LINTASAN SEJARAH KEFARMASIAN DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Sejarah kefarmasian di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah tradisi pengobatan di dunia. Tradisi ini telah berjalan ribuan tahun bahkan diperkirakan telah bersamaan dengan keberadaan manusia di alam semesta. Pengetahuan tabib dan pengobatan berkembang di Yunani, Mesir, Cina, India dan berbagai wilayah di Asia (1).
Pada awalnya kemampuan mengobati dan meracik obat dipegang oleh satu orang dan praktiknya tidak didasarkan atas pengetahuan anatomi, farmakologi dan ilmu farmasi lainnya. Ilmu Pengobatan dijalankan secara spekulatif, dipengaruhi oleh tahyul dan perdukunan (occultism). Di Yunani pada saat itu, pendeta dianggap orang yang mampu menjaga kesejahteraan rohani da jasmani rakyat. Lambat laun peran ini diambil tabib, yang memperoleh ilmu pengobatan secara intuitif dan empiris(1).
Pada tahun 400 SM berdiri sekolah kedokteran dengan alumninya yang terkenal, Hippocrates. Hippocrates merasionalisasikan ilmu pengobatan dan meningkatkan profesi tabib pada taraf etik yang tinggi. Kemuduian muncul tokoh Yuinani lain bernama Galenus, seorang ahli meracik obat dari sari pati tumbuhan, sehingga keterampilan meraci obat dari sari pati tumbuhan ini kemudian dikenal dengamn istilah Galenika (1).
Pada tahun 1240 Kaisar Frederick II mengeluarkan maklumat untuk memisahkan ilmu farmasi dan kedokteran, sehingga masing-masing ahli mempunyai kesadaan, standar etik, pengetahuan dan keterampilan sendiri. Denagan makluimat ini maka keahlian farmasi menjadi profesi resmi yang terpisah dari kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama menolong orang sakit dan meningatkan kesehatan manusia (1).
Sejarah Farmasi modern dimulaii tahun 1897, saat Felix Hoffmann menemukan cara menambahkan dua atom ekstra carbon dan lima atom ekstra hidrofen ke dalam ekstrak (sari pati) kulit kayu Willow sehingga menghasilkan Acetylsalicylic acid (astosal) yang selanjutnya dikenal dengan aspirin. Untuk mengembangkan profuk ini didirikan perusahaan farmasi modern pertama di dunia, yaitu Bayer (The economist, Februari 1988, diambil dari Format Industri Farmasi Indonesia, Amir Hamzah Apne)
Pengaruh Arab dan Islam
FARMASI Arab ataupun lebih khusus lagi dikenali sebagai saydanah merupakan satu bentuk profesi yang agak asing dibanding kedokteran sejak awal abad ke-19 lagi. Ini adalah pertama kali dalam sejarah, farmasi laksanakan secara terpisah dari profesi kesehatan yang lain. Aspek dan pengaruh Arab ini selalunya tidak dinyatakan dalam kebanyakan penulisan barat tentang sejarah kedokteran dan farmasi. Sedangkan pada hakikatnya pencapaian sains dan budaya dunia Arab begitu banyak mempengaruhi profesi serta sumbangan pustaka farmasi di barat yang wujud sehingga hari ini (4).
Dalam abad yang ke-19 kedai-kedai farmasi mulai dibangun dan jumlahnya mulai meningkat di kota-kota seperti Baghdad serta sekitarnya. Kebanyakan kedai ini adalah kepunyaan perseorangan dan banyak pula di antara mereka yang mempunyai ilmu tentang farmasi baik dari segi mencuci, menyimpan ataupun mengawetkan obat-obatan. Rumah sakit-rumah sakit di negara ini bukan saja mempunyai farmasinya sendiri, tetapi juga obat-obatan jenis sirup, salep dan bentuk sediaan farmasi lain dapat dihasilkan secara agak besar-besaran. Tempat-tempat ini juga sering dikunjungi oleh pegawai-pegawai yang dilantik oleh kerajaan (Muhtasib) ataupun pembantunya untuk menentukan bahwa obat-obatan yang dikeluarkan adalah suci, baik dan tepat dari segi kandungan dan ukurannya. Ini bertujuan untuk memastikan produk tersebut dapat dicegah dari berbagai penipuan dan melindungi orang banyak apabila menggunakannya (4).
