Lintasan Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia

Lintasan Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia

Sekitar awal tahun empat puluhan, tidak seorangpun apoteker bangsa Indonesia terdapat, sementara banyak gelar kesarjanaan lainnya diraih bangsa Indonesia seperti dokter, insinyur dan sarjana hukum. Apoteker yang ada di Indonesia hanyalah apoteker berkebangsaan Denmark, Austria, Jerman, orang-orang Tionghoa lulusan perguruan tinggi farmasi di Belanda dan tentu saja apoteker bangsa Belanda sendiri.

Berbeda dengan sekarang, di zaman kolonial itu, apabila seorang apoteker hendak mendirikan apotek, ia cukup mem-viseer-kan ijazahnya pada Inspecteur Pharmaceut di Jakarta. Tidak perduli apakah modal untuk mendirikan apotek itu berasal dari apoteker sendiri ataupun dari Rathkamp, Bavosta atau Van Gorkom (perusahaan farmasi yang besar waktu itu). Pada waktu itu banyak apotek yang dimiliki semdiri oleh apoteker, seperti Apotek “Centraal” milik Dra. Ny. A. Petit dit de la Roche, Apotek “Djember” (Djembersche Apotheek – milik Drs. P.C. van Boxtel (menurut catatan, apotek ini adalah salah satu dari apotek-apotek yang tidak dibantu seorang asisten apotekerpun). Selain menggunakan nama-nama yang mudah diingat, banyak pula apotek yang namanya sesuai dengan nama apoteker pemilik apotek, misalnya apotek : “Mooy” di Semarang yang dimiliki Drs. W. Mooy, Apotek “v.d. Heide” di Salatiga yang dimiliki Drs. F.A.E. van der Heide dan sebagainya. Perlu diketahui, jumlah apotek di seluruh Indonesia pada tahun 1937 ada 76 buah.

Ketika perang dunia II pecah, apoteker-apoteker berkebangsaan Eropa itu banyak yang menyingkir ke Australia sehingga banyak apotek di Indonesia kehilangan pimpinan. Untuk mengatasi kekurangan ini, di tahun 1941, Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera membuat peraturan yang memberikan hak kepada dokter (termasuk dokter bangsa Indonesia) untuk memimpin apotek yang ditinggalkan apotekernya, di samping mengeluarkan peraturan tentang apotek dokter yang membenarkan seorang dokter membuka apotek di tempat-tempat yang belum ada apoteknya.

Ketika Jepang berkuasa, kegiatan kefarmasian di Indonesia nyaris berhenti. Pengadaan obat-obatan sangat gawat karena tidak ada penambahan obat-obatan dari luar negeri. Pabrik farmasi yang ada di Indonesia seperti pabrik kina di Bandung memang bekerja siang dan malam tetapi hasilnya tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia, tetapi lebih banyak ditujukan bagi kepentingan serdadu Jepang di medan pertempuran.

Pendidikan Tinggi Farmasi Pertama

Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia dirintis pada zaman Jepang, yakni denganYakugaku pada 1 April 1943, sebagai bagian dari Djakarta Ika Daigaku (sekolah dokter). Tahun berikutnya Yakugaku diubah namanya menjadi Yaku Daigaku. Namun perguruan tinggi ini segera bubar setelah proklamasi dikumandangkan, karena mahasiswanya lebih terpanggil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan

Tanggal 27 September 1946, di Klaten, dibukalah perguruan tinggi farmasi yang pertama dalam negara Republik Indonesia dengan peralatan yang berasal dari Jakarta yang diungsikan oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran dan farmasi. Walau tenaga pengajar dan peralatan yang terbatas namun semangat mahasiswa dan staf pengajarnya amat tinggi. Kuliah dan praktikum Zoologi dan Botani dilangsungkan di bagian belakang Rumah Sakit Tegaljoso, sedangkan praktikum Kimia dan Fisika masing-masing dilangsungkan di Laboratorium Pasteur di Klaten dan di SMA Kotabaru (Yogya), praktikum reseptur diadakan di Solo karena di sana ada 2 orang apoteker (di Klaten tidak ada apoteker sedangkan di Yogya ada seorang apoteker yakni Drs. Jap Tjwan Bing tetapi sibuk dengan urusan politik).

Setelah terjadi clash ke II pada 19 Desember 1948, perguruan tinggi Farmasi di Klaten itu terpaksa ditutup karena para mahasiswa dan dosennya menggabungkan diri dalam badan-badan perjuangan. Beberapa gelintir mahasiswa pindah ke daerah pendudukan Belanda (Bandung) untuk meneruskan sekolah.

Di Bandung, sejak 2 Agustus 1947 telah berdiri Jurusan Farmasi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPIA) Universitas Indonesia. Kelak, jurusan Farmasi ini menjadi Bagian Farmasi Departemen Kimia-Biologi ITB.

