Perataan Laba (Income Smoothing)

Perataan Laba (Income Smoothing)

  1. Pengertian Perataan Laba

Menurut Belkaoui perataan laba (income smoothing) adalah

pengurangan fluktuasi laba dari tahun ke tahun dengan memindahkan pendapatan dari tahun-tahun yang tinggi pendapatannya ke periode-periode yang kurang menguntungkan.[1]

Fuddenberg dan Tirole dalam penelitian Budileksamana dan Andriani berpendapat bahwa :

Perataan laba adalah suatu proses manipulasi waktu terjadinya laba atau laporan laba agar laba yang dilaporkan terlihat stabil.[2]

Beidleman dalam Ghozali dan Chariri mengartikan perataan laba sebagai berikut :[3]

Perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal ini, perataan laba menunjukan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diijinkan dalam praktik akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar (sound).

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perataan laba adalah suatu tindakan manipulasi yang sengaja, yang dilakukan oleh manajemen terhadap fluktuasi laba yang dilaporkan agar laba perusahaan berada di tingkat yang dianggap normal oleh perusahaan atau dengan kata lain agar laba yang dilaporkan perusahaan terlihat stabil sepanjang diizinkan oleh prinsip akuntansi dan manajemen yang sehat.

  1. Tujuan Dilakukannya Perataan Laba

Menurut Nasser dan Parulian tujuan dilakukannya perataan laba adalah[4]

perataan laba mempunyai tujuan untuk mengurangi variabilitas atas laba yang dilaporkan guna mengurangi resiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga pasar perusahaan.

Menurut Foster dalam penelitian Dwimulyani dan Abraham, tujuan perataan laba adalah sebagai berikut :[5]

  1. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa yang akan datang.
  2. Memprediksi citra perusahaan dimata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah.
  3. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemajuan manajemen.
  4. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
  5. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.
  1. Dimensi Perataan Laba

Ada berbagai dimensi atau media yang biasanya digunakan manajemen  dalam melakukan praktik perataan laba. Dimensi parataan laba pada dasarnya merupakan alat yang digunakan untuk menyelesaikan perataan angka pendapatan.

Menurut Eckel yang didukung oleh Nesser dan Parulina, perataan laba dapat dibedakan menjadi dua jenis utama yaitu :[6]

  • Artificial Smoothing

Yaitu perataan laba yang dilakukan melalui prosedur akuntansi yang diterapkan untuk memidahkan biaya atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain yaitu dengan mengubah kebijakan akuntansi.

  • Real Smoothing

Yaitu perataan laba yang dimanipulasi melalui transaksi nyata dengan  mengatur ( menunda atau mempercepat) transaksi.

Selain yang disebutkan di atas, ada dimensi lain dari perataan laba yang dibahas oleh Barnea et. al. dalam Belkaoui mengenai dimensi atau jenis  ketiga dari perataan laba yaitu classificatory smoothing. Belkaoui juga membedakan tiga dimensi perataan laba, antara lain:[7]

  • Perataan melalui terjadinya peristiwa dan atau pengakuan peristiwa

Artinya manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi aktual sehingga pengaruhnya terhadap laba yang dilaporkan akan cendrung rata sepanjang waktu.

Cara yang pertama ini merupakan rekayasa laba berdasarkan pada penetapan waktu terjadinya transaksi yang lebih fokus pada pilihan manajemen dari pada persoalan akuntansi. Oleh karena itu, perataan laba jenis ini tidak hanya dibahas pada literatur akuntansi. Disamping karena sulit untuk diidentifikasi, hal ini juga hampir dapat dikatakan menyimpang.

Contoh yang paling sederhana mungkin dapat ditunjukan dengan penetuan nilai saat penjualan. Menyadari bahwa laba perusahaan pada tahun berjalan sudah terlalu tinggi dan mengkhawatirkan sehingga pihak manajemen memutuskan untuk menangguhkan transaksi penjualan yang seharusnya terjadi pada akhir tahun berjalan menjadi penjualan awal tahun. Dengan bertambahnya laba tersebut akan mengakibatkan penurunan laba pada periode yang akan datang.

  • Perataan melalui alokasi sepanjang waktu

Atas dasar terjadinya dan diakuinya peristiwa tertentu, manajemen memiliki media pengendalian dalam penentuan laba pada periode yang terpengaruh oleh kualifikasi peristiwa tersebut.

  • Perataan melalui klasifikasi

Jika angka-angka dalam laporan laba rugi selain laba bersih merupakan objek dari perataan laba, maka manajemen dapat dengan mudah mengklasifikasikan elemen-elemen dalam laporan laba rugi sehingga dapat mengurangi variasi laba setiap periodenya.

