Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

_________________________________________________

Oleh : Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH., S.IP., M.Hum.

I.       PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara berkembang yang merupakan salah satu negara yang tergabung dalam kelompok Negara-negara Asia Tenggara (Association South East of Asian Nation) merupakan negara yang dalam tingkat perkembangan ekonominya belum begitu mapan. Bahkan ada para ahli ekonomi mengatakan, negara Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dalam tingkat persaingan ekonomi masih ketinggalan banyak jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN yang lain. Sebelum tahun 1997, sebenarnya banyak pihak memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia sebagai salah satu High Performing Asian Economy Countries yang memiliki kinerja perekonomian yang sangat mengagumkan, bahkan ada yang menganggapnya sebagai miracle, tetapi karena hantaman krisis ekonomi yang berawal dari depresi rupiah pada bulan Juli 1997, semua keajaiban itu menjadi sirna dan terseok-seok dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, sampai sekarang belum pulih kembali.

Krisis ekonomi yang terjadi saat ini telah berkembang menjadi krisis yang rumit dan kompleks yang terkadang menimbulkan pesimisme tentang jayanya ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Saat ini Indonesia berada dalam tradisi, yang belum terbayangkan berapa lama masa transisi  itu akan berlangsung. Meskipun semula krisis ini hanya merupakan contagion effect dari depresiasi mata uang bath Thailand terhadap dolar AS pada tahun 1997, tetapi karena fundamental perekonomian Indonesia yang rapuh, maka dampak krisis ini terkena negara Indonesia sangat dahsyat, sementara proses ekonomic recoverynya berjalan amat lamban. Prestasi perekonomian Indonesia yang semula cukup baik, menjadi berubah  menjadi negatif, banyak pengamat ekonomi Indonesia mengatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia adalah semu dengan fundamental yang tidak kuat. Di samping itu, para pengamat juga mengatakan bahwa perekonomian Indonesia tidak didukung oleh sumber daya domestik yang tangguh, tetapi karena didukung oleh investasi asing, bahkan berjangka pendek yang sewaktu-waktu mereka dapat keluar dari Indonesia. Pembangunan Nasional juga dibangun dengan hutang luar negeri yang bersifat pasif, sehingga justru memberatkan kondisi perekonomian Indonesia untuk bangkit kembali.

Kondisi perekonomian Indonesia sebagaimana tersebut di atas, telah menimbulkan berbagai problem sosial yang komplek misalnya timbulnya tingkat pengangguran yang tinggi, bertambahnya angka kemiskinanan, produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang rendah dan honeurnya usaha kecil dan menengah yang menjadi tumpuan rakyat. Di samping itu, perkembangan ekonomi dunia saat ini menjurus kepada akitivitas ekonomi global yang bergerak dari satu negara ke negara lain secara bebas, sehingga ketidak pastian akses pasar ekonomi dunia. Kondisi perekonomian dunia seperti ini, membawa kecenderungan pada peningkatan perjanjian bilateral dan multilateral antar negara selaku pelaku ekonomi di dunia Internasional yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya hukum baru pada masing-masing negara.

Para ahli ekonomi Indonesia telah memberikan pendapatnya tentang solusi terbaik untuk menyelesaikan berbagai problem yang menyangkut perbaikan ekonomi Indonesia. Ada yang menganjurkan agar ditingkatkan kerja sama ekonomi dengan dunia Internasional, khususnya dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Hal ini perlu dilaksanakan guna menyelaraskan perkembangan ekonomi dunia dengan perkembangan ekonomi negara-negara ASEAN yang penuh persaingan. Ada juga yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia selama ini tidak berpihak kepada ekonomi rakyat. Solusi untuk masalah ini, selain perlunya membangun ekonomi Indonesia dengan konsep ekonomi kerakyatan, juga perlu menciptakan strategi pembangunan dengan lebih banyak melibatkan rakyat dalam berbagai bidang ekonomi dan perdagangan. Selain dari itu desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah dipandang sebagai salah satu langkah yang mendesak untuk dilaksanakannya.

Globalisasi ekonomi dewasa ini telah melahirkan berbagai kejadian baru dalam perkembangan ekonomi dunia yaitu terjadinya era pasar bebas Internasional, interdepedensi sistem baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi, lahirnya berbagai lembaga ekonomi Internasional, pengelompokkan negara dalam kawasan ekonomi regional, maju pesatnya pelaku ekonomi Trans Nasional Corperation, lahirnya Military Industrial Complek dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam kevakuman hukum dan kaedah-kaedah hukum sangat diperlakukan untuk mengatur mekanisme hubungan agar tidak menjadi konflik kepentingan dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Seandainya konflik betul-betul terjadi, maka pranata hukumlah yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk menyelesaikannya. Hukum di samping untuk menjaga ketertiban masyarakat, juga dapat dipergunakan sebagai rambu-rambu dalam pembangunan ekonomi sehingga ada kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pelaku ekonomi di manapun mereka berada.

Berdasarklan hal-hal tersebut di atas, di sini akan dibahas tentang Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi secara sistimatis, logis dan filosofis yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, hukum ekonomi, pembangunan ekonomi, pengaruh hukum dalam pembangunan ekonomi dan pengaruh lembaga-lembaga ekonomi Internasional dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.

II.      HUBUNGAN HUKUM DENGAN EKONOMI

Sampai sekarang belum ada kesamaan para ahli hukum memberikan definisi tentang hukum. Perbedaan itu disebabkan karena para ahli hukum memberikan definisi hukum dengan sudut pandang yang berlainan dan titik beratnya yang berbeda. Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Hakim memandang hukum sesuai dengan profesi yang diembannya, kalangan ilmuwan memandang hukum dari sudut pandang profesi keilmuwannya, rakyat kecil memandang hukum dari sudut pandang mereka sehari-hari yang berupa kebiasaan-kebiasaan. Bagi masyarakat yang religius, hukum itu dianggap sebagai hukum Tuhan, ketika undang-undang diagungkan oleh masyarakat maka hukum diindentikkan dengan undang-undang, dan lain sebagainya.

Dari sudut pandang yang berbeda ini, maka sangat mustahil untuk membuat satu definisi hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam kaitan ini Emmanual Kant sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali[1] beberapa abad yang silam pernah mengatakan bahwa ”noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von rech” (tidak ada seorang yurispun yang mampu membuat satu definisi hukum yang tepat). Demikian Lioyd[2] mengemukakan bahwa ”…… although much juristie ink has been used in an attemp to provide’ a universally acceptable definition of law”    (……… meskipun telah banyak tinta para yuris yang habis dipergunakan di dalam usaha untuk membuat suatu definisi hukum yang dapat diterima di seluruh dunia, namun hingga kini, hanya jejak kecil dari niat itu dapat dicapai). Penyebab lain sulitnya memberi defenisi hukum yang tepat adalah selain karena sifatnya yang abstrak, juga karena yang diatur oleh hukum itu sangat luas, yakni hampir seluruh segi kehidupan manusia.

Definisi hukum dari Oxford English Dictionary[3] adalah ”law is the body of role, whether formally enacted or customory, whish a state or community recognises as binding on its members or subjects” (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya). Utrecht memandang hukum tidak sekedar sebagai kaedah, melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai segi kebudayaan. Dan jika hukum dilihat sebagai kaedah ia memberikan definisi hukum sebagai berikut “hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan kerugian kepada masyarakat, maka diperlukan tindakan oleh pemerintah atau penguasa untuk menegakkan hukum tersebut”.

Walau diantara para ahli hukum belum mendapat suatu kesatuan mengenai pengertian hukum, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur sebagai berikut, pertama : hukum merupakan peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, kedua : peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa, ketiga : peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi dan keempat : pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas, kelima : hukum bisa juga berbentuk tidak tertulis berupa kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, keenam : tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagian dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Menurut M. Manulang sebagaimana yang dikutip oleh Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong[4] mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu keadaan di mana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum ekonomi, menurut Rachmad Soemitro[5] adalah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdipliner dan multidimensional.

Hukum ekonomi lahir disebabkan karena semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional maupun internasional. Seluruh negara di dunia ini menjadikan hukum sebagai alat untuk mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan tujuan agar perkembangan perekonomian tersebut tidak merugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak hanya berupa pengaturan terhadap aktivitas ekonomi, tetapi juga bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum.

Hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungan satu arah, tetapi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Kegiatan ekonomi yang tidak didukung oleh hukum akan mengakibatkan terjadi kekacauan, sebab apabila para pelaku ekonomi dalam mengejar keuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum maka akan menimbulkan kerugian salah satu pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi. Ada sementara  ahli hukum mengatakan bahwa hukum selalu berada dibelakang kegiatan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi dilakukan oleh seseorang pasti kegiatan itu diikuti oleh norma hukum yang menjadi rambu pelaksananya. Hukum yang mengikuti kegiatan ekonomi ini merupakan seperangkat norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi dan ini selalu dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Untuk Indonesia dasar kegiatan hukum ekonomi itu terletak pada pasal 33 UUD 1945 dan beberapa peraturan deviratif lainnya.

