Perbedaan Karakteristik Endapan Gunungapi Darat dan Gunungapi Laut, Berdasarkan Studi Kasusnya pada Gunung Merapi dan Gunung Kebo-Butak

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Gunung api merupakan sebuah media dan sebagai perantara tempat keluarnya magma dari dalam bumi menuju permukaan, kerucut gunung api yang terbentuk merupakan hasil akumulasi endapan material saat meletus. Gunung api sendiri terbentuk pada daerah-daerah seperti pemekaran kerak samudra (MOR), penipisan kerak samudra, pertemuan antara kerak samudra dan kerak benua, serta pertemuan antara kerak benua dan kerak benua. Keterdapatan gunung api tidak hanya di darat, di dasar laut pun dapat ditemui keberadaannya. Oleh karena perbedaan lokasi gunung api tersebut, maka karakteristik endapannya juga berbeda antara gunungapi darat dan gunungapi bawah laut. Kemudian, ditinjau dari letak magma yang dangkal atau dalam yang mempengaruhi hasil endapan apakah relatif asam, intermediet, atau basa.

Gambar I.1 Tempat terbentuknya gunungapi (modofikasi dari Krafft, 1989)

Secara umum, gunungapi darat dan gunungapi bawah laut tidak ada perbedaan yang mencolok. Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya dan dikembangkan oleh Williams dan McBirney, 1979, yaitu central zone, proksimal zone, dan distal zone.
Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies.
Jika ditinjau dari hasil endapan, pada dasarnya endapan yang dihasilkan oleh gunungapi darat dipengaruhi oleh proses eksogen yang terjadi di darat, seperti hujan, angin yang menyebabkan erosi, proses fluvial yang mempengaruhi endapa, hingga aktivitas manusia. Kemudian, endapan-endapannya dipengaruhi oleh vegetasi dan biogenik asal darat, sehingga tipe endapannya dipengaruhi oleh endapan-endapan darat lainnya.
Hal ini berbeda dengan endapan yang dihasilkan oleh gunung api bawah laut, yang dominan dipengaruhi oleh aktivitas air laut itu sendiri. Gunungpai bawah laut dipengaruhi oleh material-material asal laut yang kemudian membentuk struktur khusus endapan bawah laut. Seperti struktur hialoklastik yang menunjukkan breksiasi akibat aliran lava masuk ke media air, kemudian mengalami granulasi atau pemecahan materi (shattering) menjadi fragmen-fragmen kecil bersudut. Dan contoh lain seperti Prepiritik yang menghasilkan preperik, materi mirip breksi di lingkungan sedimentasi laut sebagai hasil percampuran lava dengan sedimen atau intrusi magma di tempat dangkal ke dalam lingkungan sedimen di bawah laut.

I.2. Maksud dan Tujuan
Penulisan referat dengan judul perbedaan karakteristik endapan gunungapi darat dan gunungapi bawah laut berdasarkan studi kasus di gunung merapi dan gunung Kebo-Butak, memiliki maksud untuk mengetahui perbedaan karakteristik endapan penciri gunungapi darat dan gunungapi bawah laut.
Sedangkan tujuan dari penulisan referat ini adalah agar dapat mengenali perbedaan-perbedaan endapan yang dihasilkan, serta fasies penciri kedua gunungapi tersebut.

I.3. Batasan Masalah
Penulisan referat dengan judul perbedaan karakteristik endapan gunungapi darat dan gunungapi bawah laut berdasarkan studi kasus di gunung Merapi dan gunung Kebo-Butak, akan membahas mengenai fasies-fasies endapan gunungapi darat dan gunungapi bawah laut tersebut mencakup mekanisme letusan masing-masing gunungapi tersebut, komposisi litologi penyusun, serta karakteristik endapan yang dihasilkan.

BAB II
GUNUNGAPI

II.1. Definisi Gunungapi
Schieferdecker (1959) mendefinisikan gunungapi (volcano) adalah “a place at the surface of the earth where magmatic material from the depth erupts or has erupted in the past, usually forming a mountain, more or less conical in shape with a crater in the top” (sebuah tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk suatu gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya). Sementara itu Macdonald (1972) menyatakan bahwa, “volcano is both the place or opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the earth’s interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of the rock material” (gunung api adalah tempat atau bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung). Dari dua definisi tersebut maka untuk dikatakan sebagai gunung api harus ada magma yang berupa batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan bumi melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa bahan padat yang teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau gunung dan disebut sebagai batuan gunung api (Bronto, 2006).
Sebuah gunungapi disebut aktif apabila kegiatan magmatisnya dapat dilihat secara nyata. Leleran lava dari kawah puncak atau kawah samping, adanya awan panas letusan dan awan panas guguran, lahar letusan dan lain sebagainya mencirikan bahwa gunungapi tersebut masih aktif. Morfologi gunungapi aktif biasanya menampakkan bentukkan kerucut sempurna. Apabila gejala kegiatan magmatisnya tidak teramati, suatu gunungapi dapat dikelompokkan menjadi gunungapi padam. Tetapi keadaan seperti ini bukan berarti bahwa gunungapi tersebut mati, sebab pada suatu saat gunungapi tersebut dapat aktif kembali (Alzwar, dkk., 1987).
II.2. Mekanisme Letusan
Berdasarkan mekanismenya, dikenal beberapa macam letusan gunungapi, antara lain letusan pusat, letusan rekahan benua, letusan kepundan tersumbat, letusan freatik, letusan celah, letusan hydrothermal, dan sebagainya (Alzwar, dkk., 1987).
II.2.1. Mekanisme Letusan Pusat
Selama tekanan magma di dalam waduk magma lebih kecil dari kekuatan tahanan atap waduk, maka tidak akan terjadi letusan gunungapi. Tetapi sewaktu magma mengalami pendinginan dan kristalisasi, akan terjadi proses difusi yang menyebabkan terkumpulnya gas pada bagian atap waduk magma. Apabila ketahanan atap waduk berkurang, sementara tekanan magma semakin besar, maka akan terjadi letusan melalui satu jalan yang berbentuk tabung. Letusan inilah yang disebut dengan letusan pusat (central vent eruption).
II.2.2. Mekanisme Letusan Celah
Magma basa pada umumnya akan menghasilkan lava cair yang tersusun atas basal olivine, yang merupakan piromagma yang naik ke atas sepanjang rekahan abisal. Hipomagma yang ada, selama proses kristalisasi akan berusaha menghasilkan piromagma. Unsur-unsur mudah menguap (volatile) akan menyebabkan terjadinya semburan.
II.2.3. Mekanisme Letusan Kepundan Tersumbat
Adanya magma yang membeku pada lubang kepundan gunungapi menyebabkan terjadinya pengumpulan tenaga dibawah sumbat tersebut. Apabila tenaga dirasa cukup untuk menghancurkan sumbat, maka akan terjadi letusan yang sangat kuat. Letusan ini disertai dengan gempa gunungapi, guruh, dan gumpalan awan debu sampai akhirnya suatu ledakan keras dan hamburan pumice menutup letusan tersebut.

