1. Tema : Overview : Respones Of Marine Biota To Climate Change
2. Judul : Respons of Mangrove Crab To Climate Change
a. Sekilas Tentang Iklim
Iklim sangat mempengaruhi dari persebaran flora dan fauna di suatu negara, perubahan iklim akan mempengaruhi keberadaan flora dan fauna baik dari segi jumlah maupun persebaran yang semakin berkurang. Iklim sendiri adalah keadaan rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu yang relatif lama. Sedangkan wilayah Indonesia, memiliki iklim tropis yang sangat dikenali melalui tumbuhan yang sangat besar dan selalu hijau sepanjang tahun.
Kehidupan laut dan ekosistem menyediakan layanan tak ternilai ekosistem seperti daur ulang nutrien, mengatur gas rumah kaca, dan penyangga daerah pantai terhadap gelombang dan badai. Fungsi ekologis yang diberikan ekosistem laut akan berjalan dengan baik jika kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang mengancam keberlanjutan dapat diatasi dengan baik. Salah satu faktor yang mengancam keberlanjutan fungsi ekosistem dan biota di laut adalah terjadinya fenomena global warming.
Fenomena global warming terjadi akibat naiknya suhu bumi akibat kenaikan konsentrasi carbondioksida di atmosfer. Kondisi ini memicu terjadinya green house effect. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.
Menurut laporan IPCC tahun 2001 dalam Hiriah (2007), bahwa suhu udara global sejak 1861 telah meningkat 0.6oC, dan pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi pada tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.4 – 5.8 oC (2.5 – 10.4 oF). dan pada perkembangannya pada tahun 2007 Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.1-6.4oC (Hilman, 2008).
Gambar 1. Perubahan temperatur di Indonesia untuk Tahun 1950 – 2100
(Susandi, 2004)
Perubahan iklim tersebut, menurut IPCC disebabkan karena ulah manusia, dimana dalam aktifitasnya manusia melakukan pembakaran yang menghasilkan gas rumah kaca dan pembukaan lahan yang terus dilakukan baik karena jumlah penduduk yang terus meningkat namun juga dikarenakan aktifitas pembangunan lainnya.
Gambar 2. Indikasi Yang Terkait dengan Pemanasan Global
Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), digolongkan 6 jenis gas sebagai gas rumah kaca yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida (SFe), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Lebih dari 75% komposisi gas rumah kaca di atmosfer adalah CO2 (karbondioksida). Kenaikan temperatur di dunia akan mengakibatkan terjadinya kenaikan penguapan air, dimana menurut laporan IPCC total penguapan air meningkat secara global di perairan laut sebasar lebih kurang 0,3% per dekade sejak tahun 1998 sampai tahun 2004. Penguapan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya kelembaban yang membentuk hujan. Selain itu, berdasarkan hasil observasi satelit, meningkatnya aktifitas cyclone di Atlantik Utara sejak tahun 1970 memiliki korelasi dengan kenaikan temperatur pada permukaan laut. Berdasarkan data IPCC, juga terjadi kenaikan lamanya waktu kekeringan dan semakin luasnya kawasan yang terkena kekeringan, khususnya di daerah tropis dan sub-tropis sejak tahun 1970.
Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut hingga 1.1 m yang yang berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2 (Susandi et al., 2009). Perubahan Iklim sendiri berpengaruh terhadap flora dan fauna di daerah Indonesia. Akibatnya ada jenis-jenis flora dan fauna tertentu yang dapat hidup dengan jenis iklim tertentu. Faktor-faktor pembentuk iklim diantaranya: temperatur udara, angin dan curah hujan secara bersama-sama mempengaruhi persebaran flora dan fauna.
Akibat nyata dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah berupa perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam. Hal ini didukung oleh Laporan IPCC (International Panel on Climate Chiange) pada April 2007 tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi pada perubahan iklim mengemukakan bahwa kurang lebih 20-30% tumbuhan dan hewan diperkirakan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5 – 2,5 derajat celsius.
b. Dampak Perubahan Iklim
Dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim telah menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan yang akhirnya berpengaruh terhadap sosial dan ekonomi masyarakat. Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yaitu sebagai negara kepulauan (memiliki 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang panjang (81.000 km), memiliki daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh seperti area pegunungan dan lahan gambut, melakukan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif. Model global perubahan iklim memperkirakan seluruh wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur. Sebagai contoh, Jakarta mengalami laju perubahan temperatur 1,420 Celcius setiap seratus tahun untuk bulan Juli, sedangkan untuk bulan Januari 1,040 Celcius. Selanjutnya wilayah Indonesia di bagian Selatan equator seperti Jawa dan Bali, awal musim hujan rata-rata diperkirakan akan mundur dan intensitas musim hujan cenderung meningkat. Untuk wilayah Indonesia bagian Utara equator, pola perubahan hujan cenderung sebaliknya. Demikian juga dengan kenaikan muka air laut. Dari penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi, kenaikan muka air laut di Indonesia sudah mencapai 8 mm per tahun (Bakosurtanal, 2002 dalam Hilman 2008). Bila upaya pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dilakukan diperkirakan kenaikan muka air laut bias mencapai 60 cm pada tahun 2070 (ADB, 1994 dalam Hilman, 2008).
