ARTIKEL ILMIAH
PENELITIAN DOSEN MUDA DIKTI TAHUN 2007
Pemanfaatan Budaya Lokal Terhadap Teknologi Penangkapan Ikan
Pada Masyarakat Nelayan.
Studi Kasus Di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang [1]
Oleh: Lucky Zamzami[2]
Abstrak
Pada masyarakat nelayan, aktivitas penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh budaya lokal setempat, yaitu pemanfaatan sistem pengetahuan lokal, sistem sosial budaya dan sistem religi dalam melaksanakan aktivitas mau ke laut, sudah dan ketika sudah di laut. Hal tersebut juga terkait dengan pemakaian teknologi penangkapan ikan seperti bagan, payang, perahu/sampan/biduak yang sudah dimanfaatkan secara turun temurun untuk mempertahankan hidup dari rentannya kemiskinan sekaligus sebagai pemenuhan ekonomi rumah tangga.
1. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, dimana dua per tiga wilayahnya terdiri dari lautan. Kondisi ini menyediakan potensi sumber perikanan yang sangat besar. Sejak dulu nenek moyang telah mengenal manfaat laut, baik sebagai media perhubungan, pertahanan, pendidikan maupun sebagai sumber bahan pangan alam. Dengan keanekaragaman potensi laut Indonesia demi membangun masyarakatnya demi kesejahteraan sekarang dan di masa yang akan datang.[3]
Wilayah laut Indonesia mencakup 12 mil ke arah garis pantai. Selain itu Indonesia memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil dari garis pantai. Wilayah Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati dan potensi perikanan laut merupakan asset yang sangat besar bagi petumbuhan ekonomi Indonesia . Potensi perikanan laut meliputi alat tangkap perikanan baik yang tradisional maupun modern, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan.
Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di tepi-tepi pantai laut terutama di kawasan pesisir pantai barat sumatera bermata pencaharian sebagai nelayan sebagian besar menggunakan teknologi penangkapan ikan yang masih bersifat tradisional dan sebagian kecil memiliki alat penangkapan yang modern. Secara garis besar nelayan berdasarkan alat penangkapan ikan dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :[4]
1. Nelayan berdasarkan pemilikan alat penangkapan, yang terbagi atas :
a. Nelayan pemilik, yaitu nelayan yang mempunyai alat penangkapan, baik yang langsung turun ke laut maupun yang langsung menyewakan alat tangkapan kepada orang lain.
b. Nelayan Buruh atau nelayan penggarap, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat penangkap, tetapi mereka menyewa alat tangkap dari orang lain atau mereka yang menjadi buruh atau pekerja pada orang yang mempunyai alat penangkapan.
2. Berdasarkan sifat kerjanya nelayan, dapat dibedakan atas :
a. Nelayan penuh atau nelayan asli, yaitu nelayan baik yang mempunyai alat tangkap atau buruh yang berusaha semata-mata pada sektor perikanan tanpa memiliki usaha yang lain.
b. Nelayan Sambilan, yaitu nelayan yang memiliki alat penangkapan atau juga sebagai buruh pada saat tertentu melakukan kegiatan pada sektor perikanan disamping usaha lainnya.
Secara sosial budaya, dikemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Alasannya adalah (1) terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka, sehingga terjadi hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian hal tersebut dapat membangun terjalinnya hubungan kekeluargaan yang didasarkan pada simpati dan bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang berorientasi kepada untung rugi .(2) bahwa dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan saling membantu. Hal tersebut dapat diamati pada mekanisme menangkap ikan baik dalam cara penangkapan masupun dalam penentuan daerah operasi. [5]
Selain daripada itu, masyarakat nelayan yang bercirikan tradisional kurang berorientasi kepada masa depan, penggunaan teknologi masih sederhana, kurang rasional, relatif tertutup terhadap orang luar, dan kurang berempati.[6] Pada zaman nenek moyang dahulu, para nelayan hanya menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, seperti perahu yang kecil dengan pendayung yang kecil pula. Sekarang para nelayan telah menggunakan teknologi yang sudah maju, misalnya dengan memakai mesin tempel sebagai alat penggerak perahu serta alat penangkapan yang lebih baik.
Keberadaan alat-alat penangkapan yang modern tersebut menjadikan masyarakat dapat menangkap ikan lebih banyak lagi dan waktu yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan relatif kecil. Meskipun demikian, teknologi modern tersebut tidak sepenuhnya dikembangkan oleh nelayan. Masyarakat nelayan di Indonesia terutama di kawasan pesisir barat sumatera masih melaksanakan kegiatan di laut secara tradisional, seperti menangkap ikan dengan jala, pancing dan lainnya sehingga secara ekonomi mereka masih kurang beruntung, padahal kalau dilihat dari hasil penangkapan di laut secara keseluruhan sangat banyak.[7]
Kawasan perikanan pantai Sumatera Barat meliputi 6 (enam) daerah Kabupaten dan Kota, yaitu Pasaman, Agam, Padang Pariaman dan Pesisir Selatan serta Kepulauan Mentawai dengan jumlah nelayan sejumlah 32.367 orang yang terdiri atas 24.373 orang nelayan tetap dan sisanya sebanyak 7.994 orang adalah nelayan musiman. Jumlah perahu penangkapan adalah 7.526 yang terdiri atas perahu tanpa motor (4.399), perahu motor tempel ( 1.696) dan kapal motor (1.431).[8]
Lokasi daerah yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah Kelurahan Bungus Selatan, tepatnya di Nagari Pasar Laban. Kelurahan ini meerupakan salah satu dari 13 Kelurahan di Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kodya Padang. Dari ke 13 kelurahan yang ada, Kelurahan Bungus Selatan adalah salah satu daerah pantai yang letaknya terbentang memanjang dalam bentuk dataran sempit dari barat ke timur yang diapit oleh lautan Hindia dan daerah perbukitan. Kelurahan ini berada pada ketinggian 1 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 300C dan curah hujan sekitar 306 mm per bulan.
Di nagari Pasar Laban umumnya mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai nelayan dan merupakan kawasan perkampungan nelayan yang terletak dalam wilayah kotamadya Padang. Masyarakat nelayan di nagari Pasar Laban menggunakan teknologi penangkapan perikanan berdasarkan cara-cara penangkapan ikan yang masih bersifat tradisional, yaitu menangkap ikan dengan membagan, Memayang, memukat dan Menjaring dengan masing-masing jenis perahu/kapal yang berbeda.[9] Dari ke empat budaya penangkapan ikan masyarakat nelayan tersebut terdapat beberapa tantangan masyarakat nelayan, seperti kurang baiknya kondisi ekonomi keluarga, makin banyaknya kapal-kapal nelayan yang beroperasi dalam jumlah yang besar sehingga masyarakat nelayan tergolong masyarakat yang miskin.
Dengan semakin banyaknya teknologi penangkapan ikan, seperti jumlah perahu penangkapan yang semakin meningkat, maka masyarakat nelayan lokal dituntut untuk dapat mengembangkan teknologi perikanan yang lebih baik lagi melalui budaya lokal supaya mereka tidak tersingkir oleh keberadaan kapal-kapal modern nelayan lainnya. Budaya teknologi perikanan yang harus mereka kembangkan berupa cara penangkapan ikan yang relatif modern, pemasaran ikan dan terutama pembuatan kapal perahu yang sesuai dengan teknologi perikanan yang mereka pergunakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin penulis lihat adalah:
1. Bagaimana aktivitas teknologi penangkapan perikanan masyarakat nelayan yang dipengaruhi oleh budaya lokal setempat?
2. Bagaimana hubungan budaya lokal teknologi penangkapan perikanan dengan pemasaran ikan sehingga taraf hidup ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan?
3. Bagaimana pengaruh budaya lokal setempat terhadap pemanfaatan teknologi penangkapan perikanan yang diterapkan selama ini dalam kiprah pemberdayaan masyarakat nelayan untuk peningkatan kesejahteraan hidup nelayan?
2. Tinjauan Pustaka
Manusia dalam kehidupannya dituntut melakukan suatu usaha untuk mendatangkan hasil dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Usaha yang dilakukan dapat berupa tindakan-tindakan untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang memiliki nilai ekonomis guna memenuhi syarat-syarat minimal atau kebutuhan dasar agar dapat bertahan hidup, dimana kebutuhan dasar merupakan kebutuhan biologis dan lingkungan sosial budaya yang harus dipenuhi bagi kesinambungan hidup individu dan masyarakat.[10]
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya kelakuan. Kebudayaan juga dilihat sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol, yaitu rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi untuk mengatur tingkah laku.[11] Dalam kehidupan masyarakat nelayan, kebudayaan umum lokal setempat sangat mempengaruhi aktivitas mereka dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan.
