LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI TUMBUHAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ekologi didefenisikan sebagai kajian yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dengan lingkungan fisik dan biotik secara menyeluruh. Organisme-organisme saling berinteraksi satu sama lain, dan juga berinteraksi dengan unsur-unsur abiotik yang ada di sekelilingnya. Komponen yang hidup, tumbuhan dan hewan, membentuk lingkungan biotik sedang komponen-komponen fisik merupakan lingkungan abiotik.

Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komponen jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Hutan merupakan komponen habitat terpenting bagi kehidupan oleh karenanya kondisi masyarakat tumbuhan di dalam hutan baik komposisi jenis tumbuhan, dominansi spesies, kerapatan maupun keadaan penutupan tajuknya perlu diukur. Selain itu dalam suatu ekologi hutan satuan yang akan diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi konkrit

Berdasarkan hal tersebut sehingga praktikum ini dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui dan menganalisis suatu vegetasi dengan menggunakan metode titik, sekalipun memiliki kekurangan dan membandingkannya dengan teori yang telah ada sebelumnya.

  • Tujuan

Untuk menganalisis vegetasi hutan sekunder di desa Talaga kecamatan Damsol kabupaten Donggala

  • Manfaat

Untuk mengetahui komposisi atau struktur jenis pohon di suatu wilayah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Rohman, 2001).

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Ewusie, 1990).

Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan (Michael, 1994).

Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Kartawinata, 1986).

Di alam jarang sekali ditemukan kehidupan yang secara individu terisolasi, biasanya suatu kehidupan lebih suka mengelompok atau membentuk koloni. Kumpulan berbagai jenis organisme disebut komunitas biotik yang terdiri atas komunitas tumbuhan (vegetasi), komunitas hewan dan komunitas jasad renik. Ketiga macam komunitas itu berhubungan erat dan saling bergantung. Ilmu untuk menelaah komunitas (masyarakat) ini disebut sinekologi. Di dalam komunitas percampuran jenis-jenis tidak demikian saja terjadi, melainkan setiap spesies menempati ruang tertentu sebagai kelompok yang saling mengatur di antara mereka. Kelompok ini disebut populasi sehingga populasi merupakan kumpulan individu – individu dari satu macam spesies (Nadjemuddin, 2003).)

Karena ada hubungan yang khas antara lingkungan dan organisme, maka komunitas di suatu lingkungan bersifat spesifik. Dengan demikian pola vegetasi di permukaan bumi menunjukkan pola diskontinyu. Seringkali suatu komunitas bergabung atau tumpang tindih dengan komunitas lain. Karena tanggapan setiap spesies terhadap kondisi fisik, kimia maupun biotik di suatu habitat berlainan maka perubahan di suatu habitat cenderung mengakibatkan perubahan komposisi komunitas. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis yang dapat menentukan bagaimana penyebaran suatu jenis vegetasi agar dapat dipelajari dengan mudah (Sutarno, 2007).

2.1  Sejarah Desa Talaga

            Desa Talaga termasuk dalam Kecamatan Damsol Kabupaten Donggala. Dahulu kala, sebelum Kerajaan Banawa yang terletak di Donggala ditaklukan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1905, di wilayah Damsol (Dampelas Sojol) terdapat dua kerajaan kecil, yaitu:

Kerajaan Dampelas dengan Wilayah meliputi Desa Kembayang sampai Dusun Bayang dengan pusat pemerintah di Sabang, dan Kerajaan Sojol dengan Wilayah meliputi Dusun Siraru sampai Desa Bou dengan pusat Pemerintah di Balukang. Kedua kerajaan tersebut di bawah Pemerintah Kerajaan Bawana yang berpusat di Donggala. Oleh Raja Bawana wilayah Damsol disebut wilaya Banawa Utara.

