PERBEDAAN KESEPIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA DIRUMAH SENDIRI, LANSIA YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA DIRUMAH ANAK, DAN LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO
KRISTINDA PUJI VERAWATI
80 2009 114
Usulan Pembimbing
Pembimbing I :Dr. Christiana Hari S., M. S.
Pembimbing II :K. D. Ambarwati, M. Psi
Usulan Pembimbing
Pembimbing I : Dr. Christiana Hari S., M. S.
Pembimbing II :Drs. Aloysius LS., MA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup seorang diri namun lebih senang hidup berkelompok. Manusia memerlukan pergaulan atau hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain.Hal ini sama seperti yang diutarakan Aristoteles (384-322 sebelum masehi) bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya manusia pada dasarnya ingin selalu bergaul dan berkumpul menjadi makhluk yang bermasyarakat. Dapat dipastikan, tidak ada manusia normal di dunia ini yang menghendaki hidup sendirian, terasing, atau diasingkan kecuali ada faktor-faktor khusus yang menjadi penyebabnya. Jika seseorang tidak memiliki teman dekat atau diasingkan dari komunitasnya, maka orang tersebut akan merasa kesepian walaupun sedang berada ditengah-tengah keramaian orang banyak.
Kesepian merupakan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang dapat dialami oleh seseorang (Warren, 2007). Kesepian dapat timbul karena seseorang membutuhkan orang lain untuk membina hubungan khusus yang salah satunya adalah persahabatan akrab sampai kasih sayang yang mendalam (Lake, 1986). Hal serupa juga diungkapkan oleh Korkow (dalam Setyowanti, 2009), yaitu salah satu penyebab dari kesepian adalah transisi kehidupan. Kesepian dapat terjadi pada setiap orang baik anak-anak, remaja, dewasa hingga lanjut usia sekalipun.
Menjadi lebih tua adalah sebuah seri dari perubahan, dan perubahan apa pun dapat menciptakan kesepian dalam hidup (Warren, 2005). Seperti yang dialami oleh lanjut usia (lansia) dimana mereka akan mengalami proses penuaan atau aging yang merupakan suatu proses dinamis sebagai akibat dari perubahan sel, perubahan fisiologis, dan perubahan psikologis (Afida, 1996). Sehingga dalam masyarakat masa tua sering diidentikan dengan masa penurunan dan ketidakberdayaan.Mereka beranggapan bahwa masa tua itu tidak berguna, lemah, tidak memiliki semangat hidup, pelupa, penyakitan, dilupakan keluarga, dan sebagainya. Padahal dengan beberapa penurunan yang dialami, orang yang sudah tua (lansia) pemenuhan kebutuhannya akan sangat bergantung pada bantuan orang lain ( Hurlock, 1980).
Masalah yang kemudian muncul, kebanyakan lansia tinggal sendiri setelah ditinggal pasangannya.Menurut Leangle & Probst (dalam Brehm, 2002) masalah psikologis akibat keterpisahan orang tua dengan anggota keluarga yang dicintai misalnya pasangannya merupakan masalah yang relatif sering terjadi sehingga memicu rasa kesepian yang semakin meningkat.Sedangkan anak-anak mereka tumbuh dan berkembang dengan mandiri serta meninggalkan rumah dan hidup terpisah dengan orangtua (Gunarsa, 2004).
Solusi yang biasanya diberikan kepada lansia adalah umumnya tinggal bersama anak dan cucu, baik dirumah anak maupun di rumah lansia itu sendiri. Dengan pertimbangan, pihak keluarga dapat lebih mudah memantau kebutuhan yang diperlukan orang tuanya yang sudah lanjut usia. Selain itu tinggal bersama anak dan cucu akan membahagiakan lansia, karena mereka tinggal bersama sehingga tidak merasa kesepian (Lontar, 2007). Tapi, tidak jarang bahwa lansia yang tinggal bersama keluarga justru mengalami kesepian dan merasa diterlantarkan karena anak cucu sibuk dengan urusan masing-masing.Lansia merasa tidak memiliki seorangpun untuk dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk berhubungan dengan lingkungan keluarga maupun sekitar tempat tinggalnya ( J.W Santrock, 2002).Lansia yang tetap tinggal di rumahnya sendiri, perasaan kesepian tampaknya bisa terobati dengan keberadaan tetangga yang telah lama dikenal.Asumsinya bahwa mereka telah lama tinggal di rumah tersebut, maka mereka sudah merasa tidak asing karena memiliki rumah dan lingkungan sekitar.Adaptasi yang perlu dilakukan hanya meliputi kehadiran anak, menantu, serta cucu sehingga tidak terlalu banyak perubahan yang dialami.