Hukum dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Di negara-negara maju (seperti Singapore) sebelum produk-produk ekonomi diterjunkan ke pasar bebas, terlebih dahulu dibuat aturan hukum untuk melindungi penggunanan produk-produk ekonomi tersebut oleh masyarakat. Misalnya dalam bidang produk Hand Phone, masyarakat dilarang keras mempergunakan Hand Phone di tempat-tempat umum yang memerlukan ketenangan seperti di perpustakaan, di rumah sakit dan juga dilarang mempergunakan Hand Phone dikala menyetir motir. Apabila hal tersebut dilakukan maka dihukum dengan hukuman berat. Di Indonesia, hal ini belum dilakukan, banyak produk-produk ekonomi telah diluncurkan, hukum belum dibuat menyertai produk ekonomi tersebut. Orang-orang bebas mempergunakan Hand Phone semaunya, di sembarang tempat dan situasi. Demikian juga dengan produk-produk ekonomi lain, seperti komputer dan penggunaan alat-alat elektronik dalam bidang ekonomi, sebahagian besar produk-produk itu belum ada hukum yang mengaturnya untuk menuju kepada ketertiban dan kedamaian.

Era globalisasi yang melanda dunia saat ini telah membuat pergaulan masyarakat dunia semakin terbuka, batas-batas negara dalam pengertian ekonomi dan hukum semakin erat. Kedua hal ini selalu berjalan secara bersamaan. Oleh karena itu, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yang telah dibahas dalam GATT, WTO dan lembaga-lembaga ekonomi Internasional lainnya harus menjadi pertimbangan serius dalam membangun hukum ekonomi Indonesia. Hal ini penting karena prinsip management accros berbeda saat ini tidak bisa dibendung lagi dan bergerak terus ke arah satu pemahaman bagaimana meratakan ekonomi dunia. Negara-negara yang mengasingkan diri dari pergaulan ekonomi dunia, tidak meratifikasi hukum ekonomi Internasional menjadi hukum ekonomi nasional, maka negara tersebut akan ketinggalan zaman.

III.    TENTANG HUKUM EKONOMI.

Para ahli ekonomi dan hukum masih berbeda pendapat tentang hukum ekonomi. Apakah hukum ekonomi itu masuk dalam ranah study ekonomi ? Apakah hukum ekonomi itu masuk dalam ranah study hukum ? Apakah hukum ekonomi itu harus dipelajari secara komprehensif ? Di samping hukum ekonomi itu berangkat dari dua ranah study yang berbeda, hukum ekonomi juga masih diperdebatkan tentang ruang lingkupnya, sehingga timbul ketidak serasian mengenai istilah hukum ekonomi itu sendiri. Juga masih diperdebatkan tentang cakupan substansi dan berbagai hal yang ada dalam hukum ekonomi, yang masih tarik menarik antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Yang selalu dipersoalkan apakah hukum ekonomi itu merupakan study tentang hukum tentang ekonomi, hukum dan ekonomi, hukum ekonomi pembangunan, hukum ekonomi dan sebagainya.

Istilah hukum ekonomi (economic law, wirthaftrecht, droit economique) sudah dikenal di Negara Inggris sejak tahun 1760-an. Kemudian hukum ekonomi berkembang di negara-negara Eropa lainnya, terutama negara yang mengalihkan kegiatan ekonomi dari pertanian ke industri. Di Perancis hukum ekonomi dikembangkan sejak tahun 1830 sampai 1850 dengan melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum dagang Perancis ke dalam Code Civil dan Code du Commerce serta mengkodifikasikan hukum pidana ke dalam Code Penal. Demikian juga yang berlaku di negara Belanda yang mengambil alih Code Napoleon dan paham-paham yang didasarinya ke dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel tahun 1838. Ketika Belanda menjajah Indonesia, kitab hukum BW dan Wvk diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 dan kedua kitab hukum ini sumbernya sama dengan kitab hukum yang diberlakukan di Belanda dan Perancis.

  Meskipun hukum ekonomi sudah dikenal dalam BW dan WvK yang diberlakukan oleh Belanda di Indonesia, tetapi pada waktu itu para ahli hukum belum memberi tempat yang wajar dalam kajian hukum di Indonesia. Hukum ekonomi merupakan bidang hukum yang masih relatif baru, masih belum dikenal dalam tata hukum Indonesia. Pada tahun 1978 para ahli hukum telah mengkonstatir laporan Simposium Pembinaan Hukum Ekonomi Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman RI dengan suatu kesimpulan bahwa mengenai pengertian dan ruang lingkup hukum ekonomi Indonesia masih terdapat perbedaan kecuali penggunaan istilah hukum ekonomi sebagai wadah pengelompokkan cabang ilmu hukum yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi. Sejak itulah pembahasan mengenai hukum ekonomi mulai dikaji secara ilmiah dikalangan perguruan tinggi.

Sri Redjeki Hartono[6] memberi batasan hukum ekonomi adalah rangkaian perangkat peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Dari definisi ini ada dua unsur yang saling berkaitan yaitu pertama : perangkat peraturan adalah serangkaian peraturan (dari Undang-undang sampai peraturan pelaksananya) yang secara substansial mengatur seluruh atau sebagian kegiatan ekonomi pada umumnya, kedua : kegiatan ekonomi yang paling utama adalah kegiatan produksi dan distribusi. Kegiatan ini pada dasarnya berada dalam dua ranah bidang hukum utama yakni ranah hukum privat dan ranah hukum publik. Dengan demikian, hukum ekonomi mengandung pengertian yang operasional karena mempunyai dua metode pendekatan sekaligus yaitu pendekatan makro yang memanfaatkan ilmu lain untuk dijadikan pisau analisa masalah hukum dan untuk kajian perlindungan publik dan konsumen. Sedangkan pendekatan mikro adalah untuk mengkaji hubungan hukum para pihak sesuai target dalam mencapai sasaran bisnis.

Sunaryati Hartono[7] menjelaskan bahwa hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia. Dalam hal ini, karena ekonomi Indonesia sudah merupakan suatu verwaltungswirtskaft, maka tidak dapat dan tidak perlu diadakan perbedaan, apakah kaedah-kaedah itu merupakan kaedah-kaedah hukum perdata atau kaedah hukum publik. Lebih lanjut Sunaryati Hartono[8] mengatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat lintas sektoral dan interdisipliner karena ia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum Administrasi Negara, Hukum Antar Wewenang, Hukum Pidana dan juga tidak dapat mengabaikan Hukum Publik Internasional dan Hukum Perdata Internasional. Hukum Ekonomi Indonesia juga memerlukan landasan pemikiran dari bidang-bidang non hukum, seperti Filsafat, sosiologi, administrasi pembangunan dan dari ilmu ekonomi itu sendiri, serta ilmu wilayah, ilmu lingkungan bahkan kalau perlu dari futurologi. Disebut hukum ekonomi bersifat transnasional, karena hukum ekonomi tidak lagi dapat ditinjau dan dibentuk secara intern nasional saja, tetapi memerlukan pendekatan transnasional dengan melihat segala peristiwa yang terjadi baik skala nasional maupun internasional.

Menurut Erly Ernawati[9] kaedah-kaedah hukum ekonomi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori besar yaitu kaedah hukum yang bersifat administratif dan kaedah hukum yang bersifat substantif atau materiel. Kaedah hukum ekonomi yang bersifat administratif berupa ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara mengenai aspek-aspek prosedural dari aktivitas dan transaksi ekonomi. Kaedah hukum yang bersifat administrasi ini dibuat oleh pihak eksekutif dan mempunyai kekuatan memaksa yang levelnya berada di bawah undang-undang. Kaedah hukum ekonomi yang bersifat administratif dapat ditemukan dalam beberapa peraturan pemerintah seperti PP No. 13 Tahun 1987 tentang izin Usaha Industri. Sedangkan kaedah hukum ekonomi yang bersifat materiel adalah segala ketentuan hukum yang dibuat oleh pihak legislatif, eksekutif dan legislatif, baik dibuat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri mengenai aspek materiel dari aktivitas dan transaksi ekonomi. Kaedah hukum ekonomi yang bersifat materil ini ada yang bersifat memaksa dan adapula yang bersifat mengatur. Contohnya : UUD, Ketetapan MPR, UU dan Putusan Hakim.

Memperhatikan uraian di atas, dapat diketahui bahwa hukum ekonomi Indonesia jangkauannya luas sekali. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran atas tugas BPHN (1975-1976) telah mengklasifikasi hukum ekonomi Indonesia menjadi dua kelompok besar yaitu[10] :

  1. Hukum Ekonomi Pembangunan.

Pembahasan dalam kelompok ini menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi) secara nasional dan berencana yang meliputi antara lain : Tanah, Bentuk-bentuk usaha, Penanaman modal asing, Kridit dan bantuan luar negeri, Perkriditan dalam negeri perbankan, Paten, merk dan tranfer of know how, Asuransi, Import-eksport, Pertambangan, Perburuhan, Perumahan, Pengangkutan dan Perjanjian Internasional

  1. Hukum Ekonomi Sosial

Pembahasan dalam kelompok ini adalah segala hal yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembagian ekonomi nasional secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (HAM) manusia Indonesia yang meliputi antara lain : Obat-obatan, Kesehatan dan keluarga berencana, Perumahan, Bencana alam, Transmigrasi, Pertanian, Bentuk-bentuk perusahaan rakyat, Bantuan dan pendidikan bagi pengusaha kecil, Perburuhan, Pendidikan, Penderita cacat, Orang-orang miskin dan Orangtua dan pensiunan.

