PENGELOLAAN KUALITAS LAUT

Refleksi Pelaksanaan WOC dan CTI Summit
Oleh . Rachmat Domu, S.Pd, M.Si

Sebagai negara berkembang yang memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81 .000 km merupakan nomor 2 terpanjang di dunia. Indonesia sangat potensial untuk rnengembangkan hasil dan sumberdaya yang ada di lautan mulai dan usaha budidaya laut hingga pertambangan di dasar laut, yang semuany ini dapat meningkatkan perekonomian negara maupun masyarakat khususnya masyarakat pantai. Maka kesadaran akan pentingnya pelestarian sumberdaya merupakan faktor peiidorong untuk tetap menjaga kualitas
Banyaknya aktivitas di laut maupun di daratan yang meinpunyai akibat langsung maupun tidak langsung serta conflict of interest” dalam penggunaan lahan sumberdaya akan mempengaruhi kualitas lautan. Limbah yang dihasilkan dan suatu aktivitas merupakan permasalahan penting yang perlu diwaspadai dan diantisipasi pengelolaannya sejak awal, bila terlambat akan berakibat fatal terhadap kelestarian sumberdaya laut dan hayati perairan sekitarnya. Informasi mengenai jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan dan suatu kegiatan di laut dan sekitarnya sangat penting, hal mi untuk menghindani atau mengurangi terjadinya dampak negatif yang akan ditimbulkan pada ekosistem perairan laut.

Tujuan pengelolaan laut adalah untuk mengembalikan fungsi atau keadaan laut sesuai atau mendekati keadaan kualitas awal sebelum adanya pencemaran atau gangguan dengan mengacu kepada parameter-parameter yang ditunjukan oleh standar baku mutu Iingkungan perairan laut. Hal mi dilakukan agar pemanfaatan lautan dapat berkelanjutan
B. Sumber dan Jenis Pencemaran Laut
Keadaan pencemaran lingkungkungan laut bersumber dan kegiatan di darat dan kegiatan di laut. Jenis-jenis dan sumber limbah yang masuk ke lautan berasal dan kcgiatan manusia hingga kejadian-kejadian alam, adapun pencermaran tersebut adalah :
1. Pencemaran yang bersumber dari daratan:
– Kegiatan industri berupa lirnbah yang mengalir melalui sungai dan pada akhirnya ke
Laut.
– Pertanian, akibat dan penggunaan bermacam-macam pestisida dan kegiatan pembukaan lahan yang mcngakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai.
– Pernukiman, berupa limbah rumah tangga baik padat maupun cair.
2. Pencemaran yang bersumber dan laut.
– Kegiatan pelayaran. adanya kebocoran bahan bakar minyak dan instalasi mesin.
tangki dan kegiatan lain dikapal.
– Kegiatan penambangan minyak lepas pantai yang berupa lumpur bekas pengeboran.
minyak endapan dan poduk lain saat eksplorasi dll.
C. MASALAH PENCEMARAN LAUT

Masih terdapat banyaknya hambatan baik dalam sistem pencegahan dan penanggulangan masalah pencemaran lautan. Dalam sistem pencegahan misalnya masih hanyak pernilik kapal dan awak kapal yang belum menyadari akan pentingnya pencegahan pencemaran laut, belum semua kapal melengkapi peralatan pencegahan pencemaran laut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan. Fasilitas pengelolaan limbah
industri di darat yang kurang memadai, menyebabkan limbah dibuang ke sungai melebihi ambang baku mutu yang telah ditetapkan.
Kurangnya kontrol dan pemerintah yang disebabkan terbatasnya biaya dan kiasifikasi sumberdaya manusia. Penegakan hukum yang juga rendah serta masih kurangnya kesadaran bagi masyarakat terhadap pentingnya lingkungan yang baik.

D. KUALITAS LAUT

Banyak faktor menentukan kualitas dan suatu lautan selain parameter-parameter fisik, kimia dan biologi laut itu sendiri. Penurunan kualitas laut tidak hanya ditentukan dan limbah kimia yang berakibat secara langsung, kualitas laut juga ditentukan olch kualitas atau keadaan perairan pantai, karena lautan merupakan satu kesatuan dan permukaan, kolom air sampai ke dasar laut yang di dalamnya terdapat komunitaskomunitas ekosistem seperti:
– Ekosistem Terumbu karang
– Ekosistem Hutan Mangrove
– Ekosistem Padang Lamun
– Ekosistem Estuaria

Keadaan dan ekosistem yang ada mi sangat mempengaruhi kualitas air dan lautan di sekitarnya, jadi pemanfaatan, pengelolaan ataupun kegiatan yang menyangkut ekosistem tidak dapat dipisahkan dalam menentukan pengelolaan kualitas lautan.