            Setelah Kerajaan Banawa  ditaklukan oleh Pemerintah Belanda pada Tahun 1905, Kerajaan Banawa dijadikan wilayah admistratif dengan nama Landschap atau Swapraja Banawa yang dibawahi oleh Onder Afdeling Donggala, dan kerajaan kecil yang ada di bawah pemerintahannya disebut distrik. Dengan demikian wilayah Damsol yang meliputi Kembayang sampai Ogoamas disebut Distrik Banawa Utara.

            Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Onder Afdeling Donggala, Palu, Parigi dan Toli-toli, dengan terbitnya PP No. 33 tahun 1952 tanggal 12 Agustus 1952 resmi berdiri menjadi Kabupaten Donggala, maka istilah distrik secara bertahap berubah menjadi kecamatan dan sub kecamatan.

            Distrik Banawa Utara pada tahun 1960 berubah nama menjadi Sub Kecamatan Damsol dengan pusat pemerintahan di Sabang. Selanjutnya pada tanggal 23 April 1965 Sub Kecamatan Damsol resmi berubah yang  beribukota di Sabang. Dengan wilaya dari Desa Kembayang sampai Desa Ogoamas.

            Dengan adanya upaya pemerintah memekarkan kecamatan untuk mendekatkan pelayan kepada masyarakat, maka melalui Perda No. 43 Tahun 1996 terbentuklah Kecematan Sojol yang meliputi Desa Pangalaseang sampai dengan Desa Ogoamas. Sedangkan dari Desa Kembayang sampai Desa Rerang tetap menjadi wilayah Kecamatan Damsol.

Danau Dampelas atau Danau Talaga adalah sebuah danau yang berlokasi di kawasan pantai barat Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia, tepatnya di bawah kaki gunung Sitangke, desa Talaga, kecamatan Damsol, sekitar 170 kilometer sebelah utara kota Palu.

Danau Dampelas biasa pula disebut Danau Talaga sesuai nama desa sekitar danau, namun umum disebut Dampelas sesuai bahasa dan etnis terbesar di wilayah tersebut. Pemanfaatannya sebagai sumber air untuk kebutuhan mandi dan mencuci bagi penduduk di sekitarnya. Di tepinya banyak tumbuh pohon sagu yang sengaja ditanam penduduk setempat sejak lama sebagai salah satu sumber pangan. Di dalam danau terdapat jenis ikan mujair, ikan lele, ikan mas dan terdapat salah satu jenis kerang (tude) menjadi sumber perikanan air tawar bagi penduduk setempat. Danau ini termasuk unik karena muaranya merupakan pertemuan dengan air laut perairan Selat Makassar. Setiap tahun di area danau dilaksanakan Festival Danau Dampelas sebagai kegiatan pariwisata budaya.

2.2 Kearifan Lokal (Hukum Adat)

Soso, begitu masyarakat Dampelas menyebutnya. Di kalangan orang Bugis menyebutnya walasuji. Bentuknya seperti miniatur kuba masjid segi empat. Rangkanya terbuat dari bambu. Dindingnya juga terbuat dari sulaman bambu. Karena bambu kian sulit diperoleh, diganti dengan kertas. Di tengahnya berdiri tiang dari batang pisang, dibungkus kertas warna sehingga menarik dipandang mata.

Di tiang itulah ditancapkan telur ayam yang sudah dimasak. Telur itu bergantungan dilengkapi aneka kertas warna-warni berbentuk bendera. Kertas-kertas itu digunting sedemikian rupa sehingga pinggirnya tampak berbunga. Cukup sulit mengerjakannya.

Di dalam soso terdapat bungkusan nasi ketan. Dibungkus daun pisang. Di dalam bungkusan itu juga terdapat telur. Semasa kecil saya dulu, saya kerap melihat soso meramaikan hari Maulid Nabi Muhammad saw di masjid-masjid. Tak lengkap rasanya jika Maulid Nabi tidak dilengkapi dengan soso. Bila imam masjid sudah selesai membaca barzanji dan doa-doa, seluruh isi soso kami perebutkan. Ada semacam berkah tersendiri jika kita berhasil merebut dan menikmati bagian dari soso itu.

