MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA “IMPOR BERAS DI NEGARA AGRARIS”

PEREKONOMIAN INDONESIA “IMPOR BERAS DI NEGARA AGRARIS”

Disusun Oleh Kelompok 2:
HUSNUL KHOTIMAH (1402164845)
SITI RAIHANI (1402168634)

UNIVERSITAS NEGERI RIAU
AKUTANSI
2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Impor Beras di Negara Agraris (IndonesiaI” ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk melengkapi nilai pada mata kuliah Perekonomian Indonesia. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun penulis butuhkan demi kesempurnaan makalah yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Pekanbaru, 13 April 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN.
A. Ketergantungan Impor Bahan Pangan
B. Penyebab Negara Indonesia Impor Bahan Pangan
C. Upaya untuk menanggulangi impor Bahan Pangan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.
Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari negara lain.
Selain beras, bahan pokok lainnya seperti kedelai, tepung, cabai, bawang merah, singkong, daging sapi dan hortikultura pun harus diimpor dari luar negeri. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Indonesia sebagai negara agraris diharapkan mampu mencukupi kebutuhan pangan warga negaranya dari produksi dalam negeri. Kenyataanya, Indonesia masih mengimpor pangan dari luar negeri dan di pedesaan masih banyak penduduk yang mengalami kelaparan. Jadi, pernyataan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris patut dipertanyakan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Mengapa Indonesia mengimpor bahan pangan dari luar negeri?
2. Faktor apa yang menyebabkan Indonesia mengimpor bahan pangan dari luar negeri?
3. Bagaimana upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ketergantungan Impor Bahan Pangan
Ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap negara lain amatlah tinggi. Pada tahun 2012, volume impor beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu dan daging mencapai 17,6 juta ton senilai US$ 9,4 miliar. Defisit pangan tahun 2012 sejumlah 17,35 juta ton dengan nilai US$ 9,24 miliar karena ekspor hanya 250 ribu ton dengan nilai US$ 150 juta.
Pada tahun 2012, data Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan, impor beras Indonesia dari sejumlah negara mencapai 2,75 juta ton dengan nilai US$ 1,5 miliar atau 5% dari total kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, volume impor kedelai tercatat 60 persen dari total konsumsi dalam negeri sekitar 3,1 juta ton dengan nilai US$ 2,5 miliar, jagung 11 persen dari konsumsi 18,8 juta ton dengan nilai US$ 1,02 miliar, gandum 100 persen dengan nilai US$ 1,3 miliar, gula putih 18 persen dari konsumsi dengan nilai US$ 1,5 miliar, daging sapi 30 persen dari konsumsi dengan nilai US$ 331 juta, dan susu 70 persen dari konsumsi. Sedangkan angka impor bahan pangan pada tahun 2013 beras 1,8 juta ton, jagung 1,7 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, gandum 6,3 juta ton, daging sapi 40.338 ton, tepung terigu 479,7 ribu ton, gula pasir 91,1 ribu ton, daging ayam 6.797 kg, dan garam 2,2 juta ton.

B. Penyebab Negara Indonesia Impor Bahan Pangan
Indonesia memiliki potensi yang luar biasa di bidang pertanian. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan sehingga harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Impor bahan ini disebabkan oleh berbagai hal diantaranya :
1. Jumlah penduduk yang sangat besar
Salah satu penyebab utama Indonesia mengimpor bahan pangan adalah jumlah penduduknya yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada tahun 2012 penduduk Indonesia sejumlah 230-237 juta jiwa. Hal ini membuat kebutuhan pangan di Indonesia menjadi semakin besar. Akibatnya, produksi pangan di dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakatnya sehingga Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri.

2. Ketergantungan mengkonsumsi beras
Seluruh masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Dengan besarnya jumlah penduduk di Indonesia maka kebutuhan beras pun menjadi sangat besar. Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras di Indonesia menjadi tidak terpenuhi. Walaupun produksi beras Indonesia tinggi tetapi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari negara penghasil pangan lain seperti Thailand.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.

3. Perubahan Iklim
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.

4. Luas lahan pertanian yang semakin sempit
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1995 sampai tahun 2011 terjadi konversi lahan sawah di Pulau Jawa seluas 15 Juta Ha dan 5,7 juta Ha di luar Pulau Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.

5. Mahalnya biaya transportasi
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.

6. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat
Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara- negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan- perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goring.

C. Upaya untuk menanggulangi impor bahan pangan
Untuk menanggulangi masalah impor bahan pangan yang dihadapi Indonesia, hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Peningkatan kesejahteraan petani desa
Sebagai negara pertanian, masih banyak potensi-potensi Indonesia yang belum tergarap. Masih banyak sumber daya alam (SDA) Indonesia yang belum dioptimalkan melalui penelitian. Masalahnya, fakta di lapangan bahwa sebagian besar petani Indonesia masih hidup di daerah pedesaan. Dengan mengandalkan kemampuan yang diperoleh secara turun-temurun, lahan pertanian mereka diolah secara manual. Efeknya, hasil- hasil pertanian mereka tersebut tidak mampu bersaing dengan produk sentuhan teknologi tinggi. Karena kebutuhan hidup yang terus mendesak, mereka pun merelakan hasil pertanian mereka dijual di bawah harga yang layak. Inilah indikator utama penyebab minimnya kesejahteraan para petani Indonesia.
Diperlukan upaya yang lebih fokus dan intens guna meningkatkan kesejahteraan para petani ini. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak dapat menjangkau akses terhadap sumber daya usaha pertanian. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini adalah:
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang secara intensif perlu dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten
2. Penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan perdesaan untuk meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan
3. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan usaha pertanian
4. Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia pertanian (petani, nelayan, penyuluh dan aparat pembina);
5. Perlindungan terhadap petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan perdagangan yang tidak adil.
Adapun strategi-strategi penting yang harus diterapkan agar masyarakat Indonesia, khususnya para petani desa agar pemanfaatan lahan mereka optimal yaitu :
1) Strategi pertama adalah keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.
2) Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan

2. Peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi pembangunan nasional
Sektor pertanian mengkontribusikan terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4 bentuk, yaitu :
1. Kontribusi produk. Contohnya : penyediaan makanan untuk PDDK, penyediaan bahan baku untuk industri manufaktur seperti industri tekstil, barang dari kulit, makanan dan minuman.
2. Kontribusi pasar. Contohnya :Pembentukan pasar domestik untuk barang industry dan konsumsi.
3. Kontribusi faktor produksi menyebabkan penurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka terjadi transfer surplus modal dari sektor pertanian ke sektor lain
4. Kontribusi Devisa. Pertanian sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI) melalui ekspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.
Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.
Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini.

3. Program peningkatan ketahanan pangan
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan nasional. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi :
1) Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian.
2) Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan kapasitas kelembagaan pangan dan peningkatan infrastruktur perdesaan yang mendukung sistem distribusi pangan, untuk menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan.
3) Peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil, melalui optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian untuk pasca panen dan pengolahan hasil, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian untuk menurunkan kehilangan hasil (looses).
4) Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah dan sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola pangan dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif/pangan local.
5) Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, melalui peningkatan bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan kemanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan.

4. Mewujudkan kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (BKP Kementerian Pertanian, 2013).
Kedaulatan pangan ini memberikan proteksi dari pengaruh negara lain dalam menentukan kebijakan pemenuhan pangan di Indonesia. Dengan adanya proteksi ini, masyarakat akan terpacu usahanya dalam memproduksi pangan dengan mengoptimalkan petani sebagai produsen pangan. Dengan begitu, maka budaya ketergantungan pangan terhadap negara lain akan terhindari.

5. Program pengembangan agribinis
Agribisnis terdiri dari tiga sistem: sektor input pertanian, sektor produksi, dan sektor pemrosesan pabrikasi. Untuk memvisualisasikan ketiga sektor tersebut sebagai bagian dari sistem yang saling berhubungan dimana kesuksesan tiap-tiap bagian tergantung pada bagian yang lain. Salah satu bentuk inovasi di bidang agribisnis adalah terobosan- terobosan bioteknologi. Dalam pengertian sempit, bioteknologi didefinisikan sebagai teknologi rekayasa genetika pada level molekuler, khususnya DNA. Sementara dalam pengertian luas, bioteknologi merupakan teknologi yang memanfaatkan makhluk hidup sebagai salah satu komponen utamanya (Muladno, 2002).
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis yang mencakup usaha di bidang agribisnis hulu, on farm, hilir dan usaha jasa pendukungnya. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini meliputi:
1) Pengembangan diversifikasi usahatani, melalui pengembangan usahatani dengan komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk meningkatkan pendapatan dan nilai tambah.
2) Peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran dan pengembangan agroindustri di perdesaan.
3) Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan perdesaan, melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usahatani, serta infrastruktur perdesaan lainnya.
4) Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan.
5) Pengurangan hambatan perdagangan antar wilayah dan perlindungan dari sistem perdagangan dunia yang tidak adil.
6) Peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat dan spesifik lokasi yang ramah lingkungan.
7) Pengembangan lembaga keuangan perdesaan dan sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian, antara lain melalui pengembangan dan penguatan lembaga keuangan mikro/perdesaan, insentif permodalan dan pengembangan pola-pola pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.

6. Adopsi strategi pembangunan pertanian dari negara lain
Setidaknya ada tiga pilar yang perlu dibangun guna mendukung sektor pertanian memiliki dampak yang positif terhadap kaum miskin sebagaimana yang diungkapkan oleh Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” yakni :
1) Pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan. Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an, perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaninya.
2) Perluasan akses pendidikan. Pendidikan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan – perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethipia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik.
3) Ketiga, penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengimporan bahan pangan yang merupakan salah satu implementasi dari keterpurukan sektor pertanian yang dialami Indonesia dewasa ini adalah efek dari tidak adanya perhatian intens terhadap para petani.
2. Penyebab Indonesia mengimpor bahan pangan dari luar negeri adalah besarnya jumlah penduduk, ketergantungan konsumsi beras, perubahan iklim, luas lahan pertanian yang semakin sempit dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
3. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah pengimporan bahan pangan yang dilakukan oleh Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan petani desa, peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi pembangunan nasional, program peningkatan ketahanan pangan, mewujudkan kedaulatan pangan, program pengembangan agribinis dan adopsi strategi pembangunan pertanian dari negara lain

B. Saran
Merupakan kewajiban tiap masyarakat untuk saling bahu-membahu membawa kembali nama baik nusantara sebagai salah satu negara agraris yang patut diperhitungkan. Implementasikan perkembangan IPTEK yang telah mengglobal ini dengan tidak mengabaikan kesejahteraan para petani tradisional serta cintai negeri sendiri dengan mengonsumsi produk buatan dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompasiana.com/kanopi_feui/kebijakan-impor-beras-di-indonesia_55097936a333116f702e3a38 diakses tanggal 10 April pkl 20.11.

http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-agraris/. diakses tanggal 10 April pkl 20.20.

http://www.kompasiana.com/ferrynang/indonesia-negara-penghasil-pangan-yang-masih-impor-bahan-pangan_550a1d6e8133117f1cb1e72d diakses tanggal 10 April pkl 20.22.

https://ganjarpamungkass.wordpress.com/pertanian/swasembada-pertanian diakses tanggal 10 April pkl 20.22.