Berbeda dengan lansia yang pindah ke rumah anak, mereka harus melakukan adaptasi dengan rumah yang ditempati beserta penghuni serta lingkungan sekitar. Menurut Tobin & Lieberman (1976) mengatakan bahwa semakin besar perbedaan antara lingkungan lama dan baru maka akan semakin besar kebutuhan lansia untuk membangun respon-respon adaptif diatas kapasitas yang dimilikinya. Bagi lansia yang pindah ke rumah anak, sangat mungkin bahwa dilingkungan baru tidak ada teman sesama lansia yang tinggal berdekatan sehingga perasaan kesepian yang dialami semakin parah.Padahal keinginan untuk mencari teman sebaya merupakan karakteristik khas pada lansia (Carstensen, 1992 dalam Sari, 2004). Dengan memiliki teman sebaya para lansia dapat saling bertukar pengalaman melalui sudut pandang yang sama sehingga timbul perasaan dimengerti dan didukung (Atwater, 1983 dalam Sari, 2004). Kebanyakan dari lansia yang memiliki teman dekat dan memiliki lingkaran pertemanan yang aktif lebih sehat dan bahagia ( Rowe& Khan 1998, dalam Papalia, Feldman, Sterns & Camp, 2002).
Tinggal di panti jompo, sebenarnya bukan pilihan yang salah.Hanya saja pilihan tersebut menimbulkan persoalan psikologis dan sosial-budaya bagi masyarakat.Bagi bangsa Asia, memang terdapat budaya untuk memiliki rasa hormat pada orang-orang yang sudah tau dan berharap jika suatu saat orang tua tersebut tidak dapat lagi mengurus diri mereka maka keluarga akan mengurusnya ( Papalia, Sterns, Feldman & Camp, 2002).
Tidak semua lansia tinggal dengan keluarga khususnya dengan anak mereka.Hal ini juga terjadi pada kondisi lansia yang tinggal dipanti jompo karena keluarga tak mampu mengurus.Secara bertahap keadaan ini dapat menimbulkan perasaan hampa pada diri lansia dan semakin menambah perasaan kesepian yang mereka alami (Gunarsa, 2004).Sejatinya, tinggal di panti jompo mungkin akan lebih baik ketimbang menumpang dengan keluarga.Panti jompo memiliki pengetahuan dan pengalaman merawat orang-orang yang sudah berusia lanjut (Surbakti, 2013).Lansi juga dapat memenuhi kebutuhan sosialnya dengan bersosialisasi bersama teman-teman sebaya. Selain itu, fasilitas seperti kunjungan dokter akan memudahkan lansia itu sendiri untuk memeriksakan kesehatannya. Kegiatan-kegiatan yang disediakan seperti olahraga, menyulam, bercocok tanam memungkinkan lansia untuk terus aktif dan produktif.
Dengan latarbelakang permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan kesepian pada lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah anak, dan lansia yang tinggal dipanti jompo.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu: Adakah terdapat perbedaan rasa kesepian pada lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah anak, dan lansia yang tinggal di panti jompo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan rasa kesepian pada lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah anak, serta lansia yang tinggal dipanti jompo.
D. Manfaat Penelitian
1). Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan masukan terhadap disiplin ilmu pengetahuan psikologi perkembangan khususnya mengenai kesepian pada lanjut usia. Serta memberikan kontribusi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai rasa kesepian pada lanjut usia.
2). Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi keluarga khususnya keluarga di Indonesia yang memiliki orang tua lanjut usia; apakah akan menitipkan di panti jompo, menemaninya tinggal di rumah, atau memintanya untuk tinggal bersama di rumah anak.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESEPIAN
1. Pengertian Kesepian
Spitzberg dan Hurt (dalam Eriany, 1997) menyatakan bahwa kesepian adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yaitu kurang mempunyai hasrat untuk berhubungan dengan orang lain yang muncul dalam diri individu sebagai akibat dari ketidakpuasan yang dirasakan terhadap kualitas dan kuantitas suatu hubungan interpersonal dengan orang lain. Pernyataan diatas didukung oleh Sears, dkk (1994), menyatakan bahwa kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang dirasakan pada saat hubungan sosial kehilangan ciri-ciri pentingnya.Hilangnya ciri ini dapat bersifat kuantitatif, misalnya tidak punya teman atau hanya mempunyai sedikit teman. Kekurangan itu dapat juga bersifat kualitatif yaitu hubungan yang dangkal atau kurang memuaskan dibandingkan dengan apa yang kita harapkan.
