MAKALAH REFERAT MALARIA

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [0.99 MB]

MAKALAH REFERAT MALARIA

Pembimbing: dr. Pratiwi Andayani, Sp.A
Alfii Nur Harahap
105103003389
KEPANITERAAN KLINIK RSUP FATMAWATI
STASE ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA 2010
3
A. Definisi
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan pembesaran limpa, sedangkan menurut ahli lain malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, splenomegali yang dapat berlangsung akut ataupun kronik 1,2,3..
B. Epidemiologi
Malaria ditemukan di daerah-daerah mulai 60o utara sampai dengan 32o selatan; dari daerah dengan ketinggian 2.666 m (Bolivia), sampai dengan daerah yang letaknya 433 m di bawah permukaan laut (Dead sea).4
Daerah yang sejak semula bebas malaria adalah daerah Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii dan Selandia Baru). Di daerah-daerah tersebut, daur hidup parasit malaria tidak dapat berlangsung karena tidak adanya vektor yang sesuai.4
4
(Current Malaria Situation in Indonesia & ACTMalaria Activities. 2008. Directorate of Vector Borne Disease Control Ministry of Health Indonesia)
Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas pada semua pulau dengan derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria di suatu daerah dapat ditemukan secara autokton, impor, induksi, introduksi atau reintroduksi.4
Di daerah yang autokton, siklus hidup malaria dapat berlangsung karena adanya manusia yang rentan (suspeptibel), nyamuk yang dapat menjadi vector dan parasitnya. Keadaan malaria di daerah endemic tidak sama. Derajat endemisitas dapat diukur dengan berbagai cara seperti angka limpa (spleen rate), angka parasit (parasit rate), yang disebut malariometri.4
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan gigitan nyamuk.5,6
Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terinfeksi malaria adalah 5,7:
1. Ras atau suku bangsa
Prevalensi Hemoglobin S (HbS) pada penduduk Afrika cukup tinggi sehingga lebih tahan terhadap infeksi P.falciparum karena HbS menghambat perkembangbiakan P.falciparum.
5
2. Kurangnya enzim tertentu.
Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD) memberikan perlindungan terhadap infeksi P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada wanita.
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya.
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menurunkan produktivitas kerja.9
Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang kesemuanya ditujukàn untuk memutus mata rantai penularan malaria.9
Sejak tahun 1973 ditemukan pertamakali adanya kasus resistensi P. falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur Sejak itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas Tahun 1990, dilaporkan telah terjadi resistensi parasit P. falciparum terhadap klorokuin dan seluruh provinsi di Indonesia selain itu, dilaporkan juga adanya kasus resistensi plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) dibeberapa tempat di Indonesia Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria Oleh sebab itu, upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut (multiple drugs resistance), maka pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap P. falciparum dengan terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy). 9
C. Etiologi
Malaria disebabkan parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk dalam phyllum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo Eucoccidides, subordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium.5
Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya.7
P. vivax menyebabkan malaria tertiana, P.malaria merupakan penyebab malaria kuartana. P.ovale menyebabkan malaria ovale, sedangkan P.falciparum menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini paling berbahaya karena malaria yang ditimbulkan dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh 3,5.
6
D. Siklus Hidup Plasmodium Malaria10
7
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles betina.
Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).3,5
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8 sampai 30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.3,5
Setelah 2 sampai 3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.3,5
Siklus pada nyamuk anopheles betina
Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.3,5
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies Plasmodium. Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.3,5
8
Tabel 1. Masa inkubasi penyakit malaria 3.