c. Dampak Pemanasan Global Terhadap Ekosistem
Dalam hairiah (2007) dilaporkan bahwa suhu bumi akan terus meningkat walaupun konsentrasi GRK di atmosfer tidak bertambah lagi di tahun 2100, karena GRK yang telah dilepaskan sebelumnya sudah cukup besar dan masa tinggal nya (life time) cukup lama bisa sampa seratus tahun. Bila emisi GRK masih terus meningkat, para ahli memprediksi konsentrasi CO2 akan meningkat hingga 3 kalo lipat pada awal abad ke 22 bila dibandingkan dengan kondisi pra-industri. Dampak dari pemanasan global terhadap lingkungan dan kehidupan, dapat dibedakan menurut tingkat kenaikan suhu dan rentang waktu (Gambar 3). Bila suhu bumi meningkat hingga 3oC diramalkan sebagian belahan bumi akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah kutub, misalnya Bangladesh akan tenggelam. Bencana tsunami akan terjadi lagi di beberapa tempat, kekeringan dan berkurangnya beberapa mata air, kelaparan dimana-mana. Akibatnya banyak penduduk dari daerah-daerah yang terkena bencana akan mengungsi ke tempat lain. Peningkatan jumlah pengungsi di suatu tempat akan berdampak terhadap stabilitas sosial dan ekonomi, kejadian tersebut sudah sering kita dengar terjadi di Indonesia paska bencana. Perubahan yang lain adalah meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Perubahan-perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak gunung, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna.
Gambar 3. Skema Dampak Pemanasan Global Terhadap Lingkungan Dunia Yang Diramalkan Seratus Tahun Mendatang http://learningfundamentals.com.au/wp.conten/uploads/combating-global-warming-map.og
Akibat perubahan global tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, pengembangan pendidikan dan sebagainya. Guna menghindari terjadinya bencana besar yang memakan banyak korban, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global.
d. Tinggi Muka Laut
Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 – 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 – 88 cm (Gambar 4).
Gambar 4. Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil sevara geologi
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasn_global
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 % daerah Belanda, 17.5% daerah Bangladesh dan banyak pulau-pulau di Indonesia. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai.
e. Kepiting Bakau
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di daerah mangrove memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Di Indonesia banyak sekali jenis kepiting yang tersebar, mulai dari lingkungan air tawar, laut hingga daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan, namun demikian ada tempat-tempat yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap kepiting mempunyai tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya, Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan bakau. Berbagai jenis kepiting dapat dijumpai di perairan Indonesia. Diperkirakan terdapat 2500 jenis spesies di Indonesia dari total 4500 spesies yang terdapat di seluruh dunia. Namun tak semuanya bisa dikonsumsi. Ada empat jenis kepiting yang umumnya dikonsumsi. Mereka adalah Scylla serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama runcing), Scylla tranquebarica (duri di sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), Scylla paramamosain (duri di dahi runcing tapi di siku lunak), Scylla olilvacea (duri di dahi dan sikutnya sama-sama lunak). Menurut Nontji (1993), Scylla serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal.
Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropis atau pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebarannya meliputi Indo-Pasifik, mulai ari pantai selatan dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Negara-negara ASEAN, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di pulau-pulau Lautan Passifik mulai dari kepulauan hawai di utara sampai ke selandia Baru dan Australia Selatan.
Gambar 5. Kepiting Bakau (Scylla sp.)
http://3.bp.blogspot.com/_dDLO8OrAD9s/SMl9WOV7X_I/AAAAAAAAADY/61pk_hlMTVg/s320/MudCrabScylla_serrata+(kepiting+bakau).jpg
f. Klasifikasi Kepiting Bakau
Adapun klasifikasi kepiting bakau adalah sebagai berikut :
Phylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata, Scylla tranquebari, Scylla oceania
Menurut Moosa at al. (1985), genus scylla termasuk dalam sub family Portunidae dengan ciri-ciri sebagai berikut : “panjang kaki jalan lebih pendek daripada capit, pasangan kaki terakhir berbentuk dayung. Karapas berbentuk lebar, dilengkapi denga 3-9 buah gigi anteroteral. Ruas dasar sungut (antenna) biasanya lebar, sudut anteroextermal kerapkali berlobi, flagel kadang-kadang berada pada orbit mata”.
Kalau dilihat secara sepintas, ketiga spesies tersebut tidak Nampak perbedaannya. Tetapi, jika diamati lebih teliti, perbedaan ketiga spesies kepiting akan tampak dengan jelas.
a. Scylla serrata
Spesies Scylla serrata memiliki warna relativ sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan satu buah duri pada propodus bagian bawah. Selain itu, habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di hutan-hutan mangrove di perairan Indonesia.
b. Scylla tranquebaric
Spesies Scylla Tranquebaric memiliki warna hijau tua dengan kombinasi kuning sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak terlalu runcing dan satu buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah.
c. Scylla oceania
Spesies Scylla oceania lebih didominasi dengan warna cokelat tua dan ukuran badannya jauh lebih besar daripada spesies yang lain. Dengan capit yang lebih panjang, maka spesies kepiting ini lebih cepat memburu makanan.
Dari ketiga spesies tersebut diatas, yang lebih banya dibudidayakan adalah Scylla serrata karena laju pertumbuhannya lebih cepat, tingkat ketahanan hidupnya lebih tinggi dan harganya pyn lebih tinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Ketiga spesies tersebut lebih jelasnya disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Jenis-Jenis Kepiting Bakau
g. Morfologi
Kepiting bakau memiliki ukuran lebar karapas lebih besar dari pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaanya agak licin, pada dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan di samping kanan dan kirinya masing-masing terdapat enambuah duri,kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari panjang karapasnya,sedangkan kepiting bakau betina relative lebih pendek. Selain itu, kepiting bakau juga mempunyai tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang, dan juga bagian kepala dan dada menjadi satu serta abdomen (perut). Bagian anterior (ujung depan) tubuh lebih besar dan lebih lebar, dapat hidup dan bertahan lama di darat. Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu:
• 2 pasang antenna
• 1 pasang mandibula, untuk menggigit mangsanya
• 1 pasang maksilla
• 1 pasang maksilliped
Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan menghantarkan makanan ke mulut.