E. PENURUNAN KUALITAS LAUT

Akibat dan masuknya zat-zat kimia ataupun tumpahan-tumpahan minyak di
perairan laut akan mempengaruhi biota-biota laut. baik meracuni secara Iangsung. menekan kehidupan organisrnc maupun rncrusak gen organisme. Seperti komunitas moplankton dipakai scbagai indikator biologis kualitas air law. (selain haktcri dan bentos). fitoplanklon mernegang peranan yang sangat penhing dalam transfer energi dan rantai makanan (fhod chain) yang berlangsung di ekosistern pcrairan. maka dengan rnatinya mikro organisme mi akan berakibat terhadap kehidupan organisme laut lainnya.
Penurunan kualitas laut yang diakibatkan partikel tcrsuspcnsi yang dihawa olch aliran sungai maupun kegiatan rekiamasi pantai dan adanya proses sedimcntasi serta abrasi pada daerah pantai yang berakibat dangkalnya perairan. merupakan tempat arus dan gelombang laut pecah sehingga menyebabkan pergolakan arus yang dapat menimbulkan kekeruhan. Kejadian tersebut mempengaruhi tingkat kecerahan yang herakibat terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam perairan. pada akhirnya akan hcrpcngaruh pada kegiatan fotositesa tumbuhan laut dan bcrpcngaruh terhadap jumlah oksigcn terlarut pada pcrairan tersebut. Kadar oksigen tcrscbut sangat pcnting bagi pcrnafasan ikan dan udang serta merupakan salah satu komponen utama untuk keperluan mctabolisme organisme perairan.

F.PENGELOLAAN LAUT

Dalam upaya mengelola kualitas laut tidak dapat dilakukan hannya dilautan itu sendiri. tetapi menyangkut segala aspek pada ekosistem yang dapat mempengaruhi kualitas laut tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu pengelolaan yang terpadu mulai dan daerah daratan pesisir hingga kedalaman laut lepas. Disamping itu laut mempunyai kemampuan yang besar untuk memurnikan dirinya ( selfpurification ), sehingga segala sesuatu yang terjadi di dalam air laut dapat berubah dalam waktu yang begitu singkat.
Untuk menilai kualitas laut dipergunakan Baku Mutu sesuai acuan Menleri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep-02 I Men KLH / I I 1988. tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Maka perlu diketahui beberapa parameter
penting mutu laut yang berupa fisik, kimia, dan biologi diantaranya:

1. Parameter Fisik
– Suhu
– Kecerahan
– Bau
2. Parameter Kimia
– Kadar Nitrogen
– Kadar fosfat
– Kadar Iogam
– Oksigen terlarut
– Salinitas
– Derajat keasaman ( pH)
– Kebutuhan oksigen (BOD)
3. Parameter Biologi
– Mikro Organisme
– Tumbuhan laut
G. MANAJEMEN LAUT
Untuk menjalankan upaya pengelolaan laut diperlukan suatu perencanaan, kebijakan.dan aturan yang ditata dengan suatu manajemen pengelolaan kegiatan-kcgiatan yang terpadu
dan wilayah pesisir hingga Iautan Dengan mengembangkan elemen-elemen dan sistem manajernen pengelolaan yang berupa:
– Urgensi dan manfaat pengelolaan
– Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan
– Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan
– Proses perencanaan dan pengelolaan
– Elemen dan struktur pengelolaan
– Penerapan perundang-undangan dan peraturan.
Untuk mendukung perierapan elemen-elemen tersebut diperlukan kebijaksanaan kebijaksanaan instansi, lembaga terkait dalam pelaksanaan kegiatan untuk pengendalian
dan pencegahan pencemaran seperti :
1. Peraturan-peraturan
Peraturan merupakan salah satu unsur utama dalam rangka mcnccgah Iingkungan dan
Bahaya pencemaran yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan . Peraturan ini dapat
Meliputi lingkup nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat I.
2. Penanggulangan pencemaran dan daratan
Agar masalah pencemaran dapat dikendalikan dibuat program-prgram penenda1ian
Pencemaran terutama yang berasal dan daratan seperti :
a. Program Pencegahan
– Program inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam dan lingkungan
– Program konservasi hutan, tanah dan air untuk mengamankan fungsi konservasi
Sumberdaya alam dan lingkungan baik secara biologi maupun non biologi.