Sementara itu, dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 hukum ekonomi nasional dibagi kepada 18 sektor, sehingga hukum ekonomi nasional dikatagorikan atas hukum ekonomi seperti tersebut dibawah ini[11] :

  1. Hukum ekonomi industri
  2. Hukum ekonomi pertanian
  3. Hukum ekonomi tenaga kerja
  4. Hukum ekonomi perdagangan
  5. Hukum ekonomi transportasi
  6. Hukum ekonomi pertambangan
  7. Hukum ekonomi kehutanan
  8. Hukum ekonomi usaha nasional
  9. Hukum ekonomi parawisata
  10. Hukum ekonomi pos dan telekomunikasi
  11. Hukum ekonomi koperasi
  12. Hukum ekonomi pembangunan daerah
  13. Hukum ekonomi kelautan
  14. Hukum ekonomi kedirgantaraan
  15. Hukum ekonomi keuangan
  16. Hukum ekonomi transmigrasi
  17. Hukum ekonomi energi
  18. Hukum ekonomi lingkungan hidup.

Mengingat luasnya cakupan yang menjadi kajian hukum ekonomi nasional Indonesia, Rachmadi Usman[12] menjelaskan bahwa secara garis besar perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan perekonomian dapat dikelompokkan atas pertama : perundang-undangan perekonomian yang menyangkut keuangan, perbankan dan moneter, kedua : perundang-undangan perekonomian yang menyangkut produksi dan perindustrian, ketiga : perundang-undangan yang menyangkut distribusi, konsumsi dan perdagangan. Ketiga hal inilah yang membentuk sistem hukum ekonomi nasional Indonesia, yang didahului dengan peletakan cita hukum dan asas hukum ekonomi nasional. Atas dasar cita hukum dan asas hukum ekonomi nasional ini lahirlah perbagai aturan hukum ekonomi nasional yang termuat dalam sejumlah kaedah-kaedah hukum ekonomi nasional.

Secara perbandingan, Sumantoro[13] menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan pengkajian Hukum Ekonomi yaitu :

  1. Eksistensi Hukum Ekonomi dalam perkembangan sekarang lebih mudah dipahami di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon. Di negara ini sistem hukumnya berdasarkan pada Hukum Kebiasan (Common Law). Dengan sistem ini penyesuaian hukum dengan perkembangan kebiasaan lebih mudah diselenggarakan, dan munculnya Hukum Ekonomi tidak menjadi persoalan, melainkan secara evolusi tumbuh bersama perkembangan kebiasaan itu. Pengkotakan hukum dalam bidang-bidang secara ketat yang dilakukan dalam sistem Hukum Kontinental seperti ke dalam Hukum Dagang dan Hukum Perdata, tidak dialami secara kaku dalam sistem Hukum Anglo Saxon. Karena itu eksistensi Hukum Ekonomi di negara dengan sistem Hukum Anglo Saxon tidak menjadi soal, seperti di negara dengan sistem Hukum Kontinental.
  2. Di negara dengan sistem Hukum Kontinental, eksistensi hukum yang baru harus dapat meyakinkan baik secara mikro maupun makro, dapat menunjukkan justifikasi eksistensinya serta hubunganya dengan perangkat hukum lainnya. Di sini pertimbangan hukum yang telah ada dan pembagian kerja/ruang lingkup pengaturan dari masing-masing bidang hukum dengan bidang Hukum Ekonomi perlu dibakukan ;
  3. Atas dasar itu banyak kalangan yang masih belum secara yakin meyebutkan eksistensi Hukum Ekonomi dan dengan secara hati-hati dan menghindarkan tabrakan dengan ruang lingkup bidang hukum yang lain. Penyebutan Hukum Ekonomi Pembangunan, Hukum Ekonomi Sosial, Hukum Ekonomi Internasional, Hukum Ekonomi dan Pembangunan, dan sebagainya merupakan manifestasi dari kekurang yakinan tersebut. Di luar negeri juga dialami hal yang sama sehingga kita temui istilah seperti : Economic Law, Social Economish Recht dan sebagainya. Uraian mengenai perihal ini telah dibahas dalam laporan Tim Tahun 1980/1981.
  4. Negara Belanda, yang sistem hukumnya mejadi pola sistem hukum Indonesia, ternyata telah mengalami proses pengembangan Hukum Ekonomi yang tidak sederhana, sehingga apa yang dialami di Indonesia sekarang ini memang wajar dan dapat dipahami. Namun orientasi penyerasian interaksi pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi, mendorong kegiatan pengkajian untuk memproses eksistensi Hukum secara lebih cepat dan baku.

Lebih lanjut Sumantoro[14] menjelaskan bahwa untuk sebagian dari bidang ekonomi, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan orang banyak, diperlukan Hukum Publik yang menyangkut Hukum Ekonomi. Bidang-bidang yang perlu pembinaan ialah :

  1. Tenaga kerja dan perlindungan tenaga kerja. Termasuk didalamnya transmigrasi, sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1972 Pasal 2 dan sesuai dengan Pasal 16 termasuk dalam Hukum Publik.
  2. Produksi dan perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang timbul selama produksi yang dapat membahayakan perseorangan atau masyarakat sekelilingnya, termasuk perlindungan terhadap lingkungan hidup. Lebih-lebih produksi bahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya hasil-hasil minyak dan gas bumi, atom, seperti terlihat dalam Undang-undang Pertamina dan yang menyangkut tenaga atom.
  3. Perlindungan konsumen terhadap bahaya-bahaya yang mungkin timbul karena kesalahan produksi, penipuan dan bahan yang dapat membahayakan orang banyak.
  4. Distribusi dan pemasaran bahan-bahan yang vital, seperti minyak bakar dan beras, yang masing-masing diatur secara langsung oleh negara lewat aparat-aparatnya.

Atas dasar itu Hukum Ekonomi mempunyai peranan dalam pengaturan bidang ekonomi modern yang tidak tercakup dalam peraturan perundangan yang ada, dan dapat memantapkan pengaturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang terdapat pada cabang hukum yang lain. Meskipun demikian substansi Hukum Ekonomi harus sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila, meliputi aspek-aspek hukum yang mempunyai kaitan dengan kegiatan ekonomi. Dalam arti sempit, mencakup kegiatan ekonomi yang mempunyai sifat pembangunan/ perkembangan ekonomi. Berdasarkan pendekatan tersebut maka Hukum Ekonomi mempunyai orientasi pembangunan sehingga pengkajian hukum ini sering ditegaskan sebagai mengkaji Hukum Ekonomi Pembangunan. Pendekatan ini juga searah dengan fungsi hukum sebagai agent for modernization dan sebagai tool of social engineering.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kajian hukum ekonomi merupakan satu kajian yang cukup menarik karena selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia, baik tingkat regional maupun nasional dalam suatu negara. Lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah mendorong lahirnya kaedah-kaedah hukum untuk mengatur jalannya kegiatan ekonomi baik nasional maupun Internasional. Kegiatan ekonomi yang berkembang begitu pesat memerlukan rambu-rambu hukum untuk mengatur para pelaku ekonomi agar tidak saling merugikan dalam menjalankan bisnisnya, persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat dengan aturan yang berlaku.

IV.   ARAH PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

 Pembangunan ekonomi pada zaman jajahan Belanda diarahkan segala potensi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari Hindia Belanda, terutama barang mentah untuk dipergunakan sebagai barang baku bahan industri di Belanda. Dengan bantuan Pasal 163 dan 131 Indische Staatsregeling yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing, Belanda lebih mudah mendapatkan bahan-bahan mentah yang diperlukannya untuk industri di negerinya dengan menjadikan orang-orang Timur Asing itu sebagai pedagang perantara, yakni perantara antara golongan Bumi Putera sebagai penghasil barang-barang mentah di satu pihak dengan pedagang besar Eropa (The big five) di lain pihak. Dengan semboyan membiarkan masyarakat Bumi Putra dalam suasana hukum adatnya sendiri, terciptalah suatu keadaan di mana bangsa Indonesia tetap sebagai kaum tani miskin sepanjang hidupnya.

Arah Belanda untuk mendapat untung yang besar, maka dikeluarkalah peraturan Agrarische Wetgeving tahun 1870 dan dengan peraturan ini usaha cultuurstelsel yang diberlakukan kepada penduduk bumi putra dapat berjalan dengan baik. Sementara itu, orang-orang Timur Asing yang dari semula memang pandai berdagang, diikut sertakan dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Sementara orang Indonesia dijadikan subyek sebagai petani yang menghasilkan barang mentah, yang untuk selanjutnya dijual kepada orang-orang Eropa melalui orang Timur Asing yang dijadikan broker (perantara). Dilihat dari politik hukum ekonomi Belanda, peraturan yang diberlakukan di Hindia Belanda sangat berhasil mengukuhkan struktur ekonomi yang dualistis di Indonesia.