Gambar 7. Morfologi Kepiting Bakau
h. Siklus hidup
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai,atau parairan yang berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Selain itu kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak, di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organism makanannya melimpah. Sedangkan kepiting betina yang telah malakukan perkawinan secara berlahan dan pelan-pelan akan beruaya ke perairan bakau, dan kembali ke laut untuk melakukan pemijahan, dan kepiting yang telah kembali kelaut akan mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut.
Peristiwa pemijahan terjadi pada periode bulan-bulan tertentu, terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah biasanya tidak lebih dari satu kilometer kearah laut menjauhi pantai menuju tempat. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Sementara itu, pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan jutaan telur 2.000.000 – 8.000.000 telur tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang memijah.
Gambar 8. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sampai sebanyak 5 kali sampai terbawa arus ke perairan pantai (samapi zoea V), kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini kepiting mulai beruaya pada perairan dasar lumpur menuju perairan pantai. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan daur hidup ini, maka kepiting dalam menjalankan kehidupannya diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25-27 0C dan salinitas 29-33%o, dan secara gradual salinitas suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas yang rendah (10-24%o) dan suhu diatas 10 0C. kebiasaan toleransinya terhadap suhu dan salinitas merupakan pedoman dalam memodifikasi air pemeliharaan apabila kepiting dibudidayakan dan dalam pembenihan. Namun, kisaran suhu dan salinitas yang dapat ditoleransi kepiting akan pula bervariasi tergantung dari keadaan suhu dan salinitas perairan kapan biasanya kepiting beruaya.
i. Musim Bertelur dan Pemijahan
Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, tetapi puncak kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak sama. Di Australia pemijahan berlangsung dari awal musim semi sampai awal musim gugur dengan puncaknya pada bulan Novem¬ber – Desember (akhir musim semi sampai awal musim panas), sedangkan di Afrika Tenggara memijah mulai musim semi sampai awal musim gugur. Di Thailand puncak kegiatan pemijahan berlangsung dari bulan Juli sampai bulan Desember (pertengahan awal musim panas sampai musim hujan), sedangkan di India dari bulan Desember sampai Februari. Di Filipina pemijahan berlangsung dari bulan Mei sampai September (awal musim semi sampai musim gugur) dan di Hawaii dari bulan Mei sampai Oktober (awal musim semi sampai pertengahan musim gugur).
Pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya pada bulan-bulan yang baru dengan jarak ruaya yang tak lebih dari satu kilometer dari pantai. Tetapi, pada saat-saat tertentu mereka juga pernah ditemukan memijah di tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Filipina, Hawaii, Malaysia dan Indonesia (penelitian penulis sendiri) kepiting bakau dapat dipijahkan di laboratorium dengan periode inkubasi sekitar 12 hari. Namun, sampai saat ini kelulushidupan (survival) larva hasil pemijahan di laboratorium ini masih cukup rendah.
j. Perkawinan
Perkawinan kepiting bakau berlangsung dengan cara yang sangat menarik. Sebagaimana layaknya makhluk dewasa lainnya, perkawinan kepiting bakau juga didahului dengan permainan dan percumbuan. Kepiting betina yang telah siap untuk kawin lebih dulu mencari tempat-tempat yang terlindung dan aman dari berbagai gangguan. Kepiting jantan yang tertarik untuk rnengawininya akan berusaha menghampiri kepiting betina tersebut. Bila telah dicapai “kesesuaian dan kesepakatan” untuk melangsungkan perkawinan maka kepiting jantan akan meningkatkan percumbuan sambil “menggendong” kepiting betina di bawah perutnya dengan posisi bagian perut sama-sama menghadap ke dasar perairan. Mereka secara bersama-sama dalam keadaan bergandengan tersebut akan berenang ke tempat-tempat yang sunyi. Pada saat demikian boleh dikatakan pergerakan renangnya dilakukan oleh kepiting jantan, dan dapat berlangsung sampai lima hari atau lebih. Kepiting jantan selalu siap siaga untuk menghadang berbagai gangguan dari pejantan lainnya.
Bila saat perkawinan akan berlangsung, kepiting betina mulai membuka bajunya (karapasnya) dengan cara melepaskan karapas. Pada saat demikian, kepiting bedna yang dagingnya masih sangat lunak akan mengeluarkan bau-bauan (hormon) yang tentu saja bertujuan untuk lebih menarik kepiting jantannya. Sayangnya yang tertarik bukan saja jantan kekasihnya, tetapi pejantan lain atau betina lain juga akan tertarik. Tertariknya kepiting lain ini tentu saja akan mendapat perlawanan dari sang kekasih, dan besar kemungkinan akan berlangsung pertarungan hebat. Kepiting betina yang masih dalam keadaan lunak tersebut tidak tertutup kemungkinan akan hancur berkeping-keping oleh kaki-kaki dan sapit-sapit kepiting kedua pejantan tersebut yang begitu kuat dan tajam tanpa sengaja. Atau kepiting betina yang cemburu dan tertarik akan bau yang cukup dikenalnya akan mengoyak-ngoyak kepiting betina yang masih lunak tersebut.
Bila kepiting betina yang baru saja lepas baju (moulting) tadi selamat dari gangguan pejantan atau betina lain yang pencemburu, maka kepiting jantan pacarnya atau kepiting lain yang menang dalam pertarungan akan mendekati dan membelai kepiting-kepiting betina yang kulitnya sudah agak mengeras dengan pelan-pelan sambil berusaha membalikkannya. Dalam keadaan saling beradu tubuh perut (abdomen) ini mereka berenang pelan-pelan dan setelah beberapa jam kemudian perkawinan berlangsung.
