Makalah Ilmu Budaya Dasar “Kondisi Dan Penegakan Hak Asasi Manusia Secara Utuh Di Indonesia”

Makalah Ilmu Budaya Dasar “Kondisi Dan Penegakan Hak Asasi Manusia Secara Utuh Di Indonesia” | Pada kesempatan ini, penulis ingin membahas mengenai HAM secara kondisi dan penegakannya di Indonesia. Mungkin tidak cukup hanya tulisan yang mampu memberikan kontribusi besar bagi penegakan HAM di Indonesia, namun penulis hanya ingin suatu hal yang kecil mampu memicu hal-hal kecil lainnya untuk menjadi besar dan akhirnya cita-cita kita sebagai mahluk yang mempunyai kesadaran hak-hak asasi manusia yang bertanggung jawab terpenuhi dengan tuntas, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab[1]. Begitu miris ketika HAM di Indonesia tak kunjung membaik, ditandai dengan makin banyaknya kasus HAM yang tidak tertangani atau malah bebas hokum karena sudah terlalu lama. Contoh saja kasus Alm. Munir Said Thalib atau sering dipanggil Munir dari tahun 2004 yang hingga kini belum ada perkembangan yang jelas, Seperti dikutip pada website ” Pada 3 Oktober 2006, Majelis Hakim di Mahkamah Agung membalik vonis ‘tidak bersalah’ terhadap terdakwa utama, pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, menyangkut tuntutan pembunuhan berencana. Namun Pollycarpus dianggap bersalah menggunakan surat palsu dalam tugasnya dan dihukum dua tahun penjara.Majelis Hakim ini di antaranya adalah: Iskandar Kamil SH (Chief), Atja Sandjaja SH dan Artidjo Alkostar SH. Putusan MA yang sangat mengejutkan ini berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, yang keduanya memvonis Pollycarpus Priyanto 14 tahun penjara atas kumulasi tuntutan pembunuhan berencana dan memalsukan dokumen, pada 20 December  2005 and 27 Maret 2006. Sebagai sikap protes atas Putusan MA ini, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir/KASUM menggelar siaran pers pada 5 Oktober 2006,  di mana mereka secara terbuka mengkritik tim investigasi yang dipimpin Brigadir Jendral Suryadharma, dan menyerukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjuk tim yang baru dengan mandate dan cakupan kerja yang lebih besar. Mereka juga meminta Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk melakukan Peninjauan Kembali/PK di MA dan mendesak DPR untuk melaksanakan kewenangan hak interpelasi untuk mempertanyakan secara formal kasus pembunuhan Munir”[2]. Wacana HAM tampaknya sudah sangat serius merasuki pikiran bangsa Indonesia, belum lagi pelanggaran HAM berat di Timor-Timor, lalu ada juga di tanah Papua dan Ambon, dll. Maka cukup jelas bagi penulis untuk membahas masalah ini, agar mampu memberikan asupan-asupan hal yang positif mengenai HAM.

Permasalah HAM in menjadi pengikis keadilan di Indonesia, karena HAM terkait dekat dengan keadilan. Sebagaimana dipaparkan dalam website “Jakarta, 19 Juli 2007 – Masyarakat miskin dan terpinggirkan di seluruh Indonesia perlu akses terhadap keadilan yang lebih baik guna melindungi mereka dari pelanggaran hak asasi manusi dan membantu mereka untuk dapat keluar dari jurang kemiskinan. Hal inilah yang menjadi fokus dari proyek yang diluncurkan hari ini oleh Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Programme (UNDP)”[3]. Masyarakat yang miskin dan terpinggirkan pun berhak untuk mendapatkan akses keadilan yang baik agar pelanggaran-pelanggaran HAM semakin kecil dan mereka mampu membebaskan diri dari kemiskinan.

Bagi sebagian masyarakat HAM adalah bagian yang terdiskriminasikan oleh perhatian sosial, hal ini diperkuat dengan pernyataan Bila di tataran global kita melihat adanya semangat masyarakat dunia untuk menegakkan keadilan dan melawan impunitas, di Indonesia kita melihat kenyataan yang sebaliknya. Bebasnya seluruh terdakwa atas pelanggaran HAM pada kasus Timor Timur 1999, kecuali pimpinan milisi pro integrasi Eurico Guterres, oleh Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan contoh yang masih segar di ingatan masyarakat. Oleh Komisi Ahli (Commission of Experts) bentukan Sekjen PBB Kofi Annan, proses pengadilan kasus Timor Timur di Jakarta itu dinyatakan gagal untuk menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pengadilan di Jakarta ini dianggap nyata-nyata tidak memadai (manifestly inadequate) dan menunjukkan kurangnya respek atau kurang sesuai dengan standar internasional yang relevan (scant respect for or conformity to relevant international standards). Kerja dari penuntut dinyatakan tidak memadai, tuntutan tidak konsisten, dan impunitas tidak terbendung”[4]. Hal yang selalu tabu untuk dipraktikkan, namun selalu ada “pahlawan-pahlawan” yang terus menegakkan keadilan. Dan penulis jelas ingin mengangkat tema ini agar minimal bagi pembaca bisa tergugah dan mampu bergerak sesuai dengan seruan para “pahlawan”