Dilihat dari prespektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di dataran tinggi. Prespektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumber daya yang ada didalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjdai kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.[12]
Dilihat, dimensi pekerjaan, masyarakat nelayan terdiri atas 2 kelompok, yaitu: kelompok yang terkait (langsung) dan yang tidak terkait dengan aktifitas kelautan/perikanan. Kelompok yang terkait (langsung) dengan aktifitas kelautan/perikanan terdiri dari 2 sub kelompok, yaitu : sub kelompok pencari / penangkap hasil kelautan / perikanan dan pembudidaya hasil kelautan/perikanan. Sedangkan pencari hasil kelautan /perikanan meliputi pemilik alat produksi/tangkap seperti toke, juragan, bos, atau nama lain. Mereka pun beragam, bisa berada pada lapisan atas, menengah atau bawah. Kemudian juga masuk di dalamnya nelayan pekerja (buruh), nelayan mandiri, dan pedagang ikan (kecil, menengah, dan besar).Selanjutnya pembudidaya hasil kelautan / perikanan mencakup pemilik alat produksi, pekerja (buruh), nelayan pembudidaya mandiri, dan pedagang hasil budidaya kelautan/perikanan (kecil, menengah, dan besar).
Kelompok yang tidak terkait (langsung) dengan aktifitas kelautan /perikanan seperti pedagang/pemilik warung makanan, pedagang kebutuhan sehari-hari, petugas koperasi, dan sebagainya. Dilihat dari dimensi sosial budaya, masyarakat nelayan dapat dibedakan antara: satu, kelompok yang melihat sumber daya kelautan/perikanan tidak terbatas, kapan saja selagi musim baik bisa dieksploitasi, dan tidak memiliki pe-rencanaan. Dua, kelompok yang melihat sumber daya kelautan/perikanan terbatas, namun untuk jenis tertentu sumber daya dapat dibudidayakan, dan memiliki perencanaan.[13]
Masyarakat nelayan memiliki kebudayaan yang unik yang berbeda dengan masyarakat lainnya, namun sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan artisanal yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Di satu sisi, ada daerah yang padat tangkap dengan jumlah nelayan besar terutama di Pantura Jawa. Di sisi lain ada daerah yang masih potential namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah struktural yang dihadapi nelayan makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien.
Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman.[14]
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian tersebut adalah ingin mendeskripsikan bagaimana pola aktivitas teknologi penangkapan perikanan masyarakat nelayan di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan yang dipengaruhi oleh budaya lokal, terutama dalam hal pembuatan perahu nelayan, cara-cara penangkapan ikan dan hubungannya dengan pemasaran ikan sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan.
Dengan memperoleh gambaran tentang pola aktivitas teknologi penangkapan perikanan masyarakat nelayan tersebut diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk dapat menyalurkan saran-saran yang berguna bagi peningkatan kemakmuran nelayan khususnya nelayan buruh dan perbaikan pendapatan diantara golongan dalam masyarakat nelayan demi kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini bertipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskiptif berupa data tertulis dan lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati dari lingkungan yang alamiah ( Moleong, 1991 :3 ). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mendetail tentang upaya para nelayan menggunakan budaya lokal mereka terhadap pemanfaatan teknologi penangkapan perikanan dalam aktivitas penangkapan ikan dan pemasarannya di berbagai lokasi penjualan ikan.
Penelitian ini berbentuk studi kasus. Sifat dari studi kasus menurut Vredenderg adalah untuk mempertahankan keutuhan dari objek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi (Vredenberg, 1984:38). Tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus (Nazir, 1988:66). Dengan demikian studi kasus itu tidak menekankan pada banyaknya sampel, tetapi pada kedalaman pembahasan.
Penelitian ini telah dilakukan di Nagari Pasar Laban, Kelurahan Bungus Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Propinsi Sumatera Barat. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah daerah ini yang paling banyak penduduknya yang bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan kelurahan lain yang ada di Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Selain itu, nelayan yang ada di kelurahan ini memiliki budaya teknologi perikanan laut yang khas dalam penangkapan ikan, yaitu dengan membagan, memayang, memukat dan menjaring.
Dalam penjaringan informan, peneliti mendapatkan data deskripsi dari latar belakang yang terjadi terhadap keluarga-keluarga masyarakat nelayan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan serta aspek-aspek penting lainnya yang terkait dengan penelitian.
Untuk pengambilan data di lapangan peneliti menggunakan subjek penelitian yang disebut informan. Informan dalam penelitian dibagi atas 2 bahagian, yakni informan biasa dan informan kunci. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang diinginkan. Informan kunci didasarkan atas orang-orang yang dianggap mengetahui banyak mengenai budaya teknologi perikanan yang mereka lakukan, yaitu para nelayan dan keluarga nelayan. Sedangkan untuk mendapatkan keterangan yang menjelaskan tentang data yang bersifat umum, peneliti memperolehnya dari Kepala Lurah dan Tokoh Masyarakat.
Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan tehnik wawancara, observasi dan kepustakaan. Wawancara dilakukan di rumah informan dengan tujuan mendapatkan keterangan tentang pengetahuan mereka seputar permasalahan teknologi perikanan dalam aktivitas penangkapan ikan. Wawancara dilakukan secara bebas/sambil lalu artinya tidak menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan tehnik observasi digunakan untuk melihat teknis penangkapan ikan dan bagaimana pemasaran ikan yang dilakukan oleh para nelayan.
Untuk tehnik kepustakaan dilakukan untuk mencari data yang relevan dengan permasalahan melalui buku-buku, laporan penelitian, artikel, skripsi yang juga didukung dengan data jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan dan sebagainya yang dianggap perlu.
Tehnik analisa data terhadap data yang diperoleh di lapangan yang didapat melalui pengamatan dan wawancara di kumpulkan, dipelajari dan di klasifikasikan menurut temanya masing-masing. Dalam penelitian ini analisa data dilakukan sejak awal penelitian, yaitu pada saat merumuskan permasalahan sampai pada pelaporan hasil penelitian sehingga laporan tersebut akan bersifat deskriptif berupa uraian tentang budaya teknologi perikanan yang terjadi dalam hal pembuatan perahu, penangkapan dan pemasaran ikan.
5. Deskripsi Daerah Penelitian
Kelurahan Bungus Selatan merupakan perubahan nama dari Kelurahan Pasar Laban setelah adanya penggabungan beberapa kelurahan di Kecamatan Bungus Teluk Kabung yang letaknya terbentang memanjang dalam bentuk dataran sempit dari barat ke timur yang diapit oleh lautan Hindia dan daerah perbukitan. Kelurahan Bungus Selatan terletak di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dengan luas daerah 477 Ha yang terdiri dari 3 Rukun Warga (RW) dan 12 Rukun Tetangga (RT), dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani.
Kelurahan Bungus Selatan secara administratif berbatasan dengan:
- Sebelah utara dengan Bungus Barat
- Sebelah selatan dengan Teluk Kabung Utara
- Sebelah barat dengan Samudera Indonesia
- Sebelah timur dengan Bukit Barisan
Kondisi topografi kelurahan Bungus Selatan ini relatif datar dan berada di ketinggian lebih kurang 1 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 300C dan curah hujan 306 mm perbulan.. Dengan bentang alam yang cukup datar memberikan suatu karakter tersendiri sehingga secara langsung akan mempengaruhi pola tata ruangnya, aspek topografi dan bentuk kawasan yang menentukan perkembangan dan struktur suatu kawasan pariwisata.
Secara fisik, panjang jalanan di Kelurahan Bungus Selatan tercatat 2 Km dengan kondisi cukup baik dengan aspal beton yang merupakan jalan utama, sedangkan kondisi jalan lingkungan lainnya pada umumnya dalam kondisi yang kurang baik karena masih berupa jalan tanah. Kelurahan ini mudah dicapai dari pusat kota Padang karena transportasi lancar dan merupakan jalur lintasan dari kota Padang ke propinsi Bengkulu dengan jarak 21 Km dari pusat kota Padang.
Kelurahan ini adalah daerah perkampungan nelayan yang terletak dalam wilayah kota Padang yang terletak di pinggir pantai sumatra bagian barat dan strategis dalam pengembangan pariwisata dimana banyak sekali objek-objek wisata dan tempat rekreasi yang setiap akhir pekan ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin mengunjungi daerah tersebut, seperti Pantai Caroline, Pantai Carlos, Taman Pasir Putih, dan Bungus.
Menurut data profil Kelurahan tahun 2006, jumlah penduduk tercatat sebanyak 3177 jiwa penduduk yang terdiri dari 1640 jiwa penduduk laki-laki dan 1537 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 778 KK. Bila dilihat dari jumlah penduduk menurut jenis kelamin bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan.
Perkembangan pendidikan di Pasar Laban, Kelurahan Bungus Selatan relatif masih rendah. Hal ini berdasarkan perolehan data dari kelurahan yang menjelaskan bahwa jumlah tingkat pendidikan masyarakat masih didominasi oleh buta aksara dan tidak tamat sekolah dasar. Sedangkan jumlah yang menamatkan jenjang pendidikan akademi/perguruan tinggi masih sedikit.
Secara umum kehidupan di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan berpegang teguh pada agama dan adat-istiadat. Dengan demikian segala tata kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh agama dan juga adat istiadat dimana dalam pengambilan keputusanpun selalu dilakukan dengan musyawarah mufakat. Sesuai dengan adat istiadat suku Minangkabau, Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan diatur dengan sistem Matrilineal yang dilandasi syariat islam yang kuat sehingga peranan pemuka adat dan masyarakat sangat berperan dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat Pasar Laban, Kelurahan Bungus Selatan mayoritas beragama Islam (98%). Di samping itu juga ada yang beragama Kristen, Khatolik dan Budha (2%) Fasilitas peribadatan yang ada adalah mesjid sebanyak 2 buah dan mushalla sebanyak 5 buah. Mushalla menjadi gerbong utama dalam mengusung upaya pendidikan dan syair Islam di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan. Selain keberadaan rumah ibadah di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan juga terdapat lembaga keagamaan yang terus berbenah diri dan memiliki komitmen yang kuat dalam pembinaan umat yaitu majelis taklim dan ikatan remaja Mesjid dan Mushalla.