Perkawinan (kopulasi) biasanya berlangsung selama 7-12 jam dan sesudah itu mereka akan berpisah, pada saat baju (karapas) kepiting betina telah kembali mengeras seperti semula. Di alam kepiting muda dengan panjang karapas 55 mm sudah melakukan perkawinan pertama dan perkawinan berlangsung selama 26 jam sedangkan kopulasi berlangsung selama tujuh hari yang diantarai dengan waktu istirahat.
Di laboratorium, proses perkawinan kepiting bakau dapat diamati dengan baik apabila akuarium yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan tiruan beberapa kondisi perairan alamiahnya. Induk yang sedang mengerami telurnya akan terlihat berenang dengan kaki dayungnya dan sering berdiri pada kaki jalannya dan masa telurnya akan ditempelkan sebagian di dasar akuarium. Bila masa telur sudah sebagian lepas dari abdomennya, maka dalam waktu yang singkat telur-telur tersebut akan menetas. Abdomen akan terus-menerus berkontraksi sampai semua telur lepas dari abdomennya. Saat demikianlah yang disebut dengan fase “Proto (pre) zoea, yang dalam waktu setengah jam akan men-jadi zoea pertama (Z I) setelah melalui pemecahan cangkangnya”.
Sebagian besar telur yang ditetaskan dalam rangkaian di pleo-pod (tempat menempelkan telur di perutnya) langsung menjadi zoea pertama. Larva (Zoea I) ini akan terus-menerus dilepaskan selama 3 – 5 jam, tetapi apabila induk kepiting berada dalam keada¬an sangat terangsang, maka seluruh telur akan menetas dalam waktu sekitar setengah jam. Pada saat ini kontraksi pleopod dan abdomen meningkat cepat juga kaki-kaki perenangnya akan terus-menerus mengipasi massa telur dan pada saat yang bersamaan pasangan periopod (kaki jalan) ke-2 dan ke-4 menggaruk massa telur berulang-ulang. Sebagian telur yang tidak dan belum menetas akan tenggelam ke dasar akuarium.
Diperkirakan kepiting betina mengandung dua sampai delapan juta telur tergantung dari ukuran dan umurnya, sedangkan yang berhasil menempel di pleopodnya diperkirakan sepertiganya. Betina bertelur dan ditangkap dalam kondisi baik (sehat) di alam dapat dipijahkan di laboratorium sampai tiga kali dalam waktu lima bulan tanpa pergantian kulit. Namun jumlah telur pada penetasan kedua dan ketiga emakin berkurang dan jauh lebih sedikit dari penetasan pertamanya.
k. Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat Zoea I, II, III, IV, V dan megalopa, sedang¬kan pada fase kepiting dikenal dengan tingkat kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur (gonada) merujuk pada dngkat kematangan indung telur yaitu (Gambar 6).
Menjelang matang, indung telur berukuran kecil dan pucat, telur-telur belum dapat dilihat dengan mata telanjang, berbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna kuning keputihan.
Apabila sedang matang, indung telur ukurannya bertambah besar mengisi hampir seluruh permukaan ruangan bagian punggung di daerah dada, berwarna merah atau kuning keemasan. Karena sudah ada sejumlah kecil kuning telur, telur-telur sudah dapat dilihat dan mulai dapat dibedakan karena sudah berkembang dengan baik.
Matang telur, indung telur terbungkus penuh berisi telur yang sudah matang, berwarna merah muda, dan bila karapasnya dibuka akan kelihatan seluruh ruangan dada berisi indung telur (ovari).
Gambar 9. Perkembangan Telur dan Larva Kepiting (Scylla serrata)
Keterangan :
a. Telur dalam fase blastula
b. Zoea dalam telur yang masih belum dierami.
c. Zoea dalam telur, keluar dari sel telur yang pecah
d. Kapsul telur masih menempel pada rambut zoea
e. Larva zoea pertama yang berenang bebas
f. Larva zoea kedua dipandang dari samping
Bila beberapa telur diambil dan diperiksa di bawah mikroskop, akan terlihat jelas mata calon zoea berwarna hitam dan gerakan-gerakan tubuhnya.
Salin mijah, indung telur menciut menjadi sepasang filamen berwarna merah muda-pucat dan di beberapa tempat dalam filamen ini terdapat telur-telur matangyang tidak dikeluarkan pada waktu pemijahan.
Awal kepiting bakau mencapai kematangan kelamin adalah sekitar setelah lima bulan menetas, tetapi ada kemungkinan bervariasi menurut lokasi dan kondisi perairannya.
Pada fase larva tingkat perkembangan yang setiap tingkatnya dibatasi dengan penggantian kulit (moulting) sebelum mencapai tingkat megalopa. Pada saat matang telur menjelang ditetaskan, calon larva yang akan ditetaskan tersebut disebut pre- (proto) zoea, dan setelah ditetaskan disebut zoea pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Pada sedap penggantian kulit zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat, dan pada tingkat megalopa bentuk tubuhnya sudah mirip kepiting dewasa kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang.
Bila megalopa berganti kulit untuk menjadi kepiting muda per¬tama, abdomen berbentuk ekor ini berubah menjadi abdomen seperti yang dimiliki kepiting dewasa. Abdomen kepiting betina berbentuk lonceng (Stupa) dan abdomen kepiting jantan berben¬tuk tugu. Fase megalopa ini merupakan fase transisi antara fase larva dan fase kepiting (Gambar 10).
