Bila paradigma pluralis melihat media dan pekerja didalamnya adalah otonom dan berita yang dihasilkan selalu menggambarkan realitas yang terjadi dilapangan. Paradigm kritis sebaliknya, selalu berpandangan bahwa antara media selalu dipengaruhi struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Posisi media seperti ini, tentunya mempengaruhi realitas sosial yang disajikan oleh media. Mesia bukan cermin seadanya dari sebuah realitas itu.
Fakta, dalam konsep pluralis, diandaikan sebagai realitas yang bersifat eksternal, yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Sehingga sifat fakta itu objektif dan harus diliput wartawan apa adanya . kaum kritis melihat realitas sebagai kenyataan semu yang terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Sehingga kekuatan itu selalu ada dibalik sebuah peristiwa.
Berita, menurut kaum pluralis, merupakan mirror of relality, yang merupakan pencerminan dan refleksi dari realitas. Olehnya itu, media harus memberitakan apa adanya. Sedangkan kaum kritis, menolak anggapan berita adalah cerminan realitas. Menurut kaum kritis berita adalah hasil pertarungan wacana ( social strungle ) antara berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat. Maka, pandangan dan ideologi wartawan atau media selalu dilibatkan. Sehingga realitas yang tampak sangat dipengaruhi oleh siapa saja yang memenangkan pertarungan yang pada umumnya dimenangkan oleh kelompok dominan.
Realitas, tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai suatu set fakta, akan tetapi hasil ideologi dari pandangan tertentu. Implikasinya, peristiwa ( realitas sosial ) tidak berdiri sendiri dan maknah yang muncul ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam konteks kritis adalah sebuah produksi sosial, hsil dari sebuah peraktek. Maka, tidak mengherankan apabila realitas yang diliput media merupakan titik perdebatan yang paling penting diantara aliran pluralis dan kritis.
Pada pandangan realis atau pluralis, apa yang terjadi dan apa yang dilihat oleh wartawan adalah fakta yang sebenarnya. Tentunya hal ini disanggah oleh para penganut aliran kritis, mereka menganggap bahwa yang hadir didepan wartawan adalah realitas yang terdistorsi. Realitas tersebut telah disaring oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat. Mereka percaya realitas pada dasarnya adalah pertarungan dari berbagai kelompok untuk menonjolkan penafsiran mereka, tentunya realitas yang hadir tidak secara alamiah melainkan telah mengalami pemaknaan.
Posisi media, kaum pluralism melihat media sebagai saluran yang netral dan bebas nilai. Artinya semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan pandangannya secara bebas. Pandangan ini bertolk belakang dengan pandangan kritis, mereka meyakini media tidak hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga alat untuk memproduksi ideologi kelas dominan. Media bukan sekedar saluran yang bebas, ia adalah subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Stuart Hall, melihat posisi media pada dasarnya tidak memproduksi realitas, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemakain kata-kata yang terpilih. Implikasi makna sebgai alat pertentangan antar kelompok, menjadikan media sebagai medan perang pertarungan wacana. Media memposisikan diri sebagai wahana diskusi publik dimana masing-masing kelompok saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap realitas.
Hall menggambarkan, seringkali pertarungan pemaknaan itu sering kali terjadi secara tidak seimbang. Satu pihak, sering kali mempunyai akses yang lebih besar ke dalam media, dibandingkan kelompok lain.
Posisi wartawan, pendekatan pluralis menekankan agar nilai, etika, dan hal-hal lain diluar objek dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Pertimbangan moral dan etika, memegang andil dalam mengurangi objektivitas pemberitaan, realitas haruslah ditempatkan dalam fungsinya sebagai realitas faktual –yang tidak boleh dikotori oleh pertimbangan subjektif.
Wartawan dalam hal ini difungsikan sebagai pelapor. Ia hanya bertugas memberikan fakta, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari pertimbangan etika, moral atau nilai tertentu. Wartawan menulis berita hanya berfungsi sebagai penjelas (eksplanation) dalam menjelaskan sebuah realitas. Paradigma kritis melihat wartawan tidak pernah lepas dari pertimbangan etika dan moral. Sehingga wartawan rentan berpihak pada suatu kelompok atau nilai tertentu.wartawan secara aktif-tidak hanya melaporkan –membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Karena fungsinya tersebut disadari atau tidak wartwan membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
Bahkan pandangan kritis menilai wartawan pada dasarnya partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan adalah bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat,karenanya sukar menhindari sikapnya sebagai salah satu anggota kelompok.