Plasmodium
Masa inkubasi (hari)
P. falciparum
9 – 14 (12)
P.vivax
12 – 17 (15)
P.ovale
16 – 18 (17)
P. malariae
18 – 40 (28)
E. Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan menyebabkan anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia, hal ini menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.11
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag.11
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida).12
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite Suirgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
9
Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF α dan Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag. 6,12
Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. 6,12
Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang
10
bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit. Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. 6,12
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF α), interleukin 1 (IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF γ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNFα yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFα, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat. 6,12
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah mulitifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan anoksia jaringan. Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black water fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.13
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin yang ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa. 13
3. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium dan membentuk gumpalan yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. 13
11
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita malaria sangat beragam, dari yang tanpa gejala sampai dengan yang berat. Di daeran endemi malria, manifestasi klinis tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kehatan bahkan penderita dapat mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria. Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut, antara lain:
1. Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas tempat tinggalnya.
2. Beratnya infeksi (kepadatan parasit).
3. Jenis dan strain Plasmodium.
4. Status gizi.
5. Sudah minum obat anti malaria.
6. Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain).
7. Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis, dan lain-lain)
Biasanya penderita yang tinggal atau berasal dari daerah endemis telah mempunyai kekebalan terhadap malaria sehingga manifestasi klinisnya lebih ringan dibandingkan penderita yang tidak kebal. Oleh sebab itu malaria berat sering didapatkan pada penderita tidak kebal bahkan dapat berakibat fatal. Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi malaria berat lebih besar. Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita malaria berat dengan kepadatan parasit rendah dan sebaliknya.14,15
Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak faktor. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap klorokuin maupun multidrug.16,17 Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang lebih sulit dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria pada anak kurang gizi sering berkembang menjadi berat.
Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat anti-malaria atau minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anak-anak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi ginjal dan hipoglikemia.18
Infeksi malaria lebih sulit terjadi pada penderita dengan HbF, defisiensi G6PD, dan ovalositosis.
Manifestasi umum malaria:
1. Masa inkubasi
Biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk P.falciparum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes.19
12
2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan P.falciparum dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak. 19
3. Gejala-gejala umum
Gejala klasik yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxysm) secara berurutan:
a. Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.6,19,20
b. Periode panas
Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat. 6,19,20
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa. 6,19,20
Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam, lebih sering terjadi pada infeksi P.vivax. Pada infeksi P.falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falsiparum, 36 jam pada P.vivax dan ovale, 60 jam pada P.malariae.6,19
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil 5,12. Beberapa mekanisme terjadinya anemia adalah Pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoeisis yang sementar, hemolisis karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit.
Pembesaran limpa (splenomegali) akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan, limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.6,19
13
Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria, manifestasi klinis dikelompokkan menjadi:
(1)Malaria ringan atau tanpa komplikasi
Malaria ini umumnya disertai gejala dan tanda klinis yang ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil dan mual serta tanpa kelainan fungsi organ.9Kadang-kadang dapat disertai dengan sedikit penurunan trombosit dan sedikit peningkatan bilirubin serum.Gejala-gejala klinis ini juga sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain.21,22Gejala dan tanda klinis lain yang juga dapat ditemukan adalah pusing, pucat, tak nafsu makan, muntah, sakit perut, diare, lemah, myalgia, hepatomegali dan splenomegali.23
(2) Malaria berat atau dengan komplikasi
Malaria berat adalah malaria falsiparum yang cenderung menjadi fatal atau malaria dengan komplikasi dimana kemungkinan penyakit lain sudah dapat disingkirkan.11Lebih kurang 10% dari penderita malaria falsiparum adalah malaria berat dengan angka kematian 18,8-40,0%.15
Patofisiologi malaria berat sangat kompleks dan tergantung pada sistim organ yang terkena. Dikenal beberapa hipotesis yang sedang berkembang yaitu :
a) Cytoadherence
Yang dimaksud dengan cytoadherence adalah adanya perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan sel enditel pembuluh kapiler (endothelial cytoadheence). Di samping itu juga terjadi perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan eritrosit normal, dan dikenal dengan rosette form.24,25Perlekatan tersebut mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah ke pembuluh darah kapiler akhir karena terbentuknya sloughing, sequestration dan roset. Proses tersebut menyebabkan terjadinya edema dan hipoksia karena adanya kebocoran kapiler dan aliran darah berkurang. Sequestration dapat terjadi pada semua penderita malaria, sedangkan pembentukan roset hanya pada penderita dengan kerusakan organ. Oleh sebab itu manifestasi klinis malaria berat lebih berkaitan dengan van pembentukan roset dari pada sequestration.
