Pengertian Fonologi Bahasa Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fonologi Bahasa Indonesia

Secara etimologi kata Fonologi berasal dari kata Fon yang berarti bunyi, dan logi yang berarti ilmu. Fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi- bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat- alat ucap manusia.

Fonologi adalah bunyi bahasa yang berfungsi dalam ujaran dan yang dapat membedakan makna itulah yang menjadi objek salah satu disiplin linguistik (Padeta, 2003 : 3)

Deskripsi “ perian” sistem bunyi bahasa, dan pemolaan bunyi yang ada dalam suatu bahasa,disebut Fonologi (Padeta, 2003 :3). Ladefoge ( Padeta, 2003:3 )mengatakan “ phonology is the description of the systems and patterns of sounds that occur in a language”, sedangkan Lass ( Padeta, 2003 : 3) berpendapat,’ phonology, broadly speaking is that sub discipline within linguistics concerned with the sounds of language’. Tentu saja setiap bahasa mempunyai sistem bunyi bahasa yang berbeda dengan bahasa yang lain. Sistem itu memperhatikan persamaan dan perbedaan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain ( briere dalam buku Padeta, 2003 : 3).

Ahli linguistik di zaman modern akhirnya mengerti, dengan memperhatikan hasil penelitian ahli lain ( ahli faal, ahli teori lagu dan sebagainya), mereka telah memberikan linguistik suatu ilmu bantu yang membawanya melampaui batas kata tertulis. Fisiologi bunyi (Jerman Laut atau Sprachphysiologie) sering disebut “ Fonetik” ( Jerman Phonetik, Inggris Phonetics). Istilah tersebut nampaknya kurang tepat, kami menggantinya dengan istilah Fonologi. Karena fonetik berarti dan harus terus berarti studi evolusi bunyi, Fonetik adalah Ilmu Historis, menganalisis peristiwa, perubahan dan bergerak bersama waktu. Fonologi berada diluar waktu karena mekanisme pelafalan selalu serupa. Dalam hal ini abjad yunani primitif patut kita kagumi. Setiap bunyi sederhana dalam bahasa ini diungkapkan oleh hanya saatu lambang grafis, dan sebaliknya setiap lambang berhubungan dengan satu bunyi sederhana, selalu yang sama. Ini adalah penemuan genius, yang telah diwariskan pada bangsa Latin. Di dalam abjad Yunani primitif tidak dapat grafem kompleks seperti “ch” yang melambangkan s, ‘x’ untuk ks. Prinsip tersebut yang perlu dan memadai bagi aksara Fonologis yang baik, telah direalisasi bangsa Yunani secara menyeluruh.

Dalam beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental yang juga menjadi kajian objek kajian fonologi seperti nada, tekanan, dan durasi, akan memberikan warna makna pula terhadap wujud morfem atau kata. Dalam kajian sintaksis fonologi juga masih telibat karena sering kali makna sebuah ujaran ( kalimat) tergantung pada unsur- unsur suprasegmentalnya. Misalnya ujaran “ guru baru datang “ akan bermakna “ guru itu terlambat”.
Di luar kajian struktur internal bahasa, yaitu fonologi, morfologi,dan sintaksis. Ada bidang kajian linguistik yang lain, yaitu semantik, leksikografi, sosiolingustik, psikolinguistik, dan dialektologi. Hal ini sangat penting bagi bahasa yang sistem ejaannya sangat tidak konsisten seperti bahasa inggris.

B. Fonologi dan Fonetik

Fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi- bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat- alat ucap manusia.

Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti bunyi- bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi- bunyi itu dapat membedakan makna kata atau tidak. Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa yang tidak memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna ( Verhaar dalam buku Padeta 2003 : 4).

Istilah fonologi dalam kepustakaan di AS disebut fonemik, bahasa inggris “ Phonemics”, sedangkan di Eropa daratan, misalnya di negara bekanda, fonetik dianggap berdiri sendiri yang terpisah dari fonologi. Jadi disamping fonetik, mereka mengenal pula fonologi sedangkan fonetik dan fonemik mereka deskripsi dalam satu subdisiplin linguistik yang disebut fonologi. Fonologi sering disebut fonemik, ilmu yang mempelajari fonem- fonem. Akan tetapi karena fonologi tidak hanya yang mempelajari fonem – fonem, melainkan bagaimna fonem- fonem difonasikan , maka istilah fonologi yang banyak digunakan.