Bruno (2000), menyatakan bahwa kesepian adalah suatu keadaan mental dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Selanjutnya, menurut Peplau dan Perlman (dalam Sarwono, 1999) kesepian merupakan perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan akrab dengan seseorang tidak tercapai.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah suatu keadaan tidak menyenangkan yang dialami soleh banyak orang karena tidak terpenuhinya kebutuhan berkomunikasi, menjalin hubungan yang lebih akrab dan mendalam baik secara kuantitatif atau kualitatif.
2. Aspek-aspek Pengukur Kesepian
Menurut Suseno (2003) ada empat aspek yang dapat digunakan untuk mengukur kesepian :
a. Aspek kesepian emosional, yaitu kesepian yang dirasakan individu akibat tidak terpenuhinya kebutuhan untuk berhubungan secara intim dengan orang yang dicintai dan mencintainya(hilangnya figure kasih sayang yang intim seperti yang diberikan oleh orang tua, teman akrab, atau pasangan).
b. Aspek kesepian sosial, kesepian yang dirasakan karena ketidakmampuan untuk melibatkan diri dengan lingkungan sosial, serta tidak ada figur yang dapat diajak berkomunikasi, baik dari lingkungan sosial maupun dari rekan kerja.
c. Kesepian Kognitif, kesepian yang dirasakan karena individu hanya mempunyai sedikit teman untuk berbagi pikiran atau gagasan dengan individu yang dianggap penting.
d. Kesepian Behavior, kesepian yang dirasakan karena individu kurang atau tidak mempunyai teman sewaktu jalan-jalan dan melaksanakan kegiatan di luar rumah.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kesepian
Peplau dan Perlman (Davidof, 1988) membagi dua faktor yang mempengaruhi timbulnya kesepian, yaitu :
a. Faktor Internal
1. Kualitas Pribadi, kecenderungan melakukan penilaian negative pada diri sendiri dan orang lain.
2. Usia, stereotip yang popular menggambarkan usia tua sebagai masa kesepian yang besar, meskipun tidak lebih besar dari kesepian yang dialami pada remaja dan pemuda.
3. Jenis Kelamin, secara umum kaum pria cenderung merasa kesepian dibandingkan kaum wanita, karena pria cenderung mengikuti harapan masyarakat bahwa mereka seharusnya tidak merasa kesepian dibandingkan wanita.
b. Faktor Eksternal
1. Perubahan dalam hubungan sosial, hal ini biasanya terajdi karena menurunnya kualitas maupun kuantitas hubungan dengan orang lain.
2. Perubahan pada kebutuhan sosial atau harapan akan kebutuhan yang baru baik secara fisik, psikis, seksual, maupun sosial. Apabila tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami kesepian dan perasaan terabaikan.
B. Lanjut Usia
1. Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah periode penutupan dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat ( Hurlock, 1994). Menurut Hurlock ( 1991) masa tua merupakan suatu masa dimana seorang individu dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial.
Hurlock ( 1994) juga mengatakan bahwa tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang.Usia pada masa lanjut dibagi menjadi 3 kelompok sesuai dengan pembagian WHO (dalam Setiabudi, dikutip oleh Sirait dan Riyadina, 1994), yaitu :
a. 60-74 tahun : elderly
b. 75-90 tahun : old
c. >90 tahun : very old
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto & Setiabudhi, 1999). Prayitno (dalam Aryo, 2002) juga berpendapat bahwa orang lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas.Berdasarkan definisi lansia tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seseorang lansia merupakan individu yang berusia 60 tahun ke atas.
C. Tempat Tinggal pada Lanjut Usia
1. Di rumah sendiri
Tempat tinggal merupakan sebuah identitas.Ini membedakan manusia dengan hewan, kerena hewan tidak memiliki tempat tinggal tetap.Pada lansia memiliki tempat tinggal sendiri yang layak huniakan lebih nyaman dan aman untuk bisa beristirahat dengan tenang disertai dengan kehadiran anak serta cucu. Lansia akan lebih merasa bahagia ketika dapat tinggal dengan keluarga. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa lansia masih mengalami kesepian.Hal ini dikarenakan anak serta cucu yang sudah memiliki urusan dan pergumulan hidup masing-masing, sehingga kurang memperhatikan orangtuanya.Untungnya, lansia masih dapat terobati dengan kehadiran tetangga yang sudah cukup lama dikenal.