Perkembangan yang berlaku pada ketika itu bolehlah dianggap sebagai satu fasa sejarah Islam yang paling kaya dengan perkembangan intelektual. Keadaan ini berlarutan hingga empat abad lamanya. Garis panduan tentang meteria medika serta arahan untuk farmasi bekerja dan mengurus kedainya berkembang dengan pesat. Ini dapat dilihat dengan adanya beberapa cendiakiawan yang berperanan membentuk asosiasi farmasi ketika itu.
Beberapa tokoh Farmasi dalam dunia Islam |
YUHANNA B. MASAWAYAH (777-857)
|
ABU HASAN ALI B. SAHL RABBAN AL-TABARI (808)
|
SABUR B. SAHL
|
PERKEMBANGAN BIDANG FARMASI DI EROPA
SELEPAS runtuhnya kekaisaran Romawi, perkembangan kedokteran dan farmasi masih agak gelap. Tidak banyak kemajuan dibandingkan dengan apa yang telah dipelajari di dunia Arab dan Islam sebelumnya. Malah Eropa kembali kepada cara-cara pengobatan lama yang berasaskan kepada tahyul dan kepercayaan kuno. Perkembangan sains baru seperti mana yang telah berlaku dalam dunia Arab dan Islam tidak langsung kentara dan agak terpencil. Namun terdapat satu golongan pendeta yang agak berminat untuk menggali khazanah ilmu lama yang tersimpan dalam gereja-gereja. Salah seorang dalam golongan ini dikenali sebagai Cassiodarus. Di dalam satu dari gereja yang didirikannya, pendeta tersebut mengkaji dan menyalin manuskrip lama. Disinilah mereka mulai berkenalan dengan penulisan kedokteran terdahulu. Kemudian muncul beberapa gereja yang turut menjalani aktivitas yang sama, baik dalam bahasa Latin, Yunani maupun Arab. Melalui ini, terbitlah kesusteraan dalam bahasa lain seperti Inggeris kuno, Perancis dan Jerman di samping memberi sumbangan kepada farmasi melalui penanaman taman-taman herba.
Walau bagaimanapun, sikap orang-orang barat tentang farmasi dan terapi obat-obatan berubah dengan begitu kentara sekali ketika penulisan-penulisan orang Arab dan Yunani mulai tersebar luas di Eropa Barat secara menyeluruh.
Di Kota Montpellier, Perancis sekitar tahun 1180 terdapat satu ikrar yang dikenakan kepada sekumpulan ahli-ahli farmasi pada ketika itu. Ikrarnya berkaitan dengan aktivitas ahli farmasi dalam mengawasi obat-obatan. Di Itali juga antara tahun 1231 dan 1240, Kaisar Frederick II mengeluarkan suatu maklumat (Contitutiones) yang dikenal sebagai Magna Carta Farmasi. Ini semua menampakkan susunan serta aturan yang mulai timbul dalam mengarahkan bidang farmasi pada masa itu.
Dalam konstisusi itu juga menetapkan fungsi ahli farmasi, kaitannya dengan ahli kedokteran serta tanggungjawab moral mereka. Contitutiones itu akhirnya meliputi keseluruhan Eropa dalam usaha melindungi orang awam, di mana kedai dan bidang farmasi dikenakan pengawasan resmi seperti yang dilakukan di dunia Arab-Islam. Kedai-kedai farmasi di Eropa pada masa itu telah menampakkan pengaruh Arab walaupun nama panggilannya berlainan. Bahan-bahan yang dijual terdiri dari berbagai jenis, tidak tergantung kepada materia medika Yunani, Roman atau Arab saja. Terdapat juga beberapa jenis racikan lain yang dikembangkan dari dongeng maupun sihir barat pada zaman itu.
Pada ketika itu, tumbuh juga persatuan-persatuan farmasi di mana ahli kedokteran dan ahli farmasi bergabung secara bersama. Ada juga kesatuan yang ahli farmasi dengan pedagang rempah. Mereka lebih lebih dikenal dengan nama panggilan yang berbeda seperti apothecarius, especiador, especier, speziale, spicer maupun pepper.
Di Inggris mereka bergabung dengan penjual lada hitam dan rempah-rempah dan dikenali sebnagai “Company of Grocers”. Tujuannya adalah supaya masing- masing dapat mewujudkan monopoli di sebuah bandar sekaligus melindungi perniagaan mereka dari segi pemantauan harga serta mutu barang yang dijual. Ia juga bertujuan mengawasi pelatihan serta menetapkan peraturan bagi siapa yang ingin melibatkan diri di dalam bidang tersebut. Di Itali misalnya pada pertengahan abad ke-14, kesatuan farmasi dimonopoli untuk lebih kurang 200 barang termasuk buku dan lilin. Ini menunjukkan betapa sukarnya mencari nafkah melalui urusan perniagaan obat-obatan.