Salah satu perbedaan mendasar dari dua pandangan ini adalah bagaimana kerja profesional wartawan dilihat. Mark Schulman berpendapat, media dalam paradigma pluralis adalah suatu sistem pembagian kerja yang rasional.oleh karena itu, diatur dalam serangkaian kerja profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan wartawan. Sebaliknya pandangan kritis melihat wartawan dan kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak lepas dari sistem kelas. Berarti dia tergolong dalam dua kelas yang selalu berpisah dan terus bertentangan , kelas elit dan kelas tidak dominan. Karenanya kerja jurnalistik tidak bisa dipahami semata sebagai kerja profesional, dimana wartawan dan mereka yang bekerja diatur dengan hokum-hukum profesional, tetapi dipandang sebagai bagian dari praktek kelas. Wartawan adalah kelas tersendiri dan hubungannya dengan redaktur, pemilik modal dan pemasaran adalah relasi antar kelas yang berbeda, bukan hubungan sosial.
Pertama,paradigma pluralis, melihat wartawan berada dalam sistem yang otonom dan bekerja menurut sistem yang ada. Wartawan adalah bagian dari sistem tersebut dan menjalankan kerja sesuai fungsinya dalam struktur dan sistem dan pembagian kerja. Hasil kerja wartawan, bukan hasil kerja sendiri dan selalu melalui proses struktur (gatekeeping). Sistem pembagian kerja yang jelas wartawan, tugasnya tersendiri, redaktur/editor mempunyai tugas sendiri, dan pemasaran mempunyai peranan tersendiri, merupakan pembagian sedemikian rupa sehingga seseorang tinggal melaksanakannya. Pandangan pluralis sangat meyakini konsep seperti ini.
Pandangan kritis sangat berbeda, wartawan bekerja dan hasil kerjanya bukan melalui gatekeeping, tetapi bekerja atas control dan sensor diri, akibatnya bisa diperhatikan, mengapa wartawan menulis demikian tidak seperti misalnya. Pihak elit dalam media sengaja mengontrol wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak mengikuti prose situ, dan imbalan bagi yang mengikuti proses. Kerja wartawan karenanya bukanlah diatur dalam proses dan pembagian keja, tetapi dari control kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.
Kedua, berkaitan dengan landasan yang dipakai wartawan dalam meliput dan meliput berita, pandangan pluris melihat;fakta apa yang ditulis , bagian mana yang ditonjolkan, bagian mana yang seharusnya tidak ditulis, dan seluruh proses kerja jurnalistik pada dasarnya diatur dengan pertimbangan etis dan profesional. Landasan profesional itu seringkali ditandakan dengan tema; layak berita, nilai berita, dan sebagainya, sebaliknya pandangan kritis, segala proses jurnalistik tidak didasari Pada landasan etis dan profesional, tetapi lebih berlandaskan pada ideologis.
Ketiga, mengenai profesionalisme, pandangan pluralis memandang profesionalisme sebagai keuntungan. Dengan profesionalisme inilah proses produksi dapat berjalan. Sedangkan paradigm kritis berpendapat bahwa, profesionalisme adalah bentuk kontrol/praktek pendisiplinan tersebut. Selain itu terdapat rambu-rambu yang mengarahkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh wartawan. Kebebasan wartawan yang dibatasi dengan kontrol dan konsep yang membuat ia hanya sebuah sekrup dari sistem, yang mau tidak mau ia harus terkurung dalam ideoloi media tersebut.
Keempat, pandangan pluralis melihat hubungan antara wartawan dan pihak lain dalam media,merupakan bagian dari sebuah tim yang tujuan akhirnya adalah menciptakan berita yang baik pada khalayak. Pandangan kritis melihat wartawan bukanlah anggota dari sebuah tim, tetapi sebagai pemain dari seraangkaian pihak-pihak yang mempunyai posisi yang berbeda-beda. Masing-masing pihak dan posisi saling bertarung dan tujuan akhirnya mengontrol, agar pandangannya lebih diterima dan mewarnai pemberitaan. Karenanya,keseimbangan (ekualibrium) dalam arti kebenaran tidak mungkin dicapai karena kebenaran yang tercipta bukanlah hasil dari keseimbangan lalu lintas informasi dari masing-masing orang dalam media, tetapi lebih sebagai sikap elit media yang lebih mempunyai posisi, peluang dan kesempatan untuk memaknai peristiwa dan mewujudkannya dalam berita.