Meskipun daerah ini merupakan wilayah pesisir pantai, namun tidak semuanya tidak bekerja sebagai nelayan. Masyarakat inipun mempunyai pekerjaan yang beranekaragam/bekerja di sektor lainnya, seperti pegawai (PNS, kelurahan, BUMN/D, perawat, swasta), guru, Pensiunan TNI/Polri, petani tanaman pangan (berladang, bersawah, berkebun), pedagang, dan nelayan.
Pemukiman Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan merupakan daerah yang terletak di pinggir pantai yang memanjang di sepanjang jalan raya. Apabila melihat kondisi pemukiman rumah bahwa sebagian besar bentuk bangunan rumah sudah permanen. Sebagian besar perumahan di daerah inipun sudah memiliki kamar mandi dan WC yang didukung oleh saluran PAM. Namun bagi perumahan yang tinggal di bagian pinggir pantai belum memiliki MCK dan bentuk bangunannya pun masih semi permanen/kayu. Dalam sisi sarana kesehatan, masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan cukup baik karena mereka mempunyai 1 buah Puskesmas, 5 buah Posyandu dan 5 pos KB dengan kegiatan yang buka setiap hari.
Di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan secara umum status lahan (tanah) yaitu tanah ulayat, tanah hak milik dan pada umumnya daerah-daerah yang belum terbangun berstatus sebagai tanah ulayat yang berdasarkan penyebaran tanah ulayat di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan. Untuk lahan pada sistem kepemilikan ini merupakan suatu yang bersifat turun temurun berdasarkan tradisi adat Minangkabau pada pemanfaatan yang lebih dominan untuk perumahan pribadi.
Secara ideal masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan adalah suku bangsa Minangkabau yang memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menganut sistem kekerabatan matrilineal dengan menghitung garis keturunan dari pihak ibu dengan kekuasaan berada di tangan mamak. Ciri sistem kekerabatan matrilinealnya dapat dilihat dari perkawinannya yang bersifat eksogami suku, tempat tinggal yang bersifat matrilokal, yaitu suami tinggal di tempat kerabat istri dan pola pewarisan harta pusaka yang diturunkan kepada anak perempuan.
Pada masyarakat ini, sistem kekerabatan matrilineal masih jelas dan kuat, tetapi dengan perubahan zaman dan pengaruh penduduk pendatang yang bukan suku bangsa Minnagkabau secara langsung mempengaruhinya. Seperti halnya pola menetap dimanan sekarang akan laki-laki yang sudah menikah tidak lagi tinggal di lingkungan keluarga istri tetapi mereka tinggal di rumah sendiri (neolokal). Selain itu terjadinya pergeseran peran mamak yaitu kekuasaan terhadap harta suku tidak lagi berpengaruh tetapi peran dari keluarga/kerabat istri. Namun dalam sisi perkawinan dan kematian, peran mamak masih kuat.
Pergeseran mamak yang berubah dan bergeser kedudukannya terlihat pada urusan pribadi, seperti menyangkut persoalan pemilihan jodoh dan pemeliharaan anak. Saat ini tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuan bukan lagi tanggung jawab mamak tetapi sudah menjadi tanggung jawab suami/bapak. Begitu juga hubungan antara mamak dan kemenakan tidak lagi akrab, tetapi kemenakan lebih akrab dengan ayahnya.
6. Aktivitas Teknologi Penangkapan Ikan Masyarakat Nelayan Yang Dipengaruhi Oleh Budaya Lokal Setempat
Kegiatan nelayan di Pasar Laban umumnya dilakukan secara berkelompok tetapi ada juga yang melakukannya secara perorangan. Kegiatan tersebut sebagian besar dilakukan oleh pihak laki-laki yang berumur diatas 15 tahun. Aktivitas penangkapan ikan pada masyarakat nelayan Pasar Laban, yaitu aktivitas membagan, memayang, memukat dan menjaring.
Penangkapan ikan dengan membagan dilakukan pada waktu malam hari dengan menggunakan kapal yang disebut bagan dengan ukuran berkisar panjang antara 12 sampai 20 cm dan lebar berkisar antara 2 m sampai 4 m. Bagan ini ditandai dengan cadik yang telah dimodifikasi dengan menambah bagian-bagian tertentu, yaitu satu ruangan tempat mesin dan tempat beristirahat. Bagan ini dilengkapi dengan alat penerangan yaitu lampu TL neon yang berbentuk bulat sebanyak 100-150 buah yang mempunyai kekuatan 32 watt yang diletakkan di samping kiri dan kanan bagan. Lampu ini berguna sebagai alat penarik ikan supaya mendekat dan berkumpul sekitar bagan. Sedangkan alat untuk menangkap ikan dinamakan dengan waring yang berbentuk segi empat bujur sangkar dengan ukuran 18-20 m.
Aktivitas membagan ini dilakukan selama 24 hari berturut-turut. Namun ketika sudah sampai pada umur 13-19 hari, maka sebagian besar nelayan tidak pergi membagan dikarenakan saat itu adalah saat bulan purnama (bulan terang) dimana ikan sulit diperoleh. Untuk mengisi waktu luang, biasanya para nelayan melakukan aktivitas lainnya seperti memukat dan menjaring ikan.
Pembagian kerja di atas bagan lebih kurang 6-7 orang. Satu orang sebagai kapten kapal yang disebut dengan Tungganai dan yang lainnya disebut dengan anak buah kapal. Tungganai adalah juru mudi dalam mencari ikan dimana dapat atau tidaknya ikan tungganailah yang paling bertanggung jawab, sedangkan anak buah kapal bertugas menghidupkan mesin, memasak makanan dan minuman, menurunkan dan mengangkat waring.
Selain aktivitas membagan, masyarakat nelayan Pasar Laban juga melakukan penangkapan ikan dengan cara memayang. Payang adalah jenis kapal penangkap ikan yang dipergunakan pada siang hari. Memayang dilakukan dari jam 7 pagi sampai sore hari atau tergantung pada banyaknya perolehan ikan. Memayang ini mempergunakan jaring yang panjangnya lebih kurang 400-500 m.
Jumlah anggota memayang lebih banyak dari membagan dikarenakan aktivitas kerja di payang lebih sulit dan keras, yaitu berkisar lebih kurang 10 orang sampai 12 orang, yang terdiri dari pawang/kapten kapal, tukang konca (bertugas membawa kapal), tukang lomba (bertugas melemparkan jaring), tukang haluan (bertugas memperbaiki jaring supaya tidak tersangkut, tukang kendu ( bertugas memegang ujung jaring supaya ikan tidak keluar) dan yang lainnya bertugas sebagai penarik jaring.
Aktiivitas penangkapan lainnya adalah dengan cara memukat. Penangkapan ikan dengan memukat dilakukan pada siang hari. Menangkap ikan dengan memukat ini dilakukan di tepi laut atau dikenal dengan pukek tapi. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan adalah jaring yang panjangnya lebih kurang 300 m yang ditambah dengan tali untuk menariknya yang panjangnya lebih kurang 500 m. Bahan untuk jaring ini adalah benang titoron. Aktivitas memukat sebagian besar dilakukan oleh nelayan yang sudah tua.
Selain itu, penangkapan ikan dengan menjaring dilakukan pada pagi atau sore hari. Pada pagi hari dimulai setelah shalat subuh sampai jam 10 pagi, sedangkan pada sore harinya setelah shalat ashar sampai jam 9 malam. Menjaring menggunakan sebuah perahu yang menggunakan mesin tempel.
Tehnik dan Budaya Pembuatan Kapal/Perahu
Sebagian besar nelayan di Pasar Laban memiliki perahu (bahasa lokal: biduak) yang akan digunakan untuk mencari ikan di laut, baik yang milik sendiri maupun yang disewakan. Untuk perahu yang disewakan biasanya berkisar antara Rp.40.000 sampai Rp. 50.000 perharinya.
Tehnik pembuatan kapal, baik kapal bagan maupun payang yang dilakukan oleh masyarakat Pasar Laban selama ini adalah memakai kayu yang didatangkan dari Pagai Kepulauan Mentawai. Dalam pembuatannya, pertama kali kayu dibentuk bulat atau pipih menjadi renggang, setelah itu kayu yang renggang tadi di bentuk dan baru dirapatkan keduanya. Dalam membentuk kayu tersebut hanya memakai pisau atau kapak.
Waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan perahu tersebut dibutuhkan kira-kira satu minggu apabila tidak ada hambatan dalam pengerjaannya, namun waktu satu minggu itu tergolong waktu yang paling lama. Waktu kurang dari satu minggu bisa selesai apabila semua alat pembuatan perahu lengkap dan tidak ada pekerjaan lain yang dikerjakan oleh pembuat perahu tersebut.
