang mempunyai beberapa fungsi diantaranya Fungsi Ketertiban Umum (Tibum), Fungsi Perlindungan Rakyat (Linra), Fungsi Keamanan Rakyat (Kamra), dan Fungsi Perlawanan Rakyat (Wanra). Fungsi Tibum, Linra dan Kamra merupakan fungsi Ratih dalam masa damai, sedangkan fungsi Wanra menjadikan Ratih sebagai kombatan dalam Hukum Humaniter Internasional.
2.2. Wacana Komponen Cadangan di Indonesia
Wacana Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) menghangat kembali di ruang diskursus publik Indonesia seiring dengan rencana pemerintah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) yang telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008.
Pro dan kontra pun menyeruak di ranah publik mengiringi rencana tersebut. Para petinggi TNI cenderung pro-pemerintah, sementara parlemen dan masyarakat sipil cenderung bersikap kontra dengan keinginan pemerintah tersebut.
Dalam mendukung RUU KCPN, Jenderal TNI Djoko Santoso menganggapnya sebagai instrumen piñata ulang sistem pertahanan keamanan Indonesia yang sesuai dengan sistem pertahanan rakyat semesta. Menyusul kemunculan isu Malaysia merekrut WNI menjadiAskar Wathaniyah, Panglima TNI ini menyetujui upaya pemerintah mempercepat penyusunan dan pembahasan draft RUU KCPN dan siap melatih warga sipil yang akan menjadi kombatan.
Senada dengan Panglima TNI, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Slamet Soebijanto menekankan bela negara merupakan kewajiban semua warga negara. Maka dia pun meminta masyarakat merelakan diri dan harta mereka tanpa meminta kompensasi untuk membela dan mempertahankan negara. Di pihak lain, sikap kontra parlemen justru mengemuka terhadap rencana pemerintah membentuk KPCN. Alih-alih menyetujuinya, DPR mempertanyakan urgensinya di hadapan keterbatasan keuangan negara dan kondisi komponen utama (TNI) yang masih memprihatinkan. Ketua DPR Agung Leksono menganggap wajib militer belum saatnya diterapkan. Kalau pun diterapkan harus bersifat suka rela bukan paksaan. Lebih lanjut anggota DPR Komisi I Happy Bone Zulkarnaen mengusulkan pemerintah lebih memprioritaskan kesejahteraan komponen utama (prajurit TNI) ketimbang memikirkan pembentukan komponen cadangan.
Masyarakat sipil juga cenderung tidak setuju dengan rencana pemerintah itu. Mereka menghawatirkan kembalinya militerisme bersama penetapan UU KCPN. Bagi mereka, pemerintah bersikap terburu-buru dalam upaya membentuk KCPN. Seyogyanya, KCPN dibentuk berdasarkan pada (1) analisis ancaman, (2) analisis pertahanan yang dibutuhkan, dan (3) kemampuan keuangan negara. Tanpa pendasaran itu, pembentukannya akan mubazir alias tidak efektif dan tidak tepat sasaran.
Sejauh ini, pemerintah kurang mengindahkan ketiga hal tersebut dalam pembentukan KCPN, sehingga bisa dikatakan bahwa penilaian masyarakat sipil tersebut benar adanya. Seiring dengan keterburu-buruan pemerintah, tanda tanya pun menyeruak di kalangan masyarakat sipil. Apa latar belakang pemerintah yang sesungguhnya dalam membentuk KCPN secara tergesa-gesa dengan dukungan TNI?
Di samping mencari jawaban atas persoalan yang subtil itu, masyarakat sipil gencar melakukan kampanye penolakan melalui media massa dan membuat kajian- kajian kritis atas RUU KCPN serta studi komperatif pemberlakuan wajib militer dan komponen cadangan di negara-negara lain. Tujuannya agar parlemen tidak serta merta menyetujui kebijakan publik buatan pemerintah, pemerintah mengurungkan atau memperbaiki rencananya dan masyarakat senantiasa waspada sebagai pengawas kebijakan publik.