Berdasarkan politik hukum Hindia Belanda yang demikian lahirlah perbagai peraturan yang mengatur kegiatan dan perekonomian golongan penduduk Hindia Belanda yang merupakan suatu verwaltung swirtshaft. Pada saat ini hukum digunakan sebagai sarana untuk mereka masyarakat sehinga pemerintah Belanda dapat menarik keuntungan yang besar dalam pendayagunaan kekayaan alam di Indonesia. Golongan Eropa diberikan kebebasan menguasai perekonomian Hindia Belanda dengan hukumnya sendiri. Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu golongan Timur Asing dan Bumi Putra juga ditundukkan kepada hukum harta kekayaan golongan Eropa.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi hukum ekonomi mulai ditata kembali dengan cara mengubah ciri hukum ekonomi dari kaedah hukum yang membatasi hukum perdata (Droit economique) menjadi Droit de I’Economic yakni menjadikan kaedah hukum yang berserakan dalam hukum perdata, hukum dagang, hukum Tata Negara, hukum Internasional, hukum Perdata Internasional, hukum pajak, hukum Internasional  dan hukum Administrasi Negara dalam kaedah hukum ekonomi. Dengan demikian, kaedah hukum ekonomi bertambah jumlahnya dan mempunyai ciri sendiri yang berbeda dengan kaedah hukum yang lain. Secara kualitatif, hukum ekonomi pada awal kemerdekaan Republik Indonesia mengalami perubahan dalam perkembangannya. Proses ini berjalan terus sehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri, meskipun masih ada saling tarik menarik antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi ;

Pada masa orde lama belum banyak perkembangan dalam bidang pembangunan ekonomi, pada waktu itu peranan pemerintah lebih menonjol dalam bidang pembangunan politik daripada pembangunan ekonomi. Pada masa orde baru hukum ekonomi mengalami perkembangan yang sangat cepat, seiring dengan restrukturisasi atau pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Restrukturisasi ekonomi ini telah memberikan pengaruh secara langsung terhadap dinamika dan pergeseran terhadap hukum ekonomi di Indonesia. Pengaruh restrukrisasi perekonomian terhadap hukum ekonomi Indonesia juga memberi identitas tersendiri terhadap hukum yang berlaku dan berkembang saat ini. Dengan dilancarkannya Repelita I, II dan III dapat diketahui bahwa arah dan struktur pembangunan ekonomi Indonesia sudah merupakan suatu Verwaltungswirtskaft, meskipun belum mencapai dan melalui fase-fase Geldwirtschaft dan Kreditwirtschaft seperti negara-negara maju di Eropa.

Apabila dilihat dari perkembangan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru melalui tahapan Pelita dan konsep dasar pembangunan yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka dapat diketahui bahwa bangsa Indonesia sedang menjalani suatu proses modernisasi nasional di segala bidang, terutama segala hal yang menyangkut pembangunan ekonomi nasional. Hal ini sudah banyak didiskusikan oleh para cendiakiawan dari berbagai disiplin ilmu, yang menyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi suatu hal yang penting dilaksanakan sebab hal itu sangat berkaitan erat dengan usaha untuk mencapai kemakmuran dan kesejateraan. Apabila dilihat dari segi ketahanan nasional, kemantapan dalam bidang ekonomi akan berdampak positif kepada bidang-bidang kehidupan lain dan tantangan yang terjadi akan mudah dihadapi untuk menyelesaikannya.

Ketika pembentukan Kabinet Pembangunan III, pemerintah bertekad meneruskan usaha pembangunan nasional dalam suatu sistem yang berencana. Sebagai konsekuensi daripada langkah pelaksanaan ini, dapat dicatat bahwa terdapat kontiniutas yang mantap dalam rencana pembangunan nasional disemua sektor sebaaimana terlihat dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Untuk itu eksistensi dan substansi hukum di Indonesia harus sejalan dengan dasar UUD 1945 dan Pancasila dan selanjutnya harus berfungsi dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu pengembangan hukum Indonesia tidak saja diarahkan pada pembaharuan norma-normanya saja, melainkan juga sistemnya, sehingga tidak hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hukum masa sekarang tetapi juga pada perkembangan hukum ekonomi di masa yang akan datang, baik skala nasional maupun Internasional. Dengan demikian, hukum nasional Indonesia akan mampu menanggapi permasalahan yang dihadapi tata ekonomi Internasional baru, perkembangan MNC dan penanaman modal Asing dan kegiatan lainnya.

Pada waktu pemerintah orde baru berakhir pada tahun 1997, kondisi ekonomi nasional berada dalam keadaan krisis. Menurut Bahaudin Darus[15] penyebab ambruknya ekonomi nasional ialah hutang swasta yang mencapai jumlah US $ 120 miliar ditambah dengan hutang pemerintah, sehingga jumlahnya mendekati US & 175 miliar kontan pada tanggal 4 Mei 1998. Bank Indonesia diperkirakan menderita kerugian Rp.83,5 trilion setelah menalangi enam Bank Take Over (BTO) yang masuk dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kerugian ini disebabkan oleh beragam hal, diantaranya demikian besarnya hutang atau kewajiban bank bermasalah, sementara nilai aset bank itu di jual tuntas, namun belum cukup untuk mengembalikan dana talangan yang telah dikucurkan oleh Bank Indonesia sebesar Rp.109.579 per 12 Mei 1998. Kecilnya asset yang dimiliki itu tidak sesuai dengan yang dilaporkan yang menyatakan bahwa total asset bank yang bangkrut itu mencapai trilion rupiah tetapi ketika dicek ulang, ternyata tidak benar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam era reformasi ini arah pembangunan ekonomi diarahkan sesuai dengan GBHN tahun 1999-2004 yang intinya mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Tujuan pembangunan tersebut dicapai dengan labih memperdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan serta berbasis sumber daya alam serta sumber daya manusia yang produktif dan mandiri. Adapun sasaran utama adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, turunnya jumlah pengangguran dan menurunnya jumlah penduduk yang miskin. Sasaran lain semakin kukuhnya ketahanan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh meningkatnya daya saing dan effesiensi perekonomian yang kuat berdasarkan keunggulan konpetitif serta meningkatnya dan lebih meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pembangunan.

Agar tujuan dan sasaran pembangunan sebagaimana tersebut di atas dapat berjalan dengan baik, maka akan dilaksanakan berbagai program pembangunan nasional di bidang ekonomi yang secara terpadu dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok program percepatan pemulihan ekonomi dan penciptaan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Prioritas jangka pendek (kurun waktu 1-2 tahun) diberikan pada program-program untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat selama krisis. Prioritas pembangunan ekonomi jangka menengah adalah program-progam untuk meletakkan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Ketujuh kelompok program adalah pertama : menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, kedua : mengembangkan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi sebagai tulang punggung sistem ekonomi kerakyatan dan memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan, ketiga : menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan agar tercipta iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, keempat : memacu peningkatan daya saing utama untuk meningkatkan ekspor non migas, termasuk parawisata dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional, kelima : meningkatkan investasi berdasarkan ekuitas dari pada berdasarkan pinjaman, keenam : menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi (transportasi, pos, telekomunikasi, informatika, listrik, energi dan pertambangan serta pengairan dan irigasi), ketujuh : memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan[16].

Propenas 2000-2004 telah menentukan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia yang akan datang harus berbeda dari wujud perekonomian Indonesia pada masa yang lalu. Wujud perekonomian Indonesia yang akan dibangun harus lebih adil dan merata, mencerminkan peningkatan peran daerah dan memperdayakan seluruh rakyat, berdaya saing dengan basis effesiensi serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan  hidup. Arah kebijakan pembangunan dalam bidang ekonomi sebagaimana tersebut dalam propenas 2000-2004 dalam bidang ekonomi antara lain dengan cara mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumbu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam usaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Krisis ekonomi tahun 1997/1998 telah memberikan pelajaran yang sangat mahal dan berharga bagi bangsa Indonesia. Krisis telah memaksa Indonesia untuk melakukan perubahan yang perlu dalam rangka koreksi kelemahan dan kesalahan masa lalu. Masalah ekonomi, politik, sosial dan hukum mengalami transformasi dan reformasi menuju kepada suatu sistem baru yang diharapkan akan lebih berkeadilan, andal dan berkelanjutan. Meskipun demikian, transformasi dan reformasi yang telah menghasilkan berbagai perubahan tersebut masih belum mencapai hasil yang memuaskan. Bahkan berbagai langkah transformasi dan reformasi awal telah menghasilkan berbagai implikasi rumit yang harus dan terus menuntut pemecahan masalah yang lebih sistimatis dan konsisten.

Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 menyebutkan bahwa permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi dalam 5 (lima) ke depan akan menentukan agenda, sasaran serta program pembangunan yang juga harus bersifat lintas kaitan dan lintas kordinasi yaitu pertama : masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendah dan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial yang mendasar, kedua : kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, pembangunan pendidikan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak dasar warganegara, ketiga : kualitas manusia berpengaruhi juga oleh kemampuan dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, keempat : kesenjangan pembangunan antar daerah masih lebar, seperti antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota dan desa, kelima : perbaikan kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh dukungan infrastruktur dalam pembangunan, keenam : belum tuntasnya  penanganan secara menyeluruh terhadap aksi separatisme di Aceh dan Papua bagi terjaminnya NKRI, ketujuh : masih tingginya kejahatan konvensional dan trannasional. Meskipun terkendali, variasi kejahatan cenderung meningkat sehinga meresahkan masyarakat, kedelapan : TNI dihadapkan pada kurangnya kemampuan jumlah dan personil serta permasalahan alutsita yang jauh dari mencukupi dibanding dengan wilayah yang sangat luas, kesembilan : masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terahadap HAM, masih tumpang tindih peraturan di tingkat pusat dan daerah yang menghambat iklim usaha, kesepuluh : rendahnya kualitas pelayanan umum dan kesebelas : belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga kemasyarakatan, masih rendahnya nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan permasalahan, tantangan dan keterbatasan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia, maka ditetapkan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 yaitu pertama : terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, kedua : terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia serta ketiga : terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional tersebut, maka ditetapkan 3 (tiga) misi pembangunan nasional tahun 2004-2009 yaitu pertama : mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, kedua : mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, ketiga : mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Program pembangunan nasional sebagaimana tersebut di atas tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh hukum kuat. Sasaran yang akan ditempuh dalam pembangunan hukum adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif dan terjaminya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan peraturan perudangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Adapun arah kebijakan yang akan ditempuh dengan tiga cara yaitu pertama : menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan menata kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan, kedua : melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, ketiga : meningkatkan budaya hukum.

V.     PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

 Secara umum dapat dikemukakan bahwa peranan hukum dalam pembangunan (termasuk dalam pembangunan ekonomi) nasional Indonesia sebagai berikut :

  1. Hukum sebagai a tool of social engineering

Konsep hukum sebagai a tool of social engineering ini lahir karena konsep hukum yang diajarkan oleh aliran historis dari Friederich Karl van Savigny dianggap kurang tepat untuk menggerakkan masyarakat untuk berubah. Menurut Savigny bahwa hukum merupakan ekspressi dari kesadaran hukum, dari volksgesit dan dari jiwa rakyat. Hukum pada awalnya lahir dari kebiasaan dan kesadaran hukum masyarakat. Kemudian dari putusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan legislatif. Konsep hukum historis ini, tepat diberlakukan pada masyarakat yang masih sederhana, karena pada masyarakat yang sederhana itu tidak terdapat peranan legislatif dan yang menonjol adalah peranan hukum kebiasaan. Sedangankan pada masyarakat yang maju konsep hukum historis dianggap sudah ketinggalan zaman, sebab pada masyarakat yang maju peranan legislatif dalam membuat sudah merupakan suatu keharusan.

Berhadapan dengan konsep aliran historis ini, maka Roscoe Pound mengemukakan konsep baru yang disebut ”law is a tool of social engineering” yang memberikan dasar bagi kemungkinan digunakannya hukum secara sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat[17], atau dengan kata lain hukum berperan aktif dalam merekayasa perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound[18] hukum harus menjadi faktor penggerak kearah perubahan masyarakat agar lebih baik dari pada sebelumnya. Fungsi hukum pada setiap masyarakat (kecuali pada masyarakat totaliter) ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangi antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Oleh karena itu, perubahan dalam kehidupan masyarakat hendaknya direncanakan dengan baik dan terarah, sehingga tujuan dari perubahan itu dapat tercapai dengan arahan dan perlindungan dari hukum.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ada dua pandangan yang sangat dominan dalam menentukan peran hukum dalam kehidupan masyarakat pada suatu Negara. Kedua pandangan ini saling tarik menarik antara keduanya yang masing-masing mempunyai alasan pembenarnya. Kedua pandangan ini dikenal dengan pandangan tradisional dan pandangan modern.

  • Pandangan tradisional.

Pandangan ini menyatakan bahwa masyarakat perlu berubah dulu, baru hukum datang untuk mengaturnya. Biasanya tehnologi yang lebih dahulu dalam kehidupan masyarakat, kemudian disusul dengan timbulnya kegiatan ekonomi dan setelah kedua kegiatan itu berjalan, baru hukum masuk untuk mengesahkan kondisi yang telah terbentuk itu. Di sini peran hukum hanya sebagai pembenar apa yang telah terjadi dan fungsi hukum disini adalah sebagai fungsi pengabdian (dierende fungtie). Hukum berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi pada suatu tempat dan selalu berada di belakang peristiwa yang terjadi (het recht hint achter de feiten aan). Meskipun hukum itu datang kemudian, tetapi hukum yang datang itu selalu dapat menyelesaikan segala persoalan yang terjadi. Di sini hukum bersifat pasif melaksanakan perannya, dan ia selalu berusaha agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan diharapkan masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan hukum.

 

  • Pandangan modern

Pandangan modern mengatakan bahwa hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru. Oleh karena itu, hukum itu harus selalu datang bersamaan, kalau perlu hukum harus lebih dahulu datang dari peristiwa yang terjadi. Di sini hukum tidak hanya berperan sebagai pembenar apa yang terjadi setelah masyarakat berubah, tetapi hukum harus tampil untuk mereka sosial agar masyarakat berubah. Di sini hukum berperan aktif sebagai alat rekayasa sosial (law is a tool of social engineering). Terhadap hukum yang bersifat netral, hukum berperan untuk menciptakan suatu perbuatan dan tindakan agar ada kepastian hukum, sedangkan dalam bidang kehidupan pribadi hukum harus berperan untuk menjadi sarana kontrol dalam kehidupan masyarakat.

La Piere[19] selaku pendukung pandangan tradisional mengatakan bahwa faktor yang menggerakkan perubahan hukum itu sebenarnya bukan hukum, melainkan faktor lain seperti kegiatan ekonomi, bertambahnya penduduk, perubahan nilai dan ideologi, pesatnya perkembangan Iptek dan sebagainya. Dalam pembangunan masyarakat dilakukan pada suatu tempat, terlihat bahwa jika suatu saat memang terjadi perubahan masyarakat karena adanya pembangunan yang dilakukan sesuai yang dikehendakinya, hukum bukan sebagai faktor penggerak dari perubahan itu, hukum selalu terlihat sebagai akibatnya saja. Demikian juga kalau terjadi adanya hukum baru, itupun hanya sebagai akibat dari keadaan masyarakat yang berubah dari keadaan sebelumnya, sehingga kedatangan hukum hanya sebagai alat pembenar dan mengukuhkan saja. Dalam kegiatan pembangunan, sebelum hukum muncul dan berperan sebagai alat rekayasa sosial, sebetulnya telah lebih dahulu bekerja kekuatan-kekuatan lain seperti gerakan sosial, fungsi-fungsi perubahan phisik dan kependudukan. Setelah kekuatan-kekuatan ini berjalan pada tingkat perubahan tertentu baru hukum dipanggil untuk berperan sebagai penyelesaian konflik-konflik yang terjadi.

Menurut Achmad Ali[20] sebenarnya tidak perlu dipersoalkan tentang bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat, dan bagaimana hukum menjadi penggerak pembangunan untuk menuju kearah pembaharuan. Juga tidak perlu ngotot mana yang lebih dahulu, apakah hukum yang dahulu baru diikuti oleh faktor yang lain, ataukah faktor lain dulu baru hukum datang untuk menggerakkan perubahan. Yang penting, bagaimanapun kenyataannya hukum dapat berperan dalam masyarakat yang sedang melakukan pembangunan guna terwujudnya perubahan, hukum selalu tampil dibelakang dan atau bersamaan dengan kegiatan ekonomi dan tehnologi. Kenyataannya juga dimanapun dalam kegiatan pembangunan yang mengarah kepada perubahan, hukum selalu berperan dalam perubahan tersebut, dan hukum juga berperan dalam menggerakkan masyarakat untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik.

Erat hubungannya dengan usaha untuk pembaharuan masyarakat melalui konsep law is a tool social engineering telah mengilhami pemikiran Mochtar Kusumaatmadja untuk dikembangkan di Indonesia. Mochtar Kusumaatmadja[21] mengatakan bahwa konsep  law is a tool of social engineering ini di Indonesia sudah dilaksanakan dengan asas ”hukum sebagai wahana untuk melaksanakan pembaharuan masyarakat” jauh sebelum konsep ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum sehinga rumusan itu merupakan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Bahkan lewat budaya bangsa Indonesia, misalnya dirumuskan dengan pepatah-pepatah yang menggambarkan alam pikiran hukum adat yang telah diakui dan dapat diterima adanya pembaharuan hukum. Konsep inilah yang sejak tahun 1972 dikenal dengan mazhab UNPAD dan telah dikembangkan melalui GBHN dan tahapan REPELITA yang berlaku di Indonesia.

