MATA KULIAH HATAH
Penyelesaian Kasus Sengketa antara Klockner Industri dengan Pemerintah Kamerun yang ditangani oleh ICSID (lembaga arbitrase internasional).
A.Latar Belakang masalah
Pada hakekatnya setiap Negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yangkokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional. Di dalam Hukum Perdata Internasional, terkandung beberapa item terkait sub-sistem hukum yang salah satunya adalah substansi hukum. Substansi hukum disini dimaksudkan sebagai peraturan hukum yang mengatur keberadaan Hukum Perdata Internasional itu sendiri. Salah satunya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing atau dalam berbagai peraturan Biro Lalu-Lintas Devisa (BLLD). Tidak jarang, kaidah Hukum PerdataInternasional ditemukan tidak begitu jelas terselip dalam suatu peraturan hukum, misalnyadalam Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Pokok Agraria, atau Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Berdasarkan pendekatan tradisional, proses penyelesaian perkara HPI sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah mengalami proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam perkara HPI yang bersangkutan.Kasus antara KLOCKNER INDUSTRIE, ANLAGEN GMBH KLOCKNER BELGES.A melawan PEMERINTAH UNI KAMERUN.
Menurut ketentuan Konvensi, perkara yang keputusannya dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, maka sengketa dianggap hidup kembali artinya sengketa tersebut dianggap sengketa baru dengan dewan arbitrase yang baru. Kasus di atas sebenarnya merupakan salah satu keberhasilan negara berkembang dalamgugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICSID.Hal ini merupakan suatu ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk mengangkat tema dalam makalah ini mengenai Penyelesaian Kasus Sengketa antara Klockner Industri denganPemerintah Kamerun yang ditangani oleh ICSID (lembaga arbitrase internasional)
A. Pengertian dan Istilah dalam HPI
Di dalam Hukum Perdata Internasional, sudah barang tentu terkandung beberapaitem terkait sub-sistem hukum yang salah satunya adalah substansi hukum. Substansi hukum disini dimaksudkan sebagai peraturan hukum yang mengatur keberadaan HukumPerdata Internasional di Indonesia itu sendiri. Salah satunya dapat ditemukan dalamUndang-Undang Penanaman Modal Asing atau dalam berbagai peraturan Biro Lalu-Lintas Devisa (BLLD). Tidak jarang, kaidah Hukum Perdata Internasional ditemukan tidak begitu jelas terselip dalam suatu peraturan hukum, misalnya dalam Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Pokok Agraria, atau Undang-Undang PenanamanModal Dalam Negeri.
Pada hakekatnya setiap Negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan saya bahas lebih detail. Hukum Perdata Internasional merupakan hukum yang mempelajari mengenai keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yangmengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional)yang bukan bersifat perdata. Suatu kasus atau perkara disebut perkara Hukum Perdata Internasional apabila kasus tersebut memiliki 3 (tiga) unsur, diantaranya adalah :
1.Adanya peristiwa hukum yang jelas,
2.Terdapat hubungan keperdataan,
3.Melewati batas lintas Negara atau bentuk hubungan tersebut melampaui antar Negara.
Hukum Internasional atau sering disebut sebagai “Internasional Law” dalam mata kuliah ini merupakan lapangan hukum publik, di mana kualifikasi publik sering kali tidak disebutkan secara langsung, berbeda dengan hukum Internasional dalam lapangan hukum privat yang sering disebut sebagai “Hukum Perdata Internasional. Perbedaan antara Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan HukumPerdata Internasional bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya denganmenyatakan bahwa subyek hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaansemacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek hukum negara ataupun individu. Oleh karena itu yang paling tepat adalah dengan meninjau urusan yang diatur olehkeduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik maka disebut sebagai HukumInternasional Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata disebut sebagai Hukum Internasional Perdata. Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini adalah sama-sama melewati batas wilayah suatu negara.Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah, bahwa istilah “hukum”masih diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasionalmenunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur tersebut adalah subyek hukum yangmelewati batas wilayah suatu negara, yaitu hubungan antara negara dengan negara,negara dengan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya, serta hubungan antara subyek hukum bukan negara satu dengan subyek hukum bukan negara lainnya. Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar HukumInternasional mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin yang mengatakan bahwa hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly socalled”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
1.Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertuga membuat hukum
2.Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yangmelaksanakan hukum,
3.Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yangmegakakan hukum,
4.Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi jalanya atau pelaksanaan hukum.
Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukuminternasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepadanegara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional ituadalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepatdikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.Berdasarkan pendekatan tradisional, proses penyelesaian perkara HPI sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah mengalami proseskualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan dalam rangka menentukan hukumyang akan diberlakukan dalam perkara HPI yang bersangkutan.
Secara sederhana, titik-titik taut didefinisikan sebagai Fakta-fakta di dalamsekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengansuatu tempat di Negara tertentu, dan karena itu menciptakan relevensi antara perkarayang bersankutan dengan kemungkinan berlakunya system/aturan hukum intern dari tempat itu.Beberapa contoh yang menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta yang ada di perkaradengan suatu tempat/Negara dan juga system hukum Negara-negara tertentu misalanya pertautan karena:
1.Kewarganegaraan pihak pewaris (Jerman)
2.Tempat kediaman tetap (domisili) pewaris (Inggris)
3.Letak benda (situs rei) (Italia, Inggris, Jerman)
4.Tempat perbuatan hukum dilakukan (pembuatan testament) (Prancis)
5.Tempat perkara diajukan (forum) (Jerman)
Prof.E.J. Cohn, berpandangan bahwa salah satu objek dari HPI adalah untuk meletakkan aturan-aturan dalam rangka memilih hukum yang akan diberlakukan (rulesfor the choice of law). Choice of Law Rules itu adalah aturan-aturan yang menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang mengandung unsure asing.Usaha pemilihan hukum ini, hampir selalu bergantung pada titik-titik taut yang akan menunjukkan system hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang tengah dihadapi.Menurut Cohn, beberapa titik taut lain yang penting adalah:
1.Hukum dari tempat dilaksanakannya perbuatan (lex loci actus)
2.Hukum dari tempat dimana benda-benda tetap terletak (lex rei sitae)
3.Tempat pembuatan dan atau pelaksanaan kontrak (locus contractus/locus solutionis)Dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas mengenai kasus Hukum PerdataInternasional yaitu antara Klockner Industrie vs United Republik Kamerun.
A.Gambaran Kasus
Kasus ini bermula pada saat Setelah Bank Dunia membentuk KonvensiWashington pada tahun 1965, yang melahirkan badan arbitrase ICSID (Centre) setiap negara anggota Konvesi menurut ketentuan Konvensi ini akan tunduk pada yurisdiksi Centre, sehingga negara yang dianggap melakukan tindakan melanggar hukum atau melanggar perjanjian terhadap investor asing, maka berdasarkan ketentuan Konvensi dapat diajukan kehadapan arbitrase ICSID. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, dalam perjanjian penanaman modal asing para pihak dapat melakukan pilihan hukum yang akan digunakan oleh arbitrase ICSID(choice of law).
Hukum yang dapat digunakan dalam sengketa penanaman modal asing adalah hukum internasional atau hukum negara penerima modal (host States).Diterapkannya hukum internasional dalam suatu sengketa penanaman modal, akan megandung arti yang sangat penting bagi para investor, karena mereka menginginkan investasinya dilindungi oleh hukum internasional. Namun, dilain pihak negara penerima modal menginginkan investasi asing diatur oleh hukum nasional mereka. Pilihan hukum para pihak ini jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah hukum perdata internasional, dalam rangka Konvensi Washington ini, tampaknya terdapat juga pengakuan terhadap otonomi para pihak dalam melakukan pilihan hukum bahkan sangat dihormati.
Kasus antara KLOCKNER INDUSTRIE, ANLAGEN GMBH KLOCKNER BELGE S.A melawan PEMERINTAH UNI KAMERUN. Menurut ketentuan Konvensi, perkara yang keputusannya dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, maka sengketa dianggap hidup kembali artinya sengketa tersebut dianggap sengketa baru dengan dewan arbitrase yang baru. Kasus di atas sebenarnya merupakan salah satu keberhasilan negara berkembang dalam gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICSID. Permohonan pembatalan tersebut pada dasarnya disebabkan kerena tidak puasdengan hasil putusan arbitrase. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang disebabkan karena banyak klausul arbitrase yang disepakati oleh para pihak tidak dibuat dengan sebaik-baiknya atau karena tidak adanya kesepakatan terhadap berbagai masalah antar anggota Konvensi dengan investor.
Negara berkembang juga dalam hal ini sering memperlihatkan kepercayaan yang berlebihan terhadap investor asing, sehingga hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kontrak tidak sesuai dengan keinginan para pihak. Dalam kaitannya dengan hal di atas Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, negara berkembang dalam kaitannya dengan pengajuan pembatalan iniselalu mengemukakan alasan bahwa pembatalan merupakan satu-satunya cara mereka untuk mempertahankan kendali atas perdagangan luar negeri dan penanaman modal. Secara ekonomis kekuatan perdagangan dan penanaman modal mungkin akan mendapatkan keuntungan yang tidak wajar.
