MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ASPEK LEGAL DAN ETIK KEGAWAT DARURATAN Kelompok 1

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ASPEK LEGAL DAN ETIK KEGAWAT DARURATAN Kelompok 1

A. LATAR BELAKANG
Kejadian tidak terduga bisa saja terjadi saat di dalam klinik yang menyebabkan kondisi kegawatdaruratan dimana tenaga medis baik dokter, perawat, maupun tim kesehatan yang lain dituntut harus melakukan tindakan yang sesegera mungkin untuk menolong pasien.
Misalnya saja di klinik kedokteran gigi, pada saat melakukan perawatan saluran akar operator kurang berhati – hati dan tidak menggunakan rubber dam sehingga tidak sengaja reamer atau K-file tertelan. Tentu ini sangat membahayakan pasien jika tenaga kesehatan tidak sigap dan segera menolong pasien.
Selain itu perlu diperhatikan apabila saat pencabutan gigi dan pasien memiliki riwayat penyakit sistemik yang akan membahayakan diri pasien, sehingga tenaga kesehatan perlu memahami cara penanganan pasien gawat darurat sebelum di tangani oleh tenaga medis yang lebih professional.
Maka dari itu, pengetahuan akan cara penanganan kegawatdaruratan, etika kegawat daruratan sangat diperlukan oleh tenaga kesehatan, termasuk kita sebagai calon perawat gigi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana prinsip etika kegawatdaruratan dalam medis dan keperawatan?
2. Bagaimana aspek legal dan etika dalam menangani pasien gawat darurat?

C. TUJUAN
Mengetahui aspek legal dan etis dalam kegawat daruratan medis dan keperawatan untuk panduan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan etika medis dan keperawatan.

BAB II
PEMBAHASAN

Kegawatdaruratan disebut juga critical care, artinya adalah pemberian asuhan keperawatan kepada klein / pasien yang mengalami keadaan gawat darurat melalui pendekatan proses keperawatan dengan menerapkan peran dan fungsi perawat secara professional, atau suatu upaya melalui proses keperawatan dengan pemberian asuhan keperawatan klien / pasien yang mengalami keadaan krisis / emergency untuk mencegah kematian dan atau kecacatan.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa ( Herkutanto, 2007 ).

Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat ( Herkutanto, 2007 ).

Hubungan Dokter – Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa ( bukan keadan gawat darurat ) maka hubungan dokter–pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya ( didapati azas voluntarisme ).
Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya ( pre-existing relationship ). Dalam keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari kedua belah pihak juga tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azas
voluntarisme.
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri / menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain ( loss of chance ) ( Herkutanto, 2007 ).

Peraturan Perundang – Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat
Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit ( Herkutanto, 2007 ).

Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa ” Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat ”, termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat ( swasta ).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.
Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor
kesehatan ( Herkutanto, 2007 ).

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat
Hal – hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association ( AHA ) pengertian gawat darurat adalah : kegawatdaruratan adalah suatu kondisi berdasarkan penilaian pasien, keluarga atau anggapan siapa saja yang membawa pasien ke rumah sakit untuk memeroleh perawatan segera. Kondisi ini berlanjut hingga penetapan dibuat oleh tenaga medis profesional apakah pasien hidup atau kesejahteraan tidak terancam.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah :
True emergency adalah kondisi yang ditetapkan secara klinis yang memerlukan pemeriksaan medis segera. Kondisi tersebut berkisar dari yang memerlukan perawatan luas secara segera dan masuk ke rumah sakit untuk orang-orang yang masalah diagnostik dan mungkin atau tidak mungkin memerlukan pengakuan setelah work- up dan observasi/ pengamatan.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan
dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan
ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien ( Herkutanto, 2007 ).

