FUNGSI DPR DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENGAWASAN LEGISLATIF
Oleh : Rais Aufar
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigm pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi.
Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.
Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.
B.Rumusan Masalah
1.Menjelaskan Implementasi Peran dan Fungsi DPRD !
2.Apa Peran dan Fungsi DPRD ?
3.Bagaimana cara Mewujudkan Good Governance ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sistem Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan ‘negara persatuan’ dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali.19 Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga Negara karena kewargaanya (civility). Pluralitas budaya, nilai, dan struktur masyarakatnya dalam bingkai negara kesatuan juga diakui sebagai bagian penting corak kemajemukan bangsa sebagai sesuatu yang harus tetap dipertahankan. Sedemikian pentingnya kemajemukan tersebut, hingga ditegaskan dalam pasal 37 ayat (5) UUD’45 Amandemen yang menyatakan bahwa, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Hal ini menandakan bahwa sampai kapan pun bentuk negara Republik Indonesia akan tetap sebagai negara kesatuan bagaimanapun sistem pemerintahan dan parlemen yang dianut.
Dengan demikian, selain fungsi dan kedudukan sebagaimana dijelaskan di atas, DPD juga sebenarnya mempunyai fungsi yang sangat strategis yaitu sebagai penjaga sistem negara kesatuan. Sebagai representasi dari wilyah propinsi secara langsung DPD diharapkan akan lebih memperkuat integrasi nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari daerah-daerah. Apabila fungsi ini dimaksimalkan, maka dapat dipastikan peran dan kedudukan DPD dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya.
Selain konsep negara kesatuan yang mendasari keberadaan penting DPD, salah satu alasan lain adalah diterapkannya kebijakan nasional yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-luasnya.20 Trend tersebut sebenarnya bukan hanya didasarkan kepada kondisi internal ketatanegaraan Indonesia yang ingin beranjak dari rejim dan sistem otoriter jaman orde baru, tetapi lebih dari itu, yaitu membawa pemerintah kian dekat dengan rakyat.
Tuntutan kondisi eksternal yang menghendaki perbaikan sistem dan kinerja pemerintah daerah selama ini mendorong keinginan untuk dapat bersaing dengan negara-negara sedang berkembang lainnya. Kondisi ini sebenarnya telah menempatkan DPD sebagai lembaga negara yang sangat mampu membantu daerah mewujudkan perubahan dan adaptasi tersebut dengan membawa kepentingan dan kebutuhan daerah (agenda setting) ke tingkat nasional.
Peran strategis tersebut dapat dilakukan mulai dari tahap pemantauan kebutuhan dan permasalahan yang ada di daerah masing-masing perwakilan. Dengan kewenangan yang dimilikinya untuk mengusulkan RUU yang terkait dengan otonomi daerah, DPD dapat membuka ’jalan’ bagi daerah untuk membagi permasalahan dan kebutuhannya kepada pemerintah pusat dan DPR. Memang fungsi dan kewenangan tersebut cukup terbatas, mengingat ruang lingkup kebutuhan dan permasalahan rakyat sebenarnya berada di level pemerintah daerah, maka DPD membutuhkan kewenangan yang lebih dari sekedar ’pengusul’ saja.
Dalam lingkup pengawasan khusus juga, peran dan fungsi DPD bias dimaksimalkan. Sebagaimana dituliskan dalam UUD’45, bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dengan demikian bisa dipahami, bahwa sebenarnya DPD mempunyai tugas dan fungsi yang cukup besar dan signifikan dalam mendorong perubahan kepada daerah yang diwakilinya. Ruang lingkup tugas yang dapat dilakukan antara lain, melakukan berbagai kajian, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan otonomi daerah selama ini. Sehingga isu-isu yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya seputar pemekaran daerah, ketidaksinkronan antara peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta hambatan perkembangan daerah terkait dengan kuatnya intervensi politik kepala daerah terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan isu-isu perbaikan dan perubahan yang signifikan.
Apabila mengikuti pendapat Harold J. Laski dalam Hendarmin Ranadireksa, yang menyatakan bahwa,”… Badan itu (Parlemen, penulis) harus demikian besarnya, sehingga anggotanya betul-betul dapat selalu mengadakan hubungan dengan rakyat, dan demikian kecilnya, sehingga betul-betul masih dapat diadakan pertukaran pikiran … (maka, penulis) … Badan perwakilan rakyat harus dapat memeluk tanggung jawab untk satu program yang luas dan anggotaanggotanya harus mempunyai cukup waktu untuk mengadakan penyelidikan yang sedalam-dalamnya tentang program itu … badan perwakilan itu tidak putus hubungannya dengan rakyat …”maka sebenarnya, DPD dapat melakukan hal yang sama sebagai lembaga perwakilan rakyat meskipun bukan merupakan lembaga legislatif yang sebenarnya.