b) Reaksi berlebihan dari sistim kekebalan
Malaria berat juga dapat terjadi karena sistim kekebalan penderita bereaksi berlebihan dan sebagai perantara kerusakan sel (saraf, hati dan ginjal) melalui produk toksik dari sel kekebalan (makrofag) yaitu sitokin antara lain Tumor Necrosing Factor (TNF), Inter Leukin I (IL I), IL VI dan lain-lain. Pengeluaran TNF dirangsang oleh produk parasit yang dikeluarkan pada waktu eritrosit yang terinfeksi pecah. Kelainan tubuh yang diakibatkan oleh TNF adalah demam, peradangan, perubahan keadaan mental, trombositopenia, depresi fungsi sumsum tulang dan merangsang sel kebal untuk mengeluarkan produk tambahan. Salah satu produk toksik tambahan dari makrofag adalah nitrik oksid (NO) yang dirangsang pengeluarannya oleh TNF. NO adalah gas yang larut dengan bebas menembus sel membran sehingga dapat melewati blood-brain barrier. NO berfungsi sebagai neurotransmitter dan merupakan komponen yang berperan pada reaksi kekebalan terhadap parasit dalam sel, sehingga dapat membunuh sel hati yang terinfeksi malaria (stadium pre-eritrositik).26,27
14
G. Diagnosis Malaria28
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit Lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Iaboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
1. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal
2. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria
3. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria
4. Riwayat sakit malaria
5. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
6. Riwayat mendapat transfusi darah
Pemeriksaan fisik
1. Malaria tanpa komplikasi:
 Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C)
 Konjungtiva atau telapak tangan pucat
 Pembesaran limpa (splenomegali)
 Pembesaran hati (hepatomegali)
2. Malaria dengan komplikasi dapat ditemukan keadaan dibawah ini:
 Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat
 Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
 Kejang-kejang
 Panas sangat tinggi
 Mata atau tubuh kuning
Penderita tersangka malaria berat harus segera dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis secara mikroskopik dah penanganan lebih lanjut.
Diagnosis atas dasar pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/Iapangan/rumah sakit untuk menentukan:
1. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
2. Spesies dan stadium plasmodium
3. Kepadatan parasit
15
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.
 Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
16
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik Tes ini sangat bermanfaat
17
pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey tertentu.Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam freezer pendingin.
3. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
 Darah rutin
 Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, anaIisis gas darah
 EKG
 Foto toraks
 Analisis cairan serebrospinalis
 Biakan darah dan uji serologi
 Urinalisis.
H. Diagnosis Banding Malaria28
Manifestasi kilinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai berat.
1. Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut:
 Demam tifoid
 Demam dengue
 lnfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
 Leptospirosis ringan
 lnfeksi virus akut lainnya.
2. Malaria berat atau malaria dengan komplikasi dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut:
 Radang Otak (meningitis/ensefalitis)
 Stroke (gangguan serebrovaskuler)
 Tifoid ensefalopati
 Hepatitis
 Leptospirosis berat
 Glomerulonefritis akut atau kronik
 Sepsis
 Demam berdarah dengue atau Dengue Shock Syndrome:
I. Pengobatan28
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kilinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan.
18
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena
bersifat iritasi lambung, oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan
minum obat anti malaria.28
Resistensi P. falciparum terhadap obat malaria golongan 4-aminokuinolin (klorokuin
dan amodiakuin) untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1960-1961 di Kolumbia dan
Brazil. Kemudian secara berturut-turut di Asia Tenggara, Muangthai, Malaysia, Kamboja,
Laos, Vietnam, Filipina. Di Indonesia ditemukan di Kalimantan Timur (1974), Irian Jaya
(1976), Sumatera selatan (1978), Timor-timur (1981), Jepara (1981), dan Jawa Barat (1981).
Focus resistensi tidak mencakup seluruh daerah, parasit masih sensitive di beberapa tempat di
daerah tersebut.4
Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi.
1. Malaria Falsiparum
Lini pertama pengobatan malaria falsiparum adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini pertama = Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Setiap kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2 blister, yaitu blister amodiakuin terdiri
dari 12 tablet @ 200 mg = 153 mg amodiakuin basa, dan blister artesunat terdiri dari 12 tablet
@ 50 mg. Obat kombinasi diberikan per-oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian
sebagai berikut:
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb.
19
Primakuin tidak boleh diberikan kepada:
 lbu hamil
 Bayi < 1 tahun
 Penderita defisiensi G6-PD
Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi)
Lini kedua = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin
Kina tablet
Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10 mg/kgbb/kali selama 7(tujuh) hari.
Doksisiklin
Doksisiklin diberikan 2 kali per-hari selama 7 (tujuh) hari, dengan dosis orang dewasa adalah 4 mg/Kgbb/hari, sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kgbb/hari. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia Tetrasiklin
Tetrasiklin diberikan 4 kali perhari selama 7 (tujuh) hari, dengan dosis 4- 5 mg/kgbb/kali Seperti halnya doksisiklin, tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan umur di bawah. 8 tahun dan ibu hamil.
Primakuin
Pengobatan dengan primakuin diberikan seperti pada lini pertama.
20
*) Dosis diberikan kg/bb
**) 2×50 mg Doksisiklin
***) 2×100 mg Doksisiklin *) Dosis diberikan kg/bb
**) 4×250 mg Tatrasiklin
Untuk penderita malaria mix (P.falciparum + P.vivax) dapat diberikan pengobatan obat kombinasi peroral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut:
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb ditambah dengan primakuin 0,25 mg/ kgbb selama 14 hari.
Malaria mix = Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
21
2. Pengobatan malaria vivaks, malaria ovale, malaria malariae
a. Malaria vivaks dan ovale
Lini pertama pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini Pertama = Klorokuin + Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale.
Klorokuin
Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb.
Primakuin
Dosis Primakuin adalah 0.25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14 hari dan diberikan bersama klorokuin.Seperti pengobatan malaria falsiparum, primakuin tidak boleh diberikan kepada: ibu hamil, bayi 22
Pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin
Lini kedua : Kina + Primakuin
Primakuin
Dosis Primakuin adalah 0,25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya, primakuin tidak boleh diberikan kepada Ibu hamil, bayi < 1tahun, dan penderita defisiensi G6-PD. *) Dosis kina adalah 30mg/kgbb/hari yang diberikan 3 kali per hari. Pemberian kina pada anak usia di bawah 1 tahun harus dihitung berdasarkan berat badan. Dosis dan cara pemberian primakuin adalah sama dengan cara pemberian primakuin pada malaria vivaks terdahulu yaitu 0.25 mg/kgbb perhari selama 14 hari.
*) Dosis diberikan kg/bb
b. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis perimakuin ditingkatkan Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgbb/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan memakai tabel dosis berdasarkan golongan Umur penderita tabel III.2.3.
23
Khusus. untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dapat diketahui melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan lain-lain), maka pengobatan diberikan secara mingguan.
Klorokuin diberikan 1 kali per-minggu selama 8 sampai dengan 12 minggu, dengan dosis 10 mg basa/kgbb/kali Primakuin juga diberikan bersamaan dengan klorokuin setiap minggu dengan dosis 0,76 mg/kgbb/kali
c. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan dengan klorokuin 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita tablel III.2.4.
Catatan
24
Fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana diagnostik malaria dan belum tersedia obat kombinasi artesunat + amodiakuin, Penderita dengan infeksi Plasrnodium falciparurn diobati dengan sulfadoksinpirimetamin (SP) untuk membunuh parasit stadium aseksual.