– Program penyuluhan akan pentingnya wilayah pantai
– Program pengendalian pencemaran lingkungan dengan tujuan menghindari.
Mengurangi dan mengendalikan pencemaran akibat kegiatan pembangunan
– Program rehabilitasi lahan kritis.
b. Program Pemantauan
PROKASIR yang meliputi pemantauan terhadap limbah cair dan bcrbagai industri,
Serta pemantaun terhadap kualitas perairan sungai dimana limbah industri tersebut
di buang.
c. Fasilitas Pengelolaan limbah
Dalam upaya menurunkan beban limbah, setiap industri merithuat unit pengelilaan
limbah terutama untuk industri berskala besar dan sedang.
d. Penegakan hukum
Penegakan hukum terhadap penanggulangan bahan pencernar pcrlu dilakukan terhadap
para pengusaha, masyarakat untuk tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

3. Program penanggulangan pencemaran dan laut
Walaupun terdapat beberapa sumber penyebab pencemaran. minyak merupakan sumber yang paling potensial. Pencegahan pencemaran minvak dan laut tclah diatur dalam berbagai peraturan, baik yang disebabkan karena kegiatan operasional amaupun pencemaran akibat kecelakaan kapal. Adapun pencegahan minyak dan kegiatan pelayaran adalah:
a. Pencegahari pencemaran minyak dan kegiatan operasional
b. Pengendalian tumpahan minyak selama kapal berlayar
c. Pengendalian tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal.
d. Penyediaan fasilitas untuk keselamatan pelayaran
4. Penegakan hukum
Menurut peraturan pernerintah no. 4/1982. pelanggaran karena sengaja membuat
Pencemaran diberikan sangsi pidana selama 10 tahun atau denda Rp. 100.
5. Ganti rugi pencemaran laut
Mengingat bahwa pemulihan atau keruasakan terdapa sumberdaya hayti. laut dan
Pantai yang tercemar memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama.
6. Penyediaan dana dan sumber daya manusia yang mcmpunyai klasifikasi yang
Memadai.
7. Peningkatan kepedulian masyarakat
– Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya sumberdaya hayati laut, melalui
bahan informasi.

– Meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat.
– Mendukung LSM untuk menyelenggarakan pendidikan kelautan bagi masyarakat.
8. Perencanaan dan proses AMDAL
Penataan ruang untuk setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan
9. Perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi
Diperlukan peningkatan dan penerapán ilmu penegtahuan dan teknologi dalam
Pengolahan dan pengendalian kualitas lautan

.

BAB II
UPAYA PENGOLAHAN KUALITAS SUMBER DAYA LAUT SECARA OPTIMAL

A. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.

B. KETERPADUAN

Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebihmantap.

Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.

C. DESENTRALISASI PENGELOLAAN

Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerahdaerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.

D.PENGOLHAN BERBASIS MASYARAKAT

Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.

E. ISU GLOBAL
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.

Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenaga kerja.