Hal ini juga serupa dengan yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa, fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar inspirasi atau ide. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.
Beranjak dari konsepsi tersebut, maka kedudukan dan peran DPD dalam sistem kelembagaan legislatif Indonesia merupakan elemen yang sangat penting. Keterlibatan DPD dalam sistem parlemen Indonesia telah mengubah wajah hubungan dan struktur kelembagaan legislatif kita, dan bahkan mungkin memperkenalkan konsep ketatanegaraan baru. Namun yang lebih penting dari itu adalah efektifitas dan keterlibatan penuh DPD dalam mengusung kepentingan daerah ke arah yang lebih baik dengan tetap dalam koridor sistem Negara kesatuan.
B. Hubungan Kelembagan DPR, DPD dan MPR
Pembentukan DPD tentu saja menghadirkan beberapa macam pandangan akan sistem ketatanegaraan Indonesia. Pendapat pertama menyatakan bahwa sistem parlemen Indonesia sudah berubah dari sistem parlemen tunggal (unikameral) menjadi sistem parlemen dua kamar (bikameral). Pendapat kedua berpendapat bahwa sebenarnya dengan kehadiran DPD sebagai kamar kedua di parlemen tetap tidak mengubah sistem parlemen Indonesia yang bersifat unikameral sebab pada dasarnya DPD bukan merupakan lembaga legislatfi sepenuhnya dan menjadi satu dengan DPR dalam bingkai kelembagaan MPR.
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa, Indonesia malah telah menganut sistem parlemen tiga kamar (trikameral), karena kedudukan MPR yang tetap dipertahankan sebagai bagian dari sistem parlemen Indonesia dengan tetap mempunyai Sekretariat Jenderal sendiri.
Secara historis, tujuan pembentukan parlemen bikameral memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang bertujuan untuk melindungi formula federasi itu sendiri. Dalam sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama digunakannya sistem bikameral ini, yaitu:
(a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif, dan
(b) keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar berjalan lebih efisien dan lancar melalui apa yang disebut ’revising chamber’.
Oleh karena itu, apabila melihat konsep di atas, maka perbedaan kedua kamar parlemen Indonesia (DPR dan DPD) dapat ditentukan, salah satunya melalui pembagian kewenangan di antara keduanya dalam menjalankan tugas-tugas parlemen. Secara teori, lembaga legislatif mempunyai tiga jenis fungsi yaitu fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (kontrol), dan fungsi perwakilan (representasi). Dalam fungsi perwakilan, terdapat tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi, yaitu:
1.Sistem perwakilan politik (political representation);
2.Sistem perwakilan teritorial (territorial representation atau regional representation);
3.Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik, sistem perwakilan teritorial menghailkan wakil-wakil daerah, sedangkan sistem perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional. DPD merupakan perwujudan sistem perwakilan teritorial dan DPR sebagai perwakilan politik. Dianutnya ketiga sistem perwakilan di atas menentukan bentuk dan struktur pelembagaan sistem perwakilan tersebut di setiap negara. Pilihan system perwakilan itu selalu tercermin dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut suatu negara. Melihat ketiga fungsi tersebut, memang dapat dinyatakan bahwa kedudukan DPD bukanlah lembaga legislatif sepenuhnya sebab DPD belum mempunyai fungsi pengaturan (legislasi). Terlepas dari pandangan tersebut setidaknya dapat disimpulkan bahwa sistem parlemen Indonesia sudah sangat berbeda dibandingkan dengan format lama pada UUD’45 sebelum amandemen.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tugas dan fungsi DPD berkisar pada pengawasan dan pengusulan realisasi hubungan pusat dan daerah berserta kepentingan yang ada di dalamnya ke dalam produk perundang-undangan. Ruang lingkup tugas dan fungsi tersebut berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 22D UUD’45 Amandemen.
Secara lebih rinci, UUD’45 mengatur kewenangan DPD sebagai berikut:
(1)DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)Dewan Perwakilan Daerah (DPD):
- ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta - memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan
pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU yang berkaitan dengan
agama.
(3)DPD dapat melakukan pengawasan atas:
- pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; serta - menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti.