II.2.4. Mekanisme Letusan Freatik dan Letusan Hidrothermal
Apabila air hujan yang jatuh dan kemudian meresap kedalam tanah, tiba-tiba bersentuhan dengan magma atau tubuh batuan panas lainnya sehingga terbentuk akumulasi uap bertekanan tinggi, maka lapisan penutup uap tersebut akan dihancurkan dan terjadilah letusan freatik. Letusan freatik juga dapat disebabkan oleh aliran lava yang masuk kedalam rawa atau laut.
Sedangkan letusan hydrothermal, mekanismenya hamper sama dengan letusan freatik. Perbedaannya terletak pada pembentukan sistem. Apabila uap panas bertekanan tinggi itu sempat membentuk sistem (sistem panas bumi), sementara batuan penutup mulai kehilangan daya tahan dan tekanan uap semakin besar, akan terjadi letusan hydrothermal. Berkurangnya daya tahan melawan tekanan dari bagian atap batuan cadangan uap atau batuan penutup dapat disebabkan oleh beberapa hal, misal karena proses pelapukan, berkurangnya nilai kohesi batuan atau karena gempabumi.
II.3. Jenis dan Klasifikasi Letusan Gunungapi
II.3.1. Berdasarkan bentuk dan lokasi pusat kegiatan
a) Letusan Celah (fissure Lineair eruption), dimana dihasilkan leleran besar-besaran lava cair yang bersifat basaltic yang membentuk basal datartinggi. Sedangkan yang bersifat riolitan akan membentuk ignimbrite.
b) Letusan pusat (central eruption), dimana material piroklastik dan lava dimuntahkan dari pusat erupsi.
II.3.2. Berdasarkan ciri letusan dan rempah lepas yang dihasilkan
a) Letusan explosive, merupakan letusan yang meledak dan dicirikan oleh tekanan gas yang tinggi dan rempah lepas yang dihasilkan.
b) Letusan effusive, merupakan letusan yang bersifat meleler, tidak meledak dan dicirikan dengan tekanan gas yang rendah.

II.3.3. Berdasarkan Letak Letusan Gunungapi
a) Letusan Pusat (terminal eruption), dimana lubang kepundan merupakan saluran utama bagi peletusan
b) Leleran samping (subterminal effusion), akan terbentuk apabila magma yang membentuk sill tempat menerobos ke permukaan, pada lereng gunungapi.
c) Sedang korok melingkar (ring dike), dapat berfungsi pula sebagai saluran magma ke permukaan, sehingga terjadi letusan lateral (lateral eruption)
d) Letusan diluar pusat (excentric eruption), terjadi dibagian kaki gunungapi, dengan sistem saluran magma tersendiri yang tidak ada kaitannya dengan lubang kepundan utama

II.4. Tipe-tipe letusan Gunungapi
Letusan gunungapi adalah suatu kenampakan gejala vulkanisme ke arah permukaan, atau suatu aspek kimiawi pemindahan tenaga ke arah permukaan, yang tergantung pada kandungan tenaga dalam dapur magma yang dipengaruhi oleh keluaran panas pada saat magma mendingin dan tekanan gas selama pembekuannya. Letusan gunungapi disebabkan oleh gaya yang berasal dari dalam bumi, akibat terganggunya sistem kesetimbangan magma (kesetimbangan suhu, termodinamika, dan hidrostatika) dan sistem kesetimbangan geologi (kesetimbangan gaya tarik bumi, kimia-fisika, dan panas bumi) (Alzwar, dkk., 1987).
Tipe-tipe letusan gunungapi, berdasarkan Escher (1952), didasarkan pada besarnya tekanan gas, derajat kecairan magma, dan kedalaman waduk magma:

Gambar II.1 tipe letusan gunungapi berdasarkan derajat kecairan magma, tekanan gas, dan kedalaman dapur magma menurut Escher (1952)
II.4.1. Tipe Hawaii
Tipe gunungapi ini dicirikan dengan lavanya yang cair dan tipis, yang dalam perkembangannya akan membentuk tipe gunungapi perisai. Sifat magmanya yang sangat cair memungkinkan terjadinya semburan lava, dimana lava banyak kandungan gas, sehingga bersifat ringan, akan terlempar ke atas, sedang yang berat (setelah gas hilang) akan tenggelam lagi. Tipe ini banyak ditemukan di gunungapi perisai di Hawaii, seperti Kilauea dan Maunaloa. Di Kilauea terdapat danau lava Halemaumau dengan pulau-pulau lava beku yang mengapung diatasnya. Lava mancur pada danau lava ini akan menghasilkan rambut pele (pele’s hair) dan airmata Pele (pele’s tear) yang mempunyai bentuk-bentuk khas. Meskipun panas yang dikeluarkan cukup banyak, tetapi permukaan danau lava senantiasa cair.
Tipe Hawaii juga didapatkan di Islandia, dibedakan dengan yang di Hawaii adalah berdasarkan ketinggian dan besarnya sudut lereng. Di Hawaii tipe ini membentuk gunungapi yang berketinggian lebih dari 1000 m dan mempunyai sudut lereng besar, sedang di Islandia umumnya lebih rendah, bersudut lereng kecil dan membentuk dataran tinggi.