Kondisi yang hitam bagai kertas putih yang ternoda hingga terlihat kusam. Sudah sedikit disinggung masalah HAM diparagraf atas mengenai pelanggaran HAM berat. Dan hingga kini pelanggaran HAM terus meningkat sejalan dengan tipisnya keadilan dalam masyarakat, seperti dijelaskan “Belum bergabungnya Indonesia dalam rezin keadilan global juga ditunjukkan dengan belum tersentuhnya pelaku pelanggaran berat HAM pada kasus-kasus seperti peristiwa Mei 1998, peristiwa Trisakti-Semanggi I dan Semanggi II (TSS), peristiwa Lampung 1989 dan terakhir peristiwa penghilangan paksa aktifis demokrasi tahun 1998. Pada kasus terakhir para perwira tinggi TNI secara tegas menyatakan menolak memberi keterangan kepada Komnas HAM yang punya wewenang hukum melakukan penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM”[5].

Tentu Pemerintah tidak selalu di pihak yang salah, karena pemerintah sudah membuat peraturan atau kebijakan untuk mengatasi permasalah HAM ini. Dapat disebutkan peraturan mengenai keadilan yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Lalu UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan meratifikasi berbagai hukum HAM internasional untuk dijadikan sebagai hukum sendiri. Selain itu masih banyak yang menjadikan peraturan sebagai landasan dalam melakukan keadilan yang utuh. Namun menurut saya, Bila UU dan alat hukum berjalan sebagaimana mestinya maka semuanya akan beres. Jadi segala kekalutan yang terjadi ini adalah disebabkan karena semua UU dan peralatan negara berjalan dengan tidak beres, Penuh kolusi, korupsi dan nepotisme. Padahalkan kita punya Tentara Pembela Rakyat, yang bisa dijadikan tumpuan pemberantas oknum-oknum yang “nakal”.

Permasalahan pelanggaran HAM dapat kita telusuri lebih dalam di Internet, sudah begitu banyak forum yang membahas hal ini. Tentu berpengaruh terhadap kondisi saat ini, karena banyak hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan dan kondisi terkini.

Instansi atau lembaga penegak keadilan sudah banyak beredar, dari LBH APIK yang fokus terhadap keadilan akan perempuan, dan ada pula ELSAM yang fokus terhadap hukum-hukum pidana KUHP. Instansi yang baru disebutkan tadi adalah Instansi non pemerintahan yang cukup aktif dalam menegakkan keadilan HAM. Lembaga yang paling tinggi di Negara ini pun tidak kalah eksis, yaitu KOMNASHAM yang menangani permasalahan pelanggaran HAM. Bila ditanya efektif atau tidak, saya berpendapat bahwa setiap usaha menuju kea rah yang lebih baik, pasti akan memberikan kontribusi yang jelas. Terlepas dari lembaga tersebut adalah perwakilan dari suatu partai ataupun oknum yang sedang marak beberapa saat ini.

Penulis menyadari akan solusi yang bisa mengatasi permasalahan ini atau minimal sebagai pemicu masyarakat lain untuk peduli pada keadaan HAM di Indonesia. Penulis mempunyai solusi, antara lain: menginternalisasi moral bangsa yang berbudaya dan berdasarkan asas Pancasila, mengoptimalkan aspek-aspek budaya dalam kaitannya sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dekat hubungannya, lalu kita sebagai manusia yang bertanggung jawab punya kesadaran akan keadilan dan memberikan sumbangsih apapun demi keadilan, meski kecil ataupun besar. Dan penting sifatnya bagi saya adalah, menekankan pendidikan yang berbudi pekerti baik dan luhur pada anak cucu kita nanti, agar masa depan dapat dihadapi dengan jiwa besar.

Sempat disinggung diatas bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan pancasila sila ke-2, hal yang penuh makna menurut saya. Manusia yang adil adalah manusia yang dapat menerapkan nilai-nilai yang tepat menurut norma yang ada. Manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki nilai-nilai kebudayaan yang luhur dan tinggi. Dalam kaitannya terhadap keadilan adalah manusia mampu menjalankan kehidupan yang jauh lebih baik pada tataran manusia yang adil dan berbudaya, sesuai dengan Hak Asasi Manusia sebagai bentuknya.

 DAFTAR PUSTAKA

Mustopo, Habib. 1989. Ilmu Budaya Dasar (kumpulan essay- manusia dan budaya). Usaha Nasional : Surabaya

http://www.fajar.co.id/kolom/news.php?newsid=549

http://www.al-azim.com/masjid/adil.html

http://mugiyanto.blogspot.com/2005/07/world-day-of-justice-dan-ironi.html

http://www.undp.or.id/press/view.asp?FileID=20070719-1&lang=id

Hari Keadilan Sedunia dan Ironi Keadilan Indonesia oleh Mugiyanto

http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2006/68/

[1] Pancasila sila ke-2

[2] http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2006/68/

[3] http://www.undp.or.id/press/view.asp?FileID=20070719-1&lang=id

[4] Hari Keadilan Sedunia dan Ironi Keadilan Indonesia oleh Mugiyanto

[5] http://mugiyanto.blogspot.com/2005/07/world-day-of-justice-dan-ironi.html