Perubahan hukum yang dilaksanakan baik melalui konsep masyarakat berubah dulu baru hukum datang untuk mengaturnya, maupun yang dilaksanakan melalui konsep law is a tool of social engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum Nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Mempergunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial harus memperhatiakn dengan sungguh-sungguh tentang kemajemukan tata hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban, ketentraman, dan mampu menjamin adanya kepastian hukum serta dapat mengayomi masyarakat yang berintikan keadilan dan kebenaran. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka perlu dilakukan pembinaan secara terus menerus terhadap semua aparatur hukum, melengkapi sarana dan prasarana, serta menyiapkan aturan hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

  1. Hukum sebagai a tool of social control.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari kepetingan dan kebutuhan yang diinginkan, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Di dalam percapaian kepentingan dan kebutuhan tersebut tidak terjadi konflik, maka diperlukan aturan agar kepentingan dan kebutuhan itu dapat tercapai dengan baik, tidak saling merugikan dan saling berkompetisi secara positif sehingga timbul ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan bersama. Aturan-aturan itu bisa berbentuk kebiasaan yang sudah menjelma secara turun termurun, bisa juga terwujud sebagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Di sini hukum diperlukan sebagai kontrol sosial dan menjaga ketertiban dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara.

Antara hukum di satu pihak dan ketertiban di pihak lain tidak selamanya selaras apabila diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, kadang-kadang antara hukum dengan ketertiban terjadi bertentangan. Oleh karena itu banyak pakar hukum mengatakan bahwa hukum tidak hanya merupakan sarana untuk mewujudkan ketertiban, melainkan ia bisa merupakan lawan dari ketertiban itu sendiri. Dalam kaitan ini, Achmad Ali[22] menjelaskan bahwa benturan antara hukum dan ketertiban terutama terlihat pada tugas polisi yang mendua. Di satu pihak polisi bertugas untuk memelihara ketertiban, di pihak lain polisipun bertugas  untuk menegakkan hukum. Dengan kata lain, tugas polisi bukan sekedar menjadi legal order, melainkan juga menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Tugas ganda ini akan menyulitkan polisi apabila harus memilih alternatif jika harus menghadapi seorang residivis yang kejam dan tidak mau menyerah. Menghadapi hal ini, polisi diberi wewenang untuk melakukan kekerasan untuk melumpuhkan residivis tersebut, demi terwujudnya ketertiban dalam masyarakat. Di sini hukum berburu dengan ketertiban.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah berdiri sendiri dalam masyarakat, tetapi peranan itu dijalankan bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang sama-sama menjalankan fungsi pengendalian sosial. Di sini hukum bersifat pasif, artinya hukum harus menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada. Dengan hal tersebut dapat diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendalian sosial, hukum hanya salah salah satu alat kontrol sosial di dalam masyarakat.

Peran hukum sebagai pengendalian sosial merupakan aspek normatif yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dapat berbentuk larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan bisa juga berupa pemberian ganti rugi. Titik berat dari peranan hukum disini adalah pada penetapan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan-aturan hukum dan apa sangsi yang dilakukan oleh hukum apabila terjadi penyimpangan tersebut. Kontrol sosial menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang, berat ringan perilaku menyimpang sangat tergantung pada kontrol sosial itu sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Achmad Ali[23] menjelaskan bahwa masing-masing masyarakat berbeda kuantitas sanksinya terhadap suatu penyimpangan tertentu terhadap hukum. Sebagai contoh, bagi masyarakat yang menganut secara konsekuen syariat Islam, hukuman bagi penzina adalah hukuman fisik yang cukup berat yakni dirajam 100 kali lemparan batu, tetapi pada masyarakat Eropa Barat pada umunya, hukuman bagi penzina (overspel) adalah jauh ringan jika dibandingkan dengan apa yang berlaku dalam syariat Islam. Contoh lain adalah, di beberapa negara Eropa ada perkampungan nude di mana terlihat puluhan orang bertelanjang bulat mondar mandir dengan tertib, tidak ada kekacauan dan hal itu dianggap suatu hal yang lumrah dan biasa. Jika hal itu terjadi di Indonesia, perbuatan telanjang bulat mondar mandir kesana kemari di muka umum diangap perbuatan melanggar hukum.

Agar peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control) dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tahu bahwa hukum itu sangat penting dalam mewujudkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Setelah masyarakat tahu bahwa hukum itu merupakan rambu-rambu yang harus ditaati bersama demi terwujudnya kedamaian dan alat untuk menyelesaikan konflik, maka diharapkan masyarakat patuh kepada hukum dan menghayati hukum dalam kehidupannya. Dalam kaitan ini J.S. Roucek[24] mengatakan bahwa hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan dan juga yang tidak direncanakan dengan tujuan untuk mendidik dan mengajak agar mematuhi hukum, bukan memaksa masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Di Indonesia, peranan hukum sebagai alat pengendalian sosial untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat tidak boleh lepas dari falsafah pancasila yang menghendaki tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketentuan ini lebih dirinci lagi dalam pasal 33 dan pasal 27 (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta GBHN tahun 1973 di mana disebutkan bahwa menurut hukum Pancasila, keadilan sosial harus diupayakan secara terus menerus dan keadilan sosial akan terwujud apabila ada keseimbangan antara penyelenggaraan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dengan kebutuhan perorangan dari keseluruhan kebutuhan masyarakat itu. Dengan perkataan lain, peranan hukum sebagai pengendalian sosial bukanlah sekedar memelihara ketertiban, keamanan dan stabilitas masyarakat dalam arti to keep the peace at all events at any price, tetapi lebih dari itu yakni diarahkan pada cita-cita untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Peran hukum sebagai alat pengendalian sosial melibatkan negara untuk menjalankannya. Oleh karena itu peranan eksekutif dan legislatif dalam membuat aturan hukum sangat penting dan dominan sebab negaralah yang mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh warganya. Di samping itu, peranan yudikatif untuk menegakkan hukum agar terciptanya ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat juga sangat menentukan, sebab betapa baiknya aturan hukum yang dibuat itu tanpa ada penegakan hukum yang tegas, ketertiban dan ketentraman masyarakat tidak akan terwujud. Oleh karenanya hukum tidak dapat berfungsi dan berperan sebagai pengendalian masyarakat ke arah yang lebih baik dalam kehidupannya, jika dalam penegakanya (law inforcement) tidak di lakukan dengan tegas tanpa membeda-bedakan orang. Jadi, terlaksana hukum sebagai alat untuk pengendalian sosial sangat tergantung pada materi hukum yang dibuat oleh kekuasaan negara (the ruling class) dan juga oleh pelaksana hukumnya.

  1. Hukum sebagai alat kontrol pembangunan.

Pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan, sebab dengan pembangunan tersebut kesejahteraan rakyat dapat dicapai. Biasanya dalam pembangunan itu lebih dipusatkan pada pembangunan ekonomi, sebab dengan pembangunan ekonomi itu maka output atau kekayaan suatu masyarakat akan bertambah sebab pembangunan ekonomi itu akan menambah untuk mengadakan pilihan yang lebih luas. Di samping itu, pembangunan ekonomi dapat memberikan kepada manusia kemampuan yang lebih besar untuk menguasai alam sekitarnya dan mempertinggi tingkat kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan tertentu. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak dan dengan pembangunan ekonomi manusia akan dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menjelaskan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, pembangunan yang sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia Internasional.

Oleh karena pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan di Indonesia mencakup jangkuan yang sangat luas, maka diperlukan hukum untuk memayungi seluruh kegiatan pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan itu. Agar pembangunan dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka peranan hukum sebagai alat pembangunan tersebut sangat diperlukan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun ketika dilakukan pengendalian dan pengawasan pembangunan tersebut. Menurut Sunaryati Hartono[25] dalam masyarakat yang belum atau tidak mempunyai rencana pembangunan, seperti dalam masyarakat tradisional atau dalam masyarakat modern yang liberal, peranan hukum terjadi sesudah terbentuknya kebiasaan hukum, sedangkan dalam masyarakat yang membangun dengan cara berencana, maka pembentukan hukum dan peranan hukum justru harus mendahului pelaksanaan pembangunan yang akan dilaksanakan. Hal ini penting untuk menjaga agar pembangunan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan di dalam masyarakat. Meskipun dampak pembangunan itu akan mengalami perubahan yang terus menerus, tetapi keadilan masyarakat tetap harus diwujudkan, sebab inilah sebagai inti dari arti hukum sebagai pengawal pembangunan.