Biaya pembuatan perahu untuk 1 buah berkisar 2 jutaan. Hal tersebut dikarenakan faktor ketersediaan/pengadaan kayu yang cukup mahal dan ketersediaan kayu di wilayah Sumatera Barat pun tidak ada sehingga harus memesan terlebih dahulu ke daerah diluar Sumatera Barat. Dalam hal ini daerah penghasil kayu untuk pembuatan perahu banyak terdapat di daerah Kepulauan Mentawai. Sebenarnya pembuatan perahu bisa menggunakan kayu yang ada di wilayah Sumatera Barat namun dari sisi kualitas kurang baik dibandingkan dengan yang ada di Kepulauan Mentawai Apabila menggunakan kayu dari wilayah Kepulauan Mentawai maka daya tahan perahu yang dipakai kelaut lebih kurang 2 tahun, dan bahkan ada yang 3 tahun. Hal tersebut tergantung juga kepada pemakaian perahu tersebut selama melaksanakan aktivitas penangkapan ikan.
Dalam pembuatan perahu nelayan, dalam masyarakat Pasar Laban terdapat tradisi-tradisi yang dilakukan sampai saat ini, seperti melakukan upacara sebelum pembuatan perahu maupun sesudah perahu selesai, yaitu memotong ayam untuk mendarahi perahu, kemudian membuat nasi kunyit, gulai ayam dan makan bersama-sama sebelum kelaut. Apabila perahu/sampan/kapal penangkap ikan mengalami kerusakan, biasanya masyarakat akan memperbaikinya sendiri atau ke kepada ahlinya atau tukang.
Aktivitas Ketika Akan Ke laut, Dilaut dan Sesudah dari Laut
Membagan
Aktivitas penangkapan ikan, yakni membagan biasanya akan berangkat atau turun ke laut sekitar jam 3 sore dan kembali jam 6 pagi, namun hal tersebut tergantung cuaca. Apabila cuaca baik maka aktivitasnya akan cepat/lancar dan apabila cuaca buruk maka bisa sampai berhari-hari. Sebelum turun ke laut para nelayan harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keperluan selama di laut, yaitu bahan bakar minyak yang biasanya dalam satu kali dibutuhkan paling banyak 50 liter solar dan makanan dan minuman seperti beras, kopi, gula dan makanan kecil lainnya.
Biaya operasional ketika pergi melaut, para nelayan mengeluarkan biaya operasional lebih kurang sekitar Rp 500.000,- yang dibiayai terlebih dahulu oleh pemilik kapal. Namun untuk seorang awak atau tungganai hanya mengeluarkan biaya rokok dan lauk pauk (samba) yang harus dibawa dari rumah sekitar Rp 10.000,-. Biaya awal untuk operasional melaut biasanya hanya menggunakan uang satu orang yaitu pemilik kapal / induak samang.
Dalam melakukan kegiatan melaut biasanya dilakukan secara berkelompok sebanyak 8 orang dalam aktivitas membagan. Dalam kelompok tersebut ada semacam pembagian kerja, seperti tungganai sebagai kepala kapal, namun semua tetap dikerjakan secara bersama. Dalam penangkapan ikan (bagan) ada pembagian kerjanya seperti; tungganai (1 orang) sebagai kepala kapal, tukang masak (2 orang) untuk memasak, tukang lomba (8 orang) untuk melepas jala, tukang egang (8 orang) untuk menarik jala.
Selain itu, ketika akan berangkat kelaut biasanya yang dilakukan istri para nelayan adalah memasak lauk pauk untuk bekal suami ketika berada dilaut, karena nasi akan dimasak ketika berada di tengah laut. Si suami tidak pernah berhari hari dilaut karena bagan yang digunakan tidak terlalu besar hanya ber awak 8 orang yang hanya dipakai melaut selama satu malam.
Setelah kapal berlayar ke tengah laut, maka tungganai membawa kapalnya ke daerah-daerah yang biasanya banyak ikan. Ikan biasanya banyak terdapat di dekat batu karang dan hidup berkelompok-kelompok. Apabila lokasi ikan sudah diketahui, maka kapal akan berhenti dan kira-kira sekitar jam 7 malam semua lampu akan dihidupkan. Satu jam kemudian apabila ikan sudah muncul di dekat bagan maka diturunkanlah waring yang akan jauh dari lokasi ikan tersebut. Hal tersebut menghindari ikan akan terkejut dan akhirnya lari.
Untuk menurunkan waring tersebut dibutuhkan tenaga 4 orang yang memegang pada tiap-tiap tepi ujuang waring. Kemudian apabila sudah ada terlihat gelembung-gelembung air di atas permukaan waring tersebut tandanya ikan sudah berada di dalam kawasan waring. Setelah itu lampu dimatikan satu persatu sampai tinggal buah lampu, yaitu 2 disamping kiri dan 2 di samping kanan. Setelah itu barulah waring diangkat perlahan-lahan atau ditarik dengan menggunakan katrol. Dalam satu kali membagan, biasanya akan mendapatkan sekitar 10-15 keranjang atau ember.
Ketika pemilik kapal memutuskan untuk kembali pulang, umumnya akan kembali ke rumah sekitar jam 6 pagi. Ikan yang telah diperoleh biasanya langsung dipisahkan oleh ABK berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam keranjang/ember. Jenis-jenis ikan yang biasa di dapat dari membagan seperti ikan teri, ikan abit, suaso, gumbalo aceh, tobi, tajak, maco dan ikan salam. Untuk ikan teri biasanya tidak dijual tetapi diambil oleh induk semang untuk direbus dan kemudian dijual sendiri. Sedangkan ikan yang lainnya dijual kepada agen.
Memayang
Sebelum berangkat, para nelayan juga mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan perjalanan dan diatas kapal. Hal yang dipersiapkan yaitu bahan bakar bensin yang membutuhkan lebih kurang 60 liter bensin, oli sebanyak 3 liter dan minyak tanah. Selain itu persiapan lainnya adalah makanan dan minuman yang dibawa masing-masing individu dari rumah.
Waktu ketika akan turun ke laut adalah pada jam 4 pagi dan kembali sekitar jam 2 siang. Keuntungan pergi ke laut pada jam 4 pagi adalah pada saat itu biasanya ikan masih tidur atau disebut dengan mengintai lauak bobok dan pada pagi hari tersebut ikan masih tenang sehingga lebih mudah menangkapnya. Untuk berlayar ke laut biasanya lebih kurang 5 km.
Apabila ikan sudah muncul ke permukaan barulah pawang menyuruh untuk menurunkan jaring. Untuk ikan yang kecil biasanya berada di dekat batu karang sedangkan yang besar seperti ikan tuna, bojo dan koreng berada di lautan luas. Disini juga perlu dilihat tingkah laku ikan dimana kalau ikannya berada di permukaan laut menandakan bahwa ikannya jinak sedangkan kalau ikan berada di dalam laut ikannya liar. Setelah ujung jaring pertama diturunkan tukang lomba dan ia menahannya kemudian kapal berputar sehingga pada akhirnya ke dua ujung jaring bertemu dan disilangkan dan dipegang oleh tukang kandu. Disini tukang haluan, tukang lomba dan tukang kandu bekerja lebih keras karena masuk atau tidaknya ikan ke dalam jaring adalah tanggung jawab mereka. Setelah kedua ujung pukat itu bertemu barulah pukatnya diangkat.
Biasanya waktu kembali ke darat apabila telah mencapai siang hari atau tergantung hasil tangkapan. Pemisahan ikan biasanya dilakukan oleh buruh-buruh yang ada di tepi pantai dengan menggunakan keranjang atau ember.
Memukat
Memukat ini tidak diperlukan persiapan-persiapan seperti di bagan dan payang. Hal yang dilakukan dalam memukat adalah pertama-tama salah satu ujurng jaring dipegang oleh seorang di tepi pantai kemudian dua atau tiga orang naik perahu ke tengah laut sambil membentangkan jaring. Jaring ini dibentangkan berbentuk huruf ”U’. Setelah satu ujungnya lagi sampai di tepi laut maka salah seorang kembali ke tengah laut dengan perahu tepat ditengah-tengah antara dua ujuang jaring. Sementara itu orang yang memegang masing-masing ujung harus sama banyak, kemudian orang yang berada di tengah laut memberikan aba-aba untuk menarik jaring. Dalam menarik jaring harus sama-sama atau serentak, ujung-ujung jaring itu dililitkan ke pinggang supaya lebih kuat dan menariknya perlahan-lahan sesuai dengan gerakan gelombang.
Ikan yang biasa didapat dari memukat ini hanyalah ikan-ikan kecil antara lain ikan maco, pinang-pinang, bada, baledang dan soaso. Penangkapan ikan dengan memukat ini hasilnya tidak begitu memuaskan karena waktu memukat ini sering terjaring sampah-sampah yang berserakan di tepi pantai.