Pada tahun 1617 terbentuklah Persatuan Ahli Apoteker atau Society of Apothecaries. Dalam dua abad yang kemudian, pemisahan di antara kedokteran dan farmasi pula berlaku. Serentak dengan itu golongan yang dikenali sebagai druggist dan chemist mulai berperanan aktif sebagai ahli obat-obatan. Mereka ini kemudiannya menjadi pemborong dan akhirnya pedagang obat-obatan. Pada pertengahan abad yang ke-18, satu organisasi baru di bawah naungan Pharmaceutical Society pula diwujudkan. Dengan itu wujudlah farmasi sebagai satu disiplin khasnya di Inggris dan Eropa.
Pemisahan farmasi dengan kedokteran dan menjadikannya satu bidang disiplin tersendiri memang telah diduga. Satu-satunya peristiwa yang mangarah kepada perkembangan tersebut adalah karya seorang yang bernama Paracelsus. Beliau merupakan seorang ahli kedokteran, ahli falsafah, ahli kimia dan ahli nujum Swiss pada abad yang ke-16. Sumbangan terbesarnya adalah mengutarakan beberapa prinsip baru tentang jasad manusia yang jauh lebih tepat dibanding dengan teori sebelumnya. Paracelsus memberi pengertian baru kepada pemahaman penyakit dan terapi menggunakan obat-obatan.
Berbagai racikan mengeni obat mulai berkembang, seperti tingtur dan ekstrak. Paracelsus juga memperkenalkan logam-logam seperti logam berat: raksa, plumbum, kuprum emas dan besi sebagai bahan obat melalui pendekatan serta teknik ekstraksi yang berlainan. Ia juga mempunyai hubungan yang dekat dengan Budaya Arab-Islam melalui pendalaman beliau dalam bidang kimia.
Walaupun Paracelsus telah meninggal dunia (1541 M), namun pengaruhnya tetap kuat dan menggeser pengaruh Galen(ik).
Perkembangan lain yang perlu diketahui adalah terbitnya buku panduan farmasi (sekarang dikenal dengan monogram Farmakope). Salah satunya didasarkan atas hasil tulisan Saladin (Ilmuwan Arab), misalnya Lumen apothercariocum (`Cahaya Kedai Apoteker’) yang dicetak di Itali pada tahun 1492. Buku ini kemudiannya diperluaskan menjadi Luminare majus oleh seorang ahli farmasi bernama Jacobus Manliis de Bosco.
Luminare majus ini lebih banyak digunakan dan sekarang lebih dikenal sebagai `farmakopia,’ (Farmakope), kadangkala dipanggil dengan nama dispensatorium (tetapi ia tidak popular lagi). Ini merupakan hasil kerja baik individu maupun sekelompok penulis ataupun organisasi farmasi serta kedokteran.
Farmakopia pertama adalah Dispensorium pharmacopolarium. Penggunaan farmakopia hingga hari ini menjadi suatu yang dibutuhkan dalam bidang farmasi, khususnya untuk formulasi obat.
Mulai abad ke-19, yang disertai dengan kepesatan pencapaian sains dan teknologi secara umum, bidang farmasi terus berkembang. Malah berbagai bidang keahlian mulai diperkenalkan seperti bidang kimia farmasi, farmakognosi, farmakologi dan mikrobiologi. Berikutnya timbulnya revolusi industri di Eropa juga memunculkan bidang baru seperti teknologi farmasi atau farmasi industri.
Bidang-bidang keahlian di atas salaing berkaitan dan bersama-sama dengan pengetahuan sains serta kedokteran terus menyokong farmasi sebangai satu bidang profesial. Semua bidang keahlian ini hingga sekarang merupakan keahlian inti yang dikembangkan oleh setiap Perguiruan Tnggi Farmasi, termasuk di Indonesia.
SEJARAH KEFARMASIAN INDONESIA.
Untuk mengetahui perkembangan kefarmasian di Indonesia, berikut ini kami kutip (tanpa edit) artikel dari Mantan Dirjen POM Indonesia, DR. Midian Sirait.
Pengetahuan Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih “muda” dan baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupaun masa pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat dan profesi farmasi masih belum dikenal secara luas oleh masyarakat.
Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tenaga-tenaga farmasi Indonesia pada umumnya terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah relatif sangat sedikit. Tenaga-tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda.
Disekitar perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia mencatat sejarah yang sangat berarti yakni dengan didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946 dan di Bandung pada tahun 1947.
Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini pada kenyataannya mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa berikutnya.
Dewasa ini, kefarmasian di Indonesia telah tumbuh dan berkembang dengan dimensi yang cukup luas dan mantap. Industri farmasi di Indonesia dengan dukungan teknologi yang cukup modern, telah mampu memproduksi obat dalam jumlah yang besar dengan jaringan distribusi yang cukup luas. Sebagian besar (90%) kebutuhan obat nasional, telah dapat dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri. Demikian pula peranan profesi farmasi dalam pelayanan kesehatan telah semakin berkembang dan sejajar dengan profesi-profesi kesehatan lainnya.
- Pada zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan.
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada dasarnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan asisten apoteker semulai dilakukan ditempat kerjanya yaitu di apotek oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon asisten apoteker telah bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang diselenggarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Menurut catatan yang ada, asisten apoteker Warga Negara Belanda lulusan Indonesia yang pertama adalah pada tahun 1906 yang diuji di Surabaya. Warga Negara Indonesia asli tercatat sebagai lulusan pertama pada tahun 1908 yang diuji di Surabaya dan lulusan kedua terjadi pada tahun 1919 yang diuji di Semarang.
Dari buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikelurkan oleh DVG dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 7 Oktober 1918 nomor 38, yang kemudian diubah dengan surat keputusan tanggal 28 Januari 1923 nomor 15 (Stb. no.50) dan 28 Juni 1934 nomor 45 (Stb 392) dengan nama “Leergang voor de opleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-assistenschool“.
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam surat keputusan Kepala DVG tanggal 16 Maret 1933 nomor 8512/F yang kemudian diubah lagi dengan surat keputusan tanggal 8 September 1936 nomor 27817/F dan tanggal 6 April1939 nomor 11161/F. Dalam peraturan tersebut antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian asisten apoteker ialah harus berijazah Mulo Bagian B, surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan dibawah pengawasan seorang apoteker di Nederland atau di Indonesia yang memimpin sebuah apotek atau telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta. Dengan adanya peraturan itu pula maka ujian hanya diselenggarakan di Jakarta, tidak lagi di Surabaya dan Semarang. Setelah didirikan Sekolah Asisten Apoteker tersebut, lulusan asisten apoteker sedikit meningkat rata-rata 15 orang setahun bahkan pada tahun 1941 tercatat lulusan asisten apoteker sebanyak 23 orang. Sebelum dibentuk sekolah tersebut setahun rata-rata hanya 5 orang yang kesemuanya berasal dari pendidikan praktek di apotek.
Disekitar tahun 1930-an ditetapkan beberapa peraturan perundang-undangan kefarmasian yang cukup penting antara lain :
- Undang Undang Obat Bius tanggal 12 Mei 1927 (ST 1927 No. 278) diubah dengan St 1949 No. 335.
- Ordonansi Loodwit tanggal 21 Desember 1931 nomor 28 (Stb. 509).
- Ordonansi Pemeriksaan Bahan Bahan Farmasi tanggal 12 Desember 1936 No. 19 (Stb No. 660).
Pada masa penjajahan Hindia Belanda sampai perang kemerdekaan jumlah pabrik farmasi maupun apotek sangat sedikit sekali.
Pabrik farmasi yang tercatat pada periode itu antara lain ialah Pabrik Kina dan Instituut Pasteur yang memproduksi sera dan vaksin, keduanya di Bandung serta Pabrik Obat Manggarai di Jakarta. Sedangkan apotek pada umumnya hanya terdapat di Jawa dan beberapa kota besar di Sumatera. Pada tahun 1937 jumlah apotek di seluruh Indonesia tercatat 76 apotek. Fungsi apotek pada periode itu disamping melakukan peracikan dan penyerahan obat melakukan pula produksi dan distribusi obat.
Pada sekitar perang Dunia Ke II terutama ketika invasi Jepang sudah mendekati Indonesia, tenaga-tenaga apoteker banyak yang melarikan diri ke Australia sehingga mengakibatkan banyak apotek kehilangan pimpinan.