Padahal jika negara berkembang ingin memperoleh modal asing, bagaimanapun, mereka harus memberi jaminan kepada investor asing mengenai keselamatan investasi mereka bukan dengan cara seperti itu.Salah satunya adalah menjadi anggota Konvensi Washington. Karena Konvensi Washington telah menyediakan suatu aturan internasional yang diharapkan dapat memelihara keseimbangan keuntungan yang diperoleh investor dan negara anggota Konvensi. Dengan diperbolehkannya para pihak untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICSID berarti biaya penyelesaian sengketa akan bertambah mahal,karena kasus yang sama dapat diulang beberapa kali sebagai kasus baru, dengan dewan arbitrase yang baru. Karena dalam Konvensi tidak ditentukan berapa kali batas pelaksanaan pengajuan yang dapat dilakukan oleh para pihak. Untuk itu, sebaiknya biaya penyelesaian perkara dapat lebih murah.Dan terhadap kasus yang diminta pembatalan agar diselesaikan dengan mekanisme tertentu oleh tim khusus yang diberi wewenang untuk memberikan putusan.Dalam kurun waktu empat puluh tahun tentunya arbitrase ICSID telah memiliki catatan tentang penyelesaian sengketa penanaman modal asing yang ditanganinya.
Banyaknya penggunaan klausul arbitrase ICSID dalam setiap perjanjian investasi(Bilateral Investment Treaties atau BITS) merupakan hal yang sudah biasa bahkan dapat dikatakan menjadi meluas karena terdapat juga dalam ketentuan-ketentuan hokum nasional dan perjanjian investasi lainnya.Adanya klausul tersebut sebenarnya selain untuk mencegah terjadinya sengketa, juga sebagai tonggak (corner stone) bagi para pihak jika terjadi sengketa, karena tanpa klausul arbitrase sengketa mereka tidak dapat diajukan kehadapan arbitrase ICSID. Saat ini publisitas arbitrase ICSID sedang meningkat karena sengketa-sengketa yang sedangdan telah diselesaikan oleh arbitrase ICSID juga meningkat.
B.Penyelesaian Kasus
Salah satu kekuatan dari arbitrase ICSID sebenarnya terdapat dalam Pasal 53Konvensi yang pada dasarnya menyatakan bahwa putusan arbitrase mengikat para pihak dan tidak dapat dilakukan banding atau perbaikan lainnya, kecuali sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Konvensi. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kehadiran Konvensi, bagaimanapun pengadilan nasional negara anggota Konvensi tidak dapat meninjau ulang putusan arbitrase ICSID yang dapat dilakukan adalah permohonan pembatalan, interpretasi danrevisi terhadap putusan tersebut. Sedangkan Pasal 54 Konvensi mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase yang dapat dilakukan oleh setiap negara anggota Konvensi.Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 dan Pasal 54 di atas pada dasarnya telah membawa arbitrase ICSID pada kedudukan yang lebih baik dibandingkan dengan arbitrase lainnya.
Karena dalam arbitrase ICSID, ketentuan Konvensi yang memberikan pengaturan bagi seluruh mekanisme penyelesaian sengketa, sejak para pihak menyatakan consent terhadap arbitrase ICSID sampai dengan berakhir sengketa yaitu pelaksanaan putusan arbitrase.Untuk itu, dapat dikatakan pengaturan hukum nasional mengenai arbitrase ICSID sangat terbatas, seperti halnya pengaturan tentang pelaksanaan putusan arbitrase ICSID didalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya diatur dalam satu pasal saja yaitudalam Pasal 66 ayat e. Dengan demikian peran yang diberikan oleh Konvensi terhadap pengadilan nasionalpun sangat terbatas. Berbeda misalnya dengan arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) atau arbitrase komersial lainnya yang didasarkan atas ketentuan Pasal V Konvensi New York 1958, yang mengatur tujuh alasan yang berbeda untuk digunakan oleh pengadilan nasional suatu negara terhadap keberatan pelaksanaan putusan arbitrase, sehingga hal ini dapat menyebabkan berlarut-larutnya pelaksanaan putusan.
Terhadap putusan arbitrase komersial, yang pengakuan dan pelaksanaannya diatur berdasarkan Konvensi New York 1958, dapat dengan mudah ditolak oleh salah satu pihak dengan mengemukakan adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum Negara yang bersangkutan. Namun dalam konteks arbitrase ICSID, jika suatu negara tidak mau mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase berdasarkan ketentuan Konvensi, justru dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 53 ayat (1) Konvensi.