II.4.2. Tipe Stromboli
Tipe ini sangat khas untuk Gunung Stromboli dan beberapa gunungapi lainnya yang sedang meningkat kegiatannya. Magmanya sangat cair, kea rah permukaan sering dijumpai letusan pendek yang disertai dengan ledakan. Bahan yang dikeluarkan berupa abu, bom, lapili, dan setengah padatan bongkah lava. Tekanan gas tipe Stromboli adalah rendah.

II.4.3. Tipe Vulkano
Yang sangat khas dari tipe ini adalah pembentukan awan debu berbentuk bunga kol, karena gas yang ditembakkan ke atas meluas hingga jauh diatas kawah. Tipe ini mempunyai tekanan gas sedang dan lavanya kurang begitu cair. Dan disamping dikeluarkan awan debu, tipe ini juga menghasilkan lava. Berdasarkan kekuatan letusannya, tipe ini dibedakan menjadi tipe vulkano kuat (Gunung Vesuvius, Gunung Etna) dan tipe Vulkano lemah (Gunug Bromo, Gunung Raung). Peralihan antara kedua tipe ini pun juga dijumpai di Indonesia, misalnya ditunjukkan oleh Gunung Kelud dan Anak Bromo.

II.4.4. Tipe Merapi
Dicirikan dengan lavanya cair-kental, dapur magma yang relative dangkal dan tekanan gas yang agak rendah. Karena sifat lavanya tersebut, apabila magma naik ke atas melalui pipa kepundan, maka akan terbentuk sumbat lava atau kubah lava sementara dibagian bawahnya masih cair. Sumbat lava yang gugur akan menyebabkan terjadinya awan panas guguran. Semakin tingginya tekanan gas karena pipa kepundan tersumbat akan menyababkan sumbat tersebut hancur ketika terjadi letusan dan akan terbentuk awan panas letusan.

II.4.5. Tipe Pelee
Tipe ini mempunyai viskositas lava yang hamper sama dengan tipe Merapi. Tetapi tekanan gasnya cukup besar. Cirri khas tipe Pelee adalah letusan gas kearah mendatar. Selain sumbat lava, gunungapi ini juga mempunyai jarum lava yang berfungsi sebagai pentil. Mt. Pelee pernah meletus pada 8 Mei 1902, menghancurkan kota St. Pierre dengan serbuan awan panas bersuhu antara 210o – 230oC. kecepatan luncurnya yang tinggi, sekitar 150 m/detik, menyebabkan penduduk kota tersebut tidak sempat melarikan diri dan 30.000 jiwa menjadi korban.

II.4.6. Tipe Vincent
Lavanya agak kental dan bertekanan gas menengah. Pada kawah terdapat danau kawah yang sewaktu terjadi letusan akan dimuntahkan keluar dengan membentuk lahar letusan. Setelah danau kawah kosong, disusul oleh hembusan bahan lepas gunungapi berupa bom, lapili, dan awan pijar. Suhu lahar letusan adalah sekitar 100oC. contoh tipe ini di Indonesia adalah Gunung Kelud yang meletus pada tahun 1906 dan 1909.

II.4.7. Tipe Perret atau Plinian
Tipe ini dicirikan dengan tekanan gas yang sangat kuat, disamping lavanya yang cair. Bersifat merusak dan diduga ada kaitannya dengan perkembangan pembentukan kaldera gunungapi. Peneliti pertama tipe ini adalah Plinius (99 SM), yaitu terhadap Gunung Vesuvius, sehingga namanya diabadikan untuk tipe letusan gunungapi. Contoh dari tipe ini adalah Gunung Vesuvius, yang sebelum meletus mempunyai ketinggian 1.335 m. tetapi setelah terjadi letusan, ketinggian sisa hanyalah 1.186 m, sehingga sekitar 149 m dihembuskan keatas oleh suatu kekuatan yang luar biasa besarnya.

BAB III
FASIES GUNUNGAPI BAWAH LAUT

III.1. Definisi Gunungapi Bawah Laut
Gunungapi bawah laut juga merupakan media tempat keluarnya magma dari dalam bumi menuju permukaan, dan bentuknya pun menyerupai gunungapi darat, hanya saja kandungan pembentuk gunungapi tersebut yang berbeda, serta lingkungannya yang berada di laut dan biasanya gunungapi bawah laut terbentuk pada dataran abisal (daerah Mid Oceanic Ridge yang terbentuk oleh hotspot) dan daerah sepanjang zona subduksi yang terendam oleh air laut. Gunungapi bawah laut tersebut beasosiasi dengan setting tektonik pada daerah sekitar dan akan perlahan muncul ke permukaan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Morfologi seamount sangat bervariasi, baik dari bentuk maupun ukurannya. Seamount yang bentuknya mendekati sirkular memiliki diameter alas berkisar antara < 1 km hingga 25 km (pada umumnya berdiameter < 10 km). bentuk kelerengan yang ada dominannya berbentuk cekung keatas (concave-up) meskipun beberapa ditemukan lereng cembung ke atas (convex-up), kemiringan lereng rata-rata berkisar 20o dan maksimal mencapai 40o. Pada puncaknya seperti yang terdapat pada gunungapi di lingkungan darat, dijumpai morfologi kawah (crater) atau caldera yang rata-rata berdiameter kurang dari 1 km. (Hollister et al., 1978; Searle, 1983,1984; Batiza & Vanko, 1983 dalam Cas & Wright, 1987)
Pada gunungapi bawah laut, endapan yang paling dominan adalah endapan lava tipe basaltic dan lava bantal. Ketebalan tubuh air yang sangat besar yang masuk ke dalam celah (vent) yang menyebabkan tekanan hidrostatik yang sangat besar yang cukup untuk menghalangi terjadinya letusan eksplosif dari magma basaltic tersebut, meskipun demikian endapan hialoklastik masih sangat sering dijumpai pada endapan lereng gunungapi bawah laut tersebut.
Pada saat erupsi terjasi, lava basaltic hanya meleler pada lereng gunungapi tersebut dan membentuk lava bantal, sehingga semakin sering erupsi terjadi, maka akan semakin tebal endapan lava bantal pada lereng gunungapi tersebut. Jika lava bantal semakin tebal hingga mendekati muka air laut, sehingga ketebalan tubuh air yang menghalangi erupsi sudah tidak terlalu besar, erupsi eksplosif sangat mungkin terjadi, baik pelepasan volatile magmatis maupun interaksi hidrovolkanik dari gunungapi tersebut.
Semakin tua gunungapi tersebut, maka akan semakin dimantapkan oleh presipitasi dari kerak dan elemen volkanik ferromangan. Gunung ini akan menjadi koloni bagi biota yang nantinya akan menghasilkan endapan debris karbonat pada sayap-sayap gunungapi bawah laut tersebut.