Harimurti dalam buku Padeta 2003 :4 mengatakan, fonetik ;
1. Ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa; ilmu interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi, dan psikologi;
2. Sistem bunyi suatu bahasa.

Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi- bunyi bahasa dalam peranannya sebagai media atau sarana bahasa (Lapoliwa dalam buku Padeta 2003:4).

Sehubungan dengan konsep fonetik, pakar Linguistik membagi Fonetik atas tiga jenis yaitu :

1. Fonetik akustik
2. Fonetik auditoris
3. Fonetik artikulatoris atau fonetik organis

Pembagian ini berdasarkan pada cara mendekati atau mendiskripsikan bunyi- bunyi bahasa.

Fonetik akustik melukiskan bagaimana bunyi bahasa yang keluar dari alat- alat bicara manusia yang merupakan gelombang- gelombang bunyi melalui udara sampai ke telinga pendengar. Penyelidikan ini sangat memerlukan alat elektronik yang rumit. Disamping pengetahuan fisika, penyelidik harus memahami matematika, sebab bunyi bahasa harus dideskripsikan dengan rumus- rumus atau angka yang bersifat matematis.

Fonetik auditoris mendeskripsikan bunyi bahsa yang diterima oleh alat dengar si pendengar. Berbicara tentang fonetik auditoris, berarti mempelajari bunyi dari segi pendengar, yakni proses yang dimulai saat menerima gelombang- gelombang bunyi, perubahan gelombang bunyi menjadi isyarat yang dapat dikirim ke otak, penafsiran isyarat- isyarat tadi hingga satuan- satuan yang siap untuk dikirim melalui alat ucap.

Fonetik artikulatoris atau biasa disebut fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi bahasa dihasilkan oleh alat bicara manusia organs of speech. Dengan demikian fonetik artikulatoris lebih banyak berhubungan dengan fisiologi. Fonetik artikulatoris bersifat praktis, oleh karena alat bicara manusia bersifat konkret. Deskripsi fonetik artikulatoris dapat memperlihatkan di daerah mana sebuah bunyi bahasa yang dihasilkan, apakah melalui bibir,atau apakah bunyi bahasa itu dihasilkan oleh langit – langit lunak “ velum”.

C. Proses Bunyi Bahasa

Muolton dalam buku Pateda 2003 : 10 mengatakan, ada 11 tahap proses yang dilalui oleh bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat- alat bicara pembicara sampai dipahami oleh pendengar.

Tahap- tahap dimaksud adalah sebagai berikut ;

1. Membuat kode sematis.
Pembicara membayangkan acuan- acuan yang ingin disampaikannya dalam bentuk- bentuk satuan- satuan semantis yang diharapkan satuan semantis ini akan sama dengan penafsirannya pada pihak pendengar.

2. Membuat kode gramatikal.
Pembicara telah memilih satuan semantis yang cocok dengan acuan yang ada dalam bayangannya, ia akan memutuskan suatu gramatikal, apakah kata atau kalimat. Kata dan kalimat yang dipilih harus sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan.

3. Membuat kode fonologis.
Mengubah satuan gramatikal tadi dalam wujud bunyi- bunyi bahasa.

4. Mengirimkan perintah otak kepada alat bicara.
Proses ini berada dalam “mind’. Wujudnya berupa gejolak jiwa yang menuntut untuk segera dihasilkan.

5. Alat bicara melaksanakan gerakkan sesuai dengan perintah otak.
Tahap ini termasuk dalam tahap fisiologis.
6. Tahap ini merupakan tahap akustik
Bunyi- bunyi bahasa tadi diteruskan yang akan berwujud gelombang- gelombang bunyi.