Adanya kenyataan ini maka pada tahun 1944 Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan suatu peraturan yang memberikan hak kepada seorang dokter untuk memimpin sebuah apotek yang ditinggalkan apotekernya, disamping peraturan apotek – dokter yang telah ada yang memperbolehkan seorang dokter untuk membuka apotek – dokter di daerah yang belum mempunyai apotek.
Pada zaman pendudukan Jepang mulaii dirintis pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dan dapat diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku. Setelah Jepang kalah perang dengan sekutu dan diproklamasikannya kemerdekaan Negara Republik Indonesia, pendidikan tinggi farmasi ini bubar dan segenap mahasiswanya berjuang untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan negara yang baru diproklamasikannya. Sementara itu pada tahun 1944, pemerintah pendudukan Jepang melakukan pendidikan asisten apoteker dengan masa pendidikan selama 8 bulan dan siswa berasal dari lulusan SMP. Sampai waktu pemerintahan Jepang jatuh telah dihasilkan dua angkatan dengan jumlah yang sangat sedikit.
Disekitar perang kemerdekaan yakni pada tanggal 27 September 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada yang ada dewasa ini. Satu tahun kemudian yakni pada tanggal 1 Agustus 1947 di Bandung diresmikan jurusan Farmasi dari Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Departemen Farmasi ITB sekarang ini. Kedua Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini dalam perkembangan kefarmasian di Indonesia selanjutnya mempunyai peranan yang penting.
Pada masa perang kemerdekaan ini terutama menjelang penyerahan kedaulatan ada beberapa peraturan perundang-undangan kefarmasian yang penting antara lain ialah:
- Reglement DVG Stb No. 228 (merupakan perubahan Reglement DVG Stb 1882 No. 97).
- Ordonansi Bahan Bahan Berbahaya tanggal 9 Desember 1949 No. 377.
- Undang Undang Obat Keras tanggal 22 Desember 1949 (Stb No. 419).
- Periode setelah perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1958.
Pada periode ini jumlah tenaga farmasi terutama tenaga asisten apoteker mulaii bertambah dalam jumlah relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka SAA Negeri (Republik) yang pertama, dengan jangka waktu pendidikan selama 2 tahun. Lulusan angkatan pertama dari SAA ini tercatat sekitar 30 orang. Sementara itu jumlah apoteker juga mengalami peningkatan baik yang berasal dari pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri. Pada tanggal 5 September 1953 Bagian Farmasi Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi UGM untuk pertama kali menghasilkan 2 orang apoteker. Sekitar satu setengah tahun kemudian Bagian Farmasi Institut Teknologi Bandung menghasilkan apoteker pertama yakni pada tanggal 2 April 1955.
Dikarenakan kekurangan tenaga Apoteker, pada tahun Pmerintah mengeluarkan Undang Undang nomor 3 tentang Pembukaan Apotek. Sebelum dikeluarkannya Undang Undang nomor 3 tersebut untuk membuka apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak diperlukan izin dari Pemerintah. Dengan adanya Undang Undang nomor 3 maka Pemerintah dapat menutup kota kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya. Undang Undang nomor 3 tersebut kemudian diikuti keluarnya Undang Undang nomor 4 tahun 1953 tentang Apotek Darurat yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek.
Undang Undang tentang Apotek Darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena ada klausul yang termaktub dalam Undang Undang tersebut yang menyebutkan bahwa Undang Undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Tetapi karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, Undang Undang Apotek Darurat tersebut diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan tanggal 29 Oktober 1983 nomor 770/Ph/63/b.
Pada periode ini, terutama sekitar tahun 1955 tercatat beberapa sejarah kefarmasian yang cukup penting yakni lahirnya Ikatan Apoteker Indonesia sebagai hail Muktamar ke I yang diselenggarkan pada tanggal 17-18 Juni 1955 di Jakarta. Pada tahun itu pula tepatnya pada tanggal 19-23 Desember 1955 di Kaliurang Yogyakarta diselenggarakan Konferensi Antar Mahasiswa Farmasi seluruh Indonesia yang pertama dan melahirkan MAFARSI. Perkembangan lain dalam dunia pendidikan farmasi ialah berdirinya Jurusan Farmasi UNPAD pada tahun 1957.
Menurut data yang ada pada tahun 1955 jumlah apoteker tercatat 108 orang, asisten apoteker 1218 orang, apotek 131 dan Pabrik Obat sebanyak 7 pabrik, Pada tahun 1958 jumlah tersebut bertambah menjadi : apoteker 132 orang, asisten apoteker 1613 orang, apotek 146 dan pabrik obat sebanyak 18 pabrik.