Peranan hukum dalam negara yang memprioritaskan pembangunan dalam bidang pertanian, berbeda dengan peranan hukum pada masyarakat yang mengandalkan pada pembanguan dalam bidang industri. Pada masyarakat yang agraris, kaedah-kaedah hukum tidak banyak diperlukan, sedangkan pada masyarakat industiralis kaedah hukum lebih banyak diperlukan. Menurut W. Arthur Lewis sebagaimana yang dikutip oleh Sunaryati Hartono[26]. Di sawah petani adalah majikannya sendiri, mengambil sendiri berbagai keputusan seperti pada saat menanam padi, bibit yang dipergunakan, cara dan waktu pengairan, penggunaan pupuk, saat menuai, banyaknya padi yang dijual dan dikonsumsi sendiri dan sebagainya. Di dalam pabrik, orang bekerja di bawah pengawasan orang lain, harus mengerjakan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya. Ia tidak boleh menyimpang dari petunjuk-petunjuk yang telah diberikan kepadanya, bahkan juga tidak boleh terlambat mengerjakanya, karena hal itu akan mempengaruhi seluruh proses produksi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam suatu pabrik terdapat organisasi yang jauh lebih rumit dari pada usaha pertanian. Demikian juga suatu masyarakat industri jauh lebih komplek dari masyarakat pertanian. Pada masyarakat industri, kecermatan dan ketelitian, ketepatan waktu dan kordinasi antar bagian yang satu dengan yang lain merupakan keharusan yang dilaksanakan, jika tidak dilaksanakan maka seluruh sistem akan mengalami keterlambatan dan kekacauan. Oleh karena itu maka dalam masyarakat industri diperlukan berbagai aturan hukum yang mengatur segala tindak tanduk manusia sampai mendetail. Hal ini penting sebab dengan rambu-rambu hukum maka ketentraman hidup masyarakat dan ketidak-adilan dalam masyarakat dapat dihilangkan, konflik, konflik juga dapat dihindari, pembangunan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Hukum-hukum apa saja yang diperlukan untuk berperan dalam pembangunan dalam rangka menuju kepada kegiatan industrialisasi dapat dilihat dalam skema sebagai berikut :

Melihat kepada skema tersebut di atas, dapat kita ketahui bahwa peranan hukum sebagai alat kontrol pembangunan sangat dominan, baik ketika masa persiapan, waktu kegiatan produksi dan ketika masa distribusi hasil-hasil pembangunan kepada pihak-pihak yang memerlukan. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi tidak boleh lepas dari berbagai hukum, baik kegiatan itu dilakukan oleh badan usaha maupun sebagai perorangan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud bisa dalam bentuk produksi (barang dan jasa), perdagangan dan dalam bentuk perantara baik lokal, nasional dan Internasional. Kegiatan-kegiatan ini mengacu pada dua orientasi hukum berdasarkan dua kegiatan yaitu secara makro dan secara mikro. Oleh sebab itu, kegiatan ekonomi selalu mengacu kepada dua konsep hukum secara simultan yaitu pada hukum publik dan hukum privat/perdata hukum dagang.

  1. Hukum sebagai sarana penegak keadilan.

Pembicaraan tentang keadilan tidak pernah berhenti sejak zaman dahulu hingga saat ini, sebab masalah keadilan merupakan hal yang sangat essensial dalam kehidupan manusia. Keadilan terus dibicarakan dan diperjuangkan oleh setiap individu dan masyarakat untuk memperolehnya agar kehidupannya dapat berjalan dengan baik, aman dan sentosa. Keadilan adalah kebijakan tertinggi dan selalu ada dalam segala manifestasinya yang beraneka ragam. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia ini, termasuk agama Islam yang menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.

Pengertian keadilan dalam Ensiklopedia Hukum Islam[27] disebutkan bahwa secara etimologi arti ”adil” (al-’adl) berarti tidak berat sebelah, tidak menikah atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-’adl adalah alqist, al-mist yang berarti sama dengan bagian atau semisalnya. Sedangkan pengertian adil secara terminologi adalah mempersamakan sesuatu pada tempatnya (wad asy-syaifi maqamih). Menurut Ibnu Qudamah[28]  yang dimaksud dengan keadilan adalah  sesuatu yang tersembuyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Berlaku adil itu sangat terkait dengan hak dan kewajiban.Hak yang dimiliki oleh seseorang merupakan hak azasi yang wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah dan amanah itu wajib pula diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum harus ditegakkan secara adil tanpa dibarengi dengan rasa kebencian dan sifat-sifat negatif lainnya.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafah hukum. Demikian pentingnya keadilan ini, sehingga setiap orang mempelajari filsafat hukum, selalu timbul pertanyaan ”keadilan itu apa sesungguhnya?” Terhadap pertanyaan ini filosof Ulpianus[29] pernah memberi jawaban dengan mengatakan bahwa keadilan itu adalah kehendak yang ajeg (tetap) dan tetap meberikan kepada masing-masing bagiannya (Justitia est constans et perpetua voluntas ius suum euique tribuendi). Arti keadilan yang dikemukakan oleh filosof Ulpianus ini diambil alih oleh Kitab Hukum Justianus yang diberlakukan oleh beberapa negara Eropa pada waktu itu. Aristotiles[30] juga telah menulis panjang lebar tentang keadilan ini. Ia mengatakan bahwa keadilan itu adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil itu dapat diartikan menurut hukum dapat pula diartikan apa yang sebanding yaitu yang semestinya. Orang dikatakan tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia peroleh.

Keadilan akan lahir dari sistem hukum yang mapan. Apabila terjadi konflik sistem hukum dalam suatu negara, perkembangan hukum menjadi terhambat dan merasa tidak puasnya masyarakat terhadap hukum. Oleh karena itu, untuk membangun sistem hukum yang mendapat legitimasi oleh masyarakat, konflik sistem hukum harus segera dihilangkan. Menurut Tasrif ada empat syarat minimal agar keadilan mendapat tempat yang sewajarnya dalam suatu sistem hukum yaitu pertama : yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan, kedua : dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, dia harus mempunyai dua ujung dan diantara dua ujung itu keadilan berada, ketiga : dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan itu harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding dari apa yang dibagi, keempat : dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu adil. Melihat kepada empat hal tersebut, pengertian adil menurut Tasrif adalah kebajikan yang sempurna, yaitu orang yang memiliki keadilan itu harus mampu menerapkanya terhadap pihak lain (orang lain), bukan hanya dalam hal yang menyangkut dirinya sendiri.

Tentang hukum dan keadilan, Cicero dalam De Legibus seagaimana yang dikutip oleh M. Shodiq Dahlan[31] menjelaskan bahwa tidak ada satu hal yang lebih penting untuk  dipahami bahwa manusia itu dilahirkan bagi keadilan dan keadilan itu tidak dilakukan berdasarkan pendapat manusia, tetapi dilakukan oleh alam itu sendiri. Adil menurut hukum diartikan sebagai apa yang secara tegas diharuskan oleh pembentuk undang-undang. Undang-undang itu sendiri dibuat dengan tujuan kebaikan, keamana, perdamaian dan terwujudnya keadilan bagi seluruh masyarakat. Dengan hal ini, demi tercapainya apa yang diharapkan, maka para pembuat undang-undang harus merumuskan substansi dari undang-undang tersebut sesuai dengan standar moral dan kebahagian umum sehingga rakyat bersedia menerima dan mentaatinya yang didalamnya tercakup seluruh hakekat dan daya keadilan.

Meskipun peraturan perundangan yang dibuat itu berisi nilai-nilai keadila yang tinggi, tetapi peraturan perundang-undangan itu tidak ada artinya, kalau penegakan hukum atas aturan yang dibuat itu tidak dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Ketidakadilan dalam melaksanakan aturan hukum itu, menyebabkan rakyat tidak akan mematuhi aturan hukum itu. Hukum yang baik adalah hukum yang sarat dengan nilai-nilai keadilan dan pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara adil tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain, semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum.

Indonesia adalah negara hukum. Penegasan ini terdapat dalam teks Undang-Undang Dasar 1945. dalam penjelasannya secara eksplisit disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Padapenjelasan berikutnya ditegaskan bahwa pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut atau kekuasaan yang tidak terbatas. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa hukum dalam negara Indonesia mempunyai kedudukan yang tertinggi (supreme), sehingga kekuasaan, siapapun yang memegangnya harus tunduk pada hukum.

Negara hukum yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Keadilan dan hukum merupakan satu kesatuan (integral), juga integritas dengan negara. Keadilan dan hukum inilah yang menjadi dasar bagi negara untuk merealisir tujuannya. Menurut Attamimi[32] yang dimaksud dengan negara hukum adalah negara yang bertujuan selain melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban, juga berfungsi memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mewujudkan kemakmuran yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebahagian para ahli hukum berpendapat bahwa hukum yang bagus adalah hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan yang selalu berkembang mengikuti nilai keadilan manusia. Kesadaran hukum masyarakat akan timbul bila ada kesesuaian  antara keadilan yang hidup di dalam masyarakat dengan keadilan yang ingin dicapai oleh hukum yang sedang berlaku. Oleh karena itu, kepastian hukum hendaknya harus selalu ditegakkan, karena di dalam kepastian hukum itu terkandung nilai keadilan hukum. Antara kepastian dan keadilan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mengisi. Dari pernyataan ini akan timbul dan tercipta hukum positif yang dapat mengayomi kehidupan masyarakat dan secara tidak langsung aka tercipta hukum yang berdimensi keadilan dan kebenaran.