BAB III
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
A. PELINDUNGAN LAUT
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).
Daerah Perlindungan Laut merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif. Urgensi keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan.
Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Selain itu berbagai masalah lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Lampung seperti; pencemaran lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, pengambilan terumbu karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat pesisir lainnya memerlukan tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan agar tidak berdampak pada menurunnya produksi perikanan secara langsung atau tidak langsung serta menjaga kelangsungan sumber daya perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Sementara itu, program pengelolaan pesisir tingkat pusat maupun lokal harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya keikutsertaan masyarakat secara tepat dan efektif dalam pengambilan keputusan pengelolaan pesisir, sehingga kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir dapat tercapai secara efektif. Dengan demikian, sebagai suatu bagian dari langkah-langkah pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan pengelolaan DPL sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan “konsep pemberdayaan masyarakat”. Keterlibatan aktif masyarakat secara luas merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
B. DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT
Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.
Ini seiring trend di dunia bahwa yang sedang giat-giatnya mengupayakan penguatan institusi lokal dalam pengelolaan laut (pesisir). Ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara teoritik pemberdayaan (empowerment) dapat diartikan sebagai upaya untuk menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas hidupnya salah satu cara untuk memperbaiki kualitas hidupnya diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Johan Iskandar, 2001).
Dalam pengertian ini, pemberdayaan masyarakat akan berkenaan dengan peran aktif mereka, baik dalam perumusan hukum atau kebijakan maupun dalam pelaksanaannya. Perencanaan yang tidak melibatkan peran serta masyarakat tentunya akan menimbulkan kendala dalam pelaksanaannya mengingat keberlakuan suatu aturan atau kebijakan tidaklah mungkin dapat diterapkan tanpa adanya peran serta masyarakat yang memang berkeinginan untuk melaksanakan apa yang menjadi isi dan makna pengaturan itu sendiri. Hal ini penting, hukum pada prinsipnya berisikan hal-hal yang berintikan kebaikan. Oleh sebab itu, isi atau substansi hukum yang tidak berisikan nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat tentunya tidak akan berlaku efektif dalam masyarakat tersebut.
Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas ini bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak dahulu, komunitas lokal di Indonesia memiliki suatu mekanisme dan aturan yang melembaga sebagai aturan yang hidup di masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya sumberdaya kelautan. Hukum tidak tertulis ini tidak saja mengatur mengenai aspek ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya kelautan, namun juga mencakup aspek pelestarian lingkungan dan penyelesaian sengketa (Weinstock 1983; Dove 1986, 1990, 1993; Ellen 1985; Thorburn 2000).
Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan DPL merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal DPL berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Propinsi Lampung, upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.
Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan DPL ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini. Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif. Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif.
C. PERANGKAT HUKUM
Konsep pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat ini tentu saja memerlukan perangkat hukum untuk menjamin kepastian dan kesinambungan pelaksanaannya. Dalam hal ini perlu dirumuskan suatu bentuk produk hukum apakah yang paling tepat untuk pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat. UU 32/2004 memberikan satu jawaban mengenai bentuk produk hukum yang paling tepat untuk memfasilitasi pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat yaitu melalui Peraturan Desa. Peraturan Desa dalam hal ini dianggap paling tepat sebagai produk hukum yang mewadahi pengelolaan dan pengembangan DPL dengan mengacu pada lingkup teritorial desa dimana DPL berada. Hal ini diperkuat dengan Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Desa mencakup seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam proses pembentukannya, Peraturan Desa yang mengatur tentang DPL berbasis masyarakat membutuhkan partisipasi masyarakat agar hasil akhir dari Peraturan Desa dapat memenuhi aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukannya. Partisipasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa masukan dan sumbang pikiran dalam perumusan substansi pengaturan Peraturan Desa.
Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan DPL dapat difasilitasi dalam suatu bentuk lembaga kemasyarakatan yang khusus melakukan tugas dan fungsi pengembangan dan pengelolaan DPL dalam suatu bentuk Peraturan Desa. Hal ini sejalan dengan Pasal 211 UU No. 32 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa:
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
Penetapan DPL berbasis masyarakat dengan peraturan desa, agar DPL memiliki dasar hukum yang jelas dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga masyarakat dapat turut serta melakukan pengawasan dan melakukan larangan-larangan terhadap aktivitas pemanfaatan sumber daya laut dengan dasar yang jelas.
Demikianlah pada akhirnya diharapkan penetapan DPL berbasis masyarakat dapat difasilitasi dalam suatu bentuk Peraturan Desa yang pembentukan implementasinya akan melibatkan partisipasi masyarakat desa secara aktif. Dengan demikian dapat diharapkan DPL dapat mencapai tujuan dan arti pentingnya sebagai penyangga laut dan masyarakat sekitarnya

DAFTAR PUSTAKA

Baker, I. And P. Kaeoniam (Eds) 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand Unesco. Jakarta.
Beatley, T, D. J. Browner and A.K. Schuab. 1994. an Introduction to Coastal Zones Management. Island Press, Washington, D.C.
Anonimous. 1990. Strategi Nasional Pengelolaan Pengelolaan Wilayah Pcsisr dan lautan. Temu Wicara Kelautan Juni 1990.
Broedie, J. 1995. Water Quality an Pollution Control. In Kenji l-lotta an Ian Dutton (Ed) Coastal Management in the Asia Pacific: Isue and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation. Tokyo.
Dove, M. (1986) “The practical reason for weeds in Indonesia: peasant vs. state views of Im-perata and Chromolaena,” Human Ecology 14(2): 163-90.
–, ed. (1990) The real and imagined role of culture in development: case studies from Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
– (1993) “Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical rainforest,” Economic Botany 47(2): 136-47.
Ellen, R.F. (1985) Patterns of indigenous timber extraction from Moluccan rain forest fringes. Journal of Biogeography (12): 559-87.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.
Indonesia. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahuan 2004 Nomor
Iskandar, Johan, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove, 29-30 Agustus, Lampung.
Thorburn, C.C. (2000) “Changing customary marine resource management practice and institutions: the case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia,” World Development 28(8): 1461-148