7. Tahap fisiologis
Gelombang bunyi tadi menyentuh alat pendengar. Gelombang bunyi merangsang telinga pendengar yang menyebabkan si pendengar mengaktifkan mekanisme pendengarannya

8. Tahap fisiologi yang berkaitan dengan fonetik auditoris.
Gelombang bunyi tadi diubah menjadi getaran. Getaran teruskan ke otak.

9. Pemecahan kode
Getaran tadi yang sebenarnya berisi pesan pembicara dalam bentuk kode- kode, harus ditafsirkan atau dimaknakan. Pengolahan terjadi di otak dengan jalan mencocokkan gejala- gejala itu dengan pengetahuan si pendengar yang sesuai dengan sistem bahasa yang dikuasai pendengar.

10. Pemecahan kode secara gramatikal
Kode- kode berwujud getaran yang telah dimaknakan secara fonologis itu, kemudian ditafsirkan dengan cara gramatikal. Strukturnya disesuaikan dengan struktur bahasa yang dikuasai pendengar.

11. Pemecahan kode secara semantis
Struktur gramatikal dilihat maknanya baik yang berwujud kata maupun yang berwujud satuan yang lebih besar, apakah Frase atau kalimat. Proses pengolahan gelombang bunyi sehingga dipahami oleh pendengar, semuanya dilakukan oleh otak. Dalam kaitan ini kita melihat bahwa otak mempunyai fungsi kreativitas, fungsi transmisi, dan juga mengaktifkan mekanisme pendengaran.

Dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu ;
a. Komponen subglotal
b. Komponen laring, dan
c. Komponen supraglotal.

Komponen subglotal terdiri dari paru- paru ( kiri dan kanan), saluran bronkial, dan saluran pernafasan ( trakea). Otot- otot paru-paru, dan rongga dada juga termasuk dalam komponen ini. Secara fisiologis kom ponen ini digunakan untuk proses pernafasan. Karena itu, komponen ini disebut Sistem pernafasan. Dalam fonetik disebut sistem pernafasan subglotal yang mempunyai fungsi utama komponen ini adalah “ memberi” arus udara yang merupakan syarat mutlak untuk terjadi bunyi bahasa.

Komponen Laring ( tenggorok) merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara. Laring berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru- paru, mulut dan hidung. Dalam rangka proses produksi bunyi, pada laring inilah terjadnya awal mula bunyi bahasa itu; baik dengan aliran udara egresif maupun aliran udara ingresif. Sehubungan dengan arus udara, sebagai sumber pembunyian, biasanya dibedakan tiga macam arus udara, yaitu arus udara pulmonik, arus udara glotalik, dan arus udara velarik.

Komponen supraglotal adalah alat- alat ucapyang berada di dalam rongga mulut dan rongga hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun yang menjadi artikulator pasif.

Terjadinya bunyi bahasa dalam proses produksi bunyi bahasa pada umumnya dimulai dari proses pemompaan udara ke luar dari paru- paru melalui pangkal tenggorakan (laring) ke tenggorokkan yang di dalamnya terdapat pita suara. Supaya udara itu bisa ke luar, pita suara itu harus berada dalam keadaan terbuka. Setelah melalui pita suara, yang merupakan jalan satu- satunya untuk bisa ke luar, entah melalui rongga mulut atau rongga hidung, arus udara tadi diteruskan ke luar ke udara bebas.

Cara bunyi bahasa itu dihasilkan disebut cara artikulasi. Sejauh ini cara artikulasi yang diketahui antara lain adalah ;

a. Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu dengan tiba- tiba diletupkan sehingga terjadilah bunyi yang disebut bunyi hambat, bunyi letup atau bunyi plosif.
b. Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu arus ujar itu dikeluarkan melalui rongga hidung, sehingga terjadi bunyi nasal.
c. Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian diletupkan sambil digeser atau didesiskan sehingga terjadilah bunyi paduan atau bunyi afrikat.
d. Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian digeserkan atau didesiskansehingga terjadinya bunyi geseran, bunyi desis atau bunyi frikatif.
e. Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan kanan lidah, maka terjadilah bunyi sampingan atau bunyi lateral.
f. Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan kanan lidah lalu digetarkan sehingga terjadilah bunyi getar atau tril.
g. Arus ujar itu pada awal prosesnya diganggu oleh posisi lidah tetapi kemudian diganggu pada titik artikulasi tertentu sehingga terjadilah bunyi semi vokal yang dikenal juga dengan nama bunyi hampiran. ( Chaer 2003 : 30).

D. Jenis-jenis Fonologi

a. Fonetik Sebelum SPE
Strukturalist Amerika menggunakan produser segmentasi,lalu mengkontraska, mengklasifikasi unit-unit bunyi bahasa yang lebih di kenal dengan istilah pasangan minimal ‘minimal paris’ (Gleason :1958). Akhir pengkajian mereka, yakni tersusunya fonem bahasa yang telah diteliti. Contoh, dalam bahasa Thai terdapat pasangan minimal (Jensen, dalam Pateda ; 2010:13).
Fonologi sebelum SPE mengklasifikasikan fonem-fonem berdasarkan alat bicara yang menghasilkan bunyi-bunyi bahasa tersebut

b. Fonologi SPE
Buku The Sound Pattern of English merupakan titik kluminasi sejumlah kajian dalam bidang teorifonologi yang di inpirasikan dari berbagai penemuan terdahulu.pandangan ini antara laion yamg berhubungan dengan teorifitur pembeda ‘disticve features’ yang menyatakan bahwa unit-unit bunyi bahasa bukanlah fonem, tetapi unit yang lebih kecil,fitur,yang kemudian berkombinasi menjadi fonem. Jadi, konsonan /m/ pada kata makan sebenarnya merupakan dingkatan penulisan fitur-fitur suara,bilabial,nasal,hambat.
Pandangan ini melahirkan tata bahasayang dikenal dengan tata bahasa generatif. Tujuan utama bahasa generatif, yakni menunjukkan kemungkinankaidah-kaidah tersederhana dalam suatu bahasa.dalam deskripsi tata bahasa generatif, deskripsi fonologi disusun secara sederhana dengan jalan menggunakan simbol-simbol sehingga denga demikian SPE dikenal sebagai penganut teori linier ‘ linier theory dalam fonologi. Teori ini mempresentasikan simbol-simbol dalam urutan segmen dan lingkungannya secara linier. Dengan demikian tugas fonologi menjadi luas, yakni menafsirkan struktur sintaktik secara fonologis. Struktur sintaktik dimaksud adalah struktur luar yang sangat abstrak. Struktur hanya dapat dikenal melalui analisis konsetituen yang secara hierarki ada dalam struktur bahasa. Struktur yang abstrak tadi berwujud formatif-formatif yang abstrak pula, yang biasa disebut Morfem dan bermakna, meskipun kadang-kadang tanpa wujud fonologisnya. Misalnya formatif jamak dalam Bahasa Inggris yang hanya dapat dikenal setelah morfem tersebut berbeda dalam konteks kalimat.
c. Fonologi Autosegmental
Teori ini berasal dari Goldsmith (1976) yang mempertahankan disertai disertasi yang berjudul autosegmental Fonologi. Istilah autosegmental berasal dari kata Autonomous dan segmental yang menjelaskan bahwa beberpa fitur dipresentasikan tersendiri dari yang lain, dan dihubungkan dalam bentuk matrix dengan fitur lain melalui segmen yang saling berhubungan. Teori ini lebih banyak bertitik tolak dari kenyataan yang berlaku dalam bahasa yang mengenal nada.
Leben (Jensen dalam Pateda;2011:15) melaporkan bahwa dalam bahasa mende terdapat lima kontourtonal yang dapat muncul dalam vokal pendek. Kelima kontourtonal yakni tinggi, rendah, turun, naik, dan naik turun. Kontour tonal tersebut dapat saja muncul pada morfem yang terdiri dari satu, dua atau tiga silabe.
Sayang sekali tidak ada informasi tentang makna satu-satuan ini, dan sebagai bahan pembanding, dalam bahasa cina bentuk {Si} belum mempunyai makna apa-apa jika belum ditentukan nada pengiringnya. Jika bentuk {Si} bernada datar maka maknanya hilang, kalau bernada naik, maknanya sepuluh, kalau nadanya turun dulu, lalu naik, maknanya sejarah, sedangkan kalau nadanya turun, maka bentuk {Si} bermakna pasar.