Obat ini diberikan dengan dosi tunggal sulfadoksin 25 mg/kgbb atau berdasarkan dosis pirimetamin 1,25 mg/kgbb Primakuin juga diberikan untuk membunuh parasit stadium seksual dengan dosis tunggal 0,75 mg/kgbb Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti pada tabel III.3.1.
Pengobatan malaria falsiparum gagal atau alergi SP
Jika pengobatan dengan SP tidak efektif (gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul kembali) atau penderita mempunyai riwayat alergi terhadap SP atau golongan sulfa lainnya, penderita diberi regimen kina + doksisiklin/tetrasiklin + primakuin.
Pengobatan alterflatif = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin
Pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti tertera pada tabel III.3.2. dan tabel III.3.3 Dosis maksimal penderita dewasa yang dapatdiberikan untuk kina 9 tablet, dan primakuin 3 tablet. Selain pemberian dosis berdasarkan berat badan penderita, obat dapat diberikah berdasarkan golongan umur seperti tertera pada table III.3.2.
*) Dosis diberikan kg/bb
**) 2x 50mg Doksisiklin
***) 2×100 mg Doksisiklin
25
*) Dosis diberikan kg/bb
**) 4x 250 mg Tetrasiklin
Fasilitas pelayanan kesehatan tanpa sarana diagnostik malaria. Penderita dengan gejala klinis malaria dapat diobati sementara dengan regimen klorokuin dan primakuin. Pemberian klorokuin 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb. Primakuin diberikan bersamaan dengan klorokuin pada hari pertarna dengan dosis 0,75 mg/kgbb. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti pada tabel III.3.4.
Pengobatan Malaria Dengan Komplikasi
Definisi malaria berat/komplikasi adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi klinis dibawah ini (WHO,1997):
1. Malaria serebral (malaria otak)
2. Anemia berat (Hb 3. Gagal ginjal akut (urin3 mg%).
4. Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome.
5. Hipoglikemi: gula darah< 40 mg%.
26
6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia
9. Asidemia (pH:< 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria pada seorang dengan defisiensi G-6-PD).
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat:
1. Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) 2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik 3. Hiperparasitemia > 5 %.
4. lkterus (kadàr bilirubin darah > 3 mg%)
5. Hiperpireksia (temperatur rektal > 40° C pada orang dewasa, >41° C pada anak)
Pengobatan malaria berat ditujukan pada pasien yang datang dengan manifestasi klinis berat termasuk yang gagal dengan pengobatan lini pertama.
Apabila fasilitas tidak atau kurang memungkinkan, maka penderita dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi:
1. Tindakan umum
2. Pengobatan simptomatik
3. Pemberian obat anti malaria
4. Penanganan komplikasi
Pilihan utama : derivat artemisinin parenteral
 Artesunat Intravena atau intramuskular
 Artemeter Intramuskular
Pemberian obat anti malaria berat
Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di Rumah Sakit atau Puskesmas perawatan, sedangkan artemeter intramuskular direkomendasikan untuk di
27
lapangan atau Puskesmas tanpa fasilitas perawatan. Obat ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 yang menderita malaria berat.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 ml. Artesunat diberikan dengan loading dose secara bolus: 2,4 mg/kgbb per-iv selama ± 2 menit, dan diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama. Selanjutnya artesunat diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m.) dengan dosis yang sama.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria falsiparum tanpa komplikasi).
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak Artemeter diberikan dengan loading dose: 3,2mg/kgbb intramuskular Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria falsiparum tanpa komplikasi).
Obat alternatif malaria berat: Kina dihidroklorida parenteral
Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral, dan pada ibu hamil trimester pertama Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%, Satu ampulberisi 500 mg /2 ml.
Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil:
Loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCI 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnyá selama 4 jam ke-dua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis maintenance 10 mg/kgbb dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCI selama 4 jam Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9% Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti diatas sampai penderita dapat minum kina per-oral. Bila sudah sadar / dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis
28
10 mg/kgbb/kali, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).