Berdasarkan percobaan di laboratorium, dengan kondisi pemeliharaan (suhu, salinitas, makanan dan sistem) yang berbeda, lama antara penggantian kulit (intermoult) dan waktu untuk metamorfosis-1 juga berbeda. Waktu yang diperlukan untuk setiap tingkat dari zoea I sampai zoea V umumnya 3-5 hari, sedangkan lamanya metamorfosis-2 dicapai 17-26 hari. Hal yang sama juga ditemukan pada megalopa dan, lama instar sebagai megalopa adalah 7-12 hari.
Gambar 10. Perkembangan larva kepiting (Scylla serrata) dan tingkat megalopa
Keterangan :
a. Zoea satu d. Zoea empat
b. Zoea dua e. Zoea lima
c. Zoea tiga f. Tingkat megalopa
Umumnya pada salinitas pemeliharaan 29 – 33% perkembangan dari zoea sampai megalopa memerlukan paling kurang 18 hari, dan setiap tingkat zoea berlangsung paling kurang 3-4 hari sebelum berganti kulit menjadi tingkat selanjutnya. Tingkat mega¬lopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29 – 33%o sebe¬lum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Bila salinitas air pemeliharaan lebih rendah (21 – 27%o), periode megalopa ber¬langsung menjadi 7-8 hari. Dalam perkembangannya megalopa di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brack¬ish water). Walaupun megalopa sudah menggunakan kelima kaki pleiopodnya, tetapi lebih sering megalopa ini beristirahat di dasar akuarium.
Fase kepiting muda berawal setelah megalopa berganti kulit menjadi fase kepiting muda, kedua dan seterusnya sampai ke ting-kat 16 atau 17, yaitu fase terakhir kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan pertama kali pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah berganti kulit 16 kali dalam fase kepidng muda) dengan panjag karapas sekitar 100 mm. Tetapi, tergantung pada laju pertumbuhannya, ada kepiting muda yang baru memulai perkawinan pertamanya pada tingkat kepiting ke-18 atau ke-19.
Interval waktu minimum dari mulai ditetaskan sampai tingkat perkawinan (kopulasi) pertama adalah 369 hari, dan lebar karapas-nya minimum untuk betina sekitar 99 mm. Masa pemijahan setelah perkawinan tingkat ketiidng ke-16 berlangsung sekitar 60 hari, atau 1 tahun 1 bulan dan 6 hari semenjak ditetaskan, sedangkan untuk tingkat kepiting ke-17 berlangsung sekitar 83 hari setelah kopulasi atau 1 tahun 9 bulan 15 hari sejak ditetaskan.
l. Makanan dan Kebiasaan Makan (Feeding Behavior)
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-scavenger). Mereka memakan tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan, bahkan bangunan-bangunan kayu dan bambu di tambak. Tangan dan sapitnya yang besar dan kuat memungkinkan menyerang musuh dengan ganas atau merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya mirip dengan bila kita makan dengan menggunakan garpu. Waktu makannya juga tidak beraturan, namun malam hari lebih aktif makan dari siang hari.
Berbeda dengan kepiting dewasa, larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat-tingkat awal. Makanan terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetraselmis, Chlorella, rotifer (Brachionus sp), larva ekinodermata, larva berbagai moluska, cacing dan Iain-lain. Dengan kata lain, makin tinggi tingkat larvanya makanan pun lebih bersifat carnivour-omnivour.
Di laboratorium makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup dan bergerak lebih disenangi larva dari pada makanan berupa tumbuhan (fitoplanktonik) atau yang mati dan diam. Makanan hidup ini diperlukan karena larva diperkirakan memperoleh makanan bukan dengan mengejar makanan, tetapi dalam gerak renangnya yang masih terbatas bertabrakan dengan organisme makanan secara kebetulan. Jadi, makanan planktonik hidup ini sangat penting artinya bagi kelulushidupan (survival) larva kepiting.
Dalam pemeliharaan di laboratorium, makanan hidup yang diberikan kepada larva diusahakan berukuran tubuh yang lebih kecil dari pada ukuran larva sesuai dengan tingkatan larvanya. Zoea tingkat-tingkat awal (Zoea I, II, dan III) tidak aktif mencari maka¬nan. Larva kelomang, Pagurus longiceps maupun nauplii Artemia salina atau larva rajungan, Callinectes sapidus, misalnya bagi larva tingkat-tingkat awal ini dianggap cukup besar ukurannya, sehingga yang dapat dilepaskannya hanyalah umbai-umbai larva atau Artemia yang diberikan. Itulah sebabnya untuk larva tingkat-tingkat awal ini sebaiknya diberikan rotifer, Brachionuspiicatilisdan fitoplankton.
Nauplii Artemia salina yang dianggap sebagai makanan baku dalam kultur krustasea dan ikan ternyata kurang cocok diberikan kepada larva awal kepiting. Selain rotifer, dapat pula diberikan antara lain kopepoda berukuran kecil, gastrula bulu babi dan post-trochopore, Arenicola marina dengan tambahan kuning telur, ragi rod, cincangan halus daging ikan atau daging udang dan kerang-kerangan, yang diberikan dalam bahan asalnya atau dalam bentuk mikro kapsul. Tambahan pupuk dan vitamin diperlukan untuk perkembangan fitoplankton. Jenis makanan lain dapat pula dicobakan.
m. Salinitas dan Suhu
Salinitas dan suhu di samping makanan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme laut dan estuaria (muara sungai). Perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme, sedangkan perubahan suhu sangat berperan dalam kecepatan metabolisme dan kegiatan organisme lainnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Sedangkan penyesuaian terhadap suhu dilakukan dengan cara membenamkan diri dalam lubang berlumpur atau melalui transpirasi dan pengubahan warna.