Menjaring
Menjaring menggunakan sebuah perahu, baik perahu yang menggunakan mesin tempel maupun tidak seperti menggunakan dayung. Untuk perahu yang didayung jumlahnya hanya 2 orang, sedangkan perahu yang menggunakan mesin tempel paling banyak 4 orang. Pada masyarakat Pasar Laban umumnya sudah menggunakan kapal yang memakai mesin tempel. Jaring yang digunakan panjangnya lebih kurang 100-250 m dan lebarnya tidak ditentukan dimana benangnya juga dari benang titoron. Jaring diberi pemberat dari timah dan pelampungnya terbuat dari kayu dan gabus. Selain itu kalau untuk menjaring pada malah hari perahunya dikasih lampu untuk penerangan dan sebagai tanda supaya kelihatan oleh kapal lain.
Setelah berlayar lebih kurang 2.5 km barulah jaring diturunkan dan biasanya jaring diturunkan di dekat-dekat batu karang. Setelah ujung jaring yang satu diturunkan, maka perahu dijalankan lurus sampai semua jaring tersebar di permukaan laut. Kemudian ditunggu satu atau satu setengah jam barulah jaring diangkat. Dari menjaring ini ikan yang biasa diperoleh antara lain ikan campu, pinang-pinang, siragih, maco,tete, gambolo, guriga dan belantu.
Untuk mengetahui lokasi ikan berada di laut biasanya diperoleh melalui informasi yang diperoleh dari orang-orang yang sebelumnya telah dulu turun ke laut. Informasi ini disampaikan melalui rojer dari masing-masing kapal dan orang tersebut akan mengabarkan dimana ikan yang banyak. Setelah mendapat informasi tersebut maka tungganai memerintahkan untuk membawa kapal ke lokasi tadi, kemudian tungganai yang mengatur dimana kapal ikan akan dihentikan. Kapal akan dihentikan kalau tungganai sudah melihat adanya tanda-tanda ikan dan disini tungganai lebih mengeahui dimana lokasi ikan tersebut. Biasanya ikan-ikan itu berada di dekat batu karang atau pinggir batu karang yang jaraknya lebih kurang 20 km dari batu karang tersebut. Ikan yang biasanya dekat pinggir batu karang tersebut seperti ikan teri, maco, guriga dan sebagainya. Sedangkan ikan yang besar biasanya berada di tengah-tengah laut seperti ikan tongkol.
Aktivitas penangkapan ikan dengan memayang yang lebih mengetahui tentang informasi lokasi ikan atau dimana yang banyak ikan adalah pawang atau kapten kapal. Lokasi ikan baik pada waktu malam atau siang hari adalah sama, dimana ikan yang kecil-kecil berada di sekitar pinggir batu karang dan ikan yang besar-besar berada di lautan luas yang berada di kedalaman lebih kurang 50 m. Aktivitas penangkapan ikan lainnya seperti menjaring, memukat dalam mengetahui informasi keberadaan lokasi ikan hampir sama dengan aktivitas membagan dan memayang, yaitu ikan yang kecil-kecil berada di sekitar pinggir batu karang dan ikan yang besar-besar berada di lautan luas yang berada di kedalaman lebih kurang 50 m.
Selain itu, menurut hasil wawancara dengan Suman Rajo Pasisia (70 thn) bahwa untuk mengetahui lokasi ikan yang banyak yaitu dengan melihat tanda-tanda ”apabila di permukaan air banyak terdapat ikan yang melompat-lompat sehingga seperti gumpalan air maka di daerah itu banyak terdapat ikan, tetapi apabila ikan yang melompat-lompat tersebut hanya satu-satu maka ikan yang berada di bawah permukaan air tersebut sedikit”.
Kondisi Musim dan Cuaca
Pengetahuan nelayan terhadap kondisi cuaca sangat penting untuk keberhasilan mereka dalam menangkap ikan dan untuk keselamatan mereka dalam mencari ikan di laut. Nelayan yang lebih mengetahui tentang kondisi cuaca dan musim adalah tungganai pada bagan dan pawang pada payang. Seorang tungganai atau pawang mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai kondisi cuaca sebagai pedoman bagi para nelayan untuk turun ke laut.
Pada masyarakat nelayan Pasar Laban, kondisi cuaca yang baik untuk pergi melaut adalah apabila langit di laut cerah dan bersih, tetapi apabila di laut gelap maka nelayan tidak akan pergi ke laut dikarenakan diperkirakan akan turun hujan dan terjadi badai sehingga dapat membahayakan keselamatan nelayan itu sendiri. Selain itu juga dengan melihat bintang pada malam hari, apabila bintang banyak dan ada diantaranya yang masuk ke dalam lingkaran bulan maka diperkirakan hari tersebut baik untuk pergi melaut.
Menurut hasil wawancara diketahui bahwa apabila bintang kalo yaitu rasi bintang yang berbentuk kalajengking yang letaknya berdekatan dengan bulan muncul maka sebagai pertanda kondisi cuaca akan buruk atau badai akan datang. Selain itu gejala akan terjadinya badai adalah langit tertutup awan hitam, gelombang air laut tinggi dan angin bertiup sangat kencang.terjadinya pergeseran bulan dan bintang yang seakan-akan saling bertabrakan menandakan juga akan terjadinya cuaca yang buruk.
Selain bintang, pertanda lainnya untuk dapat melaksanakan kegiatan melaut adalah perputaran angin, yang lebih dikenal dengan angin utara dan angin barat. Angin ini muncul pada malam hari yang berhembus dari utara atau barat dengan kecepatan yang sangat tinggi yang mengakibatkan cuaca akan berubah menjadi buruk sehingga mengakibatkan ombak yang sangat tinggi serta arus air akan kencang sehingga akan mempengaruhi proses penangkapan ikan. Untuk angin timur dan angin selatan tidak begitu mengganggu atau menyulitkan nelayan karena angin ini hanya berhembus perlahan-lahan.
Apabila bulan baru muncul maka arus air akan bergelombang atau arus air berjalan di dalam laut sedangkan kalau bulan akan terbenam maka arus air akan tenang dan biasanya arus air itu selalu berlawanan dengan arah angin.
Selain hal tersebut diatas, letak awan yang berbedapun akan mempengaruhi datangnya badai. Apabila awan terletak di arah selatan matahari terbit menandakan badai akan bertiup dari selatan, sebaliknya bila awan terletak di bagian barat matahari maka badai juga akan datang dari arah barat. Bila awan berada tepat di atas matahari juga akan menandakan akan datangnya badai. Tetapi tidak semua awan yang berada di dekat matahari akan mendatangkan badai dan cuaca buruk, seperti awan yang tergantung dekat diatas matahari yang akan tenggelam. Hal ini menandakan kondisi cuaca akan baik karena angin yang sedang berhembus akan reda. Kemudian dari letak bintang apabila muncul bintang timur akan menandakan kondisi cuaca yang baik.
Untuk musim ikan biasanya tidak sepanjang tahun. Dalam satu tahun sekitar bulan April sampai dengan bulan Agustus menandakan bahwa produksi ikan melimpah yang diperoleh oleh nelayan. Untuk bulan lainnya biasanya perolehan ikan sulit didapat. Pertanda akan musim ikan berlimpah adalah bergerombolnya awan besar di atas permukaan laut dengan berbagai ikan seperti ikan tongkol dan tuna. Selain itu dengan adanya gerombolan elang laut yang sedang berputar-putar di atas permukaan laut menandakan bahwa di sekitar atau di bawah permukaan laut terdapat banyak jenis ikan seperti ikan-ikan kecil (ikan teri).
Untuk menghindari terjadinya cuaca yang buruk ketika melaut maka tungganai biasanya menyuruh kepada awak kapal supaya berlabuh ke pulau terdekat dan kalau tidak sempat maka terpaksa mencari pengamanan sendiri dengan cara memakai pelampung atau deregen untuk berenang.
Teknologi Penangkapan Ikan
Dalam menangkap ikan dengan bagan banyak peralatan yang dibutuhkan nelayan untuk dapat memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Peralatan dalam membagan tidak hanya peralatan intinya saja seperti waring sebagai alat utama dalam penangkapan ikan, tetapi juga ada peralatan pendukung lainnya yang memiliki peran penting dalam penangkapan ikan. Peralatan waring berbentuk segi empat bujur sangkar yang ukurannya berkisar antara 18-20 m.
Waring berbentuk segi empat bujur sangkar dikarenakan harus disesuaikan dengan bentuk dan ukuran lengan bagan atau jambah yang sekaligus dijadikan sebagai cadik dan ukuran cadik tersebut berbentuk bujur sangkar, sedangkan ukuran waring disesuaikan dengan besarnya bagan. Kalau bagannya besar seperti panjangnya 20 m dan lebarnya 4 m maka biasanya waringnya berukuran 20 x 20 m dan kalau bagannya berukuran panjang 12 m dan lebar 2 m maka ukuran waringnya 18 x 18 m, sedangkan panjang ke bawahnya tidak ditentukan. Hal tersebut tergantung kemauan orang yang mempunyai waring.
Peralatan lainnya adalah jangkar, lampu TL neon. Jangkar tersebut terbuat dari besi yang memiliki dua buah ujung yang berbentuk sebuah kail. Jangkar berbentuk kail agar kalau jangkar dijatuhkan ke dasar laut maka akan tersangkat di batu karang. Jangkar ini berfungsi untuk menahan bagan supaya tetap di tempat dan jangkar ini diletakkan atau diikatkan di kepala bagan supaya bagan tidak berputar apabila ada angin yang berhembus atau ada gelombang yang besar. Jangkar ini dilengkapi dengan tali yang berguna untuk menurunkan dan menaikkan yang terbuat dari benang nilon.
