Pembangunan sektor pertanian terdiri dari lima subsektor yaitu subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Tujuan pengembangan sektor pertanian diarahkan pada peningkatan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja, dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha. Pembangunan sektor pertanian melalui peningkatan kontribusi subsektor tanaman pangan dan hortikultura merupakan salah satu upaya untuk memperkuat perekonomian nasional.
Hortikultura merupakan salah satu komoditas potensial untuk dikembangkan diantara banyak pilihan dalam pengembangan agribisnis. Komoditas hortikultura dapat berproduksi dengan baik pada lingkungan geografis yang sesuai. Salah satu komoditas hortikultura yang berpotensi adalah tanaman kentang. Kentang (Solanum tuberosum L ) merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang mendapatkan prioritas untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini banyak berkembang industri makanan ringan dan restoran cepat saji yang salah satu bahan bakunya adalah kentang. Adanya perkembangan industri tersebut akan meningkatkan permintaan produk kentang baik dalam jumlah maupun tuntutan akan mutu yang aman untuk dikonsumsi. Jumlah permintaan kentang dapat dilihat dari pola data konsumsi nasional yang cenderung meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 yang disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah konsumsi nasional (kg/tahun) tahun 2003 – 2006.
Tahun | Jumlah konsumsi (kg) |
2003 | 358.560.000 |
2004 | 345.828.000 |
2005 | 398.341.199,6 |
2006 | 426.338.492,2 |
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, 2008
Pada Tabel 1 tersebut memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi kentang nasional cenderung mengalami peningkatan yang berarti perlu diimbangi dengan peningkatan produksi dan luas tanam. Namun, hal tersebut belum diikuti oleh peningkatan jumlah persediaan benih kentang yang berkualitas.
Varietas yang dominan beredar di pasaran adalah Granola. Dalam SK Mentan No 444/Kpts/TP240/6/1993 produktivitasnya mencapai 26.500 kg/ha, akan tetapi sekarang ini dari hasil pengamatan di lapangan produktivitasnya hanya sebesar 15.000 kg/ha (Departemen Pertanian, 2006). Rendahnya produktivitas kentang tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain : (1) masih terbatasnya penggunaan benih kentang berkualitas, (2) benih kentang belum cukup tersedia di lapangan pada waktu diperlukan oleh petani, (3) sebagian besar petani menggunakan benih umbi kentang dari generasi lanjutan yaitu hasil panen yang sengaja disisihkan dan disimpan untuk dimanfaatkan sebagai benih (Pitojo, 2008). Benih yang dihasilkan petani tersebut mempunyai kelemahan, antara lain mudah tertular penyakit dan terjadi degradasi hasil setelah generasi ke lima (Prahardini et al, 2007).
Berdasarkan standar toleransi hama dan penyakit dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), benih kentang di Indonesia dikelompokan menjadi empat yaitu:
- Breeder Seed/BS (G0).
- Benih Dasar/BD (G1 dan G2).
- Benih Pokok/BP (G3).
- Benih Sebar/BR (G4).
Kelas benih untuk petani penangkar adalah G3 atau benih pokok yang akan diperbanyak menjadi G4 atau benih sebar. G bukan sekedar generasi atau turunan tetapi sebenarnya adalah kekhususan standar hama penyakit suatu kelas benih baik waktu proses pertumbuhan dan perkembangan di lapangan maupun di gudang. Benih G ditandai dengan adanya label yang diterbitkan oleh BPSB.
Saat ini sentra pengembangan benih kentang di Indonesia tersebar di beberapa wilayah seperti Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Kebutuhan benih kentang nasional untuk varietas Granola pada tahun 2005 mencapai 114.894.000 kg dan baru bisa dipenuhi 5.508.000 kg (4,79 persen) dari dalam negeri. Pemerintah mengharapkan pada tahun 2010 ketergantungan akan benih impor sudah harus dihentikan dan digantikan peran aktif petani penangkar benih kentang dalam menyediakan benih berkualitas (Departemen Pertanian, 2006).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah (2006), pertanaman kentang di Jawa Tengah rata-rata 10.000 ha/tahun yang berarti membutuhkan 15.000.000 kg benih kentang bersertifikat. Namun, kebutuhan tersebut baru terpenuhi 4 persen dan keterbatasan itu dikarenakan penangkar benih kentang hanya terpusat di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Selama ini apabila ketersediaan benih kentang bersertifikat di wilayah Jawa Tengah tidak mencukupi, para petani kentang akan membeli benih di wilayah Jawa Barat khususnya Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Namun, hal tersebut juga akan menjadikan pertimbangan bagi para petani kentang karena akan menambah biaya transportasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Pemerintah berharap Propinsi Jawa Tengah mampu berswasembada benih kentang bersertifikat untuk memenuhi kebutuhan benih secara regional dan mampu berkontribusi secara nasional. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan upaya untuk memperbanyak benih kentang bersertifikat. Diharapkan sampai tahun 2010 mendatang terjadi peningkatan produksi pada tiap kelas benih kentang.
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk usahatani penangkaran benih kentang, karena dilihat dari aspek agronomisnya daerah tersebut memiliki kondisi tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman kentang. Menurut data BPSB tahun 2007, produksi benih kentang varietas Granolauntuk kelas G4 di Kabupaten Banjarnegara mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2002, produksi benih mencapai 10.000 kg. Kemudian untuk tahun 2003, 2004, 2005, 2006, dan 2007 masing-masing mengalami peningkatan yaitu sebesar 29.500 kg, 61.500 kg, 84.350 kg, 133.500 kg, dan 178.200 kg. Dari hasil peningkatan data tersebut dapat diketahui bahwa semakin bertambahnya petani kentang konsumsi yang menggunakan benih bersertifikat. Selain itu, apabila ditinjau kembali akan kebutuhan benih kentang bersertifikat wilayah Jawa Tengah yang masih belum tercukupi dan adanya proyek pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan perbenihan hortikultura menggambarkan adanya prospek atau peluang usaha yang terbuka lebar bagi para penangkar benih kentang untuk meningkatkan produksi benih kentang yang bersertifikat.
Namun, yang selalu menjadi pertimbangan petani selama ini untuk memulai suatu usaha adalah apakah komoditas yang diusahakan tersebut menguntungkan atau tidak dan juga karena adanya keterbatasan penyediaan faktor produksi terutama modal. Usahatani penangkaran benih kentang ini memerlukan pemakaian faktor produksi yang cukup intensif seperti lahan, benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Hal ini mengharuskan petani dalam memperhitungkan modal yang dikeluarkan untuk membiayai usahataninya sebelum memutuskan untuk mengusahakan penangkaran benih kentang.
Daftar Pustaka Silahkan lihat di artikel berikut : Aspek Pembenihan Kentang