Pada salinitas perairan yang rendah, larva tingkat-tingkat akhir lebih toleran dari pada larva tingkat-tingkat awal. Keadaan ini diper¬lukan karena larva tingkat-tingkat akhir harus mencari perairan muara sungai atau berhutan bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindung dan mencari makanan. Biasanya kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dari pada perairan tawar.
Pada suhu perairan yang tinggi, laju metabolisme dan aktivitas gerak meningkat, demikian pula sebaliknya. Suhu juga berpengaruh terhadap berbagai fungsi organisme seperti laju perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhan dan reproduksi. Seperti juga terhadap salinitas, toleransi kepiting terhadap suhu ditentukan oleh tingkat umur, tingkat daur-hidup dan jenis kelamin.
Pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap kehidupan kepiting belum begitu banyak diketahui. Pengetahuan tentang toleransi organisme terhadap suhu dan salinitas ini akan dapat memberikan petunjuk yang berarti, bukan saja untuk kebutuhan organisme itu sendiri, tetapi juga untuk berbagai kondisi yang diperlukan agar setiap tingkat kehidupannya berada dalam keadaan normal. Hal ini sangat diperlukan dalam pembudidayaannya, baik di laboratorium maupun di alam (tambak). Meskipun belum ada petunjuk yang pasti tentang standar kualitas kehidupan kepiting bakau, beberapa peneliti telah membuat paramaeter kualitas air bagi kehidupan kepiting bakau, diantaranya oleh Syaripuddin (2006) yang ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Air Yang Ideal Bagi Kepiting Bakau
Dalam daur hidupnya kepiting bakau menghabiskan sebagian besar waktunya di estuaria dan rawa-rawa bakau. Setelah perkawinan berlangsung, biasanya berada di rawa-rawa bakau, kepiting betina secara berangsur-angsur akan beruaya ke arah laut untuk mencari tempat memijah. Di Hawaii, kepiting memijah pada saat suhu air rata-rata 25,8°C dan di Thailand 29,0°C. Tetapi di Afrika Tenggara pernah ditemukan kepiting memijah pada suhu 20° sampai 26°C dan pada salinitas 20 sampai 24%, dan di Jepang pada awal musim semi saat suhu 20 – 22°C.
Toleransi zoea kepiting bakau terhadap suhu dan salinitas juga tidak sama untuk setiap perairan. Di Afrika Tenggara, zoea I tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17%o) dan suhu tinggi (di atas 25°C), sedangkan di Jepang Z I – IV seringkali dipelihara pada suhu 20 – 25°C. Inilah yang menjadi petunjuk mengapa kepiting tidak memijah di estuaria karena zoea awal tidak tahan terhadap kombinasi salinitas yang rendah dan suhu yang tinggi. Kondisi salinitas dan suhu yang tinggi di estuaria pun sering berubah-ubah, khususnya bila turun hujan lebat atau pada musim-musim kemarau yang panas.
n. Fisiologi Kepiting Bakau
1. Alat reprodusi
Kepiting bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat kelamin yang terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat organ kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian depan. Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian depan agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak membulat dan lebih lebar. Dan perkawinan terjadi di saat suhu air mulai naik, biasanya betina akan mengeluarkan cairan kimiawi perangsang, yaitu pheromone kedalam air untuk menarik perhatian kepiting jantan, setelah jantan berhasil terpikat maka kepiting jantan akan naik ke atas karapas kepiting betina untuk berganti kulit (molting), selama kepiting betina molting maka kepiting jantan akan melindungi kepiting betina selama 2-4 hari sampai cangkang terlepas, kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan kopulasi/ perkawinan. Biasanya, kopulasi berlangsung 7-12 jam dan hanya akan terjadi jika karapas kepiting betina dalam ke adan lunak. Spermatofor kepiting jantan akan di simpan di dalam supermateka kepiting betina sampai telur siap di buahi. Telur di dalam tubuh kepiting betina yang suda matang akan turun ke oviduk dan akan di buahi oleh sperma.
Proses pemijahan kepiting bakau tidak halnya seperti udang yang hanya terjadi pada malam hari ( kondisi gelap ). Kepiting bakau juga dapat melakukan perkawinan/ pemijahan pada siang hari.
2. Sistem Pencernaan
Pencernaan adalah proses penyederhanaan makanan melaului cara fisik dan kimia, sehingga menjadi sari-sari makanan yang mudah diserap di dalam usus, kemudian diedarkan ke seluruh organ tubuh melalui sistem peredaran darah. Jenis pakan yang di konsumsi kepiting bakau dapat berupah artemia, ikan rucah, daging kerang-kerangan, hancuran daging siput, dan lumut. Pemberian pakan tergantung pada ukuran kepiting bakau, bila masih larva biasanya Brachionus plicatilis, Tetracelmis chuii dan Naupli artemia. Kepiting bakau juga bersifat kanibalisme biasanya dia akan menyarang kepiting lain yang sedang dalam kondisi lemah atau ganti kulit (molting).
Alat pencernaan terbagi menjadi tiga : tembolok, lambung otot, lambung kelenjar. Didalam perut kepiting terdapat gigi kalsium yang teratur berderet secara longitudinal, selain gigi kalsium juga terdapat gastrolik yang berfungsi mengeraskan rangka luar (eksoskeleton) setelah terjadi eksdisis (pengelupasan kulit). Urutan pencernaan makanannya dimulai dari mulut, kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus dan anus. Hati (hepar) terletak di dekat lambung. Sisa-sisa metabolisme tubuh diekskresikan lewat kelenjar hijau.