Peralatan lainnya yang sangat penting adalah lampu TL neon. Lampu TL neon ini berbentuk bulat sebanyak 100-150 buah. Nelayan menggunakan lampu TL neon ini karena sewaktu ikan sudah berada di atas waring dan lampu dimatikan satu persatu ikan tersebut tidak terkejut dan tidak akan lari sebab dengan memakai lampu bulat tersebut apabila dimatikan jarak antara lampu yang satu dengan lampu lainnya tidak terlalu jauh.
Lampu TL neon ini berjumlah sekitar 100-150 buah yang disesuaikan dengan besarnya cagak atau kayu yang dipergunakan untuk meletakkan lampu TL neon tersebut. Dari semua bagan yang ada pada masyarakat Pasar Laban, cagak atau kayu lampu pada tiap-tiap bagan dapat menampung lampu lebih kurang 100-150 buah.
Lampu neon ini mempunyai kekuatan 32 watt yang disesuaikan dengan besarnya ember atau kuali yang dipergunakan untuk meletakkan lampu TL neon tersebut. Lampu TL neon ini ditempelkan pada ember atau kuali dengan cara mengikatkannya dan kemudian baru diikatkan pada cagak atau kayu yang telah disediakan.
Teknologi penangkapan ikan dengan memayang memerlukan alat seperti jangkar dan jaring. Jangkar tersebut terbuat dari besi yang memiliki dua buah ujung yang berbentuk sebuah kail. Jangkar berbentuk kail agar kalau jangkar dijatuhkan ke dasar laut maka akan tersangkat di batu karang. Jangkar ini berfungsi untuk menahan bagan supaya tetap di tempat dan jangkar ini diletakkan atau diikatkan di kepala bagan supaya bagan tidak berputar apabila ada angin yang berhembus atau ada gelombang yang besar. Jangkar ini dilengkapi dengan tali yang berguna untuk menurunkan dan menaikkan yang terbuat dari benang nilon.
Peralatan yang paling penting lainnya adalah jaring. Jaring yang dipergunakan untuk menangkap ikan ini panjangnya lebih kurang 800-1000 m, 400 m di sebelah kiri dan 400 m di sebelah kanan. Panjang jaring ini disesuaikan dengan kemampuan orang yang memiliki jaring tersebut. Jaring ini bentuknya seperti celana panjang yang mempunyai dua buah kaki dan ditengah-tengahnya dibuat seperti pinggang celana supaya ikan akan terkumpul di dalamnya dan pada waktu menariknya ikan ini tidak akan keluar.
Menangkap ikan dengan memukat menggunakan peralatan yaitu jaring dan sebuah perahu kecil. Jaring yang dipergunakan panjangnya lebih kurang 300 m. Melalui proses wawancara diketahui bahwa sebenarnya panjang jaring tidak ditentukan secara pasti, dimana hal tersebut tergantung kepada orang yang mempunyai jaring tersebut. Pada masyarakat Pasar Laban, jaring yang dipergunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan rata-rata panjangnya 300 m.
Jaring ini biasanya ditambah lagi dengan tali yang panjangnya 200 m dan tali ini adalah sebagai penarik jaring ke tepi laut yang panjangnya 100 m di sebelah kiri dan 100 m di sebelah kanan. Tali ini sama panjang dikarenakan ketika akan menarik jaring ke tepi harus sama serentak antara orang yang menarik di sebelah kiri dengan orang yang disebelah kanan dari orang yang memberikan aba-aba di tengah laut.
Peralatan lain yang diperlukan adalah sebuah perahu yang didayung. Perahu ini panjangnya 5 m dan lebar 1 m. Perahu ini berfungsi untuk membawa jaring ke tengah laut dan kemudian dengan perahu tersebut, nelayan akan kembali ke tengah laut untuk memberikan aba-aba kepada orang yang berada di tepi pantai untuk menarik jaring tersebut. Orang yang berada di tengah laut memberikan aba-aba dengan menggunakan dayung yaitu apabila tarikan orang yang di tepi pantai yang disebelah kanan perahu cepat maka ia akan mengangkat dayungnya dengan tangan kanan. Hal tersebut sebagai pertanda bagi orang yang disebelah kiri tepi pantai untuk mempercapat tarikannya sehingga penarikan jaring akan sama lagi dan begitu juga sebaliknya sampai jaring terbawa seluruhnya ke tepi pantai.
Teknologi pada penangkapan ikan menjaring menggunakan peralatan jaring dan perahu. Jaring yang selalu dipergunakan oleh masyarakat nelayan Pasar Laban adalah yang berukuran 100-200 m. Jaring ini ada yang jahitannya halus dan kasar. Jaring yang halus ukuran matanya memiliki panjang 25-20 cm dan lebarnya kira-kira 5 cm, sedangkan jaring yang jahitannya kasar ukuran matanya memiliki panjang 50-60 cm dan lebar 10 cm. Untuk jahitan yang kasar adalah untuk menangkap ikan yang besar-besar seperti ikan gembolo, ikan gurigak, belatuk dan soaso, sedangkan jahitan yang halus atau rapat adalah untuk menangkap ikan yang kecil-kecil seperti ikan campu, pinang-pinang, maco dan tete.
Untuk menangkap ikan dengan menjaring mempergunakan sebuah perahu yang panjangnya lebih kurang 4 m dan lebarnya 1 m. Perahu yang banyak digunakan oleh masyarakat nelayan Pasar Laban saat ini sudah banyak memakai mesin perahu/mesin tempel. Sebelum memakai mesin tempel, masyarakat nelayan Pasar Laban dalam menjalankan perahu memakai mesin untuk pengukur kelapa yang diengkol atau ditarik.
Sistem Kepercayaan/Pantangan dalam Masyarakat Nelayan
Dalam melaksanakan aktivitas penangkapan ikan pada masyarakat Pasar Laban banyak kepercayaan dan pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh para nelayan. Misalnya perempuan tidak boleh ikut ke laut untuk menangkap ikan karena mereka takut kalau-kalau nanti perempuan tersebut dapat menstruasi di tengah laut. Bila hal ini terjadi menurut kepercayaan mereka akan dapat menghalangi rezeki karena perempuan yang sedang menstruasi dianggap kotor.
Selain itu pada masyarakat nelayan Pasar Laban sebelum berangkat atau turun ke laut terdapat pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat, yaitu:
- Kalau kita sudah berangkat dari rumah dan sudah sampai di kapal maka tidak boleh kembali lagi ke rumah. Kalau ini dilakukan maka ikan yang sudah ada di sekitar kapal da waring hanya sedikit yang masuk ke dalam waring.
- Berbicara yang kotor-kotor atau takabur. Kalau ini dilakukan maka ikan akan tidak kelihatan atau ikan sulit didapat.
- Jangan memberikan sesuatu yang diminta oleh orang lain sewaktu kita akan berangkat. Kalau dapat kita yang diberi orang tersebut. Hal ini akan berakibat sial atau tidak akan mendapatkan ikan.
Sewaktu berada di tengah laut juga ada pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan, yaitu tidak boleh bersiul-siul, berteriak-teriak dan membuat keributan. Selain itu tidak boleh buang air kecil atau buang air besar di bagian depan atau kepala bagan. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan menimbulkan cuaca buruk atau badai dan juga akan menghalangi rezeki atau tidak akan mendapatkan ikan. Selain itu, pantangan-pantangan di tengah laut adalag dilarang menjemurkan kain atau mengibarkan kain, menjuntaikan kaki ke dalam air di atas kapal dan menjujung pukat atau jaring. Apabila hal ini dilakukan maka akan menghalangi rezeki atau tidak akan mendapatkan ikan.
Selain itu, pantangan-pantangan lainnya yang harus dilaksanakan oleh penduduk Pasar Laban adalah ketika hari jumat tidak boleh melaut kecuali setelah usai waktu sholat jumat. Dan ketika ada kematian sebelum mayat dikuburkan maka tidak boleh melaut. Hal ini menghindari terjadinya kemudharatan dan menjauhkan diri dari segala bahaya laut.
Namun pada masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan, saat ini tidak ada tradisi atau ritual yang dilakukan para nelayan ketika akan berangkat melaut. Ketika hasil tangkapan melimpah yang diperoleh nelayan juga tidak ada tradisi untuk merayakannya, tapi biasanya nelayan cukup ber infak atau bersedekah ke masjid untuk mengucapkan syukur kepada Allah SWT.
Hubungan Teknologi dan Budaya Penangkapan Ikan Dengan Pemasaran Ikan Dalam Peningkatan Taraf Hidup Ekonomi Masyarakat
Pembagian Hasil Ikan
Hasil tangkapan ikan yang diperoleh langsung di bawa ke pasar tradisional Gaung dan disana sudah ada agen atau pembeli yang menanti. Biasanya agen-agen tersebut telah ditentukan oleh induk semang. Alasan lain nelayan menjual ikan di pasar tradisional Gaung karena semua jenis ikan dapat siterima baik besar maupun kecil, begitu juga dengan jenis-jenisnya. Setelah ikan diberikan kepada agen kemudian kapal (bagan/payang) dibawa kembali ke tepi pantai dekat Pasar Laban. Setelah tiba di tepi lalu diikatkan dan kemudian dibersihkan karena setelah menangkap ikan perahunya bau anyir.