Hasil liputan. Perbedaan kedua paradigm ini adalah memahami berita mengakibatkan pula, perbedaan dalam hal hasil kerja wartawan. Paradigm pluralis, diandaikan terdapat standar baku dalam kerja jurnalistik. Standar bakutersebut biasa disebut sebagai;peliputan berimbang,dari dua sisi, netral dan objektif. Peliputan berimbang artinya menampilkan pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip yang agak mirip adalah peliputan dari dua sisi, dimana ada kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya atau suatu masalah. Prinsip netral, berarti dalam menulis maupun mencari bahan, wartawan tidak boleh berpihak pada satu kelompok yang membuat laporan berita tidak seimbang. Prinsip ini umumnya juga dilengkapi dengan prinsip objektif, dimana wartawan menhindari masuknya opini pribadi kedalam pemberitaan. Apa yang harus diliput dan ditulis adalh apa yang terjadi, tidak dikecilkan atau dibesar-besarkan.
Pandangan ini ditolak oleh paradigm kritis. Persoalannya adalah bukan pada bagaimana laporan yang baik dan buruk, apakah laporan mengandung bias atau tidak akan tetapi demikianlah kenyataanya. Artinya kalau ada seorang wartawan yang menulis dari suatu sisi, menghimpun berita dari suatu sumber, memasukkan banyak opininya kedalam berita, tidak dinilai sebagai sesuatu yang salah atau benar. Akan tetapi wartawan melakukannya dalam rangka suatu ideologi tertentu. Perlu disadari dalam pandangan kritis wartawan adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. Karena itu titik perhatian penelitian harus diarahkan untuk mencari ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi tersebut dipraktekkan untuk memarginalkan kelompok lain melalui berita.
Dalam konsep pluralis, wartawan hendaklah menhindari subjektifitas. Hal ini dilakukan dengan jalan menarik garis yang tegas antara opini dan fakta. Berarti wartawan hanya mengambil fakta antara apa yang terjadi. Hal ini mendapat kritikan dari kaum kritis, karena menurut mereka wartawan adalah bagian kecil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Pengaruh kepemilikan modal dan politik kelas sangat mempengaruhi fakta apa yang harus diambil dan bagaimana berita itu dibahasakan. Persoalannya, berarti bukan wartawan yang tidak objektif, tetapi struktur di luar diri wartawan tersebut yang mempropagandakan nilai-nilai tertentu.
Struktur secara umum yang menindas tersebut yang berpengaruh pada pemberitaan.
Dalam pandangan pluralis, bahasa jurnalistik seharusnya bahasa yang dipakai adalah straight atau langsung, tanpa opini dan penafsiran dari wartawan. Sehingga fungsi bahasa sebagai pengantar realitas itu terwujud. Bahasa dalam jurnalistik dapat menyampaikan realitas apa adanya kepada pembaca. Sebaliknya kaum kritis menentang bahasa sebagai alat untuk menyampaikan realitas kepada pembaca. Pertanyaanya yang muncul adalah, apakah mungkin bahasa bersifat objektif? Karena pada kenyataannya bahasa tidak pernah lepas dari ideologi dan politik pemakainnya karena itu mengandaikan bahasa sebagai representasi dari realitas sosial adalah hal yang mustahil. Menurut Hacket, bahasa tidaklah mungkin bebas nilai, karena realitas bahasa tidak merefleksikan realitas, karena selalu ada jarak antara realitas sesungguhnya dengan realitas yang direpresentasikan lewat bahasa.
Melalui bahasa , kelompok-kelompok yang tidak seimbang dalam masyarakat direpresentasikan lewat bahasa. Menurut pandangan kritis bahasa selalu memapankan kelompok dominan dan menggusur kelompok yang tidak dominan. Bahasa adalah instrument utama untuk memarginalkan kelompok lain dan mengeluarkan mereka dari pembicaraan. Bahasa harus dilihat sebagai medium dimana makna – makna spesifik diproduksi. Karena makna tidak begitu saja muncul dan merupakan hasil produksi, dapat dikatakan bahwa makna – makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama. Olehhnya itu, agar dapat diproduksi terus, sebuah makna harus mendapat kredibilitas, legitimasi, dan karakter taken for garanted. Dalam proses inilah terjadi marginalisasi, perendahan, atu delegitimasi terhadap konstruksi – konstruksi alternatif.