Kedua cara perataan laba ini dapat digolongkan menjadi satu karena rekayasa laba cara ini sama-sama jatuh pada permasalahan akuntansi terlepas dari apa yang menjadi kebijakan pihak manajemen. Kedua cara ini juga telah menarik minat banyak peneliti, terutama karena dua hal ini berkaitan dengan SAK.

  1. Objek Perataan Laba

Sasaran dalam melakukan perataan laba dapat difokuskan pada aktivitas yang umumnya dilakukan oleh pihak manajemen untuk mempengaruhi aliran dana atau informasi. Artinya untuk menciptakan laporan keuangan yang diinginkan, manajemen dapat memasukkan informasi yang seharusnya dilaporkan pada periode yang telah lalu atau yang akan datang ke dalam laporan periode saat ini atau sebaliknya.

Beberapa unsur dalam laporan keuangan yang sering kali dijadikan sasaran untuk melakukan perataan laba, antara lain :[8]

  • Unsur Penjualan, yaitu:

1)   Pada saat pembuatan faktur penjualan, misalnya pihak manajemen melakukan transaksi penjualan yang sebenarnya terjadi untuk periode yang akan datang tetapi pembuatan fakturnya dilakukan dan dilaporkan sebagai penjualan pada periode saat ini.

2)   Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penghasilan perusahaan periode saat ini menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya dilaporkan.

3)   Dengan cara downgrading (menurunkan nilai produk), misalnya dengan cara menuliskan dalam faktur penjualan bahwa produk yang dijual termasuk dalam kelompok produk rusak atau cacat, sehingga harga yang tercantum menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya terjadi. Dengan hasil akhir dalam laporan keuangan bahwa penghasilan dari penjualan perusahaan menjadi lebih rendah dari penjulan yang seharusnya terjadi.

  1. Unsur Biaya, Yaitu:
    • Mencegah faktur pembelian misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda, sehingga kemudian dilaporkan ke dalam beberapa periode akuntansi yang berbeda.
    • Dengan memecah faktur pembelian juga memungkinkan terjadinya peningkatan biaya angkut barang dan atau peningkatan baiaya administrasi yang semula hanya satu kali menjadi beberapa kali.
    • Mencatat biaya dibayar dimuka (prepayment) sebagai biaya. Misalnya melaporkan sewa dibayar dimuka untuk periode yang akan datang sebagai biaya sewa untuk periode saat ini.
  1. Alasan Manajemen Melakukan Perataan Laba

Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaaan seperti kreditor dan investor. Hal ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat. Manajemen sebagai agen yang mengetahui lebih banyak informasi, akan memanfaatkan informasi yang tidak diketahui oleh prinsipal (pemilik) untuk memaksimalkan kepentingannya. Dalam hal ini adalah pada nilai perusahaan dan manajer percaya bahwa pasar mendasarkan pada angka akuntansi. Oleh karena itu, manajer dapat menggunakan informasi yang diketahui untuk memanipulasi laporan keuangan dalam usaha memaksimalkan kemakmuran.

Menurut Hepworth dalam penelitian Nasser dan Parulina mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi untuk melakukan perataan laba karena ingin mendapatkan berbagai keuntungan ekonomis dan psikologis, yaitu:[9]

  1. Mengurangi total pajak yang terutang.
  2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer karena penghasilan yang stabil mendukung kebijakan deviden yang stabil.
  3. Mengingkatkan hubungan antar manajer dan karyawan karena pelaporan laba yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan upah.
  4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dengan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.

Secara rasional, manajer ingin meratakan penghasilan yang dilaporkannya dengan alasan memperkecil tuntutan pemilik perusahaan. Menurut Dwimulyana dan Abraham, ada dua alasan mengapa manajemen melakukan praktik perataan laba. Alasan tersebut antara lain:[10]

  1. Skema kompensasi manajemen dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang digambarkan melalui laba akuntansi yang dilaporkan, karena itu setiap fluktasi dalam laba akan berpengaruh langsung dalam kompensasinya.
  2. Fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambilalihan atau pengganti manajemen secara langsung. Ancaman penggantian ini mendorong manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik.

[1] Belkaoui, op. cit, hlm.73

[2] Budileksamana dan Andriani, loc. cit

[3] Ghozali dan Chariri, op. cit, hlm. 370

[4]Nasser dan Parulina, Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi, Vol. 6 No. 1, Jakarta: FE Usakti, 2006, hlm. 79

[5] Dwimulyani dan Abraham, op.cit, hlm. 6

[6] Nasser dan Parulina, loc.cit

[7] Belkaoi, op.cit, hlm. 196

[8] Dwimulyana dan Abraham, op.cit, hlm. 7

[9] Nasser dan Paulina, loc.cit

[10] Dwimulyana dan Abraham, op.cit, hlm. 7