III.2. Mekanisme Letusan Gunungapi Bawah Laut
Erupsi bawah laut mempunyai mekanisme yang berbeda dibandingkan denganerupsi yang terjadi di darat, karena adanya tekanan tubuh air yang masuk ke dalam celah (vent) sehingga mengekspansi volatile magmatic. Hal tersebut berakibat tingkat evaporasi menurun, pertukaran dan ekspansi panaspun akan berkurang karena terjadi percampuran awal antara magma dalam celah dengan air (William & McBirney, 1979). Pada gunungapi bawah laut yang berada pada lingkungan laut dalam, dapat terjadi tingkat pertukaran masa yang tinggi, sehingga hanya pada bagian luar dari bagian aliran mgma yang tercampur dengan air, tidak seperti yang terjadi pada lingkungan perairan dangkal, dimana percampuran material hasil erupsi dan air akan sangat besar yang disebabkan adanya mekanisme turbulensi yang besar.
Adapun dalam erupsi gunungapi bawah laut mekanisme erupsi yang terjadi antara lain:
1. Erupsi Piroklastik Aliran Bawah Laut
Menurut model erupsi aliran proklastik bawah laut yang dibangun oleh Fiske (1963), berdasarkan studi formasi Ohanapekosh, USA, suatu erupsi piroklastik berawal dari magma asam vesikuler yang dikeluarkan ke dalam air laut yang dingin, dan dalam kolom erupsi bawah laut mulai naik di atas celah (vent). Kolom erupsi membawa debris piroklastik terfragmentasi yang melimpah menjadi suspensi.
Pemilahan yang intensif memisahkan debris menjadi fraksi-fraksi yang beragam, yaitu Bouyangt Float (buih pumis yang mengapung). Pada akhir erupsi sejumlah material yang cukup kasar akan terjatuh keluar dari kolom erupsi bawah lautsecara berangsur-angsur, dan tidak cukup untuk dapat mempertahankan aliran debris yang tetap, maka akan digantikan oleh arus turbid yang berulang.

Gambar III.3. Erupsi piroklastik aliran pada gunungapi bawah laut (Fiske & Matsuda, 1964 dalam Cat & Wright, 1987)

2. Aliran Piroklastik Bawah Laut
Aliran piroklastik bawah laut pada gunungapi bawah laut akan berbeda dengan aliran piroklastik di darat. Karena kontaknya yang langsung dengan tubuh air, dan aliran piroklastik ini akan cepat berubah menjadi aliran yang water supported, dan biasanya pelamparannya lebih luas, karena lebih encer. Adanya pengendapan partikel diantara tubuh air yang berjalan lambat, menyebabkan aliran ini akan menghasilkan endapan dengan sortasi yang lebih baik daripada endapan aliran piroklastik darat. Dalam aliran yang water supported, material akan memiliki bagian dasar yang masif dan berbutir kasar, sedangkan bagian atasnya akan memiliki butiran yang lebih halus. Bagian atas dapat bergradasi ganda karena perbedaan densitas yang memisahkan tiap lapisan pada suatu perubahan perlapisan dengan ukuran butir yang bergradasi, dengan lapisan atas yang secara progresif bergradasi menjadi ukuran butir yang lebih halus. Gradasi ganda ini dapat diinterpretasikan sebagai suatu perubahan even dari suatu kolom erupsi yang menurun. (Fiske & Matsuda, 1964 dalam Orton, 1996)