Ikan yang telah dijual dari setiap kali membagan/memayang uangnya tidak langsung dibagikan tetapi disimpan di kas yang dipergang oleh induk semang. Pembagian hasil tangkapan secara keseluruhan dilakukan pada hari ke 24 atau 1 kali dalam satu kala m karena setiap hari setiap anggota yang ikut turun ke laut (tungganai dan para ABK) sudah memperoleh gaji harian yang disebut dengan amper. Sebelum hasil dibagikan, terlebih dahulu dikeluarkan biaya-biaya yang sebelumnya seperti biaya BBM, makanan dan minuman dan perbaikan-perbaikan lainnya serta ampera. Ampera adalah gaji yang diberikan setiap hari oleh induk semang sebesar Rp. 15.000,- – Rp. 20.000,-.
Setelah semua biaya yang terpakai terpotong, maka uang yang tersisa dibagi dua, setengah untuk pemilik bagan atau induk semang dan setengah lagi untuk anggota bagan. Hasil keseluruhan dibagi dua dulu karena yang menyediakan semua peralatan dan makanan adalah induak semang kemudian dari separuh untuk anggota tersebut dibagi sama rata. Namun tungganai akan mendapatkan uang tambahan dari induk semang sebesar uang yang diterima dari pembagian uang tadi, jadi tungganai memperoleh dua kali lipat dari ABK. Tungganai mendapat dua kali lipat karena ia merupakan orang kepercayaan dari induk semang dan ia yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kapal dan para ABK.
Untuk pembagian hasil tangkapan ikan melalui aktivitas penangkapan ikan memukat dan menjaring biasanya ikan-ikan dimasukkan ke dalam ember atau keranjang dan biasanya sudah ada agen-agen kecil yang menunggu untuk memberlinya langsung. Setelah ikannya di jual maka hasilnya langsung dibagi sama rata.
Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Biasanya masyarakat nelayan Pasar Laban memasarkan ikan langsung ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan), namun ada juga pembeli (konsumen) yang membeli ikan langsung ke kapal. Selain itu nelayan juga menjual tangkapan kepada banyak pembeli. Di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan ini tidak ada pasar tradisional, tetapi yang ada adalah tempat pelelangan ikan yaitu di TPI batuang , TPI gaung atau ke TPI labuang tarok yang masih berfungsi sampai sekarang dan beraktifitas selama 24 jam yang telah didirikan sejak tahun 1990. Sejak TPI ini berdiri nelayan merasakan perubahan yang terjadi dalam memasarkan ikan. Ikan yang ditangkap selalu terjual habis tidak pernah dibawa pulang. Selain di TPI nelayan menjual ikan ke daerah gaung atau dijemput langsung kelaut oleh pembeli. Peran TPI sudah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat nelayan.
Pengaruh Budaya Lokal Setempat Terhadap Usaha Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumah tangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut termasuk pesisir tentunya. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau danau dan penyeberangan, pedagang perantara/ eceran hasil tangkapan nelayan,penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.
Sudah sejak dari dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu oreganisasi kerja secara turun temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri factor/ alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan.
Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumah tangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain daripada itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat mebantu secara penuh.
Dengan persoalan yang demikian tentunya harus dipahami bahwa rumah tangga nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun sektor ini agar dapat mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. Masalah pembangunan nelayan adalah masalah manajemen pengembangan masyarakat pesisir yang meliputi tiga masalah yaitu: masalah sosial ekonomi rumah tangga nelayan, masalah kenapa mereka miskin dan selanjutnya bentuk intervensi yang bagimana diperlukan. Selanjutnya jika didasarkan pada dimensi waktu, maka kebijakan pembangunan rumah tangga nelayan dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu; kebijakan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.
Masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan sebagian besar bekerja sebagai nelayan, dikarenakan mereka tinggal di daerah yang paling dekat dengan tepi pantai. Dari hasil wawancara yang diperoleh bahwa masyarakat yang bekerja sebagai nelayan disebabkan daerah ini dekat dengan pantai dan mereka tidak mempunyai keahlian dalam bidang lainnya. Nelayan yang sudah tua pun banyak yang masih melaut dikarenakan sudah tidak ada pekerjaan yang lain yang dapat mereka lakukan dan masih mempunyai kemampuan pergi kelaut.
Peran Istri Nelayan dalam Menunjang Ekonomi Rumah Tangga
Perempuan nelayan adalah suatu istilah untuk perempuan yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Kaum perempuan di keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya. Selama ini perempuan nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Namun peran perempuan di lingkungan nelayan ini belum dianggap berarti, sebagai penghasil pendapatan keluarga pun dianggap income tambahan. Selain itu perempuan nelayan pun menanggung resiko tinggi akibat tingginya kecelakaan kerja di usaha penangkapan ikan laut ini.
Pengalaman menunjukan bahwa pemberdayaan wanita nelayan adalam pembangunan kelautan dan perikanan sulit dikembangkan, hal ini disebabkan karena kurangnya IPTEK dan kemiskinan yang selalu mengukung mereka. Beberapa masalah dalam integrasi perempuan nelayan dalam pembangunan kelautan dan perikanan antara lain, keadaan pendidikan yang umumnya sangat rendah, tenaga perempuan sering tidak dinilai, masih adanya nilai-nilai sosial budaya masyarakat sebagai penghambat berperan sertanya perempuan nelayan secara aktif, sedangkan beban kerja perempuan dalam keluarga cukup tinggi.
Pada masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan terutama peran istri para nelayan berinisiatif bekerja menambah pendapatan keluarga dipicu oleh kondisi buruk yang selalu dihadapi nelayan seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Selamanya tidak pernah harga ikan hasil tangkapan suami mereka stabil. Selain itu faktor naik turunnya harga ikan, masa-masa paceklik yang tidak dapat dihindari, maupun tekanan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, di antaranya harga bahan bakar kapal, membuat kehidupan nelayan tak pernah beranjak dari kemiskinan. Dengan modal yang terbatas, usaha yang dijalani masih dalam skala rumah tangga. Umumnya mereka juga masih berpandangan yang penting adalah siklus hidup dapat dijalani. Kepasrahan pada keadaan memang menjadi ciri khas perempuan nelayan, terlebih di waktu sekarang di mana perolehan ikan suami makin berkurang, kualitas ikan kurang baik. Sehingga perempuan nelayan terpaksa turut andil berusaha mencari tambahan penghasilan hanya sekadar untuk mencukupi kebutuhan keluarga
Pada masyarakat nelayan Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan terdapat organisasi sosial atau semacam kelompok sosial yang dibentuk bersama-sama secara swadaya namun tidak tergabung dalam wadah yang formal. Apabila terjadi kecelakaan atau terjadi keterlambatan nelayan untuk pulang dari jadwal yang sudah ada maka nelayan nelayan lain dengan sukarela membantu untuk mencari nelayan tersebut. Wadah ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mendirikan. Selain itu juga terdapat tradisi julo-julo untuk membantu nelayan lain.
7. Kesimpulan
Mata pencaharian terbesar sebagai nelayan yang digeluti oleh masyarakat Pasar Laban disebabkan oleh faktor geografis dimana wilayah Pasar Laban terletak memanjang di pinggiran pantai yang merupakan salah satu faktor yang terus dipergunakan untuk kelangsungan hidup mereka. Nelayan dalam memperoleh hasil tangkapan ikan di laut memiliki budaya dan teknologi penangkapan ikan yang telah ada sejak nenek moyangnya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan juga diperoleh dengan cara mempelajari pengalaman-pengalaman dari orang sebelumny serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak terlepas dari budaya lokal yang mereka miliki.
Kapal/perahu sebagai salah satu teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan oleh nelayan saat ini masih dibuat oleh beberapa nelayan di Pasar Laban. Pembuatan kapal, baik kapal bagan maupun payang selama ini adalah memakai kayu yang didatangkan dari Pagai Kepulauan Mentawai dengan waktu pembuatan membutuhkan kira-kira satu minggu apabila tidak ada hambatan dalam pengerjaannya. Untuk biaya pembuatan perahu untuk 1 buah berkisar 2 jutaan. Dalam pembuatan perahu nelayan, budaya lokal sangat mempengaruhi terutama ditemui adanya tradisi-tradisi yang dilakukan sampai saat ini, seperti melakukan upacara sebelum pembuatan perahu maupun sesudah perahu selesai, yaitu memotong ayam untuk mendarahi perahu, kemudian membuat nasi kunyit, gulai ayam dan makan bersama-sama sebelum kelaut.
Masyarakat Nelayan Pasar Laban memiliki sistem pengetahuan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan aktivitas penangkapan ikan di laut. Sistem pengetahuan tersebut berupa informasi mengenai banyaknya produksi ikan di beberapa lokasi yang menyebabkan para nelayan memperoleh hasil ikan yang maksimal, yaitu di dekat tubi atau pinggir batu karang yang didiami oleh ikan-ikan kecil. Untuk ikan besar biasanya berada di tengah laut. Selain itu, pengetahuan akan kondisi cuaca dan musim sangat mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan di laut. Pengetahuan tentang kapan waktu turun ke laut dan kembali ke darat juga mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan nelayan di Pasar Laban.
