PENGERTIAN OBAT

A.PENGERTIAN OBAT
a. Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993
Obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
b. Menurut Ansel (1985)
Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
c. Departement Kesehatan
merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
d. Menurut Farmakologi Fakultas Kedokteran UI
obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi,Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia)

Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh.Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.

B. Obat Paten dan Obat Generik
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.
1. Obat paten
Obat Paten atau obat inovator adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.
Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.
2. Obat Generik
Setelah obat paten habis masa patennya, obat itu kemudian boleh ditiru, diproduksi dan dipasarkan oleh perusaahan lain. Obat tiruan itu dinamakan obat generik atau obat copy. Secara otomatis, obat paten yang habis masa patennya (eks paten) juga berubah status menjadi obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya).
Di Indonesia, obat generik dibedakan lagi menjadi dua jenis, yakni obat generik berlogo dan generik bermerek (branded generic).Obat generik berlogo adalah obat generik yang dijual memakai nama generik obat sebagai merek dagangnya. Misalnya amoksisilin tetap dijual dengan nama amoksisilin. Yang membedakan antara amoksisilin produksi perusahaan obat satu dengan yang lain adalah logo perusahan produsen yang tercantum di kemasan.
Sedangkan obat generik bermerek adalah Obat paten yang sudah habis masa patennya biasanya dipasarkan dengan nama dagang yang tetap, tidak berubah. Obat seperti ini digolongkan obat generik bermerek. Jadi ada dua obat generik bermerek, yaitu obat eks paten dan obat tiruan yang dibuat oleh produsen lain. Dengan kata lain obat generik bermerek adalah obat generik yang dijual dengan nama sesuai keinginan produsennya. Misal parasetamol, maka mereknya bisa Tempra, Sanmol, Panadol atau yang sejenisnya. Merek bisa berbeda tapi isinya tetap sama, yaitu parasetamol.

Meski sama-sama obat generik, harga obat generik bermerek jauh lebih mahal dibandingkan generik berlogo bisa sampai 40 – 80kali lipat lebih mahal. Ini disebabkan karena obat generik berlogo diproduksi dalam skala besar dijual dengan kemasan yang besar-besar serta tidak dipromosikan secara besar-besaran. Harganya pun ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan obat generik bermerek harganya ditentukan oleh produsen dan menjadi mahal karena penjuanya disertai kegiatan promosi.
Sejak tahun 2006, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 100/SK/GPFI/2006 tanggal 1 September 2006 yang berisi himbauan kepada perusahaan farmasi untuk menurunkan harga obat bermerk sehingga harganya berkisar 3 kali lipat harga obat generik.
Harga obat generik bermerek (obat bermerk) yang diturunkan meliputi 34 item obat esensial bermerek yang mencakup lebih kurang 1.400 sediaan yang diproduksi berbagai perusahaan farmasi swasta yang merupakan anggota GP Farmasi kecuali Perusahaan Modal Asing (PMA).
Mayoritas obat yang beredar di indonesia saat ini tergolong obat generik. Obat paten jumlahnya hanya sekitar 8% terdiri dari obat-obatan untuk penyakit tertentu, antara lain kanker, HIV/AIDS, dan flu burung.

C. Sejarah Obat Generik
Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.
Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan.
Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

1. Kualitas Obat Generik Tidak Kalah
Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk.
Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut:
a. Uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE).
Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.
Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.
Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB
Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE
Uji BA/BE menjadi prasyarat registrasi obat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM-RI. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut, rektal/dubur, transdermal/kulit).

b. Uji Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA)
Rate (kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.
c. Uji Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE)
Tidak adanya perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat.
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes dokter bisa percaya dan berani meresepkan obat generik asalkan ada uji BA/BE yang hasilnya bagus dan dipublikasikan.
Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.
Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk obat tersebut.

2. Obat Generik Adalah Hak Pasien
Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:
1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.
2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
3. Hak untuk ganti rugi.
4. Hak untuk memilih.
5. Hak untuk didengar.
6. Hak untuk mendapatkan advokasi.
7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.
Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang diberikan cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun