Pengertian Pengawetan Pangan
Pengawetan adalah suatu teknik atau tindakan yang digunakan oleh manusia pada bahan pangan sedemikian rupa sehingga bahan tersebut tidak mudah rusak .
Proses pengawetan adalah upaya menghambat kerusakan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang mungkin memproduksi racun atau toksin. Tujuan pengawetan yaitu menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan dan penyimpanan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2002) dijelaskan bahwa pengawetan adalah proses, cara, pembuatan menjadi awet dan tahan lama (tidak mudah rusak, basi atau busuk).
Metode pengawetan pangan berdasarkan atas prinsip-prinsip tertentu. Menurut Ishak (1985 : 21) prinsip-prinsip itu adalah :
- Menghambat terjadinya penguraian oleh mikroba dengan membunuh atau mengurangi jumlah mikroba pada bahan pangan.
- Menghambat dekomposisi sendiri dari bahan pangan misalnya dengan membusuk atau menginaktifkan enzim di dalam bahan pangan.
- Memperlambat proses pernapasan atau reaksi biokimia lainnya.
- mencegah kerusakan karena adanya faktor-faktor dari luar seperti serangan oleh serangga, parasit maupun kerusakan mekanis.
Daya keawetan suatu bahan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada bahan yang dapat tahan selama beberapa hari sudah bisa dikatakan awet, sementara bahan tersimpan selama tiga bulan belum disebut awet. Karena itu, istilah awet sebetulnya melibatkan pengertian nisbi terhadap daya awet alami suatu bahan pangan dalam kondisi normal.
Waktu awet suatu bahan pangan bukan berarti meliputi kurun waktu yang terbatas. Makanan kaleng mempunyai daya awet sekitar enam bulan saja. Telur segar yang diawetkan dengan pendinginan dapat awet hingga enam bulan sampai sembilan bulan. Ikan asin tahan sampai enam bulan. Sayuran dan buah-buahan yang tahan sepuluh hari sudah dapat dikatakan awet.
Tujuan Pengawetan Pangan
Pengawetan bertujuan untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan serta mempermudah penanganan dan penyimpanan bahan makanan.
Menurut Buckle, (1985 : 20-21) bahwa tujuan pengawetan bahan pangan secara komersial adalah :
- Untuk mengawetkan bahan pangan selama perjalanan dari produsen ke konsumen, dengan menghindarkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan dalam hal keutuhannya, nilai gizi atau mutu organoleptis secara metode ekonomis yang mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme, mengurangi perubahan-perubahan kimia, fisik, fisiologis, faal, dan pencemaran.
- Untuk mengisi kekurangan produksi terutama kesulitan akibat musim.
- Untuk menjamin sejauh mungkin, agar kelebihan produksi lokal atau kelebihan musim tidak terbuang.
- Untuk memudahkan penanganan, yang dilakukan terutama melalui berbagai bentuk pengemasan.
Salah satu cara pengawetan adalah penambahan bahan pengawet. Efektivitas suatu pengawet ditentukan oleh macam dan konsentrasinya, komposisi bahan pangan, jenis dan populasi mokroba yang akan dihambat, serta media yang akan dibubuhi pengawet.
Pada umumnya, semakin tinggi konsentrasi pengawet yang digunakan, semakin besar efektivitasnya. Untuk memperoleh daya kerja optimal harus diperhatikan macam pengawet, serta jenis dan populasi mikroba yang akan dihambat atau dihentikan pertumbuhannya.
Sebenarnya proses pengawetan lebih tepat dikatakan sebagai usaha untuk menghambat kerusakan karena lambat atau cepat bahan yang telah diawetkan akan mengalami kerusakan juga. Bahan yang awet mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada bahan yang tidak awet karena resiko terjadinya kerusakan dapat diperkecil.
Bahan yang awet meskipun mengalami perubahan-perubahan, proses terjadinya perubahan itu sangat lambat sehingga seolah-olah bahan itu tidak mengalami perubahan. Bahan yang diawetkan mudah cara penanganannya karena sortasi tidak perlu dilakukan serta kemungkinan penularan atau kontaminasi dapat diperkecil. Biasanya bentuk bahan yang diawetkan dapat mudah diatur dengan ringkas dan praktis.