3. Aliran Lava Basaltik Bawah Laut
Kenampakan lava basaltic hasil pembekuan di laut bermacam-macam, yang paling sering dijumpai adalah kenampakan lava bantal yang terbentuk akibat pembekuan magma secara cepat akibat kontak dengan tubuh air. Namun masih terdapat beberapa morfologi aliran lava yang lain yang berupa morfologi aliran sheet tipis (< 1 m), aliran lobate, aliran lava block, dan beberapa kenampakan permukaan (buckle, fold, coil) yang menyerupai kenampakan lava pahoe-hoe di darat. (Lonsdale, 1977 dalam McPhie et al., 1993) Adapun mekanisme yang terjadi pada pembentukan aliran lava tersebut pada lingkungan gunungapi bawah laut adalah keluarnya lava basaltic dari celah (vent). Sekuen pada lava tersebut dapat menghasilkan agregat klastik asal lava dalam jumlah besar yang terbentuk karena proses quench fragmentation (fragmentasi karena pendinginan) dan longsoran gravitasional. Pada gunungapi bawah laut telah diobservasi memiliki aliran lava bantal dan sheet pada puncaknya (Lonsdale & Batiza, 1980 dalam Cas & Wright, 1987). Juga terdapat hialoklastit yang melimpah yang membentuk aliran debris pada sisi dasarnya. Beberapa terombak menuju cekungan samudera dan mengakumulasi sebagai endapan hialoklastit pada kerak samudera (Schminke et al., 1979 dalam Cas & Wright) III.3. Tipe Endapan Gunungapi Bawah Laut Tipe endapan yang ada pada lingkungan gunungapi bawah laut terbentuk dari beberapa mekanisme yang berbeda seperti yang telah disebutkan di atas, dimana selain faktor mekanisme dan kimia magma tipe endapan yang ada juga ikut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan (tekanan air, densitas, dan lain-lain). Endapan volkaniklastik yang terbentuk pada lingkungan laut dapat berupa endapan primer yang dihasilkan dari redeposisi endapan primer tersebut. Adapun tipe endapan yang umum ditemui pada lingkungan gunungapi bawah laut, yaitu: 1. Endapan Piroklastik Bawah Laut Endapan piroklastik aliran merupakan hasil pengendapan dengan mekanisme aliran gravitasi sedimen yang dapat berasal dari seamount atau oceanic island (Fisher & Schminke, 1984). Tipe endapan ini dapat dibedakan menjadi endapan piroklastik aliran welded dan non-welded. – Endapan piroklastik aliran non-welded, endapan ini terbentuk pada lingkungan laut pada hampir seluruh kedalaman. Sebagai contoh pada Formasi Tokiwa, Jepang (Fiske & Matsuda, 1964 dalam Fisher & Schminke, 1984) yang terdiri dari fossiliferous marine mudstone dan nonvolcanic greywacke dalam jumlah kecil dengan lima sekuen piroklastik aliran bawah air yang terpisah. Endapan ini memiliki karakteristik perlapisan masif hingga perlapisan buruk dan bagian bawah sortasi buruk serta bagian atas yang berlapis tipis. Bagian bawahnya merupakan perlapisan tunggal berbutir kasar dengan struktur internal atau laminasi yang kurang baik (Fiske & Matsuda, 1964; Bond, 1973 dalam Fisher & Schminke, 1984), walaupun dapat juga memiliki laminasi silang siur yang akan terjadi dengan ditandai oleh orientasi sederhana fragmen-fragmen kasar. (Kato et al., 1971; Yamazaki et al., 1979 dalam Fisher & Schminke, 1984) – Endapan piroklastik aliran welded, endapan ini diinterpretasikan berada di bawah air karena sifat-sifat laut dari sedimen yang menutupi masih menjadi kontroversi. Contoh yang ditemukan adalah formasi Snowdoncdi Wales, pada Formasi ini dasar tuff bersifat planar, unwelded terdiri atas flame, dan menutupi konglomerat dengan puncak yang berwarna kemerah-merahan. Endapan piroklastik aliran bawah air umumnya memiliki tebal kurang dari 50 meter, welded pada dasarnya, berlapis-lapis dengan marine rock dan tempatnya didasari oleh batupasir yang mengandung brachiopoda. 2. Lava Bantal Lava bantal merupakan jenis endapan volkaniklastik yang plaing sering dijumpai pada dasar samudera. Lava ini dicirikan dengan bentuk yang elips kasar dan menyerupai bantal, pada kenampakan dua dimensi hasil penampang melintang akan memperlihatkan bagian tube dan lobe lava yang tidak berhubungan (McPhie et al., 1993). Menurut Walker (1992) dalamMcPhie et al (1993), mekanisme pengembangan pillow lobe dipengaruhi oleh viskositas lava. Pada lava yang viskositasnya rendah, lava bantal akan mengembang utamanya oleh stretching dan memiliki permukaan yang lebih halus dengan crust yang utuh, sedangkan pada lava yang berviskositas tinggi akan terjadi sebaliknya crust akan mengembang dan tidak utuh. Gambar III.2. (a) suksesi lava bantal bawah laut dan sheet flow (Hargreaves & Ayres, 1979 dalam Cas & Wright, 1987) (b) Skema profil cross section lava bantal (Cas & Wright, 1987) 3. Hialoklastit Hialoklastit merupakan agregat klastik yang dibentuk oleh pemecahan non-eksplosif dan disintegrasi lava dan intrusi. Fragmentasi terjadi sebagai respon terhadap tekanan termal yang dibentuk selama pendinginan yang cepat dan tekanan beban pada pendinginan bagian luar aliran lava dan intrusi oleh pergerakan yang berkelanjutan bagian dalam yang ductile (Pichler, 1965; Kokelaar, 1986 dalam McPhie et al., 1993). BAB IV FASIES GUNUNGAPI DARAT IV.1. Definisi Gunungapi Darat Sebuah media tempat keluarnya material yang berasal dari dalam bumi, dimana hasil yang dikeluarkan terakumulasi di sekitar tempat keluarnya material tersebut sehingga membentuk kerucut pada umumnya. Tersebar pada daerah zona subduction maupun collision. Tidak ada perbedaan yang mencolok pada bentuk fisik antara gunungapi darat dan gunungapi bawah laut, hanya saja letak dan keterdapatannya yang berbeda. Bentang alam gunung api komposit sangat mudah diidentifikasi karena bentuknya berupa kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya. Dari puncak ke arah kaki, sudut lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut gunung api tersebut. Gambar IV.1. Pembagian facies gunungapi Vessel dan Davies (1981) serta Bogie & Mackenzie (1998) Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies. Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies (Dalam Bronto, 2006). IV.2. Mekanisme Letusan Gunungapi Darat Berdasarkan yang telah dibahas pada bab sebelumnya, tipe letusan gunungapi berdasarkan Escher (1952), berdasar pada besarnya tekanan gas, derajat kecairan magma, dan kedalaman waduk magma sudah mencakup seluruh tipe letusan gunungapi yang berada di darat, antara lain: 1. Tipe Hawaii 2. Tipe Stromboli 3. Tipe Vulkano 4. Tipe Merapi 5. Tipe Pelee 6. Tipe Vincent 7. Tipe Perret atau Plinian Berbeda dari mekanisme letusan gunungapi bawah laut, gunungapi darat tidak dipengaruhi oleh tekanan air laut. Sehingga letusan gunungapi darat memiliki tipe letusan yang beragam. IV.3. Tipe Endapan Gunungapi Darat Gambar IV.2. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie, 1998 dalam Bronto, 2006) Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya volcanic necks, sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fluida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya batuan ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua yang mendasari batuan gunung api juga dapat tersingkap. Gambar IV.2. Perlapisan aliran lava dan breksi gunung api Kuarter pada fasies proksimal Gunung Galunggung, Tasikmalaya-Jawa Barat. Perhatikan bahwa tebal perlapisan sangat beragam dan sebaran lateralnya juga tidak selalu menerus, seperti halnya terjadi pada perlapisan kue lapis (layered cake geology). (Bronto, 2006) Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies medial, karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. Sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies distal didominasi oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan aliran piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun gunung api bawah laut, di dalam fasies distal ini batuan gunung api dapat berselang-seling dengan batuan nongunung api, seperti halnya batuan karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri, fasies medial dan fasies distal gunung api purba (Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat (Bronto, 2006). Gambar IV. 3. Perlapisan aliran lava sebagai bagian dari fasies proksimal gunung api Tersier di Kali Ngalang Gunungkidul– Yogyakarta (Bronto, 2006) Secara sedimentologi atau vulkanologi fisik, mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat dirunut perubahan secara bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika gunung api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas. Karena efek abrasi selama proses transportasi maka dari fasies proksimal ke fasies distal bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing hingga membundar. Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar – kasar, sedang sampai dengan halus – sangat halus. Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies proksimal pada umumnya membentuk kemas tertutup, tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka di fasies medial sampai distal. Struktur sedimen, seperti struktur imbrikasi, silangsiur, antidunes, dan gores-garis sebagai akibat terlanda seruakan piroklastika (pyroclastic surges) juga dapat membantu menentukan arah sumber dan sedimentasi. Secara geometri, struktur aliran piroklastika, aliran lahar serta aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber erupsi. Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya mengalir mengikuti lembah sungai lama, mulai dari daerah puncak sampai lereng bawah, sementara itu dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat menyebar membentuk kipas. Struktur bomb sag sebagai akibat lontaran balistik bom gunung api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu .menentukan arah sumber letusan (Bronto, 2006). BAB V STUDI KASUS GUNUNG KEBO-BUTAK DAN GUNUNG MERAPI V.1. Gunung Kebo-Butak Berdasarkan Surono (2008), nama Kebo Beds dan Butak Beds diperkenalkan oleh Bothe (1929) dalam Peta Geologi Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan, yang disajikan dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik ke-4 di Bandung. Namun demikian, Bothe (1929) tidak memisahkan kedua satuan (bed) ini dalam petanya. Kemudian, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menamai kedua satuan ini sebagai Formasi Kebo-Butak, yang selanjutnya penamaan terakhir ini diikuti oleh Surono drr. (1992) untuk Peta Geologi Lembar Surakarta dan Giritontro skala 1:100.000. Samodra dan Sutisna (1997) juga mengikuti penamaan itu, dalam Peta Geologi Lembar Klaten skala 1:50.000, dengan menambahkan tiga anggota dalam Formasi Kebo-Butak ini. Dalam perkembangannya, Formasi Kebo-Butak ini menjadi terkenal karena dianggap merupakan awal dari peningkatan kegiatan gunung api di Jawa bagian tengah. V.1.1 Tipe Endapan Gunung Kebo-Butak Lava Bantal Nampurejo Berdasarkan Surono (2008), lava bantal dengan komposisi basal, yang berselingan dengan batupasir vulkanis berwarna hitam pekat, banyak ditemukan dalam Formasi Kebo, terutama di bagian bawah Lava bantal ini disebut Anggota Nampurejo oleh Samodra dan Sutisna (1997) atau belakangan disebut Anggota Santren oleh Smyth (2005). Namun demikian, sebutan “Anggota” kurang tepat pada satuan yang dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000. Lebih baik Anggota Nampurejo diganti dengan Lava Bantal Nampurejo, yang didominasi oleh lava bantal berkomposisi basal. Struktur lava bantal dapat diamati dengan jelas, dengan diameter bantal berkisar 10 – 30 cm. Secara setempat, satuan lava bantal ini diselingi oleh tuf halus, yang umumnya berwarna hitam dan bersifat dasitan. Diduga, batupasir hitam ini merupakan suatu hasil letusan gunung api bawah laut (Bronto drr., 2002). Penampakan petrografi dari tiga contoh Lava Bantal Nampurejo ini menunjukkan hipokristalin, porfiro afanitis dengan kristal sulung didominasi oleh plagioklas (30 – 40%) yang berukuran 0,05 – 1 mm dan berbentuk euhedral (Laksono, 2007). Kristal sulung lainnya adalah piroksen (10 – 15%), dan mineral opak (25 – 30%). Struktur aliran tampak jelas pada sayatan tipis tersebut. Formasi Kebo Berdsarkan Surono (2008), formasi Kebo merupakan perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih. Sebagian dari batupasir dan batulempung bersifat gampingan dan setempat ditemukan konglomerat dan breksi aneka bahan (polimik). Bagian tengah formasi ini didominasi oleh batupasir kerikilan. Struktur sedimen yang ditemukan dalam Formasi Kebo adalah perlapisan bersusunan normal, perarian sejajar, perarian bergelombang, permukaan erosi, tikas suling dan penendatan (slump). Bioturbasi, foraminifera, kepingan koral, dan kepingan arang ditemukan di beberapa tempat. Hasil petrografi dari batupasir memperlihatkan bahwa pada umumnya batuan ini mempunyai pemilahan yang buruk, kemas terbuka, fragmen berukuran pasir sedang – kasar didominasi oleh plagioklas (10 – 30%) , kuarsa (5 – 20%), sanidin (5 – 10%), piroksen (5 – 10%), dan sedikit fragmen batuan (basal, batupasir, dan vitric tuff). Sementara fragmen batuan dalam batupasir kerikilan umumnya terdiri atas batupasir kuarsa, vitric tuff, dan sedikit batuan gunung api. Formasi Butak Berdasarkan Surono (2008), formasi Butak, yang menindih selaras Formasi Kebo, batuannya terdiri atas breksi polimik dengan selingan batupasir, batupasir kerikilan, batulempung, dan batulanau/serpih. Breksi polimik mempunyai fragmen yang berukuran kerikil sampai bongkah, berupa andesit, basal, batuan sedimen karbonan, dan kuarsa. Beberapa fragmen telah mengalami alterasi menjadi klorit yang berwarna hijau. Penampakan petrografis batupasir Formasi Butak menunjukkan bahwa fragmennya didominasi oleh material vulkanik (basal, plagioklas, andesit, tuf dan kuarsa, serta sedikit batulempung). Pengamatan mikroskopis menunjukkan batupasir pada umumnya berupa batupasir gunung api, dengan komposisi plagioklas berupa labradorit (15%), kuarsa (13%), mineral opak (25%), basal (20%), andesit (10%), tuf gelas (10%), dan lempung (7%) (Laksono, 2007). Struktur sedimen yang ditemukan pada formasi ini adalah perlapisan bersusunan normal, permukaan erosi, perarian sejajar, pergentengan (imbrikasi) fragmen, dan burrow. Butiran arang banyak ditemukan terutama pada bagian atas formasi ini, sedangkan fosil foraminifera banyak dijumpai pada klastika halus, terutama di bagian atas formasi. V.1.2 Sedimentasi Berdasarkan Surono (2008), Ditemukannya lava bantal, bioturbasi, fosil koral, dan foraminifera di dalam Formasi Kebo dan Butak, menunjukkan bahwa ketiga satuan batuan tersebut diendapkan pada lingkungan laut. Lava bantal umumnya terbentuk pada dasar laut dalam. Ketebalan air laut di atasnya cukup kuat untuk menekan aliran lava panas sehingga membentuk struktur seperti bantal (Surono, 2008). Formasi Kebo disusun oleh batuan klastika halus berupa perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih. Struktur sedimen yang ditemukan dalam Formasi Kebo berupa perlapisan bersusunan normal, perarian sejajar, gerusan (scour) dan perarian bergelombang, serta penendatan (slump). Sebagian besar struktur sedimen tersebut menunjukkan adanya pengaruh gaya berat dalam transportasi sedimen. Dijumpainya fosil binatang laut, seperti koral dan foraminifera, menunjukkan bahwa transportasi sedimen oleh gaya berat itu terjadi di bawah laut (Surono, 2008) Secara umum Lava Bantal Nampurejo, batuan Formasi Kebo, dan Formasi Butak didominasi oleh batuan yang berasal dari kegiatan gunung api. Pada Lava Bantal Nampurejo, di samping lava bantal juga dijumpai batupasir hitam yang merupakan hasil erupsi gunung api bawah laut. Keluarnya cairan magma dapat melewati celah dan/atau patahan yang memotong kerak atau hasil suatu aliran lava gunung api di bawah laut. Komposisi batuan pembentuk Formasi Kebo dan Formasi Butak terdiri atas percampuran antara endapan klastika dan vulkanik klastika. Cekungan tempat endapan kedua formasi ini berada di laut dalam sampai dangkal. Hal ini menunjukkan bahwa cekungan tersebut diisi oleh batuan hasil langsung kegiatan gunung api dan juga klastika yang berasal dari darat. Dengan demikian cekungan tersebut merupakan cekungan yang dikelilingi gunung api (Surono, 2008). V.2. Gunung Merapi Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks (Wirakusumah 1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian : 1. Pra Merapi ( + 400.000 tahun lalu) Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan. 2. Merapi Tua (60.000 – 8000 tahun lalu) Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas, breksiasi lava dan lahar. 3. Merapi Pertengahan (8000 – 2000 tahun lalu) Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan “debris avalanche” ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar. 4. Merapi muda (2000 tahun lalu – sekarang) Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi Merapi menurut Berthommier, 1990. Gambar V.1 Evolusi Morfologi gunung merapi (Berthommier,1990) V.2.1 Tipe Endapan Gunung Merapi dan sedimentasi Kubah dan aliran lava Kubah merapi tumbuh pada ketinggian 2965 meter sedangkan aliran lava dapat mengalir hingga sejauh 6 km mengikuti lereng merapi. Dari segi pembentukanya sesuai dengan letusan tipe merapi ini pada fase erupsi awal gunung merapi akan membentuk kubah pada lubang keluarnya magma setelah kubah lava tersebut menyumbat merapi dan sudah tidak kuat menahan tekanan dari lava di dalamnya maka kubah tersebut akan runtuh dan diikuti dengan aliran lava merapi. Pada stratigrafi merapi aliran lava ini banyak ditemukan pada elevasi 2300 – 2500 meter dan di beberapa lokasi dijumpai aliran lava ini hingga mencapai ketinggian 2100 meter (Bahar, 1984). Gambar V.2. Sketsa merapi dari Pos Observasi Babadan oleh Marhassan, 1942 Aliran piroklastik Aliran piroklastik dan jatuhan hasil dari erupsi primer merapi tidak jauh beda dengan aliran lava, aliran piroklastik ini keluar setelah terjadi runtuhan kubah lava gunung merapi akan tetapi materialnya dapat tertransportasi lebih jauh dibandingkan aliran lava merapi jauhnya dapat mencapai lebih dari 7 km mengikuti kelerengan dari gunung merapi deposit aliran piroklastik gunung merapi di dominasi oleh tephra dicirikan dengan sortasi yang sangat buruk, pada elevasi 700 meter aliran piroklastik akan berasosiasi dengan endapan lahar dan tephra membentuk suatu perlapisan sedimen setelah itu akan diisi diatasnya oleh ash fall hasil erupsi merapi dengan sortasi yang baik. Pada elevasi 200 meter atau 22 km dari pusat erupsi akan berdampak penting bagi bencana geologi berupa banjir lahar (Andreastuti et al., 2000) Gambar V.3. Penampang stratigrafi endapan merapi pada lereng gunung merapi (Andreastuti et al., 2000) Erupsi piroklastik merapi sangat dipengaruhi oleh mikrotopografi wilayah pusat erupsi merapi dimana material pertama kali runtuh. Semua tipe aliran piroklastik merapi akan mengalir di sepanjang lembah yang telah terbelah akibat erupsi sebelumnya dan pada saat melewati lembah tersebut airan piroklastik yang mengalir akan meninggalkan deposit materialnya pada dasar lembah tersebut dan material yang ditinggalkan tersebut akan memiliki ciri – ciri ukuran butir yang kasar dan sortasi yang lebih baik dibandingkan dengan intracanyon facies. Beberapa aliran piroklastik akan menghasilkan material berukuran pasir kasar dan memiliki struktur silang siur dengan lapili kemudian yang berukuran lebih kecil akan menghasilkan perlapisan normal dengan geometri hanya beberapa centimeter saja. Aliran piroklastik ini biasanya memiliki volume lebih besar dibandinkan dengan guguran kubah lava merapi, aliran piroklastik merapi biasanya dibatasi dengan endapan debu vulkanik yang jatuh dari udara sehingga pada stratigrafi endapan piroklastik dapat diketahui tebalnya apabila berassosiasi dengan abu vulkanik, apabila pada endapan piroklastik pada bagian atasnya sudah terndapkan abu vulkanik yang memiliki sortasi baik dan ukuran butir yang lebih halus. Gambar V.4. Contoh endapan piroklastik merapi pada lereng bagian barat (Camus, G., et al., 1991) Letusan tipe aliran piroklastik merapi ini dapat mencapai > 8km dari pusat erupsi, jarak aliran ini sangat dipengaruhi oleh volume material piroklstik yang dikeluarkan besarnya kandungan gas dari erupsi merapi hal ini akan juga membengaruhi kecepatab lateral luncuran material piroklastik merapi disamping juga tingkat kecuraman lereng merapi. Sedangkan abu vulkanik sendiri sangat berfungsi dalam penanda dalam sebuah sekuen vulkanostratigrafi dimana endaban debua akan terdeposisi paling akhir sehingga kita dapat ketahui fase – fase erupsi pada gunung merapi ini (Andreastuti et al., 2000)