Hukum dan keadilan merupakan dua sisi yang tidak boleh dipisahkan karena kedua hal ini saling berkaitan. Apabila hukum dilaksanakan dengan baik, maka keadilan akan terwujud. Apabila keadilan dapat bersatu, maka akan terwujud ketertiban dan kedamaian serta kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu harus berperan aktif dalam mewujudkan keadilan dan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Dalam kaitan ini diperlukan sikap keteladanan dari penguasa dalam berbuat dan bertindak, sehingga dengan kesadarannya sendiri masyarakat melalui keteladanan itu patuh kepada hukum. Masyarakat akan tunduk kepada hukum karena merasa kepentingan terlindungi dan mereka taat kepada hukum karena hukum diangap dapat mendidik dan membimbing organ yang lebih baik dalam mengayomi masyarakat dan bersikap adil dalam segala tindakan.

  1. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Pembangunan di berbagai sektor yang sedang dilakukan di Indonesia mengakibatkan berbagai konsekwensi, salah satu diantaranya adalah di bidang hukum. Berkaitan dengan itu, peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut berlangsung secara tertib dan teratur, sehingga tujuan pembangunan tersebut dapat tercapai sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat atau produk-produk hukum yang mampu menunjang pembangunan.

Menurut Otje Salman[33], berbicara mengenai perananan hukum dalam pembangunan, hal ini berarti hukum di satu segi harus mampu menciptakan pola perilaku masyarakat sehingga mampu mendukung keberhasilan pembangunan yang sedang dilaksanakan, juga harus mampu memelihara dan menjaga pembangunan yang telah dilaksanakan. Di samping itu, pembentukan hukum harus pula memperhatikan kesadaran hukum masyarakat agar hukum yang dibentuk itu dapat berlaku aktif. Kesadaran hukum seringkali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat dengan hubungannya dengan kesadaran hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis, yaitu kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, para ahli hukum sepakat bahwa hukum itu harus dinamis agar ia selalu dapat dipergunakan, tidak terikat dengan waktu dan tempat. Hukum harus dapat dipergunakan sebagai penjaga ketertiban dan ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi kepada masa depan (for word looking), tidak boleh hukum dibangun dengan berorientasi kepada masa lampau saja (back word looking). Oleh karena itu, hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan bermanfaat untuk seluruh warga negara Indonesia. Untuk itu hukum harus mendapat prioritas utama dalam pembinaan hukum nasional adalah membentuk sistem hukum nasional yang kokoh dan menjadikan hukum berperan dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan. Hal ini penting karena hukum itu termasuk sasaran yang akan dibangun secara terus menerus dan sebaliknya pembangunan itu merupakan kerja raksasa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat yang memerlukan hukum sebagai alat pemagar pembangunan itu.

Agar hukum dapat berperan secara efektif dalam rangka Pendidikan masyarakat, maka sangat penting hukum-hukum yang akan diberlakukan disosialisasikan dulu kepada masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat siap menerima hukum itu untuk dilaksanakannya. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, karena mereka mengerti tentang hukum dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan sosialisasi ini diharapkan akan terjadi internasionalisasi hukum kedalam kehidupan masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah  hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat. Apabila masyarakat sudah tahu bahwa hukum yang akan dilaksanakan itu akan membawa ketentraman dan ketertiban, maka dengan kesadaran sendiri masyarakat akan taat kepada hukum yang akan diberlakukan itu.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa pendidikan hukum kepada masyarakat sangat penting untuk dilaksanakan. Dalam kaitan ini Otje Salman[34] menjelaskan bahwa ada empat indikator untuk menjadikan hukum sebagai sarana untuk mendidik masyarakat agar mereka memilki kesadaran terhadap hukum yaitu, pertama : pengetahuan hukum yakni pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum, kedua : pemahaman hukum, tentang ini erat kaitanya asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan itu telah diundangkan, kenyataanya asumsi ini tidak benar. Pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu dan manfaatnya dalam kehidupan masyarakat, ketiga : sikap hukum, yakni suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat jika hukum ditaati, keempat : perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum, disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.

Apabila keempat indikator tersebut terpenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, demikian juga sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum masyarakat terhadap suatu aturan hukum mengakibatkan warga masyarakat mentaati aturan-aturan hukum yang diberlakukan itu, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukum rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah. Oleh karena itu, sangat perlu diadakan pendidikan hukum masyarakat sebelum hukum diberlakukan kepada masyarakat, hal ini sangat diperlukan agar hukum dapat bekerja secara efektif sebagaimana yang diharapkan dalam rangka pembangunan nasional.

VI.       PENUTUP

Demikianlah secara ringkas Peranan Hukum Ekonomi Dalam Pembangunan Ekonomi. Oleh karena terbatasnya waktu penulisan sudah barang tentu makalah ini jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap dengan uraian ringkas ini para pembaca dapat menambah wawasan dalam Peranan Hukum Ekonomi Dalam Pembangunan Ekonomi.

Billahi taufiqy wal hidayah.

                                                       Jakarta,    Februari  2012

                                                                       Penyusun,

DAFTAR PUSTAKA

 Achmad Ali, SH,MH. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta.

Anonim, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT.Ichtiar Baru van Koever, Jakarta, 1996.

Bahaudin Darus, Prof.Drs.Pengembangan KajianEkonomi Islam pada IAIN di Abad ke 21, dalam Pergutuan Tinggi Islam di Era Globalisasi, IAIN SUMUT-Tiara Wacana, Yagyakarta 1998.

CFG Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BPHN Dep.Kehakiman RI, Bina Cipta, Bandung,1988.

Erly Ernawati, Sistem dan Luas Lingkup Hukum Ekonomi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1995.

Joeph S Roucek, Social Control, D van Nostrand Company, Ine London,1951.

Marzuki Wahid dan Rumadi,Fiqh Mazhab Negara,LKIS Yogyakart,2001.

Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembnagan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta Bandung,1970.

Muhammad Hashim Kamali, Freedom Equality and Justice in Islam, Kuala Lumpur, Ilmiah Publisher SBN,BHR, Kuala Lumpur,1999.

Otje Salman,Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,Alumni Bandung,1989.

Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan,Jakarta, 2000.

Richard T. La Piere, Social Change, Eng-lewood Cliff,NJ. Printice Hall,1974.

Roscoe Pound, Pengertian Filsafah Hukum, Bhratara,Jakarta,1972.

Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Banyumedia, Malang, 2007.

Sumantoro, Hukum Ekonomi,Universitas Indonesia Press,Jakarta,2008.

Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum,CV.Abadin,Jakarta,1987.

Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 dalam bidang ekonomi.

W. Arthur Lewis dalam Majalah UNICEF, Children of the Developing Countries, Thomas Nelson & Sons LTD,London,1964.

Berbagai dokumen lain yang ada sangkut pautnya dengan judul makalah ini.

——————————–

[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama,Jakarta,1996,hal.22

[2] Ibid

[3] E Utrecht & Muh.Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, 1983,hal.42

[4] Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,Jakarta,2007,hal.4

[5] Ibid,hal.5

[6] Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Banyumedia, Malang, 2007,hal.9-10.

[7] CFG Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, BPHN Dep.Kehakiman RI, Bina Cipta, Bandung,1988,hal.53

[8] Ibid, hal.60-61

[9] Erly Ernawati, Sistem dan Luas Lingkup Hukum Ekonomi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1995,194-197

[10] CFG Sunaryati Harsono,Opcit,hal.49-50

[11] Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan,Jakarta,2000,hal.17

[12] Ibid hal 17-18

[13] Sumantoro, Hukum Ekonomi,Universitas Indonesia Press,Jakarta,2008,hal.46-47

[14] Ibid,hal.280

[15] Bahaudin Darus, Pengembangan KajianEkonomi Islam pada IAIN di Abad ke 21, dalam Pergutuan Tinggi Islam di Era Globalisasi, IAIN SUMUT-Tiara Wacana, Yagyakarta 1998,hal.163

[16] Lebih lanjut baca Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 dalam bidang ekonomi.

[17] Achmad Ali, SH,MH. Opcit,hal.101

[18] Roscoe Pound, Pengertian Filsafah Hukum, Bhratara,Jakarta,1972,hal.42

[19] Richard T. La Piere, Social Change, Eng-lewood Cliff,NJ. Printice Hall,1974,hal.69.

[20] Achmad Ali, Opcit,hal.215

[21] Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembnagan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta Bandung,1970,hal.12

[22] Achmad Ali, Opcit,hal.76

[23] Achmad Ali, Opcit,hal.99

[24] Joeph S Roucek, Social Control, D van Nostrand Company, Ine London,1951,hal.31

[25] Sunaryati Hartono,Opcit,hal.18-19

[26] Ibid hal.19, Lihat juga dalam W. Arthur Lewis dalam Majalah UNICEF, Children of the Developing Countries, Thomas Nelson & Sons LTD,London,1964,hal.75.

[27] Anonim, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT.Ichtiar Baru van Koever,Jakarta,1996,hal.25

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Muhammad Hashim Kamali, Freedom Equality and Justice in Islam, Kuala Lumpur, Ilmiah Publisher SBN,BHR, Kuala Lumpur,1999,hal.140-141

[31] Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum,CV.Abadin,Jakarta,1987.hal.102.

[32] Marzuki Wahid dan Rumadi,Fiqh Mazhab Negara,LKIS Yogyakart,2001,hal.43

[33] Otje Salman,Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,Alumni Bandung,1989,hal.65

[34] Ibid,hal.56-59