2.3. Relevansi Wajib Militer di Indonesia
Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komponen Cadangan pasal 7 ayat 1 menyebutkan “semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang berumur 18 tahun ke atas dan sudah mempunyai pekerjaan tetap, wajib mengikuti latihan militer. Sedangkan WNI 18 tahun ke atas tapi belum mempunyai pekerjaan tetap, apalagi belum bekerja, tidak diwajibkan ikut.”Rencana pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Pertahanan sejauh ini telah dimasukan ke dalam Program Legislasi Nasional 2008 sebagai prioritas untuk dibahas DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang. UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara mengisyaratkan tentang keterlibatan warga negara dalam usaha bela negara dan ini memang menjadi tanggung jawab negara yang harus disiapkan. Menjadi permasalahan ketika konsep tentang Wajib militer ini akan diberlakukan tanpa kajian yang komprehensif sehingga potensial menjadi bumerang.
Konsep dari penyelenggaraan wajib militer bagi seluruh warga negara harus memperhatikan beberapa kaidah, antara lain: tingkat ancaman terhadap pertahanan negara; dalam situasi darurat dan atau pertimbangan sumber daya nasional. Berdasarkan tujuan utama di bentuknya wamil adalah sebagai komponen yang dapat mendukung komponen utama (militer) menjalankan fungsi pokoknya dalam sistem pertahanan semesta yaitu fungsi pertahanan atas serangan dari luar (perang) serta operasi penjaga perdamaian (peace keeping operations), misi kemanusiaan (humanitarian missions) atau sistem penanggulangan bencana (disaster relief missions). (Beni Sukadis, 2008) Bagi suatu negara yang menerapkan wajib militer tentu mempunyai alasan kuat. Alasan utamanya adalah ancaman militer aktual dari negara lain.
Tantangan ataupun ancaman nasional dari lingkungan strategis yang dihadapi Indonesia saat ini adalah persoalan non-militer dan non-konvensional seperti persoalan politik, ekonomi, sosial dan penegakan hukum. Sedangkan untuk tingkat regional adalah permasalahan perbatasan, soal keamanan maritim dan kejahatan internasional. Ancaman di tingkat internasional yang dihadapi Indonesia adalah permasalahan HAM dan intervensi asing, kampanye perang terhadap teror, konflik kawasan dan pengembangan senjata pemusnah masal (WMD).(Beni Sukadis, 2008).
Jadi secara faktual dan laten tidak ada ancaman invasi atau agresi militer yang nyata terhadap Indonesia hingga beberapa tahun mendatang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan resmi pemerintah Indonesia lewat buku putih pertahanan Indonesia 2008, dimana dengan melihat situasi strategis keamanan pasca 2003, belum terlihat indikasi yang kuat tentang ancaman militer konvensional di negara lain.
Sejumlah ancaman keamanan yang menghantui Indonesia di masa depan sebagaimana dikemukakan oleh pengamat pertahanan Soeripto dapat dilihat di bawah ini.
Ancaman Aktual Kini dan Masa Depan
 Bencana alam, hampir ¾ wilayah Indonesia rawan bencana
 kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan tanpa memperhitungkan sumberdaya alam cadangan untuk menyelamatkan generasi yang akan datang
 identitas negara bangsa (nation state) sehubungan dengan desakan serta arus yang kuat dari globalisasi dan liberalisasi di satu sisi dan disisi yang lain sehubungan dengan berkembangnya gagasan etno-nasionalisme
 kejahatan transnasional, seperti: perdagangan obat bius, perdagangan anak dan perempuan, terorisme, kejahatan melalui teknologi informasi, pencucian uang, penyelundupan sumber kekayaan alam dan benda-benda peninggalan sejarah.