Gambar V.5. Contoh endapan piroklastik merapi pada lereng bagian timur (Camus, G., et al., 1991)
Endapan lahar
Lahar merapi sangat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan dan kelerengan asli dari gunung merapi akan tetapi pada kondisi yang khusus kelerengan juga dapat dipengaruhi oleh endapan aliran piroklastik sebelumnya dimana aliran piroklastik ini akan mengubur vegetasi yang dilewatinya (Lavigne et al., 2000). Lahar merapi dapat terjadi pada saat hujan turun dengan lebat di sekitar gunung merapi dimana endapan hasil aliran piroklastik itu terdapat, setelah hujan turun dengan deras dan membasahi endapan hasil aliran piroklastik ini maka akan terjadi debris flow dari material endapan aliran piroklastik tersebut sehingga material yang tadinya telah terdeposisi maka akan mengalami transportasi dan berubah menjadi aliran lumpur yang sangat pekat dan memiliki stream competensi yang sangat tinggi sehingga akan mampu membawa material material yang berukuran sangat besar itulah yang kita sebut dengan lahar. Setelah melewati aliran yang cukup jauh maka stream competensi aliran lahar tersebut akan berkurang dan hanya membawa material material yang lebih halus dan berasosiasi dengan lebih banyak air sehingga akan menjadi banjir lahar dingin apabila fluida air yang membawanya sangat banyak (Cultberson, 1964).
Lahar merapi juga akan menghasilkan endapan material erupsi merapi akan tetapi telah mengalami transportasi dengan agen pembawanya adalah air dimana lahar merapi ini dapat tertransportasi sangat jauh dari pusat erupsinya dan terendapkan d berbagai daerah kita lihat saja contohnya seperti pada 10 km sebelah barat laut gunung merapi terdapat candi kecil yaitu Candi Lumbung yang sempat terkubur akibat erupsi merapi yang setelah diteliti dari struktur sedimenya endapan yang mengubur berupa aliran piroklastik dan material paling muda yang menutupinya adalah endapan lahar, sebelah tenggara gunung merapi tepatnya 7 km dari pusat erupsi terdapat candi sambisari dengan tipe endapan merapi yang menutupi berupa lahar dan ash fall, 16 km sebelah selatan pusat erupsi terdapat candi morangan yang telah terkubur oleh endapan lahar merapi beserta bolder – bolder dan terdapat pula candi kedulan yang ditutupi oleh lahar merapi dan ash fall dengan sortasi yang sangat baik (Moendardjito, 1982).