3. Sistem Peredaran Darah
Sistem sirkulasi adalah sistem yang berfungsi untuk mengangkut dan mengedarkan O2 dari perairan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan, juga mengangkut enzim, zat-zat nutrisi, garam-garam, hormon, dan anti bodi serta mengangkut CO2 dari dalam usus, kelenjar-kelenjar, insang, dan sebagainya, keluar tubuh. Sistem peredaran darah pada kepiting bakau disebut peredaran darah terbuka karena beredar tanpa melelui pembuluh darah. Darah tidak mengandung hemoglobin (Hb) melainkan hemosianin yang daya ikatnya terhadap oksigen rendah
4. Sistem Respirasi/ Pernapasan
Pernafasan : pertukaran CO2 (sisa-sisa proses metabolisme tubuh yg harus dibuang) dengan O2 (berasal dari perairan, dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme dsb). Kepiting bakau bernapas umumnya dengan insang, kecuali yang bertubuh sangat kecil dengan seluruh permukaan tubuhnya dan memiliki sebuah jantung untuk memompa darah.
Mekanisme pernafasan : Pertukaran gas CO2 dan O2 terjadi secara difusi ketika air dari kepiting yang masuk melalui mulut, terdorong ke arah daerah insang. O2 yang banyak dikandung di dalam air akan diikat oleh hemosianin, sedangkan CO2 yang dikandung di dalam darah akan dikeluarkan ke perairan. Darah yang sudah banyak mengandung O2 kemudian diedarkan kembali ke seluruh organ tubuh dan seterusnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan O2 pada kepiting bakau :
1. Ukuran dan umur (standia hidup)
2. Aktivitas kepiting bakau
3. Jenis kelamin
4. Stadia reproduksi
6. System saraf dan hormon
Kedua sistem ini dapat dikatakan sebagai sistem koordinasi untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan dan perubahan status kehidupan (reproduksi). Perubahan lingkungan akan diinformasikan ke sistem saraf (saraf pusat), saraf akan merangsang kelenjar endokrin agar hormon dikirim ketempat yang dituju untuk mengeluarkan hormon-hormon yang dibutuhkan agar merangsang organ yang teleh di tentukan dan aktivitas metabolisme jaringan-jaringan. Sistem saraf terdiri dari system saraf tangga tali pada system sarafnya terjadi pengumpulan dan penyatuan gangliondan dari pasangan-pasangan gangfliondan dari pasangan ganglion keluar saraf yang menuju ketepi. Alat indra berupa sepasang mata majemuk (faset) bertangkai yang berkembang dengan baik.
Sistem Hormon : Hormon dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar hormon, yaitu hormon pertumbuhan, hormon reproduksi, hormon ekskresi & osmoregulasi.
Menurut hasil kelenjar hormon :
– Endo hormon : yang bekerja di dalam tubuh, seperti hormon-hormon di atas
– Ekto hormon : yang bekerja di luar tubuh, seperti fenomen yang merangsang
jenis kelamin lain mendekat untuk berpijah.
5. Sistem Ekskresi Dan Osmoregulasi
Ekskresi adalah sistem pembuangan proses metabolisme tubuh (berupa gas, cairan, dan padatan) melalui ginjal, dan saluran pencernaan. Sistem Osmoregulasi : sistem pengaturan keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh (air dan darah) dengan tekanan osmotik habitat (perairan). Organ-organ dalam sistem ekskresi : saluran pencernaan, dan ginjal. sedangkan organ-organ sistem osmoregulasi : ginjal, insang, lapisan tipis mulut. Fungsi ginjal disini adalh untuk menyaring sisa-sisa proses metabolisme untuk dibuang, zat-zat yang diperlukan tubuh diedarkan lagi melalui darah dan mengatur kekentalan urin yang dibuang untuk menjaga keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh
o. Efek Perubahan Iklim Terhadap Kepiting Bakau
Keberadaan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh habitan hidupnya, apabila habitat hidupnya cocok maka keberadaannya akan aman, namun apabila kondisi lingkungannya tidak memadai untuk kehidupannya, otomatis kepiting bakau tidak bisa hidup secara uptimum. Adapun habitat kepiting bakau adalah berada di kawasan hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat di daerah pantai tropis. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan gelombang. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan tergenang air laut secara periodik, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai, mata air dan air tanah, airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt (Nirarita et al dalam Nursal et al, 2005). Adanya faktor lingkungan tersebut menyebabkan habitat mangrove bersifat spesifik yang hanya dapat ditempati oleh jenis tumbuhan dan fauna tertentu yang telah teradaptasi dengan lingkungan setempat.
Ekosistem mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai kearah daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Maulana dalam Candra (2007) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya zonasi pada hutan mangrove, yaitu frekuensi pengendapan, salinitas dan vegetasi yang mendominasi wilayah tersebut. Zonasi yang berbeda-beda pada ekosistem mangrove terjadi akibat perbedaan adaptasi jenis-jenis mangrove terhadap faktor-faktor lingkungan yang ada.
Menurut Bengen (2002), beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air.
3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam.
4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora apiculata, Aviccennia alba dan Sonneratia.
5. Pasokan dan aliran air tawar
Sumber : Bengen (2002)
Gambar 11. Zonasi Vegetasi Mangrove
Adapun dampak global warming terhadap Scylla serrata adalah
1. Terjadi pengaruh behavior feeding oleh kepiting bakau. Apabila perubahannya secara pendek maka pengaruhnya adalah negatif dan akan terjadi kematian, hal tersebut dikarenakan terjadi stressing yang berat bagi kehidupan kepiting bakau.
2. Positif, apabila spesies tersebut bisa melewati masa kritis maka akan menjadi spesies yang lebih tangguh dari pada kondisi sebelumnya.