Jumlah keseluruhan personil TNI pada tahun 2007 adalah 413.729 prajurit dengan rincian dari TNI AD 317.273 personil, TNI AL 62.556 personil, TNI AU 33.900 personil. Sebagai kekuatan militer yang mempunyai personil sebesar itu tentunya Indonesia masih cukup disegani di kawasan Asia Tenggara. Menjadi permasalahan ketika sumber daya yang cukup potensial ini kekuatan TNI ternyata belum di bentuk dalam satu pengembangan organisasi yang tepat sesuai dengan pelaksanaan tugas-tugas pertahanan negara.
Jumlah pasukan TNI yang siap untuk berperang (kombatan) tidak lebih dari 30 persennya. Selama ini anggota TNI lebih banyak mengurusi sesuatu di luar core competency seperti politik, bisnis sehingga lupa akan tugas utamanya. Permasalahan anggaran juga menjadi polemik. RUU Komponen Cadangan menyebutkan bahwa mereka yang usianya 18-45 tahun atau 10% dari total penduduk di Indonesia atau 94.210.200 orang. Apabila hal tersebut jadi diterapkan anggaran yang diperlukan jika menggunakan standar TNI dalam sebuah latihan dibutuhkan Rp. 50.000 per orang per hari terdiri dari uang lauk pauk, akomodasi, sarana dan prasarana pelatihan maka untuk 30 hari latihan diperlukan biaya sebesar 141, 5 triliun rupiah, sungguh biaya yang tidak terhitung sedikit.
Melihat alasan beberapa negara yang mengakhiri wajib militer tidak terlepas dari berkurangnya ancaman atau dihilangkan status perang di suatu kawasan. Realitas ini terjadi di negara-negara Euro-Atlantik setelah Perang Dingin. Negara-negara Euro-Atlantik melakukan perubahan postur pertahanan yang ditandai dengan penyusutan jumlah pasukan dan mempromosikan peace dividend sebagai jalan keluar dari konflik dan ketegangan antarnegara. Transformasi kemiliteran berimplikasi terhadap fungsi wajib militer bagi negara-negara Euro-Atlantik yang lebih banyak bertujuan membawa misi perdamaian di daerah pascakonflik.
Modernisasi konflik pun menuntut militer dilengkapi dengan keterampilan yang lebih civilian seperti negosiasi dan layanan kesehatan. Setelah Perang Dingin, konsep militer profesional menjadi wacana dominan dengan penggabungan keterampilan tempur militer, manajemen yang efektif dan efesien, serta dukungan peralatan high tech. Revolution Military Affair secara gradual mengikis keterlibatan sukarelawan wajib militer karena alasan lamanya masa dinas seorang prajurit dan lebih mengutamakan tenaga profesional.

BAB III
PENUTUP
3.1 Penutup
Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai sistem pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Seiring dengan perubahan ancaman dan sistem pemerintahan, maka pertanyaan tentang relevansi dari wacana sishankamrata kembali mengemuka.
Kekhawatiran masyarakat sipil terutama terkait relevansi KCPN sebagai prioritas dan solusi mengatasi segala bentuk ancaman terhadap negara mengingat saat ini dan mungkin di masa depan bentuk ancaman bagi negara Indonesia cenderung berupa ancaman non militer. Potensi penyalahgunaan komponen cadangan tampaknya juga perlu dijawab. Sementara agenda penguatan komponen utama belum selesai, maka agenda pembentukan komponen cadangan menjadi sangat terburu-buru untuk diajukan.

DAFTAR PUSTAKA

Politik Hukum Pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara / Wajib Militer (Kritik Terhadap RUU KCPN), Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia Tim imparsial Mei 2008
Siaran PersNo : 047/Siaran Pers/Imparsial/V/2008 Rencana Pembentukan UU Komponen Cadangan (Wamil/Bela Negara) http://www.imparsial.or.id
Sukadis Beni, Eric Hendra (ed), Pertahanan Semesta dan Wajib Militer,
Pengalaman Indonesia dan Negara Lain, Jakarta:Lesperssi, Juli 2008
Sudah Waktunya Indonesia Punya Komponen Cadangan http://www.sinarharapan.co.id