Dosis anak-anak: Kina.HCI 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan : 6-8 mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 % sebanyak 5-10 cc/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Kina dihidrokiorida pada kasus pra-rujukan:
Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per-irifus, maka dapat diberikan kina dihidroklorida 10 mg/kgbb intramuskular dengan masing-masing 1/2 dosis pada paha depan kiri-kanan (jangan diberikan pada bokong) Untuk pemakaian intramuskular, kina diencerkan dengan 5-8 cc NaCI 0,9% untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Catatan
* Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, kanena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian
* Pada penderita dengan gagal ginjal, loading dose tidak diberikan dan dosis maintenance kina diturunkan 1/2 nya
* Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
* Dosis rnaksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
J. Kemoprofilaksis28
Kemoprofilaksis bertujuan untuk. mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian/tugas dalam jangka waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personaI protection seperti pemakaian kelambu, repellent, kawat kassa dan Iain-lain.
Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgbb selama tidak Iebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak umur < 8 tahun dan ibu hamil.
Kemoprofilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb setiap minggu. Obat tersebut diminum satu minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali. Dianjurkan tidak menggunakan klorokuin lebih dan 3-6 bulan.
29
30
TABEL PERBEDAAN-PERBEDAAN TIAP JENIS PLASMODIUM
Letak Perbedaan
P. Falciparum
P. Vivax
P. Ovale
P. Malariae
Distribusi geografik
Daerah tropik terutama: Afrika dan Asia Tenggara; di Indonesia tersebar di seluruh kepulauan
Subtropik, dingin (Rusia), tropik Afrika, tersebar di seluruh kepulauan Indonesia
Tropik Afrika bagian Barat; Pasifik Barat; di Indonesia: P.Owi Irian Jaya; P. Timor.
Tropik, subtropik
Masa inkubasi
9-14 hari
12-17 hari
16-18 hari
18-40 hari
Masa tunas intrinsik
12 hari
13-17 hari
13-17 hari
28-30 hari
Daur pra-eritrosit
5,5 hari
8 hari
9 hari
10-15 hari
Jumlah merozoit hati
40.000
10.000
15.000
15.000
Ukuran skizon hati
60 mikron
45 mikron
70 mikron
55 mikron
Daur eritrosit
48 jam
48 jam
50 jam
72 jam
Tipe demam
Tersiana
Tersiana
Tersiana
Quartana
Hipnozoit

+
+

Relaps/rekurens

+
+

Pigmen
Hitam
Kuning tengguli
Tengguli tua
Tengguli hitam
Eritrosit yg dihinggapi
Muda, tua, dan normosit
Retikulosit dan normosit
Retikulosit dan normosit muda
Tua
Pembesaran eritrosit

++
+

Titik-titik ertitrosit
Maurer
Schuffner
Schuffner (James)
Ziemann
Jumlah merozoit eritrosit
8-24
12-18
8-10
8
31
Trofozoit
Bentuk cincin
besarnya 1/6 eritrosit
Bentuk cincin
besarnya 1/3 eritosit
Bentuk
bulat/lonjong
besarnya 1/3
eritrosit, dengan
granul yg
terbentuk sgt dini
Bentuk melintang
seperti pita, besarnya
setengah eritrosit
Skizon
Tdpt 8-24 merozoit yg
mengisi 2/3 eritrosit
12-18 merozoit
mengisi seluruh
eritrosit di tengah
dan di pinggir
8-10 merozoit
terletak teratur di
tepi mengelilingi
granul pegmen
ditengahnya
8 merozoit yg tersusun
teratur seperti “bunga
daisy” atau “roset”
Gametosit
Bentuk khas seperti
bulan sabit/pisang
Bentuk bulat/lonjong
mengisi hampir
seluruh eritrosit
Bentuk bulat, inti
kecil, dan kompak
Bentuk bulat, tdpt
pigmen yg tersebar
merata di seluruh
sitoplasma
Prognosis Buruk, menyebabkan
komplikasi yang berat:
malaria cerebral, gagal
ginjal, edema paru.