3. Terjadi perubahan pola reproduksi
Dari kajian diatas didapatkan beberapa permasalahan yang dapat dikaji untuk bisa diteliti dimasa akan datang antara lain :
1. Kajian kelimpahan dan distribusi kepiting bakau (Scylla Sp.) serta keterkaiatannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove
2. Kajian pembuatan bibit kepiting bakau tahan fluktuasi salinitas dan suhu
3. Kajian pengaruh salinitas terhadap ketahanan hidup kepiting bakau
4. Penelitian pembuatan kawasan konservasi kepiting bakau
5. Manipulasi ruaya bagi kepiting bakau
6. Kajian kipiting bakau sebagai early warning system untuk pencemaran perairan
7. Kajian dampak global warming terhadap genetika kepiting bakau
8. Kajian feeding behavior kepiting bakau, kaitannya dengan perubahan suhu dan salinitas secara ekstrim
Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk bagi pemanfaatan kepiting bakau ditampilkan pata Tabel 4.
Tabel 4. Riwayat penelitian yang telah dilaksanakan bagi kepiting bakau
Penelitian Kelebihan Kekurangan
Pemeliharaan larva kepiting bakau dengan perbedaan waktu awal pemberian pakan mikro sebagai pakan tambahan. Diketahui kapan waktu awal yang tepat pemberian pakan mikro sebagai tambahan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Skala penelitian adalah skala kecil sehingga membutuhkan aplikasi di media yang lebih besar
The effect of osmotic at various medium salinity on vitality of female mud crab Diketahui pengaruh salinitas terhadap vitalitas mud crab Belum didapatkan pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup
Pemanfaatan lahan mangrove dengan system tumpang sari (Sylvofishery system) dan kemungkinan dilakukan upaya konservasi kepiting di lahan mangrove dimasa datang Diketahui kepastian dapat atau tidaknya konservasi kepiting di lahan mangrove Belum dinyatakan secara jelas keunggulan kawasan tersebut yang bias dijadikan masukan untuk mendukung pembuatan dan pengembangan kawasan konservasi
Pengaruh jenis selter yang berbeda dalam upaya pembesaran krablet kepiting bakau asal pembenihan Diketahui jenis selter yang menunjukkan tingkat kelangsungan hidup optimal krablet kepiting bakau Tidak dilakukan penelitian pula terhadap jenis dan kualitas pakan buat kepiting di selter tersebut
Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla paramamosain Asal hatcher di Lahan Mangrove Dapat diketahui kemungkinan pemanfaatan mangrove dan pembesaran kepiting dengan system tumpang sari dan sekaligus dilakukan upaya konservasi kepiting di lahan mangrove Belum diketahui sejauh mana krablet kepiting bakau dapat berkembang dan maksimum umurnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Candra, H.A. 2007. Estimasi Nilai Ekonomi dan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Pangeranan Kabupaten Bangkalan. Unpublished. Laporan Skripsi Universitas Trunojoyo Madura.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. & Sitepu, J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Hairiah, K. 2007. Perubahan Iklim Global Dampak dan Bahayanya. Modul Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang
Hidayat, W.A. 2009. Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis Dan Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Kondisi Dan Potensi Konservasi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan
Hilman, M. 2008. TATA RUANG DAN PERUBAHAN IKLIM. Materi Seminar Kerusakan Lingkungan.
Kanna, I. Budi Daya Kepiting Bakau. Penerbit Kanisius (http://books.google.co.id/books?id=FGVJTJPhbCYC&pg=PA14&lpg=PA14&dq=%22klasifikasi+kepiting+bakau%22&source=bl&ots=NLGKOW3CJM&sig=5KncXXJzcRIvnC1PWvrbtj8uxzM&hl=id&ei=pltYS7GWEJWXkQWwy7XkBA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&ved=0CAsQ6AEwAg#v=onepage&q=%22klasifikasi%20kepiting%20bakau%22&f=false
Karim, M. Y. 2007.The Effect of Osmotic at Various Medium Salinity on Vitality of Female Mud Crab (Scylla olivacea) . Journal : The Effect of Osmotic at Various Medium Salinity Vol.14.No.1.Th.2007 . Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hassanudin
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Jakarta. Penerbit Bharata.
Khan M.K., Sarwar, G.M, & Islam, J. 2008. Climate Change and Strategic Adaptation Provisions for Coastal Bangladesh. National Seminar on Mangrove for Sustainable Livelihood & Adaptation to Climate Change Bangladesh 27 February
Kordi, M. 1997. Budidaya Kepiting & Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang. Dahara Prize.
Nondji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nursal, Fauziah Y & Ismiati, 2005. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Biogenesis Vol. 2(1):1-7, 2005. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi: PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
Rusdi, I. & Hanafi A. 2008. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla paramamosain Asal hatcher di Lahan Mangrove. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional.
Susandi, A., Herlianti, I., Tamamadin, M., Nurlela, I. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008
Syahidah, D & Rusdi, I. 2008. Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Dengan Perbedaan Waktu Awal Pemberian Pakan Mikro Sebagai Pakan Tambahan. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional.
Syaripuddin. 2006. Teknik Pemeliharaan Penggemukan Kepiting Bakau. Materi Pelatihan Budidaya Kepiting Bakau kerjasama antara Asean Development Bank dengan Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee (ADB – BBAP), tangggal 11 – 12 November 2006.
UJIAN AKHIR SEMESTER BIOLOGI LAUT
Dr. NEVIATY P. ZAMANI
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEPITING BAKAU
(Scylla sp.)
Oleh :
Wahyu A’idin Hidayat
(C551090071)