Pada masyarakat Pasar Laban, secara umum aktivitas penangkapan ikan terdiri dari membagan, memayang, memukat dan menjaring. Membagan adalah aktivitas penangkapan ikan pada malam hari dengan sebuah kapal yang disebut bagan dengan ukuran panjang antara 12 m sampai 20 m dan lebar antara 2 m sampai 4 m yang dilengkapi dengan lampu TL neon sebanyak 100-150 buah dan waring dengan anggota sebanyak 6-7 orang. Memayang adalah aktivitas penangkapan ikan pada siang hari dengan perahu yang disebut dengan payang dengan ukuran panjang antara 8-12 m dan lebar 1-2 m yang dilengkapi dengan jaring yang panjangnya sekitar 400-500 m yang beranggotakan 10-12 orang. Memukat adalah menangkap ikan yang dilakukan di tepi pantai dengan alat jaring yang beranggotakan sebanyak 5-7 nelayan. Menjaring adalah aktivitas menangkap ikan yang dilakukan di tengah laut dengan menggunakan perahu kecil yang didayung dengan anggota sebanyak 2-4 orang.
Pelaksanaan aktivitas penangkapan ikan pada masyarakat Pasar Laban banyak dipengaruhi oleh adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh para nelayan, misalnya perempuan tidak boleh ikut ke laut untuk menangkap ikan dikarenakan dapat menghalangi rezeki. Selain itu sebelum berangkat atau turun ke laut terdapat pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat, yaitu apabila sudah berangkat dari rumah dan sudah sampai di kapal maka tidak boleh kembali lagi ke rumah, berbicara yang kotor-kotor atau takabur, jangan memberikan sesuatu yang diminta oleh orang lain sewaktu kita akan berangkat., tidak boleh bersiul-siul, berteriak-teriak dan membuat keributan. Selain itu tidak boleh buang air kecil atau buang air besar di bagian depan atau kepala bagan. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan menimbulkan cuaca buruk atau badai dan juga akan menghalangi rezeki atau tidak akan mendapatkan ikan.
Hasil tangkapan ikan yang diperoleh langsung di bawa ke pasar tradisional Gaung dan diipasarkan langsung ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Namun ada juga pembeli (konsumen) yang membeli ikan langsung ke kapal. Selain itu nelayan juga menjual tangkapan kepada banyak pembeli. Di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan ini tidak ada pasar tradisional, tetapi yang ada adalah tempat pelelangan ikan yaitu di TPI batuang, TPI gaung atau ke TPI labuang tarok yang masih berfungsi sampai sekarang dan beraktifitas selama 24 jam yang telah didirikan sejak tahun 1990. Sejak TPI ini berdiri nelayan merasakan perubahan yang terjadi dalam memasarkan ikan. Ikan yang ditangkap selalu terjual habis tidak pernah dibawa pulang. Selain itu di TPI nelayan menjual ikan ke daerah gaung atau dijemput langsung kelaut oleh pembeli. Peran TPI sudah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat nelayan.
Selain itu, dalam pemberdayaan ekonomi rumah tangga nelayan bahwa peran perempuan sangat mempengaruhi terhadap aktivitas penangkapan ikan masyarakat nelayan di Pasar Laban. Peran istri nelayan berinisiatif bekerja menambah pendapatan keluarga dipicu oleh kondisi buruk yang selalu dihadapi nelayan seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung
Untuk pemberdayaan ekonomi rumah tangga nelayan juga didukung oleh adanya lembaga sosial yang spontan berdiri atas swadaya masyarakat sendiri. Organisasi sosial atau semacam kelompok sosial yang dibentuk bersama-sama secara swadaya namun tidak tergabung dalam wadah yang formal. Wadah ini tersebut terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mendirikan. Selain itu juga terdapat tradisi julo-julo untuk membantu nelayan lain.
8. Daftar Pustaka
Alimuddin, M. Ridwan, 2005, Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan bahari Mandar Mengaruni Gelombang Perubahan zaman, Jakarta: KPG bekerjasama dengan yayasan Adikarya IKAPI
Altman, Irwin, et.all, (ed), 1980, Human Behavior and Environment Advances in Theory and Research, New York an London : Plenum Press.
Dahuri, Rokhmin, dkk, 2004, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, Jakarta : Perum Percetakan Negara RI.
Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1997, Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Timur, Jakarta : CV Bupara Nugraha
Harian Haluan Padang Sumatera Barat, 4 April 2001, Artikel Potensi Kelautan Indonesia
Iskandar, Meiwita B. dan Siti Rochmawati Darwisyah, 1999, Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kesehatan Masyarakat Rentan, Jakarta: Pusat Komunikasi Berspektif Jender.
Jurnal Antropologi, 2005, “Pemberdayaan Masyarakat Nelayan”, dalam Tulisan Damsar dan Nia Elfina, Padang: Laboratorium Antropologi Edisi 9 Thn VI/2005
Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan, Yogyakarta: LkiS
_______, 2005, Akar Kemiskinan Nelayan, Yogyakarta: LkiS
Mubyarto, Dkk, Nelayan dan Kemiskinan, Yayasan Agri Ekonomika
Pramono, Djoko, 2005, Budaya Bahari, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Solfema, 2002, Makalah “Wanita Dalam Masyarakat Nelayan : Latar Kehiudpan dan Potensi Pengembangannya”, Disajikan dalam Seminar Budaya Pesisir dan Kondisi Potensi Kelautan Sumatera Barat, Museum Adityawarman Padang.
Marahudin Firial, 2002, ”Kebijaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Sumatera Barat”, Seminar di museum Adityawarman
[1] Penelitian ini didanai oleh DIKTI Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007.
[2] Penulis adalah dosen jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Padang
[3] Harian Haluan Padang Sumatera Barat, Artikel Potensi Kelautan Indoensia, 4 April 2001 , Hal. 5
[4] Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1997, Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Timur, CV Bupara Nugraha, Jakarta , Hal. 686
[5] Dra. Slfema MPd, 2002, Makalah Wanita Dalam Masyarakat Nelayan : Latar Kehiudpan dan Potensi Pengembangannya, Disajikan dalam Seminar Budaya Pesisir dan Kondisi Potensi Kelautan Sumatera Barat, Museum Adityawarman Padang, tanggal 29 Agustus 2002, Hal. 3-4.
[6] Pada umumnya masyarakat nelayan dapat dogolongkan sebagai masyarakat kelas bawah sosial. Menurut Wisroni (2000), masyarakat kelas sosial bawah termask golongan ekonomi lemah. Seperti dalam kalangan petani, nelayan bukanlah pemilik lahan pertanian yang memadai, kebanyakan nelayan hanyalah sebagai orang yang bekerja pada sejumlah kecil juragan yang memiliki kapal.
[7] Menurut Martusubroto – seperti yang dikutip oleh Syahrizal (2000 : 5 ) – bahwa hampir 90% nelayan di Indonesia masih berskala kecil dan lebih dari 60% dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Ini artinya bahwa sebagian besar nelayan Indonesia masih nelayan tradisional, karena mereka masih menggunakan perahu-perahu kecil untuk mencari ikan dan hasil yang didapat biasanya juga untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari. Mereka lebih dipengaruhi oleh pengetahuan rakyat dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan karen akses kepada ilmu pengetahuan modern hampir tidak ada.
[8] Firial Marahudin, Kebijaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Sumatera Barat, Seminar di museum Adityawarman tanggal 29 Agustus 2002, Hal.4
[9] Membagan adalah menangkap ikan yang dilakukan pada malam hari dengan mempergunakan sebuah kapal yang disebut BAGAN, ukuran bagan panjangnya berkisar antara 12 sampai 20 m dan, lebar 2 sampai 4 m. jumlah anggotanya 6-7 orang yang dilengkapi dengan lampu sebanyak 100-150 buah. Memayang adalah menangkap ikan yang dilakuan pada siang hari dengan menggunakan sebuah kapal yang disebut dengan PAYANG. Jumlah anggotanya terdiri dari 10-12 orang. Ukuran panjangnya antara 8-12 m dan lebar berkisar 1-2 m. Memukat adalah menangkap ikan yang dilakukan di tepi laut. Jumlah anggotanya antara 5-7 orang dan Menjaring adalah menangkap ikan yang dilakukan ke tengah laut dengan menggunakan perahu ukuran kecil dengan cara didayung.
[10] Imran Manan, 1989, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan, Depdikbud, Jakarta, Hal.12.
[11] Clifford Gertz, 1992, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Jakarta , Hal. 55.
[12] Kusnadi, 2005, Akar Kemiskinan Nelayan, Yogyakarta : LkiS, Hal. 4
[13] Jurnal Antropologi, 2005, “Pemberdayaan Masyarakat Nelayan”, dalam Tulisan Damsar dan Nia Elfina, Padang: Laboratorium Antropologi Edisi 9 Thn VI/2005, Hal. 70
[14] Mubyarto, Dkk, Nelayan dan Kemiskinan, Yayasan Agri Ekonomika, Hal.33