Azas – Azas Legal dan Etik
1. Azas legalitas
Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa :
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan;
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Mendasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ;
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter atau dokter gigi
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
d. memiliki sertifikat kompetensi
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai berikut : “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki sirat Izin Praktik”.
Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, dokter dan dokter gigi harus :
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku;
b. Mempunyai tempat praktik;
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara laten tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Azas keseimbangan
Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud adalah bersifat kasustis, karena sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan.
3. Azas tepat waktu
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya.
4. Azas etikat baik
Asas etiket baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban profesi, penerapan asa etiket baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri.
5. Azas kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan.
Di samping itu, berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi sudah barang tentu akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.
6. Azas kehati-hatian
Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Karena kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan terancamnya jiwa pasien, dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa; : “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan informed consent dalam transaksi terapeutik.
7. Azas keterbukaan
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi “Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum”.
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, di mana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan.

Kegawatdaruratan dalam Keperawatan
Perawat yang membantu korban dalam situasi emergency harus menyadari konsekuensi hokum yang dapat terjadi sebagai akibat tindakan yang mereka berikan. Banyak negara-negara yang telah memberlakukan undang-undang untuk melindungi kesehatan yang menolong korban-korban kecelekaan . Undang-undang ini bervariasi diberbagai Negara, salah satu diantaranya memberlakukan undang-undang ”Good Samaritan” yang berfungsi untuk mengidentifikasikan bahasa/istilah hukum orang-orang atau situasi yang memberikan kekebalan tanggung jawab tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan oleh adanya undang-undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggung jawabkan diberikan oleh perawat pada tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh perawatan serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka,perawatan yang diberikan tidaklah dianggap sama dengan perawatan yang diberikan di ruangan emergency.
Perawat-perawat yang bekerja di emergency suatu rumah sakit harus menyadari implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi mencari bukti-bukti.
Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan
a. Autonomy
Perawat yang mengikuti prinsip autonomy akan menghargai hak klien untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan hal ini, berarti perawat menyadari keunikan individu secara holistik.
b. Non-maleficence (do no harm)
Tindakan yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi klien. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagian kode etik keperawatan.
c. Beneficence (do good)
Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan hal dengan baik, yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan klien dan keluarga. Beneficence itu dimaksudkan untuk menentukan cara terbaik yang dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan klien. Perawat harus selalu melakukan hal dengan baik, termasuk dalam hal pemberian asuhan keperawatan guna membantu mempercepat proses penyembuhan klien.
d. Informed Consent
Merupakan persetujuan seseorang untuk mengizinkan dilakukannya sesuatu terhadap dirinya. Dalam informed consent berisi pemberitahuan tentang resiko penting yang potensial, keuntungan, dan alternatif yang ada.
e. Justice (perlakuan adil)
Perawat harus selalu berlaku adil kepada semua klien.
f. Kejujuran, kerahasiaan, dan kesetiaan
Prinsip mengatakan yang sebenarnya (kejujuran) mengarahkan praktisi untuk menghindari melakukan kebohongan atau menipu klien. Dalam hal ini perawat harus menginformasikan semua hal yang berkaitan dengan kondisinya.
Kerahasiaan adalah suatu tindakan dari perawat untuk menghindari pembicaraan mengenai kondisi klien dengan siapapun yang tidak terlibat secara langsung terlibat dalam perawatan klien.
Kesetiaan menyatakan bahwa perawat harus memegang janji yang dibuatnya pada klien. Ketika seorang perawat jujur dan memegang janjinya, maka seorang pasien akan menaruh kepercayaan pada perawat, dengan hai itu perawat dapat dengan mudah melakukan intervensi.

BAB III
KESIMPULAN

• Pengetahuan akan cara penanganan kegawatdaruratan dan etika kegawatdaruratan sangat diperlukan oleh tenaga kesehatan.
• Azas-azas legalitas dalam medis diantaranya azas legalitas, azas keseimbangan, azas tepat waktu, azas etiket baik, azas kejujuran, azas kehati-hatian, dan azas keterbukaan.
• Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan adalah autonomy, non-maleficence, beneficence, informed consent, justice, kejujuran, kerahasiaan, dan kesetiaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, http://www.scribd.com/doc/95147488/Asas-Hukum-Transaksi-Terapeutik diunduh melalui Google Chrome 18/10/2012
Herkutanto, 2007, Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat vol. 57, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik (Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, PT Citra Aditya bakti, Bandung