Dengan demikian, harus dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislatif dan bidang pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanya menunjang tugas konstitutional DPR.15 Atau Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
Kondisi di atas dapat dilihat dalam pasal 42 ayat (3) dan 43 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 42 ayat (3) yang menyatakan bahwa, pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah. Ditambah lagi dalam pasal 43 bahwa, DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah, namun hanya sampai pada awal pembicaraan tingkat I di DPR, dan itu pun hanya dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.
1.1 .Mewujudkan Good Governance
Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara umum, baik berupa organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu sistem dan struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan mekanisme hubungan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu pada, umumnya, lima prinsip yang universal yaitu: responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency. Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat berikut ini:
- Ø Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku; - Ø Accountability: kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif; - Ø Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku; - Ø Independency: pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentingan
dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku; - Ø Transparency: keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Kelima prinsip tersebut bukanlah harga mati atau one size fits all, artinya dalam menerapkan dan menegakkan good governance kelima prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing institusi yang akan menjalankannya. Disamping itu, apabila menilik berbagai code of conduct ataupun best practice dari berbagai institusi di berbagai negara, maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu dapat ditemukan karena sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu diperhatikan pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary in nature, artinya berkembang sesuai kebutuhan dan dinamika masyarakat yang menerapkan dan menegakkannya. Juga, praktik good governance di berbagai institusi di beberapa negara mengajarkan bahwa good governance is about time as well, artinya penerapan dan penegakan good governance tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspel mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan menegakkan good governance.
1.2 Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan. 1Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:
- Ø Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah;
- Ø Dasar perumusan kebijakan publik di daerah;
- Ø Sebagai kontrak sosial di daerah;
- Ø Pendukung Pembentukan Perangkat Daerah dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Disamping itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di daerah. Artinya, antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty. Dengan demikian, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi.
Dalam praktik dan realita saat ini, proyeksi good public governance pada fungsi legislasi saat ini masih membutuhkan banyak penataan dan transformasi ke arah yang lebih baik. Peningkatan performa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan:
- Ø Peningkatan pemahaman tentang perencanaan dalam fungsi legislasi;
- Ø Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders;
- Ø Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA;
- Ø Ditingkatkannya kemmapuan analisis (kebijakan publik & hukum) dalam proses
penyusunan RAPERDA.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan keluarnya, agar dapat melaksanakan tugas, wewenang, dan hak-haknya secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini oleh karena sangat tergantung dari tingkat kemampuan anggota DPRD, maka salah satu upaya yang dilakukan dapat diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. Buah dari peningkatan kualitas dapat diukur dari seberapa besar peran DPRD dari sisi kemitra sejajaran dengan lembaga eksekutif dalam menyusun anggaran, menyusun dan menetapkan berbagai Peraturan Daerah, serta dari sisi kontrol adalah sejauhmana DPRD telah melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Namun yang juga tidak kalah pentingnya, optimalisasi peran DPRD ini alangkah lebih baik jika dibarengi dengan peningkatan pemehaman mengenai “etika politik” bagi anggota DPRD, agar pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan dapat berlangsung secara etis dan proporsional. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai etika politik, setiap anggota DPRD tentu akan mampu menempatkan dirinya secara proporsional, baik dalam berbicara maupun bersikap atau bertindak, serta tidak melupakan posisinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.
Sebagai salah satu contoh adalah tidak etis jika dalam situasi krisis yang multidimensional ini, anggota DPRD lebih mementingkan diri dan golongannya, ketimbang memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya. Isue “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah dan derasnya arus demontrasi yang menyoroti perjuangan anggota DPRD dalam menaikkan gaji dan kesejahteraannya, harus ditangkap sebagai pengalaman berharga untuk perbaikan di masa-masa mendatang.
- Saran
Kita tentu berharap bahwa yang terjadi adalah DPRD benar-benar mampu berperanan dalam arti mampu menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal ini dimungkinkan jika setiap anggota DPRD bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan anggaran, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (makalah), 2006.
Indra Perwira, Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD, KPK Jakarta, 2006.
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.
Materi Lokakarya Peningkatan Peran Anggota DPRD, diselenggarakan oleh KPK, Jakarta, 7-8 Juni 2006.
Yusuf Anwar, Good Governance dalam Rangka Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD, KPK, Jakarta 2006.
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Zoelva, Hamdan, Artikel: Paradigma Baru Ketatangeraan Pasca Perubahan UUD 1945, Sekretariat Negara RI, 2007.