Benda inilah yang diusung belasan orang pada Festival Danau Dampelas, sebagai simbol dari keragaman suku bangsa yang mendiami wilayah Dampelas. Soso adalah salah satu tradisi masyarakat Dampelas khususnya setiap menyambut Maulid Nabi Muhammad.

Budayawan Hapri Ika Poigi berpendapat bahwa warna-warni dalam soso itu menunjukkan keanekaraman budaya Dampelas, namun tetap menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dampelas sangat mengenal pluralisme dan religius dalam melestarikan tradisi bernafaskan Islam.

Hapri mengatakan, soso tersebut sengaja dimunculkan kembali pada Festival Danau Dampelas karena sudah nyaris punah. Tak ada lagi soso setiap memperingati Maulid Nabi. Sebagai gantinya, panitia biasanya menyiapkan hiburan elekton dengan lagu-lagu bernafaskan Islam. Soso mulai tergusur, jauh ditinggal ke belakang sebagai akibat dari lajunya perubahan budaya di kampung-kampung tak terkecuali di Dampelas.

Dampelas adalah satu suku bangsa yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang mendiami sebagian wilayah pantai barat, Kabupaten Donggala, yang terbentang dari Kecamatan Dampelas hingga Dampal. wilayah ini terletak di bagian utara Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Jarak tempuhnya sekitar 150 kilometer dari Palu atau 2,5 jam dengan kecepatan rata-rata 40 kilometer per jam.

Seremonial Festival Danau Dampelas II pada 18-21 Desember 2010 tidak sekadar gagah-gagahan semata atau sekadar eksplorasi budaya lokal. Festival itu memiliki roh, salah satunya dengan mengusung misi air dan tanah untuk bumi.

Misi tersebut sangat penting terhadap kelestarian alam serta terkait dengan kepentingan dunia internasional dalam rangka menekan pemanasan global. Harus disadari bahwa saat ini telah terjadi problem keseimbangan lingkungan akibat pemanasan global. Festival tersebut kemudian di desain sedemikain rupa yang tidak saja merevitalisasi kebudayaan lokal tetapi juga menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat.

Budayawan Hapri Ika Poigi mengatakan, salah satu kekayaan lokal di Dampelas adalah danau Dampelas. Danau ini memiliki sejarah mitologis yang terkait erat dengan kebudayaan lokal sehingga perlu dipertahankan kelestariannya. Danau tersebut harus tetap lestari dari ancaman kekeringan akibat pembabatan hutan. Akibat banyaknya jumlah manusia dan makin sempitnya lahan sehingga berpotensi mengancam lingkungan sekitar danau.

Salah satu wujud dari upaya merawat lingkungan tersebut, masyarakat adat Dampelas yang mendiami wilayah Kecamatan Dampelas menggelar ritual di mata air Ogo Dampelas, Desa Sioyong. Ogo dalam bahasa Dampelas artinya air. Pelaksanaan ritual dilakoni oleh tokoh adat dan diikuti oleh masyarakat setempat.

Ritual ini tujuannya untuk menumbuhkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Dia berharap dengan ritual adat tersebut bisa membangkitkan kesadaran masyarakat agar terus tumbuh dalam menjaga lingkungan khususnya di sekitar danau Dampelas.

Pembukaan Festival Danau Dampleas juga menampilkan sendratari ritual bertemakan tanah dan air untuk bumi secara kolosal. Tari yang digarap Hapri dan Emhan Saja melibatkan pelajar Desa Talaga dan Sabang. Inti pertunjukan menceritakan asal-mula terjadinya Danau Dampelas yang diawali pertempuran Sawerigading (Emhan Saja) dengan Mahadia Dampelas (Irwan Pangeran), namun akhirnya melakukan perdamaian. Berawal dari situlah tercipta kekerabatan dari berbagai kelompok yang disebut sasio atau sembilan kekerabatan Dampelas.