Biasanya baik, tidak
menyebabkan
kematian
Penyakitnya
ringan dan dapat
sembuh sendiri
tanpa pengobatan
Tanpa pengobatan,
berlangsung sgt lama
dan relaps pernah 30-
50thn
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramdja M. Mekanisme Resistensi Plasmodium Falsiparum Terhadap Klorokuin. MEDIKA. No.XI, Tahun ke XXIII. Jakarta, 1997;Hal.873.
2. Kartono M. Nyamuk Anopheles:Vektor penyakit Malaria. MEDIKA. No.XX, Tahun XXIX. Jakarta, 2003:Hal.615.
3. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia, Jakarta, 2006;Hal:1-12,15-23,67-68.
4. Husada, Srisasi Ganda. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. FKUI. 2006. Hal. 171-209
5. Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.38-52.
6. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2006: hal.1754-1760.
7. Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.1-15.
8. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Keputusan Menteri Kesehatan. No:041/MENKES/SK/I2007. 2007
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria : Epidemiologi I. Direktorat Jenderal PPM & PLP, 1991.
10. Taylor TE, Strickland GT. Malaria. In: Strickland GT (ed). Hunters. Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease, 8th ed. WB
11. Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.249-260.
12. Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesa Malaria Berat. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.118-126.
13. Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W 9editor). Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2000, Hal.171-97.
14. Tjitra E. Hubungan beratnya penyakit malaria falsiparum dengan kepadatan parasit pada penderita dewasa. Cermin Dunia Kedokt 1989; 55: 19¬23.
15. Hadisaputro S, Ardana K, Djamil A. Pola klinik dan pengelolaan malaria berat di RSU RA Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Kumpulan Makalah Simposium Malaria, FKUI, Jakarta, 1991.
16. Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC. FKUI, Jakarta, 28 Nopember, 1991.
17. Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk. Penelitian obat antimalaria. Buletin Penelitian Kesehatan 1992; 19 (4): 15¬23.
18. Tjitra E. Malaria pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokt 1991; 68: 48¬52.
33
19. Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;Hal.151-55.
20. Mansyor A dkk.Malaria. Dalam: Kapita SelektaKedokteran, Edisi ke-3, Jilid I, Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2001, Hal.409-416.
21. Alwi Datau E, Karema KAMC, Pangalila PEA dkk. Perbandingan pengobatan malaria dengan sulfadoksin-pyrimethamine dan chloroquine dan beberapa aspek klinik malaria di Rumah sakit Umum Manado. KOPAPDI III, Bandung, 1975.
22. Amirudin AR. Malaria di Puskesmas Dili Timor Timur. Simposium Penyakit Infeksi, Ujung Pandang, 1979.
23. Tjitra E, Suwarni, Harun S dkk. Malaria di Kepulauan Seribu. Cermin Dunia Kedokteran 1991; 70: 31¬34.
24. David P, Handunnetti SM, Leech JH dkk. Rosetting : a new cythoadherence property of malaria-infected erythrocytes. Am J Trop Med Hyg 1988; 38 (2): 289¬297.
25. Udomsangpetch R, Wahlin B, Carlson J dkk. Plasmodium falciparum infected erythrocytes from spontaneous erythrocyte rosettes. J Experiment Med 1989; 169: 1835-1840
26. Rockett KA, Awbum MA, Aggarwal BB dkk. In vivo indication of nitrite and nitrate by Tumor Necrosis Factor, Lymphotoxin, and Interleukin-1 : Possible roles in malaria. Infection and Immunity 1992; 60 (9): 3725-3730.
27. Clark IA, Rockett KA, Cowden WB. Possible central role of nitric oxide in conditions clinically similar to cerebral malaria. Lancet 1992; 340: 894¬-896
28. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Keputusan Menteri Kesehatan. No:041/MENKES/SK/I2007. 2007
34