2. Tinggal di rumah bersama anak
Keputusan untuk membawa lansia tinggal bersama anak/ keluarga inti bertujuan untuk mempermudah keluarga dalam memantau serta memenuhi kebutuhan lansia.Akan tetapi, ada kekhawatiran sendiri dimana lansia takut tidak mendapatkan teman di lingkungan yang baru dan membuat lansia harus melakukan adaptasi lagi.Pada dasarnya, lansia merupakan individu yang membutuhkan teman sebaya untuk berbagi cerita.
3. Tinggal di Panti Jompo atau Panti Wredha
Menurut Poerwadarminta (1982), panti wredha sebagai sebuah rumah atau kediaman dan wredha adalah tempat mengurus dan merawat orang lanjut usia. Dapat diartikan bahwa panti wredha adalah suatu tempat tinggal yang disediakan untuk mengurus atau merawat orang lanjut usia. Meskipun panti wredha diasumsikan sebagai tempat yang relatif asing bagi orang lanjut usia dibandingkan tinggal di rumah sendiri, namun di sana lansia dapat berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Akan tetapi, tetap saja lansia mengalami kesepian karena tidak dapat tinggal bersama dengan keluarga intinya.
D. Perbedaan Kesepian pada Lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah anak, dan lansia yang tinggal di Panti Jompo
Lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah anak, serta lansia yang tinggal di panti jompo masing-masing memiliki rasa kesepian, hanya saja seberapa tinggi tingkatan kesepian yang dirasakan belum dapat dipastikan.Lansia yang tinggal dengan keluarga di rumah sendiri pun masih merasakan kesepian karena anak serta cucu sudah memiliki urusan dan kesibukan masing-masing.Dapat terobati dengan kehadiran para tetangga yang lingkungan sekitar sudah cukup lama dikenal. Sedangkan lansia yang tinggal di rumah anak, mereka akan merasakan kekhawatiran dengan lingkungan yang baru untuk melakukan penyesuaian lagi. Kehadiran rekan sebaya menjadi faktor penting pula yang harus diperhatikan oleh keluarga lansia.Untungnya, sedikit terobati karena tetap bisa berkumpul bersama keluarga.Dan untuk lansia yang tinggal di panti jompo, mereka menemukan keluarga baru yang sebaya dengan mereka. Di sana kebutuhan akan lansia tercukupi, fasilitas yang ada di panti jompo cukup menunjang sehingga lansia bisa tetap aktif dan produktif. Sayangnya, lansia yang tinggal di panti merasakan kesepian dengan kehadiran keluarga inti.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel-variabel
Variabel bebas : Tempat tinggal lansia bersama keluarga di rumah sendiri, di rumah anak, dan di panti jompo
Variabel terikat : Rasa Kesepian pada Lansia
B. Pengukuran Variabel
Ada satu skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala kesepian berdasarkan aspek-aspek yang telah diungkapkan oleh Suseno (2003)
1. Kesepian emosional
2. Kesepian Sosial
3. Kesepian Kognitif
4. Kesepian Behaviour
C. Subjek Penelitian
– Orang-orang lanjut usia yang mempunyai batasan usia 60 tahun keatas.
– Lansia yang tinggal di panti jompo, lansia yang tinggal di rumah anak dan lansia yang tinggal di rumah sendiri.
– Lansia yang masih dapat berkomunikasi dengan baik.
D. Analisa
Skala Kesepian menggunakan empat tingkat penilaian (skala Likert) yaitu nilai 1 sampai 4, yang pernyataannya disusun dalam bentuk mendukung/positif (favorable) dan tidak mendukung/negatif (unfavorable).Selanjutnya akan dilakukan perbandingan menggunakan uji beda parametrik (Anova). Prosedur pengambilan sampel dengan metode purposive sampling.Populasi penelitian ini adalah Lansia yang tinggal di Kota Palembang.
DAFTAR PUSTAKA
Surbakti, E.B. 2013. Menata Kehidupan Pada Usia Lanjut. Jakarta: Praninta Aksara
Soetjiningsih, Ch.H. 2005.Psikogerontologi. Salatiga; Widya Sari
Soraya, Ika. 2007. Perbandingan Psychological well-being pada lansia. Fakultas Psikologi Universita Indonesia
Iswari, T. 2000. Kesepian pada Lansia yang tinggal di panti Wredha dan tinggal di rumah. Fakultas Psikologi; Universitas Kristen Satya Wacana
Sugiyono.2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung; ALFABETA
PERBEDAAN KESEPIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL BERSAMAKELUARGA DIRUMAH SENDIRI, LANSIA YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA DIRUMAH ANAK, DAN LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO
KRISTINDA PUJI VERAWATI
80 2009 114
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013