Interpretasi dari UU PR No. 26 tahun 2007, penataan ruang perkotaan diartikan sebagai proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian wilayah perkotaan dari kondisi yang ada menjadi lebih baik.
Pada ketiga proses tersebut, disamping pertimbangan terhadap skenario pengembangan kota yang direncanakan, pengaruh sistem kelembagaan yang terlibat juga perlu mendapatkan perhatian serius. Oleh karena itu, penataan sistem kelembagaan diperlukan demi terwujudnya wilayah perkotaan yang berkelanjutan dan pembangunan Kota Hijau.
Kelembagaan pengelolaan RTH kota di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh pemerintahan lokal (Pemda), dengan sedikit peran serta swasta (private sector) serta peran serta/partisipasi masyarakat yang rendah. Kewenangan dalam proses perencanaan, pembangunan, dan pengawasan masih berada di tangan lembaga pemerintahan daerah.
Keterlibatan pihak swasta maupun masyarakat dirasakan masih sangat kecil, terutama pada tahap perencanaan. Demikian juga pada berbagai kegiatan pengelolaan RTH kota, peran masyarakat masih sangat kecil. Pemerintah lebih cenderung menjaring langsung pihak perusahaan (private bussiness) dalam pembiayaan pembangunan RTH, meskipun tidak melibatkannya mulai dari tahap perencanaannya.
Wewenang perencanaan RTH, pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan RTH kota selain oleh Pemerintah Daerah juga terbuka peluang adanya keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi sejak tahap perencanaan, pembangunan maupun pengelolaan RTH kota, dengan memberikan kemudahan bagi pihak swasta dan masyarakat untuk memberikan dukungan dana. Kebijakan pengembangan RTH kota sebaiknya juga didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dalam hal perencanaan, pengelolaan dan pengawasan. Untuk itu sangat diperlukan adanya kelembagaan yang jelas, yang diatur dengan manajemen yang baik.
Beberapa point penting dalam perencanaan misalnya pemetaan kawasan potensial untuk pengembangan RTH; dalam pengelolaan diharapkan SDM yang mempunyai kemampuan memotivasi dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan RTH; sedangkan dalam pengawasan diperlukan SDM yang peka dan mampu mengendalikan kegiatan yang dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan RTH atau menurunkan kualitas RTH.