Perguruan tinggi di Klaten dihidupkan kembali setelah penyerahan kedaulatan tetapi lokasinya dipindahkan ke Yogyakarta, di gabungkan dengan Universitas Gadjah Mada.

Apoteker Pertama

Bangsa Indonesia pertama yang berhasil meraih apoteker adalah Drs. Hartono (sekarang dalam keadaan lumpuh di Belanda, tahun 1981 red) dan Drs. E. Looho. Keduanya meraih gelar apoteker di negeri Belanda tahun 1946 dan 1947. Setelah kembali ke Indonesia, Drs, Hartono bekerja sebagai orang swasta di Solo dan Drs. E. Looho bekerja di Makassar sebagai Kepala Jawatan Farmasi. Tahun 1950 Menteri Kesehatan RI menunjuk Profesor Hanafiah (bukan apoteker) sebagai Kepala Direktorat Farmasi Pertama. Demi kelancaran tugasnya, Profesor Hanafiah kemudian menunjuk Drs. E. Looho sebagai Inspektur Farmasi dan Drs. Hartono sebagai Kepala Perlengkapan Farmasi yang berkedudukan di Jakarta. Pada masa itu tugas Inspektur Farmasi hanyalah mengawasi apotek-apotek saja, sedangkan bagian perlengkapan farmasi bertugas untuk menyediakan obat-obatan dan perlengkapan kesehatan lainnya. Tahun 1958 Drs. Sunaryo Prawirosujanto menggantikan Drs. E. Looho sebagai Inspektur Farmasi yang berkedudukan di Jakarta waktu itu ia berkantor di Jl. Majapahit No. 20 (sekarang P.T. Kimia Farma Tbk, red)

Mengingat Indonesia kekurangan apoteker, pada tahun1953 Pemerintah RI mengeluarkan Undang Undang No. 3 tentang Pembukaan Apotek. Jika sebelumnya untuk membuka apotek boleh di mana saja dan tidak diperlukan adanya surat ijin dari pemerintah, maka dengan adanya Undang Undang No. 3 Tahun 1953 itu Pemerintah dapat menutup kota-kota tertentu yang jumlah apoteknya telah dianggap memadai pada saat itu dan hanya memberikan ijin pembukaan apotek di daerah yang belum ada atau belum cukup apoteknya. Undang Undang No. 3 tersebut diikuti keluarnya Undang Undang No. 4 tentang Apotek Darurat yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang Undang tersebut berakhir pada tahun 1958 karena ada klausul yang menyebutkan Undang Undang itu tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan perguruan tinggi Farmasi di Indonesia. Apoteker-apoteker pertama tersebut dihasilkan oleh UGM tahun 1953 (sejawat Moh. Kamal dan Zakaria Raib).

Apoteker pertama yang menjabat Kepala Direktorat Farmasi adalah Drs. Sunarto Prawirosujanto (1961). Direktorat yang kemudian berganti nama menjadi Direktorat Djenderal Farmasi dan kemudian menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan ini dipimpin Drs. Sunarto hingga 1978 yang untuk selanjutnya dipimpin oleh DR. Midian Sirait.

Pada tahun 1965 pemeriintah mengeluarkan PP No. 26 yang menghapuskan hak apoteker sebagai pemegang ijin. Peraturan yang dikeluarkan menjelang pecahnya G. 30 S. PKI itu melicinkan jalan bagi badan-badan swasta / pengusaha untuk berkecimpung di bidang perapotekan. Peraturan ini jelas-jelas merugikan profesi apoteker. Namun pada saat peraturan itu dikeluarkan tidak terdengar suara-suara protes dari para apoteker maupun para mahasiswa farmasi mengingat situasi waktu itu memang tidak memungkinkan. Dalam tahun 1965 itu para apoteker tidak memprotes karena waktu itu pendapat umum digiring untuk “mengharamkan” suatu usaha yang menonjolkan kepentingan perorangan dalam masyarakat, karena pada saat itu sedang gencar-gencarnya dilancarkan kampanye ekonomi terpimpin, masyarakat sosialis Indonesia dan lain-lain. Usul untuk merubah PP No. 26 tahun 1965 itu baru dicetuskan pada Kongres Luar Biasa ISFI tahun 1967 setelah Orde Baru.

Dengan dikeluarkannya PP No. 25 Tahun 1980 yang disusul Permenkes No. 26 tahun 1981 para apoteker Indonesia telah memperoleh kembali haknya yang terlepas lebih kurang 15 tahun. Namun pengembalian hak profesi itu tidak berjalan lancar jika tidak ada persatuan dari para apoteker Indonesia.

Sumber rujukan utama:

Midian Sirait, Farmasi Indonesia Selayang Pandang, Profil Sarjana Farmasi Indonesia, 1981