BAB VI
KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Mekanisme erupsi gunungapi bawah laut berbeda dengan erupsi yang terjadi di darat. Karena adanya tekanan tubuh air yang masuk ke dalam celah (vent) sehingga mengekspansi volatile magmatic. Hal tersebut berakibat tingkat evaporasi menurun, pertukaran dan ekspansi panaspun akan berkurang karena terjadi percampuran awal antara magma dalam celah dengan air (William & McBirney, 1979). Sedangkan pada gunung api darat tidak dipengaruhi oleh air, melainkan oleh proses-proses eksogenik yang terjadi di darat.
2. Tipe endapan yang ada pada lingkungan gunungapi bawah laut terbentuk dari beberapa mekanisme dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan (tekanan air, densitas, dan lain-lain). Endapan volkaniklastik yang terbentuk pada lingkungan laut dapat berupa endapan primer yang dihasilkan dari redeposisi endapan primer tersebut. tipe endapan yang umum ditemui pada lingkungan gunungapi bawah laut, antara lain: Endapan Piroklastik Bawah Laut (Fisher & Schminke, 1984), lava bantal (McPhie et al., 1993), Hialoklastit (Pichler, 1965; Kokelaar, 1986 dalam McPhie et al., 1993).
3. Terdapat 4 fasies pada gunungapi darat, yaitu Fasies central yang dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api. Fasies proksimal yang dicirikan oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat. Fasies medial dicirikan oleh breksi piroklastika dan tuf, dan fasies distal didominasi oleh endapan rombakan gunung api seperti breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau (Bronto, 2006).
4. Tipe endapan gunung Kebo-Butak dibagi menjadi 3 jenis, yaitu lava bantal Nampurejo, Formasi Kebo, dan Formasi Butak (Surono, 2008).
5. Tipe endapan Gunung Merapi dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kubah dan aliran lava, aliran piroklastik dan lahar (Bahar, 1984) & (Andreastuti et al., 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Alzwar, Samodra, Tarigan, 1987, Pengantar Ilmu Gunung Api, Nova, Indonesia
Andreastuti, S.D., 2000, 10,000 A detailed tephrostratigraphic framework at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia: implications for erupstion predictions and hazard assessment, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100, Elsevier Science, Amsterdam, Netherlands
Bronto, S., 2006, Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Pusat Survei Geologi, Bandung, Indonesia
Cas, R.A.F & Wright, J.V., 1987, Volcanic Successions Modern and Ancient, Allen & Unwir (Publisher) Ltd, London
Fisher, R.V. & H.U. Schminke, 1984, Pyroclastic Rocks, Springler-Verlag, Berlin
Fiske, R.S., 1963, Subaqueous pyroclastic flows in the Ohanapecosh Formation, Geol. Soc. America Bull, Washington
McPhie, J., Doyle, M., Allen, R., 1993, Volcanic Texture: A Guide to Interpretation in Volcanic Rock, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, University of Tazmania, Hobart
Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung

Voight, B.,Wirakusumah, 1979, Introduction to the Special Issue on Merapi Volcano, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100, Elsevier Science, Amsterdam, Netherlands
Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco, California, USA