d. Fonologi Matrikal
Dorongan pendapat yang melahirkan fonologi matrikal, yakni perhatian fonetisi pada masalah tekanan dalam bahasa (Inggris). Jika pada fonologi sebelumnya fitur-fitur pembedayang disebut biner yang ditandai dengan nilai plus(+) dan minus (-), maka dalam fonologi yang mementingkan tekanan, fitur-fitur pembeda ditandai dengan nilai fitur n-ary. Dalam hal ini tekanan pertama dipresentasikan dengan nilai satu, ke dua, nilai dua, ketiga, nilai tiga dan seterusnya. Sedangkan yang tidak bertekanan ditandai dengan nilai zero (0).

e. Fonologi Leksikal

Setiap leksikonsecara esensial adalah morfem yang perwujudannya berisi komponen yang bersifat fonologis danterkait satu sama lain dalam strata yang lebih tinggi, yakni yang sifatnya sintaktik dan tentu saja berbeban makna. Kadang-kadang morfem yang bersifat leksikal itu hanya merupakan abstraksi, misalnya morfem ‘Past’ yang direlisasikan secara fonologis dalam bentuk nilai /d/,/ed/, atau terintegrasi dalam wujud yang tak beraturan, misalnya morfem sing yang bentuk ‘pastnya’ sang.Dapat juag dikatakan bahwa leksikon suatu bahasa merupakan senarai morfem. Leksikon diorganisasikanke dalam seri-seri strata dalam hal mana wujud yang bersifat marfologis dan fonologis saling berinteraksi. Keluaran ‘output’strata yang sifatnya fonologis leksikal ini menghasilakan item-item suatu bahasa.
Fonologi leksikal lebih tertuju pengkajian pada bahasa-bahasa yangmengenal ‘stress’, misalnya bahasa inggris. Pada fonologi ini misalnya dibicarakan aturan perubahan tekanan ‘tress’, kondisi- kondisi yang menyebabkan perubahan tekanan yang ketat, interaksi aturan tekanandengan aturan-aturan perubhansegmen akibat munculnya tekanan, proseseyang sifatnya agak longgar, dan aturan-aturan pascasiklik, antara lain yang berhubungan pemplatalan.
Seperti yang diketahui tekanan kata-kata inggris dapat diprediksi. Sekarang, bahasa inggris telah memiliki akhiran –al yang terdapat dalam verba tertentu untuk menghasilkan derivasi nomina. Dalam hal penggunaan akhiran –al kadang-kadang agak aneh untuk bentuk-bentuk tertentu.

f. Fonologi prosodik
Prinsip yang mendasari fonologi prosodik, yakni pandangan yang berlaku dalam tata bahasa generatif,terutama hubungan antara morfologi dan sintaksis yang terkenal dengan sebutan tata bahasa model T.
Teori prosodik menggap terjadi penyesuaian antara unsur-unsur sintaksis sebagai keluaran dan unsur-unsur fonologis sebagai sebagai masukan. Penyesuaian terjadi karena unsur-unsur yang bersifat fonologis tidak selamanya beroperasi dalam satuan sintaksis. Dalm fonologi prosodik, frase fonologis merupakan bagian dari hierarki kategori-kategori prosodik, yang terkecil berupa silabe,dan yang terbesar adalah ujaran-ujaran yang bersifat fonologis tersebut yang tentu saja ujaran boleh dianggap sebagai perluasan fonologis etrikal,oleh karena hierarki prosodik termasuk di dalamnya silabi dan akar, dua konsep yang terdapat di dalam fonologi metrikals

DAFTAR PUSTAKA

Padeta, mansoer H.2003.pengantar fonologi. Gorontalo:viladan
Chaer, abdul. 2009.Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: rineka cipta
Saussure, de ferdinand.1993.pengantar linguistik umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press