- Periode tahun 1958 sampai dengan 1967.
Pada periode ini meskipun upaya untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, pada kenyataannya industi-industri farmasi menghadapai hambatan dan kesulitan yang cukup berat antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Pada periode ini terutama antara tahun 1960-1965 karena kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industri farmai di dalam negeri hanya dapat berproduksi sekitar 30% dari kapasitas produksinya. Oleh karena itu penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik maka banyak terjadi kasus kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi persyartan standar.
Di sekitar tahun 1960-1965 beberapa peraturan perundang undangan yang penting dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh Pemerintah antara lain ialah :
- Undang Undang nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok Pokok Kesehatan.
- Undang Undang nomor 10 tahun 1961 tentang Barang.
- Undang Undang nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
- Undang Undang nomor 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
- Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek.
Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia yakni berakhirnya Apotek Dokter dan Apotek Darurat. Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan tanggal 8 Juni 1962 nomor 33148/Kab/176 antara lain ditetapkan :
- Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek dokter.
- Semua izin Apotek Dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963.
Sedangkan berakhirnya Apotek Darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri tgl 29 Oktober 1963 nomor 770/Ph/63/b yang isinya antara lain:
- Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan Apotek Darurat.
- Semua izin Apotek Darurat di ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964.
- Semua izin Apotek Darurat di Ibukota Daerah Tingkat II dan kota kota lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Mei 1964.
Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang Undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (SK Menkes tanggal 11 Juli 1963 nomor 39521/Kab/199). Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi Pemerintah dibidang kefarmasian yakni Direktorat Urusan Farmasi dan LFN. Direktorat Urusan Farmasi (semula Inspektorat Farmasi) pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.
Pada periode 1958-1967 tenaga farmasi baik apoteker maupun asisten apoteker semakin meningkat jumlahnya. Pada periode ini telah didirikan lagi 5 jurusan / Fakultas Farmasi Negeri dan bebearpa Fakultas Farmasi Swasta. Pada tahun 1966 setelah pecah pemberontakan G.30.S PKI jumlah apoteker diseluruh Indonesia tercatat 1011 orang, AA sebanyak 5180 orang, apotek 585 dan Industri Farmasi 109 pabrik.
- Periode Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Orde Baru ini Stabilitas politik, ekonomi dan keamanan yang telah semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral pembangunan Nasional, secara bertahap telah dapat ditingkatkan sejak Repelita I hingga Repelita III ini dengan hasil hasil yang cukup menggembirakan.
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan pembangunan kesehatan pada sisi lain mempunyai dampak positif terhadap perkembangan kefarmasian di Indonesia. Industri farmasi secara bertahap sejak Repelita I sampai dewasa ini telah dapat tumbuh dan berkembang secara mantap dengan jaringan distibusi yang cukup luas. Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan dibidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan lebih baik.
Sampai tahun pertama Repelita I, sebagian besar (80%) kebutuhan obat nasional kita masih sangat tergantung pada impor. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan dan mempunyai dampak negatif terhadaap upaya peningkatan derajat kesehatan rakyat. Oleh karena itu kebijaksanaan obat pada pelita I dititikberatkan pada produksi obat jadi dalam negeri dengan membuka kesempatan investasi, baik modal dalam negeri maupun modal asing. Dengan adanya kebijaksanaan ini maka pada akhir Repelita I industri farmasi dalam negeri dapat tumbuh dengan peningkatan produksi yang cukup besar sehingga ketergantungan akan impor dapat dikurangi.
- Farmasi di era Reformasi (versi penulis)
Untuk mengetahui kondisi dunia farmasi di era REFORMASI, khususnya perkembangan di sektor Industri Farmasi, mahasiswa dapat membacanya lebih dalam dalam buku: Format Industri Farmasi Indonesia yang ditulis oleh Amir Hamzah Pane.
Sumber Pustaka:
- Amir Hamzah Pane, Format Industri Farmasi Indonesia, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, 2000
- DR, Midian Sirait, diambil dari Pengantar Buku Gema Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang apotek, Dirjen POM
- Kutipan tulisan Prof. Dzulkifli Abdul Razak, Perkembangan Farmasi di Eropah dan Barat, Pusat Racun Negara, USM, Malaysia
- Kutipan tulisan Prof. Dzulkifli Abdul Razak, PerkembanganSejarah Awal Farmasi Pengaruh Arab dan Islam, Pusat Racun Negara, USM, Malaysia