Terhadap pelanggaran ini investor dapat melakukan dua gugatan kepada negaratuan rumah yaitu: (a) mengajukan gugatan sebagaimana dikenal dalam hukum nasionalnegara tuan rumah (host state) pada tingkatan diplomatik, atau (b) menyampaikan sengketa tentang putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang memiliki yurisdiksi yang berhubungan dengan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi.Berdasarkan ketentuan Konvensi keputusan arbitrase ICSID harus diakui dan dilaksanakan, dengan demikian dalam hal ini doktrin kedaulatan yang dimiliki Negara anggota Konvensi tidak dapat diberlakukan.
Karena sesungguhnya doktrin kedaulatan negara ini dapat menghambat pelaksanaan putusan arbitrase secara paksa.Untuk itu, negara peserta harus menganggap sama keputusan arbitrase ICSID itu sebagai keputusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat terakhir di negara yang bersangkutan. Dan pihak yang akan melaksanakan putusan arbitrase di wilayah negara peserta dapat menyampaikannya kepada pengadilan atau instansi yang telah ditunjuk oleh negara peserta untuk maksud tersebut, yaitu copy dari putusan yang telah dilegalisasi oleh Sekjen ICSID. Agar dalam eksekusi putusan arbitrase ICSID tidak ada keraguan karena adanya doktrin kedaulatan dan pelaksanaan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 54. Maka berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 54 tidak boleh ditafsirkan seolah-olah pasal itu menyimpang dari ketentuan yang berlaku di negara peserta berkaitan dengan imunitas negara yang bersangkutan atau negara asing lainnya.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase ICSID di Indonesia didasarkan oleh Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 dan Pasal 66 ayat e Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.Berdasarkan kedua undang-undang ini putusan arbitrase ICSID dapat dilaksanakan dinegara Republik Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah AgungRepublik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri JakartaPusat.
Tampaknya ketentuan tersebut telah mengikuti keinginan dari Pasal 54 ayat (3)yang menentukan bahwa eksekusi dari keputusan arbitrase ICSID akan diatur oleh hokum dari negara dimana eksekusi putusan arbitrase itu akan dilaksanakan. Menurut analisis saya mengenai kasus klockner vs Cameroon icsidyaitu mengenai adanya gugatan terhadap putusan pembatalan dari arbitrase icsid.Permohonan pembatalan tersebut pada dasarnya disebabkan kerena tidak puas dengan hasil putusan arbitrase.
Hal ini merupakan suatu kenyataan yang disebabkan karena banyak klausul arbitrase yang disepakati oleh para pihak tidak dibuat dengan sebaik- baiknya atau karena tidak adanya kesepakatan terhadap berbagai masalah antar anggota Konvensi dengan investor. Negara berkembang juga dalam hal ini sering memperlihatkan kepercayaan yang berlebihan terhadap investor asing, sehingga hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kontrak tidak sesuai dengan keinginan para pihak. Dalam kaitannya dengan hal di atas Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, negara berkembang dalam kaitannya dengan pengajuan pembatalan ini selalu mengemukakan alasan bahwa pembatalan merupakan satu-satunya cara mereka untuk mempertahankan kendali atas perdagangan luar negeri dan penanaman modal.
Secara ekonomis kekuatan perdagangan dan penanaman modal mungkin akanmendapatkan keuntungan yang tidak wajar. Padahal jika negara berkembang ingin memperoleh modal asing, bagaimana pun, mereka harus memberi jaminan kepada investor asing mengenai keselamatan investasi mereka bukan dengan cara seperti itu. Salah satunya adalah menjadi anggota Konvensi Washington. Karena Konvensi Washington telah menyediakan suatu aturan internasional yang diharapkan dapat memelihara keseimbangan keuntungan yang diperoleh investor dan negara anggota Konvensi. Dengan diperbolehkannya para pihak untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase ICSID berarti biaya penyelesaian sengketa akan bertambah mahal,karena kasus yang sama dapat diulang beberapa kali sebagai kasus baru, dengan dewan arbitrase yang baru.
Karena dalam Konvensi tidak ditentukan berapa kali batas pelaksanaan pengajuan yang dapat dilakukan oleh para pihak. Untuk itu, sebaiknya biaya penyelesaian perkara dapat lebih murah. Dan terhadap kasus yang diminta pembatalan agar diselesaikan dengan mekanisme tertentu oleh tim khusus yang diberi wewenang untuk memberikan putusan.